Pembekalan PPL Tahun 2012

Yaser Amri, MA (kanan) saat memberikan materi pada kegiatan Pembekalan Mahasiswa PPL Tahun 2012.

Gedung Tarbiyah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2011 lalu.

Gedung Dakwah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2013.

Gedung STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa merupakan perguruan tinggi satu-satunya yang berprediket Negeri di Kota Langsa

International Conference

Pose ketika mengikuti Konferensi Internasional di STAIN ZCK dan AICIS

Senin, 23 Agustus 2010

Menilik Teori India*

The outstanding fact of the history of South-East Asia in the 12th century was the rise of a Muslim kingdom, Samudra Pasai. Many historians believe that the said period was the turning point of islamization in Indonesia by the Indians. Therefore, Snouck Horgronje held that Islam which was received by Indonesian already experienced a process of adaptation towards the world of Hinduism. This made it easier for this new religion to accomodate once again with to a degenerated Hinduism. The latter Indonesian Muslim then re-analyzed the historical facts regarding the emergence of Islam in the archipelago which, come to the conclusion that the religion might come in the first century of Hegira brought by the Arabs directly from the land of Arabia. After the two Seminars which were held in Medan and Kuala Simpang stated that Islam came to Indonesia through the direct contact with the Arabs resulted to the rise of two theories called Theory of India and the Theory of Arab. The theory of India has often been attacked and defended since, but not really subtituted.

A. PENDAHULUAN
Hubungan antara anak benua India dengan Nusantara sudah ada setidaknya sejak abad ke-2 Masehi. Peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha adalah saksi sejarah adanya interaksi dan pembauran antara kedua bangsa tersebut. Setelah Islam masuk dan menyebar di Nusantara ternyata didapati Islam yang ada di Nusantara berbeda dengan Islam yang ada di tempat asalnya, Arab Saudi dan Jazirah Arab pada umumnya (Azra, 2004: xix). Hal ini bisa disebabkan oleh 3 kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah karena Islam di Nusantara mendapat pengaruh lokal sehingga berbeda dengan Islam yang ada di Timur Tengah. Kemungkinan kedua adalah Islam yang datang ke Nusantara memang berbeda dari Islam yang ada di Timur Tengah karena sudah mendapat pengaruh daerah lain sebelum sampai ke Nusantara. Kemungkinan ke-tiga dan menurut penulis ini yang paling mungkin, yaitu gabungan antara kedua kemungkinan tersebut di atas. Artinya Islam yang datang memang sudah mendapat pengaruh luar, kemudian ditambah pula dengan masuknya pengaruh lokal.
Intelektual Muslim Nusantara tidak merasa nyaman bila dikatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara bukanlah Islam yang asli. Selain alasan prestise, mereka memang mendapatkan bukti-bukti sejarah tentang keberadaan orang Arab di Nusantara pada masa-masa awal Islam, sehingga untuk mengatakan bahwa tradisi Islam di Nusantara tidak punya kaitan dengan Timur Tengah adalah tidak tepat. Azra mendapatkan hubungan Nusantara dengan Timur Tengah dalam masalah keilmuan dan keagamaan sudah dimulai setidaknya sejak abad XVII Masehi (Azra, 2004: xix). Bahkan diyakini bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad I Hijriah langsung dari Arab, sebagaimana dihasilkan oleh seminar di Medan tahun 1963 dan Kuala Simpang tahun1980 tentang masuknya Islam ke Indonesia (Daulay, 2007: 12)
Bagaimanapun, fakta bahwa tradisi Islam di Nusantara berbeda dengan tradisi Islam Timur Tengah, masih menyisakan pertanyaan. Tradisi Islam tersebut tentunya terbentuk selama berlangsungnya proses islamisasi di Nusantara. Proses islamisasi ini melewati beberapa saluran, diantaranya yang paling berpengaruh adalah pendidikan dan sufisme, disamping perdagangan, perkawinan dan kesenian. Dalam proses islamisasi tersebut, tidak dapat dipungkiri pentingnya peran beberapa ulama muslim India atau keturunan India – tanpa niat mengecilkan peran ulama Arab. Bahkan dalam pembaruan pendidikan Islam di Indonesia masih didapatkan peran ulama muslim India secara signifikan.

