Oleh: Maraimbang
A.
Pendahuluan
Yohannes
Friedman, Guru Besar Studi Islam pada Hebrew University, Jerussalem mengakui kerumitan
untuk menemukan kata toleransi dalam Alquran. Kata ‘toleransi’ yang dalam
bahasa Arabnya, al-tasảmuh, tidak ditemukan secara eksplisit.[1] Bila yang dimaksud adalah
toleransi dari istilah al-tasảmuh,
maka memang tidak ditemukan di dalam Alquran. Bila yang dimaksud dengan
toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati keragaman budaya dan
perbedaan kebebasan berekspresi, termasuk dalam berkeyakinan, maka Alquran
secara nyata memberikan perhatian nyata terhadap toleransi.[2] Hal tersebut dapat
ditemukan dalam ratusan ayat yang secara gamblang mendorong toleransi dan
menolak intoleransi.
Secara eksplisit, kata toleransi tidak
ditemukan dalam Alquran, tetapi padanan kata tersebut, al-tasảmuh
dijumpai dalam tradisi prophetik Islam. Kata yang sesuai dengan akar kata al-tasảmuh
ditemukan di dalam hadis, inni ursiltu bi al-hanifiyyat al-sahmah. Dalam
hadis lain disebutkan;
أَحَبٌّ الدِّيْنِ إِلىَ اللهِ الحَنِيْفِيَّةُ
السَّمْحَة
[agama yang paling dicintai di
sisi Allah adalah agama yang berorientasi pada semangat mencari kebenaran secara toleran dan lapang].
Makna
as-samhah, dalam konteks ini mengandung afinitas
linguistik dengan tasâmuh atau samâha, sebuah terminologi Arab modern untuk merujuk pada toleransi. Hadis Nabi Muhammad saw. ini seringkali dipakai
sebagai rujukan Islam untuk mendukung toleransi atas agama-agama lain, di mana beliau diutus Allah swt. untuk
menyebarkan ajaran toleransi tersebut.
Toleransi dalam Islam merupakan persoalan yang menarik dan penting untuk dikaji, karena
banyak di kalangan umat Islam yang memahami toleransi dengan pemahaman yang
kurang tepat. Misalnya, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme
yang menyatakan bahwa “semua agama itu benar” atau dijadikan alasan untuk
memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara ritual non-muslim. Lebih tragis dan ironis lagi, kata toleransi dipakai oleh sebagian
orang Islam untuk mendukung eksistensi aliran sempalan bahkan sesat baik secara sadar maupun tidak sadar.
Seolah-olah, dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung
kepada kerukunan antar umat beragama, padahal yang dikorbankan adalah akidah umat Islam.
Oleh
karena itu, diperlukan kajian tentang bagaimana sesungguhnya konsep toleransi
dalam Islam baik berdasarkan Alquran maupun Hadis, yang belakangan semakin
absurd (dikaburkan). Umat Islam harus memahami secara benar tentang konsep toleransi ini, sehingga tidak
terjebak pada ketidaktahuan dan menjadi
sasaran empuk propaganda pemikiran yang merusak Islam. Dalam konteks ini,
kajian singkat toleransi ini penting, atau meminjam istilah Yusuf Qardhawi, ia
ditujukan untuk menjelaskan konsepsi yang sebenarnya (taudîh al-haqâiq), menghilangkan keragu-raguan (izâlah as-subuhât), serta melurus-kan
persepsi yang keliru (tashîh al-afhâm).[3]
Berdasarkan
pemikiran di atas, makalah ini membahas bagaimana toleransi dalam Islam
berdasarkan hadis-hadis Rasulullah saw., yang dikaitkan dengan ayat-ayat
Alquran secara tematik. Dengan demikian ditemukan keje-lasan konsep, pemikiran
dan pemahaman tentang apa itu toleransi, dan bagaimana toleransi berdasarkan
hadis-hadis Nabi Muhammad saw., dan Alquran sebagai pedoman bagi umat Islam
ditengah persinggungan pluralitas masyarakat global. Sebab apa yang disampaikan
dalam hadis merupakan manifestasi dari apa yang disampaikan dalam Alquran.
B. Pembahasan
1. Definisi Toleransi
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti kata ‘toleransi’ berarti sifat atau sikap toleran.[4] Kata toleran sendiri didefinisikan
sebagai “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan,
dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[5]
Toleransi merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris ‘tolerance’ yang
berarti sabar dan kelapangan dada, adapun kata kerja transitifnya adalah ‘tolerate’
yang berarti sabar menghadapi atau melihat dan tahan terhadap
sesuatu, sementara kata sifatnya adalah ‘tolerant’ yang berarti bersikap
toleran, sabar terhadap sesuatu.[6] Sedangkan menurut
Abdul Malik Salman, kata tolerance
sendiri berasal dari bahasa Latin: ‘tolerare’ yang berarti berusaha untuk tetap
bertahan hidup, tinggal atau berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak
disukai atau disenangi.[7] Dengan demikian, pada awalnya dalam makna
tolerance terkandung sikap
keterpaksaan.
Dalam
bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan kata toleransi adalah
samâhah atau tasâmuh. Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan),[8] atau sa’at
al-sadr (lapang dada) dan tasâhul
(ramah, suka memaafkan).[9] Makna ini berkembang menjadi sikap lapang dada atau terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian
yang mulia.[10] Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan,
maka kata tasâmuh memiliki keutamaan,
karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.
