Pembekalan PPL Tahun 2012

Yaser Amri, MA (kanan) saat memberikan materi pada kegiatan Pembekalan Mahasiswa PPL Tahun 2012.

Gedung Tarbiyah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2011 lalu.

Gedung Dakwah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2013.

Gedung STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa merupakan perguruan tinggi satu-satunya yang berprediket Negeri di Kota Langsa

International Conference

Pose ketika mengikuti Konferensi Internasional di STAIN ZCK dan AICIS

Jumat, 14 Agustus 2009

Makna “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”

Dalam Qawa’id al-Khamsah ada salah satu kaidah yang berbunyi “al-Yaqinu la yuzalu bissyakki”. Secara harfiah kaidah fiqh ini berarti “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”. Ungkapan dalam kaidah ini ambigu sehingga bila tidak dijelaskan dengan contoh yang tepat bisa berpotensi untuk salah arti.

Sebenarnya kaidah fiqh hanyalah kesimpulan general para ulama fiqh yang diambil dari materi fiqh yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang muncul belakangan dan belum jelas hukumnya dalam nash. Tentunya kaidah fiqh tidak bertentangan dengan nash karena sudah melalui uji kesesuaian dengan substansi ayat-ayat Quran dan hadits nabi, sebelum menjadi kaidah fiqh yang mapan, kendatipun untuk kasus-kasus tertentu ada pengecualian.
Kaidah “al-Yaqinu la yuzalu bissyakki” (Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan) juga begitu halnya, tidak bertentangan dengan nash, bila dirujuk pada beberapa hadits nabi akan terlihat kesesuaian.
Saya mendapatkan beberapa mahasiswa salah dalam memahami kaidah ini. Ketika saya ajukan pertanyaan yang saya ambil dari sebuah hadits tentang keraguan apakah sudah kentut dalam shalat, jawaban si mahasiswa adalah: “Bila anda ragu ketika sedang sholat apakah sudah buang angin (kentut) atau tidak, maka sebaiknya anda hentikan sholat anda dan berwudhu’lah kembali untuk mengulangi sholat. Karena dari pada anda melanjutkan sholat yang meragukan lebih baik tinggalkan dan mengerjakan sholat sekali lagi yang tidak meragukan. Sesuai dengan hadits “tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu”, dan sesuai dengan kaidah “keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”.
Sekilas, jawaban si mahasiswa terasa sudah benar. Padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kaidah “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”. Kaidah ini justru menghendaki agar kita tidak perlu menghentikan sholat karena yang harus kita pedomani adalah keadaan awal kita suci, ada pun keraguan yang datang belakangan sebaiknya diabaikan selama tidak ada yang bisa memastikan bahwa kita memang sudah tidak suci. Kaidah ini sama dengan konsep “praduga tak bersalah”. Selama tidak ada bukti yang pasti yang menunjukkan bahwa kita “kentut”, maka kita tidak bisa menaikkan posisi “ragu sudah kentut” menjadi “pasti sudah kentut”. Sesuai dengan apa yang disabdakan nabi, “Apabila seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian ragu apakah sesuatu telah keluar dari perutnya atau belum, maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sampai ia mendengar bunyinya atau mencium baunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Jawaban mahasiswa tadi menyadarkan saya bahwa kita banyak dipengaruhi oleh sikap Imam Syafi’I yang hati-hati dalam masalah ibadah. Memang dalam ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin, sedangkan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan kehati-hatian. Ulama Malikiyah mengatakan,”Seseorang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan meyakinkan. Shalat yang sah hanya apabila didahului dengan wudhu yang sah, bukan dengan wudhu yang diragukan apakah sah atau tidak”. Dilihat dari sisi kehati-hatian Imam Syafi’I ini maka saya tidak bisa menyalahkan sikap mahasiswa saya tersebut walaupun dalam memahami kaidah fiqh tadi saya anggap masih belum tepat.
Contoh yang sering dipakai untuk kaidah ini biasanya adalah masalah keraguan tentang jumlah rakaat shalat. Apabila ragu apakah sudah shalat 3 atau 4 rakaat maka hilangkan keraguan dan berpedoman pada apa yang meyakinkan. Dalam hal ini 3 rakaat adalah hal yang meyakinkan dan 4 rakaat adalah meragukan. Logikanya apabila anda ragu apakah sudah sholat 4 rakaat, tentunya anda pasti sudah sholat 3 rakaat. Tidak akan mungkin terjadi sebaliknya, anda ragu sudah sholat 3 rakaat tapi yakin sudah sholat 4 rakaat. Sesuai dengan hadits nabi,” Apabila seseorang ragu mengerjakan shalat, dia lupa berapa rakaat dia telah melakukannya, apakah 3 atau 4 rakaat, maka hilangkanlah keraguannya dan tetaplah dengan apa yang dia yakini.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).
Sayangnya contoh masalah keraguan jumlah rakaat sholat ini juga berpotensi untuk disalahpahami. Mahasiswa bukannya memahami masalah yang lebih mendasar tentang mana yang meragukan dan mana yang meyakinkan tapi malah justru terjebak dengan masalah kehati-hatian. Berkeyakinan pada 3 rakaat kesannya adalah lebih hati-hati ketimbang memilih 4 rakaat. Memang perkara yakin-ragu dengan kehati-hatian sangat dekat, tapi ada perbedaannya.
Untuk menghindari kesalahpahaman tadi, maka sebaiknya jangan hanya melihat contoh dalam masalah ibadah saja tapi lihat juga contoh dalam masalah kehidupan yang lain. Contoh dalam masalah hutang piutang bisa juga dipakai. Apabila si A mengklaim bahwa si B berhutang padanya namun disangkal oleh si B maka yang benar adalah perkataan si B. Karena yang pasti, tentunya tidak ada orang yang berhutang sampai ada hal yang meyakinkan bahwa dia memang berhutang.
Contoh lain, saya menuduh si A telah menjatuhkan laptop saya yang kemudian tuduhan ini disangkal oleh si A, maka yang benar adalah perkataan si A. Karena pada asalnya tidak ada orang yang menjatuhkan laptop saya, kecuali ada bukti yang menunjukkan si A menjatuhkan laptop saya.
Dengan memberikan contoh-contoh seperti ini diharapkan mahasiswa bisa lebih mengerti tentang “al-Yaqinu la yuzalu bissyakki”.