B. TEORI KEDATANGAN ISLAM DI NUSANTARA
Sebuah kenyataan yang tak mungkin lagi dipungkiri bahwa tanah kelahiran Islam adalah Arab, sehingga di mana pun di belahan dunia ini, Islam menjadi identik dengan Arab. Terlahir sebagai orang Arab adalah sebuah keberuntungan setidaknya karena berbagi tempat kelahiran dengan Islam sekaligus menguasai bahasa kitab suci agama tersebut. Nampaknya ada suatu kebanggaan bila dalam tubuhnya mengalir darah Arab, walaupun sudah sulit ditelusuri pangkalnya. Di India, orang yang memakai nama belakang Siddique dipercayai sebagai keturunan Abu Bakar, Farooqi sebagai keturunan Umar. Sayyid atau Syed yang dicantumkan di depan namanya menunjukkan dia adalah keturunan Ahlul bait. Nama-nama Arab pun banyak dipakai sebagai marga yang diberikan secara turun menurun seperti Anshari, Qureshi dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa darah nenek moyang mereka sudah bercampur dengan darah Arab.
Karena Islam bermula dari Arab, maka tentulah orang Arab yang paling bertanggungjawab dengan tersebarnya Islam ke sebagian besar daerah di dunia. Masuknya Islam ke Indonesia berbeda dengan di India. Islam masuk ke India melalui Sindh dan Multan dalam bentuk penaklukkan yang dipimpin oleh Muhammad bin Qasim di bawah perintah langsung dari khalifah bani Umayyah, penguasa Timur Tengah. Sebaliknya, tidak ada penaklukkan dalam sejarah masuknya Islam ke Indonesia sebagaimana yang terjadi di India.
Sejarawan sepakat bahwa masuknya Islam ke Nusantara – melalui Sumatera bagian utara – murni merupakan keberhasilan dakwah secara damai, tanpa penaklukkan dan pertumpahan darah. Namun masih ada daerah yang blur dalam ranah sejarah kedatangan Islam ke Indonesia, paling tidak tentang 3 hal: Tempat asalnya, pembawanya dan waktu kedatangannya. Ada beberapa teori menyangkut kedatangan Islam ke Nusantara. Teori yang pertama adalah teori India, yang mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara melalui India pada abad 12 Masehi. Teori ini didukung oleh ilmuwan-ilmuwan Belanda, diantaranya Pijnappel, Moquette, Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrike, Hall dan Snouck Hurgronje (Azra, 2004: 2-4). Teori yang berseberangan dengan teori India adalah teori Arab. Teori ini mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara langsung dari Arab. Pendukung teori ini adalah Crawfurd, Niemann dan Naquib Al-Attas. Selain Naquib Al-Attas ada sejumlah ilmuwan keturunan Arab lainnya yang gigih mempertahankan teori ini.
1. Waktu kedatangan Islam ke Nusantara
Teori yang mempercayai bahwa Islam masuk pada abad 12 Masehi berlandaskan pada kunjungan Marco Polo dan Ibnu Bathutha ke daerah Aceh pada tahun 1292 Masehi. Menurut keterangannya, rakyat Perlak sudah menganut agama Islam (Yunus, 1996: 11). Ia juga menegaskan adanya kesultanan Islam Samudra Pasai (Shihab, 2009: 6). Begitu juga dengan Ibnu Bathutha (1325 M), dalam perjalanan pulang-pergi ke Tiongkok ia singgah di Pase yang diperintah oleh seorang raja bernama Al-Malikuz Zahir (Yunus, 1996: 11).