Ahmad ibn
Faris dalam kitab Al-Mu’jam
al-Maqâyis al-Lughah, mengartikan kata samâhah
dengan suhulah (mempermudah).[11] Pengertian ini dikuatkan Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath
al-Bâri yang
mengartikan kata as-samhah dengan kata as-sahlah (mudah),[12] dalam
memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, Ahabbu ad-din ila Allâh al-hanifiyyah as-samhah.
Perbedaan arti ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan
kata-kata ini dalam bahasa Arab dan Inggris.
Pemahaman
tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri, karena terkait erat dengan suatu
realitas lain yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi, yaitu
pluralisme (Arab: ta’addudiyyat). Dengan
demiki-an untuk mendapatkan pengertian tentang toleransi yang baik, maka pemahaman yang benar mengenai pluralisme adalah suatu keniscayaan. Kajian tentang
hadis-hadis tentang toleransi pada makalah ini merujuk pada makna asli kata samâhah
dalam bahasa Arab (yang artinya mempermudah, memberi kemurahan dan
keluasan). Akan tetapi, makna memudahkan dan memberi keluasan di sini
bukan mutlak sebagaimana dipahami secara bebas, melainkan tetap bersandar pada Alquran dan Hadis.
2.
Toleransi dalam Perspektif Hadis Nabi saw.
Dalam hadis Rasulullah saw. ternyata cukup banyak
ditemukan hadis-hadis yang memberikan perhatian secara verbal tentang toleransi
sebagai karakter ajaran inti Islam. Hal
ini tentu menjadi pendorong yang kuat untuk menelusuri ajaran toleransi dalam
Alquran, sebab apa yang disampaikan dalam hadis merupakan manifestasi dari apa
yang disampaikan dalam Alquran.
Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى
يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ
عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ
الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ.[13]
[Telah menceritakan kepada kami Abdillah,
telah menceritakan kepada saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid
berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al
Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah
saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?" maka
beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah
As-Samhah (yang lurus lagi toleran)]"
Ibn Hajar
al-Asqalany ketika menjelaskan hadis ini, beliau berkata: “Hadis ini di riwayatkan oleh Al-Bukhari pada kitab Iman, Bab Agama itu Mudah”
di dalam sahihnya secara mu'allaq dengan tidak menyebutkan
sanadnya karena tidak termasuk dalam kategori syarat-syarat hadis sahih menurut
Imam al-Bukhari, akan tetapi
beliau menyebutkan sanadnya secara lengkap dalam al-Adâb al-Mufrad yang
diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn ‘Abbas dengan sanad yang hasan.[14] Sementara Syekh
Nasiruddin al-Albani mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang kedudukannya
adalah hasan lighairih.”[15]
Berdasarkan
hadis di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang toleran dalam
berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun syariah, akan tetapi toleransi
dalam Islam lebih dititikberatkan pada wilayah mua’malah. Rasulullah saw.
bersabda :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ قَالَ حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ
اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.[16]
[Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy
telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif berkata, telah
menceritakan kepada saya Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah ra.
bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah merahmati orang yang memudahkan
ketika menjual dan ketika membeli, dan
ketika memutuskan perkara"].
Imam
al-Bukhari memberikan makna pada
kata ‘as-samâhah’ dalam hadis ini dengan kata kemudahan, yaitu pada “Bab Kemudahan dan Toleransi dalam Jual-Beli”.[17] Sementara Ibn Hajar
al-‘Asqalâni ketika mengomentari hadis ini beliau berkata: "Hadis ini
menunjukkan anjuran untuk toleransi dalam interaksi sosial dan menggunakan
akhlak mulia dan budi yang luhur dengan meninggalkan kekikiran terhadap diri
sendiri, selain itu juga menganjurkan untuk tidak mempersulit manusia dalam
mengambil hak-hak mereka serta menerima maaf dari mereka.[18]
Islam sejak
diturunkan berlandaskan pada asas kemudahan, sebagai-mana Rasulullah saw. bersabda :
حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلاَمِ بْنُ
مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ
الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ
مِنْ الدُّلْجَةِ.[19]
[Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam
bin Muthahhar berkata, telah menceritakan kepada kami Umar bin Ali dari Ma'an
bin Muhammad Al Ghifari dari Sa'id bin Abu Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama itu
mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan
(semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, men-dekatlah (kepada yang benar) dan berilah
kabar gembira dan minta tolong-lah
dengan al-ghadwah (berangkat di awal
pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah
(berangkat di waktu malam)"].
Ibn Hajar
al-‘Asqalâni berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan bersikap tasyaddud (keras)
dalam agama yaitu ketika seseorang memaksa-kan diri dalam melakukan ibadah
sementara ia tidak mampu melaksana-kannya itulah maksud dari kata : "Dan
sama sekali tidak seseorang berlaku keras dalam agama kecuali akan
terkalahkan" artinya bahwa agama tidak dilaksanakan dalam bentuk
pemaksaan maka barang siapa yang memaksakan atau berlaku keras dalam agama,
maka agama akan mengalahkannya dan menghentikan tindakannya.[20]
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. datang kepada
‘Aisyah ra., pada waktu itu terdapat seorang wanita bersama ‘Aisyah ra., wanita
tersebut memberitahukan kepada Rasulullah saw. perihal salatnya, kemudian
Rasulullah saw. bersabda :
مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ
فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ
إِلَيْهِ مَادَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
["Hentikan, Kerjakan apa yang sanggup kalian
kerjakan, dan demi Allah sesungguhnya Allah tidak bosan hingga kalian bosan,
dan Agama yang paling dicintai disisi-Nya adalah yang dilaksanakan oleh
pemeluknya secara konsisten"].[21]
Hadis ini
menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak memuji amalan-amalan yang dilaksanakan
oleh wanita tersebut, dimana wanita itu menberitahukan kepada Rasulullah saw.