Selasa, 26 Mei 2009

Pilih aqidah Salafi atau Khalafi?

Siapa yang disebut Salafi dan siapa pula yang tergolong Khalafi?. Secara bahasa, kedua istilah di atas dapat diartikan dengan yang disebut pertama adalah generasi awal Islam sedang yang kedua adalah generasi yang kemudian. Bagaimana dan kapan munculnya kedua istilah tadi kita tidak bicarakan di sini. Tapi secara garis besar menurut pemahaman yang umum Salafi maupun Khalafi termasuk pada "Ahlussunnah" (Sunni), sebuah kelompok besar Islam di dunia saat ini selain Syiah. Tokoh Salafi yang amat dikenal adalah Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah, sementara dari Khalafi adalah Asy'ari dan Maturidi.

Pertentangan keduanya dalam masalah aqidah antara lain adalah:
1. Posisi wahyu, akal dan intuisi sebagai sumber pengetahuan agama.
2. Pemakaian Ta'wil dalam ayat-ayat mutasyabihat
3. Penolakan Tajsim atau Anthropomorfic qualites.
4. Apakah kalamullah baharu atau kekal.
5. Ada atau tidaknya sifat-sifat Tuhan.
6. Tuhan dapat dilihat atau tidak.

Saya tidak akan berpanjang-panjang dengan masalah pertentangan keduanya. Yang menarik dari fenomena adanya dua golongan ini adalah pertanyaan seperti yang tertulis dalam judul di atas, "Pilih Salafi atau Khalafi?". Pertanyaan ini datang dari seorang mahasiswa pada dosennya ketika belajar tentang mazhab-mazhab aqidah pada mata kuliah ilmu kalam. Lebih detailnya pertanyaan mahasiswa tersebut kira-kira seperti berikut ini, "Pak, bagaimana kita menyikapi perbedaan pemikiran yang menyangkut dengan aqidah?. Kalau mereka berbeda dalam furu'(fiqih) mungkin tidak ada masalah. Tapi mereka berbeda dalam masalah yang berkaitan dengan aqidah. Kita harus ikut yang mana?. Kalau salah pilih berarti aqidah kita salah. Sedangkan aqidah itu kan udah masalah pokok, bukan furu' lagi".

Membingungkan memang, bila kita berpatokan bahwa masalah fiqih adalah furu'iyah dan aqidah adalah asasiyah. Pemahaman mahasiswa tadi tentang fiqih tentu keliru karena fiqih ternyata tak sesederhana yang dia bayangkan. Fiqih juga mencakupi masalah tauhid yang disebut dengan istilah "Fiqih Akbar". Sedangkan masalah aqidah tidak semuanya adalah masalah pokok. Yang dipertentangkan antara salafi dan khalafi memang menyangkut masalah aqidah tapi bukan hal yang pokok. Masalah yang pokok adalah pernyataan bahwa Tuhan hanya ada satu (baik salaf maupun khalaf percaya pada satu Tuhan) dan Nabi muhammad adalah utusannya. dalam hal itulah umat Islam tidak boleh berbeda.

Perbedaan mazhab dalam Islam, baik mazhab aqidah, fiqih, politik, tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah aqidah, hukum dan politik Islam. Perbedaan dalam menjabarkan nash yang memungkin untuk berbeda arti memang tidak bisa dihindari dan sudah wajar terjadi. Kita memang harus menganggapnya sebagai sebuah rahmat.

Nash-nash tersebut ada yang qat'i dilalah dan ada yang zhanni dilalah. Nash yang zanni memang berpotensi untuk dipertentangkan dan itu sah-sah saja selama tidak ada dalil yang jelas tentang itu. Hal-hal yang dipertentangkan oleh salaf dan khalaf adalah zhanni, walaupun itu menyangkut aqidah. Contoh nash yang termasuk qath'i dilalah adalah "Qul huwallahu ahad". Tidak ada pertentangan dalam nash tersebut karena tidak mempunyai penafsiran lain. Sementara ayat-ayat mutasaybihat semuanya masuk dalam zhanni dilalah karena mempunyai kemungkinan penafsiran yang berbeda-beda, dan berbeda dalam memahami nash yang zhanni dilalah tidak lantas membuat seseorang keluar dari Islam.

Kamis, 14 Mei 2009

Pilih Jabbariyah, Mu'tazilah atau Asy'ariyah?

Berkenaan dengan "Takdir" Jabbariyah berkeyakinan bahwa takdir manusia sudah ditentukan Tuhan. Manusia tidak mempunyai daya untuk merubah nasibnya. Seseorang melakukan kejahatan bukan karena dirinya melainkan sudah keinginan Tuhan. Keyakinan seperti ini berimplikasi pada peniadaan pahala dan dosa, karenanya surga dan neraka tentu juga jadi tak berguna. Sebaliknya Qadariyah memahami bahwa "Takdir" adalah hasil upaya manusia sendiri. Pemahaman yang sama juga dianut oleh Mu'tazilah. Karena Tuhan itu adil maka tak mungkin Dia menjadikan manusia jahat lalu kemudian menghukumnya. Kejahatan manusia adalah upaya manusia sendiri hingga ia pantas untuk dihukum. Asy'ariyah menolak pemahaman Mu'tazilah dengan menawarkan jalan tengah. Menurut aliran ini "Takdir" manusia sudah ditentukan Tuhan namun aliran ini mempunyai teori kasab, di mana manusia bisa melakukan ikhtiar untuk merubah nasibnya. Sehingga seorang Asy'ariyah akan menjadi Mu'tazilah disaat dia berupaya melakukan sesuatu dan mengambil posisi Jabbariyah ketika mendapatkan hasil usahanya.