Teori penentuan abad XII Masehi sebagai kedatangan pertama Islam di Nusantara memang sangat lemah. Mahmud Yunus beralasan bahwa pada abad XII Masehi sudah banyak ahli agama yang termashur di Aceh. Ini menandakan bahwa Islam sudah masuk sebelum itu karena tidak masuk akal bila sudah ada orang yang ahli dalam Islam ketika agama itu baru memasuki daerah tersebut. Alwi Shihab memperkuat sangkalan itu dengan mengatakan bahwa kunjungan Marco Polo bukanlah awal masuknya Islam ke Aceh. Keberadaan muslim waktu itu menunjukkan bahwa Islam sudah ada di Nusantara jauh sebelum kunjungan Marco Polo (Shihab, 2009: 7 – 8). Sangkalan yang lebih kuat lagi adalah adanya kerajaan Islam Perlak pada tahun 840 Masehi dengan rajanya yang pertama Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah. Temuan ini dilontarkan oleh Hasjmy setelah mengkaji naskah-naskah kuno, seperti kitab Idharul Haq karangan Abu Ishaq Makarani Al- Fasy, Tazkirah Jumu Sulthan As-Salathin karangan Samsul Bahri serta kitab silsilah raja-raja Perlak dan Pasai (Hasjmy, 1989: 144)

2. Tempat asal kedatangan Islam ke Nusantara
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tempat asal Islam adalah Jazirah Arab sehingga tak ayal Islam menjadi identik dengan Arab. Kemanapun Islam pergi, ia tak akan terlepas dari pengaruh tradisi daerah asalnya. Begitu juga sebaliknya, tradisi asli daerah tertentu akan tetap berpengaruh terhadap agama yang baru datang. Seno Harbangan Siagian dalam Shihab mengatakan bahwa setiap orang Indonesia bagaimanapun majunya tetap terpengaruh oleh agama asli yang sedikit banyaknya melekat pada keyakinan barunya (2009: 1). Bila kita terapkan konsep yang ditawarkan Siagian pada konteks tradisi Islam di Indonesia maka bisa dikatakan bahwa Islam setelah datang ke Indonesia mendapat pengaruh agama yang sudah ada sebelumnya yaitu Hindu dan Budha yang juga sudah mendapat pengaruh agama asli Indonesia sebelum datangnya Hindu dan Budha itu sendiri. Maka, bercampurlah tradisi Arab, Hindu, Budha, dan Aninisme dalam tradisi muslim Indonesia.
Sesuatu yang masih menjadi perdebatan panjang menyangkut tempat asal kedatangan Islam di Nusantara adalah apakah agama Muhammad tersebut langsung datang dari Arab, sehingga tradisi muslim Indonesia yang tercipta memang seperti yang telah dijelaskan di atas atau agama tersebut sudah singgah lebih dulu di India sebelumnya yang nota bene rakyatnya juga adalah pemeluk agama Hindu dan Budha. Pijnappel berpendapat bahwa Gujarat dan Malabar adalah asal muasal Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan Malabar bemahzab Syafi'i dalam fiqh sama seperti di Indonesia. Sementara Gujarat, menurut Moquette, batu nisan yang dipakai umat Islam di sana sama dengan yang ditemukan di Pasai bertanggal 27 September 1428 Masehi. Batu nisan ini juga mirip dengan makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419) di Gresik. Namun, Fatimi justru melihat bahwa batu nisan tersebut berasal dari Bengal sehingga dia mengatakan asal muasal Islam di Indonesia adalah Bengal, tapi hujjah ini sulit diterima karena Muslim di Bengal bermazhab Hanafi. Winstedt mengemukakan bahwa karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka tentu Islam juga diimpor dari sana. Teori ini dibantah oleh Marrison. Walaupun batu-batu nisan tersebut didatangkan dari Gujarat, ataupun Bengal, tidak lantas menandakan bahwa Islam berasal dari sana. Menurut Marrison ketika raja pertama Samudra Pasai wafat, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu (azra, 2004: 2 – 5).