tentang salat malamnya yang membuatnya tidak tidur pada malam hari hanya
bertujuan untuk mengerja-kannya, hal ini ditunjukkan ketika Rasulullah saw.
memerintahkan kepada ‘Aisyah ra. untuk menghentikan cerita sang wanita, sebab
amalan yang dilaksanakannya itu tidak pantas untuk dipuji secara syariat karena
di dalamnya mengandung unsur memaksakan diri dalam menjalankan ajaran-ajaran
Islam, sementara Islam melarang akan hal tersebut sebagaimana yang ditunjukkan
pada hadis sebelumnya.[22]
Keterangan
ini menunjukkan bahwa di dalam agama sekalipun terkandung nilai-nilai
toleransi, kemudahan, keramahan, dan kerahmatan yang sejalan dengan
keuniversalannya sehingga menjadi agama yang relevan pada setiap tempat dan
zaman bagi setiap kelompok masyarakat dan umat manusia.
Terdapat
banyak ayat-ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sarat
dengan kemudahan di antaranya adalah firman Allah swt:
---هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ
مِنْ حَرَجٍ ---
[Dia telah memilih kamu. Dan dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan].[23]
Pada ayat
lain Allah berfirman :
---يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ ---
Selanjutnya,
di dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah saw. bersabda :
"هَلَكَ
الْمُتَنَطِّعُونَ" قَالَهَا ثَلَاثً
Kata "al-Mutanatti'un"
adalah orang-orang yang berlebihan dan me-lampaui batas dalam menjelaskan
dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.[26] Al-Qâdi ‘Iyad mengatakan bahwa, maksud dari kehancuran mereka adalah di akhirat.[27] Hadis ini merupakan
peringatan untuk menghindari sifat keras dan berlebihan dalam melaksanakan
ajaran agama.[28]
Toleransi
dalam Islam bukan berarti bersikap sinkretis. Pemahaman yang sinkretis dalam
toleransi beragama merupakan dan kesalahan dalam memahami arti tasâmuh yang
berarti menghargai, yang dapat mengakibat-kan pencampuran antar yang hak dan
yang batil (talbisu al-haq bi al-bâtil), karena sikap sinkretis
adalah sikap yang menganggap semua agama sama. Sementara sikap toleransi dalam
Islam adalah sikap menghargai dan menghormati keyakinan dan agama lain di luar
Islam, bukan menyamakan atau mensederajatkannya dengan keyakinan Islam itu
sendiri.
Sikap
toleransi dalam Islam yang berhubungan dengan akidah sangat jelas yaitu ketika
Allah swt. memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk mengajak para Ahl al-Kitab
untuk hanya menyembah dan tidak menye-kutukan Allah swt., sebagaimana firman-Nya:
ö@è% @÷dr'¯»t
É=»tGÅ3ø9$#
(#öqs9$yès?
4n<Î) 7pyJÎ=2 ¥ä!#uqy $uZoY÷�t/ ö/ä3uZ÷�t/ur wr&
yç7÷ètR
wÎ) ©!$#
wur x8Îô³èS ¾ÏmÎ/ $\«øx©
wur xÏGt $uZàÒ÷èt/ $³Ò÷èt/
$\/$t/ör& `ÏiB Èbrß «!$#
4 bÎ*sù (#öq©9uqs?
(#qä9qà)sù (#rßygô©$# $¯Rr'Î/
cqßJÎ=ó¡ãB
[Katakanlah: "Hai ahli
kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita
tidak sembah kecuali Allah dan kita tidak persekutukan dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
Tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka,
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)"].[29]
Pada ayat
ini terdapat perintah untuk mengajak para ahli kitab dari kalangan Yahudi dan
Nasrani untuk menyembah kepada Tuhan yang tunggal dan tidak mempertuhankan
manusia tanpa paksaan dan kekerasan sebab dalam dakwah Islam tidak mengenal
paksaan untuk beriman sebagaimana Allah swt. berfirman:
لآإِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ
[Tidak ada paksaan dalam beragama][30]
Dalam beberapa riwayat diketahui Rasulullah
saw. Juga mendoakan agar Allah swt. memberikan kepada mereka (kaum musyrik)
hidayah untuk beriman kepada-Nya
dan kepada risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Diantara riwayat-riwayat
tersebut adalah kisah qabilah Daus yang menolak dakwah Islam yang disampaikan
oleh Tufail bin Amr ad-Dausi, kemudian sampai hal ini kepada Rasulullah saw.,
lalu beliau berdo'a :
"اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا
وَأْتِ بِهِمْ"
Berdasarkan
riwayat di atas, maka benarlah bahwa Rasulullah saw. diutus menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Beliau tidak tergesa-gesa mendoakan mereka (orang kafir) dalam
kehancuran, selama masih terdapat kemungkinan diantara mereka untuk menerima
dakwah Islam, sebab beliau masih mengharapkannya masuk Islam. Adapun kepada
mereka yang telah sampai dakwah selama
beberapa tahun lamanya, tetapi tidak terdapat tanda-tanda kenginan untuk
menerima dakwah Islam dan dikhawatirkan bahaya yang besar akan datang dari
mereka seperti pembesar kaum musyrik Quraisy (Abu Jahal dan Abu Lahab dkk),
barulah Rasulullah mendoakan kehancuran atas nama mereka.[32]
Sikap
Rasululullah saw yang mendoakan dan mengharapkan
orang-orang musyrik supaya menjadi bagian umat Islam, menguatkan bahwa
Rasulullah saw. diutus membawa misi
toleransi, sebagaimana sabda beliau;
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي
لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّي بُعِثْتُ
بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ [33]
[Maka Rasulullah saw bersabda,
“sesungguhnya aku tidak diutus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, akan
tetapi aku diutus untuk orang-orang yang lurus terpuji.”]