Jabbariyah dituduh sebagai "biang kerok" kemunduran Islam. Karena dengan memakai pemahaman Jabbariyah seseorang tidak akan mau berusaha karena apa pun usahanya semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan sehingga usahanya hanya sia-sia belaka. Bagi sementara orang, Mu'tazilah cukup berjasa bagi kemajuan umat Islam, karena dengan pemahaman itu lah manusia akan berusaha melakukan yang terbaik demi kepentingannya di dunia maupun akhirat. Pujian serupa juga sempat keluar dari seorang imam Asy'ari pendiri aliran Asy'ariyah dengan mengatakan bahwa Mu'tazilah telah berjasa pada agama Islam karena telah menyelamatkan pemikiran Islam dari rongrongan filsafat Yunani. Akan tetapi di lain tempat Asy'ari menolak faham Mu'tazilah. Dengan melemparkan sebuah batu beliau mengatakan bahwa saya sudah membuang faham Mu'tazilah dari diri saya sebagaimana saya membuang batu ini. dari sini terlihat bahwa Asy'ari mengalami kebingungan antara pilihan untuk mengadopsi Jabbariyah atau Mu'tazilah. Kebingungan ini juga nampak dari teori "jalan tengah"nya yang sulit dicerna akal.

Secara psikologis sebenarnya pilihan untuk memakai faham Jabbariyah lebih selamat. Di saat seseorang mengalami kegagalan dia tidak akan menyesali dirinya melainkan bisa menerimanya karena sudah ketentuan dari Tuhan. Sementara seorang Mu'tazilah akan mengalami depresi karena menyalahkan dirinya ketika dia mengalami kegagalan. Mengenai kecenderungan untuk maju atau mundur, tak diragukan lagi bahwa Mu'tazilah lebih cenderung untuk maju, walaupun berisiko jantungan atau stroke bila gagal, karena "golongan karya" ini lebih senang memakai otaknya dan tidak akan menunggu takdir untuk mencapai sesuatu. Lalu apakah Jabbariyah cenderung mundur karena dia hidup berangkat dari pemahaman bahwa semuanya sudah ditentukan Tuhan?. Hal ini masih perlu dipertanyakan, karena beranggapan bahwa takdir sudah ditentukan Tuhan tidak menunjukkan bahwa si empunya faham tidak akan berusaha. Atau dengan kata lain kita tidak bisa menuduh seseorang tidak akan melakukan usaha apa-apa kalau dia berkayakinan bahwa takdir di tangan Tuhan. Tidak mungkin kah seorang Jabbariyah melakukan suatu usaha karena sebuah perintah Tuhan untuk berusaha?, tanpa harus mengharapkan hasil dari usahanya, karena hasilnya memang sudah ditentukan oleh Tuhan.

Mungkin kita bisa membuat sebuah perumpamaan seperti berikut ini. Seorang Mu'tazilah belajar untuk mencapai pintar (untuk kepentingan dirinya), dan bila gagal dia akan menyalahkan dirinya. Seorang Asy'ariyah belajar untuk mencapai pintar (untuk kepentingan dirinya), dan bila gagal dia pasrah pada Tuhan. Seorang Jabbariyah belajar karena dia diperintahkan untuk belajar (untuk kepentingan Tuhan), tentunya dia tak peduli bagaimana hasilnya nanti karena hasil sudah ditentukan Tuhan sebelumnya.

Kalau lah benar ketiga golongan itu seperti yang digambarkan di atas, lalu anda pilih pro siapa?. Atau anda sama seperti beberapa teman saya yang pilih "golput" lalu dengan pemikiran yang sederhana memahami ayat Quran apa adanya tanpa harus membuat kesimpulan-kesimpulan. Yang bisa diartikan bahwa anda percaya Takdir di tangan Tuhan, di lain waktu percaya bahwa sebuah kaum tidak akan dirubah Tuhan kalau kaum itu sendiri tidak membuat perubahan.