Pernyataan Marrison tentang masa keislaman Gujarat bertentangan dengan K. Ali yang mengatakan dalam bukunya A Study of Islamic History, bahwa Gujarat dan Bombay termasuk daerah India yang pertama ditaklukkan pada masa Walid I (1952: 165). Kalau pun belum ada pemerintahan atau penguasa Islam di sana bukan berarti tidak ada orang Islam, mengingat Gujarat adalah salah satu kota yang penting dalam perdagangan. Teori Gujarat bisa menjadi lemah bila dihadapkan pada masalah mazhab fiqh yang dianut muslim Gujarat. Muslim Gujarat adalah penganut Hanafi sebagian dan sebagian lainnya Syiah. Namun ada temuan lain yang menguatkan teori Gujarat, yaitu pernyataan bahwa muslim pertama yang datang ke Indonesia ada juga yang Syiah. Terbukti dengan adanya tradisi Syiah pada Muslim Indonesia yang sudah ada sejak dulu.
Daerah yang paling mungkin menjadi tempat asal Islam datang ke Indonesia adalah Coromandel dan Malabar. Teori ini dipegang oleh Thomas Arnold. Aktivitas perdagangan Coromandel dan Malabar dengan Achipelago sudah ada sejak lama. Teori ini disokong oleh kesamaan mahzab fiqh yang dianut penduduk kedua tempat tersebut dengan mahzab fiqh di Indonesia yaitu Syafi'i (Arnold, 1913: 365). Meskipun demikian, Arnold tidak menutup kemungkinan pedagang Arab juga sudah ada di Indonesia sejak awal abad Hijriah. Hal ini sejalan dengan kata-kata A. H. Johns yang menolak penyederhanaan pada satu teori saja menyangkut kedatangan Islam di Indonesia, " there is no single big-bang theory which can account for the spread of islam" (Peter James Marshall et al., 1989: 130)
Bila kita telusuri sejarah Coromandel dan Malabar pada masa pra-Islam ternyata kedua tempat ini memang sudah ada kontak dengan dunia luar dalam rangka perdagangan terutama dengan Yunani, Yahudi, dan Arab. Didapatkan perkampungan Arab pra-Islam di Chaul, Kalyan, Supara dan pantai Malabar. Pedagang Arab juga biasanya menulusuri pantai Coromandel dalam perjalanan dagang ke China. Setelah orang Arab memeluk Islam, hubungan dagang terus berlanjut dan koloni Arab menjadi perkampungan Islam. Mereka ada di tiap dermaga-dermaga besar seperti Cambay, Chaul dan Honawar. Di perkampungan lain sepanjang laut Bengal kehadiran orang-orang Islam bisa ditelusuri dari abad VIII Masehi. Perkampungan Arab terbesar memang pantai Malabar di mana komunitasnya tercipta dari perkawinan campuran antara wanita pribumi dengan pelayar-pelayar Arab. Jadi, sebelum Islam masuk dari Asia tengah melalui Sindh dan Multan dalam bentuk penaklukkan, ternyata Muslim Arab sudah ada sebelum itu di pantai-pantai perdagangan seperti Malabar. Orang-orang Mappila di Malabar adalah komunitas pertama yang tertarik dengan Islam dan mempunyai kedekatan khusus dengan orang-orang Arab (Sumber: http://thesouthasianidea.wordpress.com).
Alwi Shihab mencoba membantah teori Malabar meski pun nama tempat ini ada disebutkan dalam riwayat Hikayat Raja-Raja Aceh. Beliau lebih setuju mengatakan bahwa Islam datang dari Mekkah namun melewati Malabar, dari sana perjalanan dilanjutkan ke Nusantara. Al-Sayyid Alawi bin Thahir Al-Hadrami juga menentang teori Malabar bila landasannya adalah kesamaan mahzab. Kata-kata Beliau, dalam Shihab, menarik untuk dikutip,
Saya yakin, seandainya sang penulis berada di Malabar, niscaya akan berpendapat bahwa Islam datang dari negeri melayu dengan dalih mahzab kami di Malabar adalah Syafi'i seperti halnya di Melayu. Kemungkinan yang sama bagi penduduk Somalia dan Afrika Timur untuk mengatakan bahwa Islam datang dari Malabar melalui Samudra India, maka tesis tersebut menjadi amat lucu (2009: 17).