3.
Analisis terhadap Toleransi dalam Islam
Ulasan
terhadap hadis-hadis yang telah dikemukakan terdahulu, menunjukkan bahwa toleransi dalam hadis mengarah kepada sikap
terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku
bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama, atau yang lebih populer dengan sebutan
inklusivisme, pluralisme dan multikulturalisme. Hal ini sejalan firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ[34]
[Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal].
Seluruh manusia berada dalam lingkaran ‘sunnatullah’ ini. Ayat ini
mengindikasikan bahwa Allah swt menciptakan adanya perbedaan dan penting untuk
menghadapi dan menerima perbedaan-perbedaan
itu, termasuk dalam konteks teologis.
Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu kajian
penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Oleh karena Allah swt. telah mengingatkan akan keragaman kebenaran teologis dan jalan keselamatan manusia, sebagaimana firman Allah swt. :
إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا
هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ
هَادُواْ وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ
اللّهِ وَكَانُواْ عَلَيْهِ شُهَدَاء [35]
[Sesungguhnya Kami telah menurunkan
Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang
dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta
mereka, disebab-kan mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya].
Dalam ayat
lain disebutkan:
وَآتَيْنَاهُ الإِنجِيلَ فِيهِ هُدًى
وَنُورٌ وَمُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى
وَمَوْعِظَةً
لِّلْمُتَّقِينَ
[Dan Kami telah mendatangkan
Injil kepada Isa al-Masih, di dalamnya terdapat
petunjuk dan cahaya dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu
Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang
bertakwa].
Kedua ayat
tersebut di atas dipahami bahwa dalam kitab tersebut juga terdapat kebenaran,
dan bersumber dari Allah Swt yang diwahyukannya melalui orang-orang
pilihan-Nya. Bahkan Allah swt. juga memberikan penghargaan yang setara terhadap
umat Yahudi dan Nasrani yang melaksanakan hukum-Nya sebagaimana disebutkan
dalam Alquran;
إنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ
هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وعَمِلَ صَالِحاً فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
[Sesungguhnya orang-orang
mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja
(diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati].
Ayat ini
menegaskan bahwa yang mendapatkan perlindungan dari Allah swt nanti tidak
semata-mata penganut agama tertentu saja, melainkan juga termasuk mereka yang
beriman dan melakukan amal saleh. Asbab an-nuzul ayat ini menjelaskan, pada
suatu hari Salman al-Farisi mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan keadaan
penduduk al-Dayr, yang mana mereka melakukan shalat, puasa, beriman dan
bersaksi tentang kenabian Muhammad saw.
Lalu Rasulullah saw. berkata kepada Salman, “Mereka adalah penduduk
neraka”. Kemudian Allah swt menegur Rasulullah saw. dan menurunkan ayat
tersebut, bahwa sesungguhnya orang-orang Muslim, Yahuni, Nasrani, Sabiin dan
Majusi, terutama mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir dan melakukan
amal saleh, mereka akan mendapatkan surga-Nya.[36] Allah swt yang Mahaagung
dan Mahaadil akan bertindak sebagai hakim dala memutuskan amal perbuatan setiap
hamba-Nya.[37]
Dengan
demikian, Islam dalam konteks QS. Ali Imran/3: 85 (bahwa agama yang diterima
disisi Allah hanya Islam), harus dipahami sebagai agama yang dibawa Nabi
Muhammmad saw. sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dari agama yang dibawa para
nabi sebelumnya, yang bermula pada Nabi Ibrahim as. sampai kepada Nabi Musa as.
dan Isa as. [38]
Toleransi dalam beragama bukan berarti boleh bebas
menganut agama tertentu, atau
dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya
peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai
bentuk pengakuan akan adanya agama-agama
lain dengan segala bentuk sistem dan tata cara peribadatannya dan memberikan
kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Sikap
penerimaan dan pengakuan terhadap yang lain, sebagai ajaran toleransi
yang ditawarkan Islam, sebagaimana
disebutkan dalam hadis-hadis maupun ayat Alquran cukup rasional dan praktis. Namun, dalam
hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, tidak bisa disamakan dan dicampuradukkan, yang
berarti bahwa keyakinan Islam
kepada Allah swt tidak sama dengan keyakinan para penganut
agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, dan juga tatacara ibadahnya. Walaupun demikian, Islam tetap melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Oleh karena itu, kata tasâmuh
atau toleransi dalam Islam bukan
sesuatu yang asing, tetapi sudah melekat sebagai ajaran inti Islam untuk diimplementasiklan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir. Dalam konteks inilah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari tentang أَحَبُّ إِلَى
اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ [agama yang paling dicintai oleh Allah,
adalah al-hanifiyyah as-samhah (yang lurus yang penuh toleransi), itulah
agama Islam.
4.