Dilihat dari kata-kata Sayyid Alawi di atas tampaknya justru kurang memahami permasalahan. Mungkin beliau lupa bahwa persamaan mazhab yang dibicarakan di sini hanyalah teori pendukung bukan main teory. Bangunan teori keseluruhannya tentunya dimulai dari adanya kecurigaan bahwa Islam datang dari anak benua India, namun didapatkan mazhabnya berbeda. Bila persamaan mazhab dianggap sesuatu yang penting untuk mempertimbangkan kecurigaan awal tadi maka teori ini tidak langsung tertolak karena ternyata ada daerah India yang mempunyai interaksi yang akrab dengan Nusantara dan bermazhab sama. Itu lah sebabnya kenapa masalah mazhab kemudian diperbincangkan.
Persamaan mazhab menjadi tidak penting kalau diyakini bahwa Islam datang pada abad VII Masehi sebelum adanya mazhab Hanafi. Dari keempat mazhab Sunni, Hanafi adalah yang paling tua yang lahir pada tahun 699 M. Dan wafat tahun 767 M. Sebelum adanya mazhab sunni yang empat, dikenal juga mazhab imam Ja'far Shadiq, salah satu guru imam Hanafi (Khan, 1991: 61). Apakah Islam yang datang dari India itu bermazhab Ja'fariyah?, perlu diteliti lebih lanjut.
Naquib Al-Attas menyimpulkan sebelum abad XVII seluruh literatur keagamaan bukanlah hasil karya muslim India melainkan berasal dari Arab dan Persia. Bahkan yang diduga dari Persia pun ternyata berasal dari Arab, atau Arab –Persia. Azra mengutip kata-kata Al-Attas sebagai berikut: "Benar bahwa sebagian karya itu ditulis di India, tetapi asal muasalnya adalah Arab atau Persia; atau karya-karya itu – sebagian kecilnya berasal dari Turki atau Maghrib; dan apa yang lebih penting, kandungan keagamaannya adalah Timur Tengah, bukan India" (2004: 9).
Menyangkut Persia sebagai tempat asal Islam di Indonesia, Shihab mengatakan memang didapatkan juga kehadiran Persia di Aceh pada abad XV Masehi dan di Sumatera bagian selatan pada abad XVII. Tambah lagi, salah seorang ulama Islam di Kesultanan Samudera Pasai, Al-Qadhi Amir Sayyid Al-Syirazi adalah asli orang Persia. Shihab mengakui bahwa kontribusi kaum muslim Persia cukup besar dalam mendorong dakwah Islam di Indonesia namun itu semua tak terlepas dari peran orang Arab karena Persia sudah memeluk Islam pada masa Umar bin Khattab (2009: 18).
Penulis setuju dengan pentingnya peran muslim Arab dalam penyebaran Islam di dunia. Ini tak lain karena memang merekalah yang pertama sekali menerima Islam dan mereka pula yang pertama kali menyebarkannya. Namun setelah Islamnya Persia, agak sulit memisahkan antara peran Arab dan peran Persia dalam penyebaran Islam karena keduanya sudah saling bahu membahu dan bekerja sama dalam menyebarkan Islam. Peran orang Persia bahkan sudah dirasakan sejak periode Nabi Muhammad SAW. Salman Al-Farisi adalah panglima yang ahli dalam strategi perang pada masa Nabi. Pada masa Umar sampai masa Umayyah kontribusi orang-orang Persia makin meningkat. Namun diakhir pemerintahan dinasti Umayyah mereka merasa diperlakukan tidak adil sehingga ikut ambil bagian dalam meruntuhkan dinasti Umayyah dan mensupport Abbasiyah. K. Ali menggambarkan keadaan muslim Persia menjelang runtuhnya dinasti Umayyah, "Non-Arabian Muslims in general, and Persian Muslims in particular, who fought for Islam and even many of whom died for Islam were not given the social and economic equality with the Arab Muslims" (1952: 189).
Pengaruh Persia juga terlihat di anak benua India, setidaknya sejak Sasanid menguasai wilayah barat laut India. Persia dan India Barat laut pada masa Sasanid, terlibat aktif dalam interaksi politik dan budaya. Pertukaran budaya tingkat rendah juga terjadi antara India dan Persia sepanjang masa ini. i. e. Orang Persia mengimport permainan Chaturanga (red. Catur) dari India (Sumber: http://en.wikipedia.org). India adalah tempat yang paling unik yang pernah ada di belahan dunia. Di daerah ini sudah tercampur bermacam budaya dan bahasa. Disamping bahasa Hindi, mereka pernah memakai bahasa Sanskerta, bahasa Persia, dan bahasa Turki. Percampuran dari bahasa-bahasa tersebut kemudian menjadi bahasa Urdu. Ketika dijajah Inggris mereka juga bersinggungan dengan bahasa Inggris. Professor A. R. Momin berkomentar tentang kedekatan Persia dengan Turki dan India:
India is perhaps the most diverse country in the world. This diversity is reflected in the ethnic composition of population, languages and dialects, religious beliefs and practices, customs and traditions. The Turkish sultans spoke Turkish as their mother tongue, but their literary and cultural language was Persian. For nearly six hundred years Persian enjoyed a position of cultural, political and literary pre-eminence in India. Consequently, it influenced, to a greater or lesser degree, a large number of Indian languages (Sumber: http://www.iosminaret.org).
Satu hal yang perlu dicatat, bangsa India selalu meninggalkan budaya dan kepercayaannya di mana pun dia singgah. Itu terbukti dengan kerajaan-kerajaan yang tersebar di Asia Tenggara dan penyebaran agama Hindu dan Budha sampai ke Timur Jauh. Sangat masuk akal nantinya ketika mereka sudah memeluk Islam juga melakukan hal yang sama.
Setelah kita ketahui hubungan India dengan Persia dan Arab, pernyataan Al-Attas tentang karya tulis yang menurut beliau asalnya adalah Arab dan Persia mungkin perlu penjelasan lebih jauh. Azra kurang berminat membicarakan isi pernyataan Al-Attas tersebut sehingga dia tidak menganggap penting untuk menyebutkan karya tulis yang dianggap asalnya dari Arab dan Persia itu. Penulis juga tidak mengetahui karya tulis apa yang dimaksud Al-Attas. Tak terhitung jumlah buku berbahasa Arab dan Persia yang ditulis oleh orang India. Dalam bidang obat-obatan saja setidaknya ada 15 buku Sanskerta yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Buku Kalila wa Dimna sangat dikenal di Arab dan diketahui versi aslinya berbahasa Persia, padahal cerita itu diterjemahkan dari Pancha Tantra. Kebingungan seperti ini adalah konsekwensi yang wajar akibat dari sebuah interculture (Sumber: http://thesouthasianidea.wordpress.com).