Kaitan toleransi
dengan persaudaraan sesama
Muslim
Berkaitan
dengan hubungan toleransi dengan persaudaraan sesama Muslim, dalam hal ini Allah
swt. berfirman
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ[39]
[Orang-orang beriman
itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat].
Dalam ayat
ini, Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara dan memerintahkan
untuk melakukan islah (mendamaikannya untuk perbaikan hubungan) jika seandainya
terjadi kesalahpahaman di antara mereka atau kelompok umat Islam.
Untuk
mengembangkan sikap toleransi secara umum, terlebih dahulu dengan mensikapi perbedaan
(pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga dan saudara sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan
cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan dan
menyadari bahwa semua adalah bersaudara, maka akan timbul rasa kasihsayang,
saling pengertian yang pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam
konteks pengamalan agama, Alquran secara
tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali kepada Allah swt. dan sunnah Rasulullah
saw.[40]
5.
Kaitan toleransi
dengan mu’amalah antar umat beragama
Toleransi
antar umat beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup
bersama masyarakat penganut agama lain dengan memiliki kebebasan untuk
menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya
paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah dari satu
pihak ke pihak lain. Sebagai implementasinya
dalam praktek kehidupan
sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling
hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari
hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak.
Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling
memulia-kan dan saling
tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi
yang mengantar jenazah. Nabi Muhammad
saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata:
“Bukankah mereka orang Yahudi, ya Rasul?” Nabi
saw.. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Hadis ini hendak menjelaskan bahwa,
bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan urusan Allah swt. dan tidak ada
kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan urusan mu’amalah antar sesama tetap dipelihara
dengan baik dan harmonis.
Saat Umar bin
Khattab ra. memegang amanah sebagai khalifah, ada sebuah kisah dari banyak
teladan beliau tentang toleransi, yaitu saat Islam berhasil membebaskan
Jerusalem dari penguasa Byzantium pada Februari 638 M. Tidak ada kekerasan yang
terjadi dalam ‘penaklukan’ ini. Singkat cerita, penguasa Jerusalem saat
itu, Patriarch Sophorinus, “menyerahkan kunci” kota dengan begitu saja. Suatu ketika, khalifah Umar dan Patriarch Sophorinus
menginspeksi gereja tua bernama Holy Sepulchre. Saat tiba waktu shalat,
beliau ditawari Sophronius shalat di dalam gereja itu. Umar menolak seraya
berkata, “Jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap
ini milik mereka hanya karena saya pernah shalat di situ.” Beliau kemudian
mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Di tempat batu jatuh itulah beliau kemudian shalat. Umar
kemudian menjamin bahwa gereja itu tidak akan diambil atau dirusak sampai kapan
pun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Nasrani.[41]
6. Tidak ada toleransi dalam akidah
Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda,
Alquran menegaskan:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا
تَعْبُدُونَ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
وَلَا
أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ[42]
[Katakanlah: "Hai orang-orang
kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukku
agamaku].
Latar
belakang turunnya ayat ini (asbấb an-nuzủl), ketika kaum kafir Quraisy berusaha
membujuk Rasulullah saw., "Sekiranya engkau tidak keberatan mengikuti kami
(menyembah berhala) selama setahun, kami akan mengikuti agamamu selama setahun
pula." Setelah Rasulullah saw. membacakan ayat ini kepada mereka maka
berputus-asalah kaum kafir Quraisy, sejak itu semakin keras sikap permusuhan
mereka kepada Rasulullah saw. Dua kali Allah swt. memperingatkan
Rasulullah saw.: "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
tidak menyembah Tuhan yang aku sembah." Artinya, umat Islam sama sekali tidak boleh
melakukan peribadatan yang diadakan oleh non-muslim, dalam bentuk apapun.
Ayat ini
menegaskan, bahwa semua manusia menganut agama tunggal merupakan suatu
keniscayaan. Sebaliknya, tidak
mungkin manusia meng-anut
beberapa agama dalam waktu yang sama atau mengamalkan ajaran dari berbagai
agama secara simultan. Oleh sebab itu, Alquran menegaskan bahwa umat Islam
tetap berpegang teguh pada sistem ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang
kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri.
Dalam
kondisi sekarang, maka melakukan do'a bersama orang-orang non-muslim (istighasah), menghadiri perayaan Natal,
mengikuti upacara pernikahan mereka atau mengikuti pemakaman mereka merupakan
cakupan dari surah Al-Kafirun. Semua hal itu tidak boleh diikuti umat Islam,
karena berhubungan dengan akidah dan ibadah. Orang-orang non-muslim juga tidak
ada gunanya mengikuti peribadatan kaum muslimin, karena sama sekali tidak ada
nilainya dihadapan Allah swt.
Dalam
memahami toleransi, umat Islam tidak
boleh salah kaprah. Toleransi
terhadap non-muslim hanya boleh dalam aspek muamalah (perdagangan, industri,
kesehatan, pendidikan, sosial, dan lain-lain), tetapi tidak dalam hal akidah dan ibadah. Islam mengakui adanya perbedaan,
tetapi tidak boleh dipaksakan agar sama sesuatu yang jelas-jelas berbeda.
Dalam
sejarah Islam, Nabi Muhammad saw. merupakan teladan yang baik dalam
implementasi toleransi beragama dengan merangkul semua etnis, dan apapun warna
kulit dan kebangsaannya.
Kebersamaan merupakan salah satu prinsip yang diutamakan, yang terkait dengan
karakter moderasi dalam Islam, di mana Allah swt berkeinginan mewujudkan
masyarakat Islam yang moderat, sebagaimana firman-Nya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ
شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
[Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu].[43]
C. Kesimpulan
Berdasarkan
apa yang sudah dijelaskan pada pembahasan, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain:
1.Toleransi
adalah sikap memberikan kemudahan, berlapang dada, mendiam-kan, dan menghargai
sebagaimana yang didefenisikan oleh para pakar leksikograf baik Inggris maupun
Arab.
2. Islam
merupakan agama yang menjadikan sikap toleransi sebagai bagian yang terpenting,
sikap ini lebih banyak teraplikasi dalam wilayah interaksi sosial sebagaimana
yang ditunjukkan dari sikap Rasulullah saw. terhadap non muslim pada zaman
beliau masih hidup.
3. Sikap
toleransi dalam beragama adalah menghargai keyakinan agama lain dengan tidak
bersikap sinkretis yaitu dengan menyamakan keyakinan agama lain dengan
keyakinan Islam itu sendiri, menjalankan keyakinan dan ibadah masing-masing.
4. Sikap
toleransi tidak dapat dipahami secara terpisah dari bingkai syariat, sebab jika
terjadi, maka akan menimbulkan kesalah pahaman makna yang berakibat tercampurnya
antara yang hak dan yang batil.
5. Ajaran
toleransi merupakan suatu yang melekat dalam prinsip-prinsip ajaran Islam
sebagaimana terdapat pada iman, islam, dam ihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran al-Karim
Abdul
Malik Salman. al-Tasâmuh Tijâh al-Aqaliyyât
ka Darûratin li al-Nahdah. Kairo: The International Institute of Islamic
Thought, 1993.
Ahmad
Warson Munawwir. Kamus al-Munawwir Arab
Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif. Edisi ke-2. 1997.
Ahmad bin Faris bin
Zakariya Abu al-Hasan, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz V, T.t: Dar al-Fikr,
1979.
Al-Ainy, Abu Muhammad
Mahmud bin Ahmad, 'Umdat al-Qary, Syarh Shahih al-Bukhary. Cet. I;
Beirut: Muassasah ar-Risalaah, 1421 H / 2001 M.
Al-Albany, Muhammad
Nasiruddin, Shahih Adab al-Mufrad. Cet. II; Beirut: Dar ash-Shiddiq,
1415 H.
Al-Asqalany, Ahmad bin Ali
bin Hajar, Fath al-Bary, Cet. I; Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M.
Al-Atsir, Mujiddudin Ibnu,
al-Nihayah fii Gharib al-Hadis. Cet. I; Lahore: Dar Anshar as-Sunnah,
tt., Jilid. II.
Al-Asyin, Musa Syahin, Fath
al-Mun'im Syarh Shahih Muslim. Cet. I; Kairo: Dar al-Syuruq, 1423 H / 2002
M.
Al-Bukhary, Imam Abi
Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin Bardazibah
al-Bukhariy al-Ju'fiy, Shahih al-Bukhari, Juz 1, (Semarang: Maktabah wa
Matba'ah, Usaha Keluarga, 1981 M/1401 H.
--------------, al-Jami'
al-Shahih. Cet. I; Kairo: Maktah as-Salafiyah, 1400 H.
Al-Sijistaniy, Abu
Sawud Sulaiman Muhammad bin al-Asyats. Sunan Abu Dawud, juz III. Indonesia:
Makbatah Dahlan, t.th.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Durru al-Mantsur fi al-Tafsir
al-Ma’tsur, juz II. Beirut:
Dar al-Maktab al-Ilmiah, 1411 H / 1990 M.
Al-Qardhawi, Yusuf. Fatâwâ Mu’âshirah. Mansurah: Dar
al-Wafa’. Cet. ke-3. Jilid ke-2.,
1994.
Al-Mubarakfury,
Shafiyurrahman, Minnat al-Mun'im Syarh Shahih Muslim. Cet. I; Riyadh:
Dar as-Salam, 1420 H / 1999 M.
An-Nasa'i, Ahmad bin Ali
bin Syuaib, Sunan an-Nasa'i. Cet. I; Riyadh, Maktabah al-Ma'arif, tt.
An-Naysaburi, Abi
al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi. Asbab al-Nuzul. Jakarta: Dinamika
Barakah Utama, tt.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ke-2. Cet. Ke-1.
Ibn Iyadh, Iyadh bin Musa,
Ikamal al-Mu'allim bi Fawaid Muslim. Cet. I; al-Manshura: Dar al-Wafa,
1419 H / 1998 M.
Ibnu Majah, Muhammad bin
yazid al-Qazwiny, Sunan Ibnu Majah. Cet. I; Riyadh, Makatah al-Ma'arif,
tt.
Ibn al-Mandzur, Jamaluddin Muhammad bin
Mukram. Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar
Shadir. Cet. ke-1. tt.
M. Echol, Jhon dan Hassan
Shadily, An English-Indonesian Dictionary (Kamus Inggris-Indonesia). Cet.
XXV; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Ma'luf, Louis, al-Munjid
Fi al-Lughah wa al-A'lam. Cet. XXXIV; Beirut: Dar al-Masyriq, 1994.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Alquran. Bandung: Penerbit Mizan, 1996
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Medan: LP2IK, 2003.
..........., Kamus Lengkap Ilmu Hadis. Cet. I; Medan, Perdana Publishing, 2011.
Yohanan Friedmann, Tolerance
and Coercion in Islam: Interfaith Relations in The Moslem Tradition, Cambridge
University Press, United Kingdom, 2003.
Zuhairi Misrawi, Membumikan
Toleransi al-Quran; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Jakarta:
Moslem Moderate Society, 2010.
[1]Yohanan
Friedmann, Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in The
Moslem Tradition, Cambridge University Press, United Kingdom, 2003, h. 1.
[2]Zuhairi
Misrawi, Membumikan Toleransi al-Quran; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, Jakarta: Moslem Moderate Society, 2010, h. 1.
[3] Yusuf al-Qardhawi. 1994. Fatâwâ Mu’âshirah. Mansurah: Dar al-Wafa’.
Cet. ke-3. Jilid ke-2. h. 667.
[4]
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ke-2. Cet. Ke-1. h. 1065.
[6] Jhon M. Echol dan Hassan Shadily, An English-Indonesian Dictinary (Kamus
Inggris Indonesia), (Cet. XXV; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003),
h. 595.
[7]Abdul Malik Salman. 1993. al-Tasâmuh Tijâh al-Aqaliyyât ka Darûratin
li al-Nahdah. Kairo: The International Institute of Islamic Thought, h. 2.
[8]
Jamaluddin
Muhammad bin Mukram Ibn al-Mandzur. t. th. Lisân
al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir. Cet. ke-1. Jilid 7. h. 249.
[9]Ahmad Warson Munawwir.
1997. Kamus al-Munawwir Arab Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif. Edisi ke-2. Cet. Ke-14. h. 657.
[11]Ahmad bin Faris bin
Zakariya Abu al-Hasan, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz V, T.t: Dar al-Fikr,
1979.
[12]Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, (Cet.
I; Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M), Jilid. I, h. 94.
[14] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bary, (Cet. I; Madinah
al-Munawarah, 1417 H / 1996 M), Jilid. I, h. 94.
[15] Muhammad
Nasiruddin al-Albany, Shahih adab al-Mufrad. (Cet. II; Beirut: Dar
ash-Shiddiq, 1415 H), h. 122.
[19] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn
al-Mughirah bin Bardazibah al-Bukhariy al-Ju'fiy, Shahih al-Bukhari, Juz
1, (Semarang: Maktabah wa Matba'ah Usaha Keluarga, 1981 M/1401 H, h. 15.
[21] Al-Bukhari, Shahih
..., Jilid. I, h. 30. dan riwiyatkan pula oleh Ahmad bin Ali bin Syuaib
an-Nasa'i, Sunan an-Nasa', Kitab; Salat Malam, Bab; Pertentangan diantara
Aisyah tentang Salat Malam, (Cet. I; Riyad, Maktabah al-Ma'arif, t.t), h. 270, dan
Muhammad bin Yazid al-Qazwiny Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mâjah,
Kitab; Zuhud, Bab; Konsisten Dalam Beramal, (Cet. I; Riyad, Maktabah
al-Ma'arif, tt.,, h. 702.
[22] Ibn Hajar Al-‘Asqalany,
Fath ...., Jilid. I, h. 164.
[23] Q.S. al-Hajj/22: 78.
[24] Q.S. al-Baqarah/2: 185.
[25] Muslim bin Hajjaj
bin Muslim al-Qusyairy an-Nisabury, al-Musnad al-Sahih, dalam Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Minnat
al-Mun'im Syarh Sahih Muslim, Cet. I; Riyad: Dar as-Salam, 1420 H /1999 M,
Jilid. IV, h. 228.
[27] Iyadh bin
Musa bin Iyadh, Ikamal al-Mu'allim bi Fawaid Muslim, Cet. I; al-Manshura:
Dar al-Wafa, 1419 H / 1998 M, Jilid VIII, h. 164.
[28] Musa Syahin
al-Asyin, Fath al-Mun'im Syarh Shahih Muslim, Cet. I; Kairo: Dar
al-Syuruq, 1423 H / 2002 M, Jilid X, h. 164
[31]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab;
Jihad, Bab; Do'a Bagi
Orang-orang Musyrik, Jilid. II, h. 341.
[32]Abu
Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Ainy, 'Umdat al-Qary, Syarh Shahih al-Bukhari, (Cet.
I; Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1421 H / 2001 M), Jilid. XIV, h.291.
[33]
Imam Ahmad bin Muhamad bin
Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin
Anas bin 'Auf bin Qasithi bin Marin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa'labah bin
Uqbah bin Sha'ab bin Ali bin Bakar bin
Wail, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, tt),
h. 266,
dan dinyatakan oleh Al-Albani sebagai hadis hasan, lihat Muhammad
Nasiruddin al-Albany, Shahih Adab ..., h. 122. Adapun teks hadis tersebut selengkapnya adalah:
حدثنا عبد الله
حدثنى أبى ثنا أَبُو الْمُغِيرَةِ ثَنَا مُعَانُ بْنُ رِفَاعَةَ
حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ يَزِيدَ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ
مِنْ سَرَايَاهُ قَالَ فَمَرَّ رَجُلٌ بِغَارٍ فِيهِ شَيْءٌ مِنْ مَاءٍ قَالَ
فَحَدَّثَ نَفْسَهُ بِأَنْ يُقِيمَ فِي ذَلِكَ الْغَارِ فَيَقُوتُهُ مَا كَانَ
فِيهِ مِنْ مَاءٍ وَيُصِيبُ مَا حَوْلَهُ مِنْ الْبَقْلِ وَيَتَخَلَّى مِنْ
الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ لَوْ أَنِّي أَتَيْتُ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَإِنْ أَذِنَ لِي فَعَلْتُ وَإِلاَّ
لَمْ أَفْعَلْ فَأَتَاهُ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي مَرَرْتُ بِغَارٍ
فِيهِ مَا يَقُوتُنِي مِنْ الْمَاءِ وَالْبَقْلِ فَحَدَّثَتْنِي نَفْسِي بِأَنْ
أُقِيمَ فِيهِ وَأَتَخَلَّى مِنْ الدُّنْيَا قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ
بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَغَدْوَةٌ أَوْ رَوْحَةٌ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا وَلَمُقَامُ أَحَدِكُمْ فِي الصَّفِّ
خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِهِ سِتِّينَ سَنَةً
[Telah menceritakan kepada
kami Abdullah, bercerita kepadaku Ubay,
telah bercerita kepada kami Abu al-Mughirah, bercerita kepada kami Mu’an
ibn Rifa’ah dan bercerita kepadaku Ali ibn Yazid dari Qosim dari Abi Umamah
berkata: kami keluar bersama Rasulullah saw. pada suatu perjalanan diantara
beberapa perjalanannya. Kemudian Umamah berkata telah lewat seorang laki-laki
di depan gua yang terdapat di dalamnya air. kemudian berkata, maka dia berkata
pada dirinya untuk menetap di dalam gua tersebut, maka yakinlah pendiriannya
bahwa di dalam gua terdapat air dan menyebabkan apa yang ada di sekelilingnya
menjadi baqol (tunas) dan menjadikannya menyendiri dari dunia, kemudian
dia berkata andaikan aku datangi Nabiyallah saw. dan aku ceritakan yang
demikian itu padanya, apabila beliau mengizinkan padaku maka aku kerjakan dan
bila tidak maka tidak aku kerjakan, maka didatangilah Nabi saw. dan dia
berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya aku melewati sebuah gua yang terdapat di
dalamnya sumber air dan tunas-tunas, maka aku berkata pada diriku untuk menetap
(bertapa/semedi) di gua itu sehingga aku dapat mengasingkan diri dari dunia.
Berkata Rasululllah saw. “sesungguhnya aku tidak diutus untuk orang-orang
Yahudi dan Nasrani akan tetapi aku diutus untuk orang-orang yang lurus
terpuji,” dan demi Zat yang diriku ada pada genggamannya bahwa berjihad di
waktu pagi dan petang lebih baik dari
pada dunia dan segala isinya dan orang yang berdiri pada barisan jihad lebih
baik dari sholatnya enam puluh tahun].
[36] Abu
al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi, Asbāb al-Nuzūl, Dar al-Hadis, Kairo, 2003, h. 28. Sebab turunnya ayat tersebut hendak
menjelaskan bahwa pada mulanya Rasulullah saw. mempunyai keyakinan sebagaimana
umat Islam pada umumnya, yang menganggap bahwa semua orang-orang non-Muslim akan
masuk neraka, Tetapi Allah swt. dengan cepat dan tegas menurunkan ayat ini,
bahwa umat agama-agama lain mempunyai kesempatan yang sama untuk masuk surga
sejauh mereke beriman kepada Allah, hari akhirat, dan beramal saleh.
[40]M. Quraish Shihab, Wawasan
Alquran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, 2003, h. 65.
[41]Toleransi
Umar ini lalu diabadikan dalam sebuah piagam perdamaian yang dinamakan al-‘Uhda
al-Umariyyah yang mirip dengan Piagam Madinah. Di bawah kepemimpinan Umar
hak dan kewajiban mereka dijamin serta dilindungi. Tak heran jika kemudian
sebagai “balas budi”, Sophorinus juga menyatakan jaminannya, “Kami tidak akan
mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru di kota dan
pinggiran kota kami;…Kami juga akan menerima musafir Muslim ke rumah kami dan
memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam…Kami tidak akan
mengucapkan ucapan selamat yang digunakan Muslim; Kami tidak akan memasang
salib … di jalan-jalan atau pasar-pasar milik umat Islam.” Lihat al-Thabari, Tarikh
al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Thabari: The Caliphate of
Umar ibn al-Khathab, translation: Yohanan Fiedmann, Albay, 1992, h. 191. Para
sahabat yang mulia lainnya banyak yang mengimplementasikan toleransi dalam berbagai sisi kehidupan terutama
bermasyarakat (muama-lah) seperti jual beli dan transaksi lainnya yang
tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebut saja Abdurrahman bin ‘Auf,
seorang sahabat terkemuka, memulai usaha di hari-hari pertamanya saat tiba di
Madinah dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa’, milik Yahudi (Shahih
Bukhari, No. 3780). Ali bin Abu Thalib, menantu Nabi saw., sebagian
persiapan walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani Qainuqa’ (Shahih
Muslim, No. 5242). Bahkan ternyata Rasulullah saw. pernah menggadaikan baju perangnya dengan 30
sha’ gandum kepada seorang Yahudi Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibn Hajar
al-Asqalany, Fathul Bari, Jilid VII, h. 461.
[43] Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 143.
7 comments:
alhamdulillah, terima kasih... sangat berguna artikelnya.
kunjungi web kami di www.duniawisataku.com
terima kasih atas ilmunya.
Assalamu'alaikum
Izin copy paste ya tulisannya
Terimakasih banyak, ini sangat membantu
Masya Allah, sungguh sangat membantu artikelnya ya akhi.
Jazakumullah..
Sipp
Akhir dari zaman
Posting Komentar