3. Pembawa Islam ke Nusantara
Dalam sejarah penyebaran Islam periode orthodox caliphs, Islam disebarkan melalui penaklukan Jazirah Arab, mulai dari Hijaz, Yaman, Syiria, Iraq dan Persia lalu merambah ke Mesir. Menjelang berakhirnya abad I Hijriah dinasti Umayyah sedang menikmati golden periodnya di bawah pimpinan Walid I dengan perluasan wilayah yang meliputi Afrika Utara hingga Spanyol, Asia Tengah hingga perbatasan China, dan Asia Selatan sampai Gujarat dan Bombay (Ali, 1952: 165-7, Hitti, 1994). Model islamisasi yang dilakukan pemerintahan Umayyah adalah penaklukkan daerah yang dilakukan dalam bentuk menjalar atau merambah dari satu daerah ke daerah lainnya bukan meloncat-loncat. Sampai berakhirnya abad I Hijriah belum ada terdengar islamisasi itu sampai ke Nusantara. Baru pada abad XII ada kepastian bercokolnya pemerintahan Islam di Indonesia. Dugaan paling mutakhir adalah berkisar tahun 840 Masehi dengan berdirinya Kerajaan Peureulak (Hasjmy, 1989: 144).
Tak diragukan lagi pembawa Islam ke India adalah muslim Arab melalui 2 jalur. Yang pertama adalah penaklukkan Sind dan Multan oleh Muhammad bin Qasim tahun 711 Masehi. Penaklukan ini adalah bagian dari skenario besar dari expedisi tentara Umayyah ke Asia Tengah, Asia Selatan dan Afrika Utara (Hitti, 1994: 206-15). Yang kedua adalah masuknya Islam melalui jalur perdagangan di pesisir sebelah barat India; Gujarat, Coromandel dan Malabar. Telah disebutkan di atas bahwa di daerah pesisir ini terdapat beberapa pemukiman koloni Arab yang pada akhirnya membaur dengan penduduk asli. Setelah India memeluk Islam, muncul sebuah kerajaan Islam di Malabar yang bernama Arakkal. Pada mata uang yang dikeluarkan dinasti ini tertera tahun 122 Hijriah, bertepatan dengan 740 Masehi. Dinasti ini tentunya sudah ada beberapa tahun sebelum 740 Masehi (Sumber: http://www.defence.pk).
Berbicara tentang pembawa Islam pertama ke Nusantara kemungkinannya hanya 2; India dan Arab. Sulit menentukan siapakah yang datang terlebih dahulu, bangsa Arab ataukah India. Adanya hubungan perdagangan antara pesisir barat India dengan Aceh tidak berarti bahwa itu terbatas hanya pada orang India saja, mengingat di daerah tersebut sudah ada permukiman Arab. Melihat dekatnya jarak Malabar dengan Aceh, tidak mungkin orang Arab hanya ada di Malabar saja, tentunya juga ada di Aceh. Menurut Azra hubungan antara Nusantara dan Arab sudah dimulai sejak zaman antiquity. Perjalanan dagang kapal-kapal Arab ke China rutenya melintasi Nusantara sehingga mereka melakukan pengembaraan juga di Nusantara (2004: 19).
Sayangnya, setelah sekian lama terjalin hubungan antara Nusantara dengan Arab, minim sekali adanya budaya Arab yang diadopsi masyarakat Indonesia pra-Islam. Berbeda keadaannya dengan budaya India yang begitu kental dan mendarah daging dengan masyarakat Nusantara. Bahasa Jawa kuno yang terakulturasi dengan Sanskerta dan agama Hindu serta Budha adalah produk budaya India yang diekspor ke Nusantara. Istilah-istilah Arab dan Persia yang masuk ke dalam bahasa Indonesia pada masa-masa awal Islam diduga kuat melalui pengaruh orang-orang India. Dilihat dari bahasa dan istilah-istilah yang dipakai pada masa kerajaan peureulak dan Samudra Pasai, jelas sekali itu adalah istilah-istilah yang juga di pakai di India. Istilah-istilah Persia yang dipakai pada masa itu antara lain adalah syah, makhdum, maulana, hikayat. Beberapa istilah Tamil juga masuk ke Indonesia seperti Lebai dan kenduri. Argumen linguistic ini menguatkan kemungkinan orang India lah yang membawa Islam ke Indonesia.
Bila yang dimaksud dengan "pembawa Islam" itu adalah muslim yang pertama datang ke Nusantara, maka tidak ada kepastian tentang itu seperti yang sudah diuraikan di atas, meski banyak pertimbangan yang lebih condong ke muslim India. Tapi bila yang dimaksud adalah orang-orang yang menyiarkan Islam di Indonesia pada masa-masa awal Islam datang ke negeri ini maka jawabannya adalah ulama India, meskipun beberapa di antara mereka adalah keturunan Arab. Sebut saja misalnya Wali Songo, Nuruddin Arraniri dan Saif al-Rijal. Hasil peneletian Sayyid Zain bin Abdullah Alkaf mengatakan bahwa ulama-ulama yang disebut dengan wali songo adalah keturunan Azamat khan, kecuali Sunan Kali Jaga. Menurut Alkaf, Azamat khan adalah orang Alawiyyin yang tinggal di India. Beliau menelusuri silsilah keturunannya dan mendapatkan bahwa Azamat khan adalah keturunan Ahmad Al-Muhajir – cucu imam Ja'far Al-Shadiq yang berhijrah ke Hadramawt – tokoh sufi tarekat Alawiyah (Shihab, 2009: 28-42). Penulis meragukan Azamat Khan adalah keturunan Arab, karena Khan adalah marga orang India yang menurun ke anak cucu secara patrilineal. Bagaimana mungkin seorang Arab mempunyai keturunan bermarga Khan, kecuali bila silsilah itu juga memasukkan garis keturunan dari pihak ibu.
Garis silsilah Maulana Malik Ibrahim bersatu dengan wali songo lainnya pada Jamaluddin Husain Akbar. Secara berturut-turut, beliau adalah keturunan Ahmad Jalal Syah, Abdullah Khan, Abdul Malik (Datuk keluarga Azamat Khan). Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan Jamaluddin Husain Akbar dari garis Zainal Alam Barakat. Sedangkan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari garis Ali Nurul Alam, keturunan Jamaluddin yang lain. Sunan Ampel yang mempunyai keturunan 5 sunan (Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Lamongan, Sunan Demak dan Sunan Kudus) adalah keturunan Jamaluddin Husain Akbar dari garis Ibrahim Zain al-Akbar. Keturunan Ibrahim Zain al-Akbar yang lain adalah Maulana Ishak yang menurunkan sunan Giri (Shihab, 2009: 32)
Nuruddin Al-Raniri adalah salah satu ulama di Aceh yang lahir di Ranir, nama lama sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat dan Saif Al- Rijal adalah ulama dari India yang hidup semasa dengan Al-Raniri dan mereka sering berdebat menyangkut pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri.. Al- Raniri terlahir di India dan keluarganya berasal dari sana, namun beliau lebih dikenal sebagai ulama Aceh. Pamannya, Muhammad Jilani juga pernah datang dari Gujarat ke Aceh (Azra, 2004: 203). Meski garis keturunannya diyakini berasal dari Hadramawt, nampaknya beliau lebih senang memakai Al-Raniri di akhir namanya, dibanding Al-Alawi atau Al-Hadhrami. Sama seperti keturunan Khan yang asalnya adalah Asia Tengah, tapi mereka sudah culturally Indianized sehingga mereka menganggap dirinya adalah orang India.

PENUTUP
Dari Teori tentang masuknya Islam di Nusantara sebagaimana diuraikan di atas dapatlah kita menilai bahwa Islam datang ke Indonesia dibawa oleh muslim India melalui jalur pesisir barat India. Walau pun tidak tertutup kemungkinan bahwa pedagang Arab sudah ada di Nusantara pada masa pra-Islam, namun islamisasi Nusantara baru terasa signifikan di tangan ulama-ulama India. Karakter India yang Inklusif, interaktif dan terbuka seperti kata Professor Amartya Sen, “The distinctive features of Indian civilization is its inclusive, interactive openness”, sangat memungkinkan untuk menjalankan tugas-tugas dakwah tersebut.
*Tulisan pernah dimuat di Jurnal At-Tafkir, STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa