Kamis, 11 April 2013

Konflik Agama-agama di Dunia

Pendahuluan
Ketika kita mengemudikan kendaraan di jalan raya kita terikat dengan aturan rambu-rambu lalu lintas yang ada. Traffic light, bila menunjukkan lampu merah, mengharuskan kita untuk berhenti dan mempersilahkan jalur lain untuk berjalan, dan bila lampu hijau hidup kita boleh melintas dan jalur lain berhenti. Ketika mengikuti aturan itu, kita berharap pengemudi lain juga memahami traffic light sebagaimana yang kita pahami sekaligus mau mengikuti pesan yang disampaikan traffic light tersebut. Bila ternyata pengemudi lain mempunyai pemahaman yang berbeda tentang makna warna lampu-lampu tersebut, maka akan terjadilah clash atau konflik.
Paragraf diatas memberikan ilustrasi tentang konflik yang terjadi antar umat beragama di dunia. Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi  tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai  tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang  –sedikit banyak- dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini. Perang antara Israel yang Yahudi dengan Palestina yang Muslim adalah contoh lain dari konflik antar umat beragama yang masih belum selesai hingga hari ini. Pembantaian umat Yahudi oleh Nazi yang notabene adalah adalah konflik terbesar antara pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.
Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya.  Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran yang  –boleh jadi- terdapat pada umat.sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius yang bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan berupaya menyebarkan pesan Yesus yang terakhir, “Pergilah ke seluruh dunia dan kabarkanlah Injil kepada seluruh makhluk!” (Martius 16: 15)
Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. Tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah teks  keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan. Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41, “
(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”[1]
Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan).[2] Maka, sebagian pengamat melihat, agama adalah  sumber konflik, atau setidaknya memberikan legitimasi terhadap berbagai konflik sosial. Ferguson (1977) mencatat, “Every major religious tradition includes its justification for violence”. Sebagian lain menyimpulkan bahwa agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh yang melegitimasi pembunuhan. Dalam tradisi Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), kata mereka, Tuhan membunuh masyarakat, dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan hal yang sama.[3]
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Pada level eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan,[4] termasuk Islam dan Kristen.
Namun, dalam banyak hal, realitas menunjukkan bahwa ketegangan yang terjadi di antara umat beragama justru berkaitan erat dengan factor-faktor yang berada di luar lingkup agama. Ketegangan yang terjadi di beberapa kawasan, meskipun dibungkus dalam baju agama, pada dasarnya disebabkan oleh factor-faktor social, budaya, ekonomi, dan politik.[5]
Sehubungan dengan itu, tulisan ini bermaksud membahas tentang: Konflik agama di dunia; dan benarkah perbedaan konsepsi agama-lah yang menyebabkan konflik di antara kedua umat ini?


Pengertian Konflik
Secara etimologi, konflik berasal dari kata kerja Latin confligere yang berarti saling memukul. Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah percekcokkan, perselisihan, pertentangan. Secara terminologi, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.[6]
Menurut para ahli, konflik adalah sebagaimana tersebut di bawah ini:
                                                              i.      Berstein
Konflik merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik mempunyai potensi positif dan ada pula yang negative di dalam interaksi social.
                                                            ii.      Dr. Robert M.Z. Lawang
Konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, di mana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
                                                          iii.      Drs. Ariyono Suyono
Konflik adalah proses atau keadaan di mana dua pihak berusaha menggagalkan tercapainya tujuan masing-masing yang disebabkan adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai  ataupun tuntutan dari masing-masing pihak.
                                                          iv.      James W. Vander Zanden
Konflik adalah suatu pertentangan mengenai nilai atau tuntutan hak atas kekayaan, kekuasaan, status atau wilayah tempat pihak yang saling berhadapan betujuan menetralkan, merugikan, ataupun menyisihkan lawan mereka.
                                                            v.      Soerjono Soekanto
Konflik adalah proses social dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.[7]

Agama ; Peran pemersatu atau konflik (?)
Semua ajaran agama pada dasarnya ba­ik dan mengajak kepada kebaikan. Na­­­mun nyatanya tidak semua yang di­anggap baik itu bisa bertemu dan se­iring sejalan. Bahkan, sekali waktu da­pat terjadi pertentangan antara yang sa­­­­tu dengan yang lain. Alasannya tentu ber­­ma­cam-macam. Misalnya, tidak mes­ti yang dianggap baik itu benar. Juga, a­pa yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain  yang dapat dimuncul­kan.
Menurut Joachim Wach, seorang sar­jana ahli dalam sosiologi agama, se­tidaknya terdapat dua pandangan ter­hadap kehadiran agama dalam suatu ma­sya­rakat, negatif dan positif. Pen­dapat  pertama mengatakan, ketika a­ga­ma hadir dalam satu komunitas,  perpecahan tak dapat dielakkan. Dalam hal ini, agama dinilai sebagai faktor dis­integrasi. Mengapa? Salah satu se­babnya adalah ia hadir dengan se­perangkat ritual dan sistem ke­percayaan yang lama-lama melahirkan sua­tu komunitas tersendiri yang ber­beda dari komunitas pemeluk agama la­in. Rasa perbedaan tadi kian intensif ke­tika para pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan keyakinan bah­wa satu-satunya agama yang benar a­dalah agama yang dipeluknya. Se­dangkan yang lain salah dan kalau per­lu dimusuhi.
Pandangan yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama berperan se­bagai faktor integrasi. Katakanlah ke­tika masyarakat hidup dalam suku-su­ku dengan sentimen sukuisme yang ting­gi, bahkan di sana berlaku hukum rim­ba, biasanya agama mampu ber­peran memberikan ikatan baru yang le­bih menyeluruh sehingga terkuburlah ke­pingan-kepingan sentimen lama sum­ber perpecahan tadi. Agama dengan sistem kepercayaan yang ba­ku, bentuk ritual yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam hu­bung­an sosial mempunyai da­­ya ikat yang amat kuat bagi integrasi masya­rakat.[8]
Dalam kaitan ini, thesis yang amat me­narik diajukan oleh Prof. Dr. Naquib al-Attas dari Universitas Malaysia, bah­wa berkat Islamlah maka bahasa Me­layu berkembang cepat di nusantara i­ni, yang pada akhirnya diresmikan se­bagai bahasa Indonesia, bahasa na­sional. Mengapa bahasa Melayu yang re­latif digunakan oleh kelompok kecil sang­gup mengeser bahasa Jawa yang do­minan? Naquib menjawab, bahasa Ja­wa telah dirasuki falsafah Hindu yang feo­dalistik dan membagi manusia pada ke­las-kelas, sementara Islam yang ber­sifat demokratis, tidak mengenal kelas. Sa­tu-satunya alternatif  yang tepat a­dalah berkomunikasi dengan bahasa Me­layu. Jalinan antara sifat Islam yang de­mokratis, bahasa Melayu yang di­gunakan, lalu disebarkan oleh para pe­dagang yang merangkap sebagai juru dak­wah, maka pada waktu yang relatif sing­kat tersebarlah bahasa Melayu ke seantero nu­santara ini. Islam memperkuat pe­nyebaran bahasa, bahasa mendorong ser­ta memperkuat timbulnya persatuan nu­santara, dan pada gilirannya lahirlah ke­satuan nasional dengan Islam se­bagai dasarnya, ditambah bahasa Melayu dan na­sionalisme sebagai pilarnya.[9]
Dengan demikian, mengikuti teori Joachim Wach, bagaimana pun juga ke­hadiran dan eksistensi  Islam di In­donesia ini jelas merupakan faktor in­tegrasi sekaligus konflik yang amat besar, yang mam­pu mengikis friksi-friksi sukuisme se­belumnya.

Agama Dan Konflik
Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai kawasan di dunia. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti konflik Israel-Palestina, sengketa Kashmir, Perang Salib, Perang Bosnia, dan Holocaust. Ada baiknya kita melihat sekilas satu persatu konflik-konflik tersebut di atas agar bisa melihat gambaran yang jelas tentang konflik-konflik antara pemeluk agama di dunia.
Perang Salib mungkin adalah konflik terbesar antara umat Islam dan Kristen yang tertoreh dalam sejarah dan tak kan pernah terlupakan. Kebencian antara kedua pemeluk agama ini belakangan sering berakar pada peristiwa sejarah tersebut. Meskipun potensi perbedaan dari sisi keagamaan sudah ada sebelumnya, namun pengaruh perang salib memberikan kontribusi yang besar terhadap ketegangan umat Islam dan Kristen.
Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan kaum Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berasal dari sekelompok tentara pengintai Islam menyeberang dari Afrika Utara ke ujung paling selatan Spanyol pada Juli 710. Laporan kegiatan mata-mata ini menimbulkan minat baru untuk menyerang. Spanyol Islam dianggap mencapai puncak kekuasaan dan kemakmurannya pada masa kekhalifahan Abd al-Rahman III (912 – 961). Keberadaan negara atau wilayah tidak lepas dari gerakan-gerakan politik di dalamnya..
Gerakan politik ini selalu melekat pada pemerintahan Islam di sepanjang sejarah, termasuk di Spanyol Islam. Intrik-intrik ini membuat Spanyol Islam mengalami pasang surut. Dunia Kristen Latin juga merasakan pengaruh Islam melalui Sisilia. Serangan pertama ke Sisilia terjadi pada tahun 652 di kota Sisacusa. Akan tetapi pendudukan orang-orang Arab di Sisilia tidak berlangsung lama. Kebangkitan kembali Kerajaan Byzantium mengakibatkan berakhirnya semua pendudukan atas wilayah-wilayah penting. Byzantium menggandeng gereja untuk menguasai wilayah-wilayah Islam. Peperangan dengan menggunakan atribut gereja ini kemudian menjadi perang Kristen melawan Islam yang banyak menyita waktu.
Bila kita cermati factor utama terjadinya perang salib, maka kita akan mendapatkan bahwa alasan politik dan perluasan wilayah untuk menguasai sumber-sumber alamlah yang menjadi dasarnya. Hal yang sama juga terjadi di Palestina, ketika Inggris memberikan tempat bagi bangsa Israel untuk mendirikan negaranya di tanah Palestina. Pertambahan imigran Yahudi ke Palestina semakin pesat karena bangsa ini mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi di berbagai belahan dunia, disamping keyakinan mereka bahwa tanah tersebut adalah janji tuhan yang diperuntukkan bagi mereka. Kedatangan ini kemudian dimaknai sebagai agresi orang luar terhadap bangsa Palestina yang merdeka. Pada gilirannya konflik fisik pun terjadi dengan membawa bendera agama.[10]
Tak berbeda dengan kasus Indonesia, kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa konflik di Maluku pada awalnya disebabkan oleh karena kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Eskalasi politik meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik, karena isu agama itu muncul belakangan.
Konflik di antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan non keagamaan.[11] Berikut ini keterangan singkat mengenai kedua faktor itu.

A.                Faktor Keagamaan
Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi, antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat.[12]
Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal.[13] Selain itu, terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan disintegrasi,[14] bila dipahami secara sempit dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
Secara internal, teks-teks keagamaan dalam satu agama juga terbuka terhadap aneka penafsiran yang dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam, bahkan bertentangan satu sama lain sehingga memicu konflik.[15]
Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri.  Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama dapat juga berpotensi  menjadi sumber konflik di kemudian hari. Mana diantara potensi tersebut yang dominan? Konflik bisa saja terjadi. Penyebab konflik terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran). Namun yang dominan, konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di blow up menjadi konflik (ajaran) agama.
Selain faktor yang terkait dengan doktrin seperti disebutkan di atas, ada faktor-faktor keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat beragama. Di antaranya: 1) Penyiaran agama, 2)Bantuan keagamaan dari luar negeri, 3) Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, 4) Pengangkatan anak, 5)Pendidikan agama, 6)Perayaan hari besar keagamaan, 7)Perawatan dan pemakaman jenazah, 8)Penodaan agama, 9)Kegiatan kelompok sempalan 10)Transparansi informasi keagamaan dan 11)Pendirian rumat ibadat.[16]
Berikut ini penjelasan tentang sebagian dari faktor-faktor itu. Penyiaran agama merupakan perintah (paling tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan yang sifatnya terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan antar umat beragama. Untuk mengurangi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan semacam itu, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Faktor lain terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu terganggunya hubungan antar umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah satu alat untuk mengajak pasangan agar berpindah agama. Konversi agama dilakukan untuk mengesahkan perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung beberapa lama, orang yang bersangkutan kembali ke agamanya semula dan mengajak pasangannya untuk memeluk agama tersebut.[17]
Kasus yang juga sering muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadat. Kehadiran sebuah rumah ibadat sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau bahkan memicu konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama lain. Rumah ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai simbol keberadaan, suatu kelompok agama.
Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat tersebut dipandang oleh pihak lain tidak berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada komunitas lain. Kasus-kasus yang terkait dengan pengrusakan rumah ibadat menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1969 yang kemudian disempurnakan dan diganti dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 2006/No 8 tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006.

B.                 Faktor-faktor non Keagamaan
Adapun faktor-faktor non keagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab ketidakrukunan umat beragama meliputi beberapa hal, antara lain 1)kesenjangan ekonomi, 2) kepentingan politik, 3) perbedaan nilai sosial budaya, 4) kemajuan teknologi informasi dan transportasi.[18]
Kehadiran penduduk pendatang di satu daerah sering menimbulkan kesenjangan ekonomi, sebab mereka lebih ulet dan trampil bekerja dibandingkan dengan penduduk asli . Kondisi itu sering menimbulkan kecemburuan sosial dan dapat memicu konflik. Selanjutnya, dalam berbagai kasus, munculnya suatu kelompok politik juga dipengaruhi oleh misi keagamaan dari para elit kelompok politik tersebut.
Ketegangan atau konflik di antara elit politik tersebut lalu pada gilirannya dilihat sebagai pertikaian antar kelompok politik yang berbeda agama. Demikian pula perbedaan nilai budaya juga dapat menjadi penyebab konflik bila suatu komunitas yang kebetulan menganut agama tertentu mengalami ketersinggungan karena perilaku atau tindakan pihak lain, yang kebetulan menganut agama berbeda kurang memahami atau kurang menghargai adat istiadat, atau budaya yang mereka hormati.[19]
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system sosial yang dibuat oleh penganut- penganutnya yang berproses pada kekuatan- kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka. Dalam kamus sosiologi pengertian agama ada 3 macam, yaitu (1) kepercayaan pada hal- hal yang spiritual; (2) Perangkat kepercayaan dan praktik – praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3) Ideologi mengenai hal- hal yang bersifat supranatural.[20] Sementara itu, Thomas F. O’ Deo mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana- sarana supra empiris untuk maksud- maksud non empiris atau supra empiris.[21]
Dari beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya. Karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah- masalah yang non empiris. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa agama adalah ajaran, system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Selanjutnya dalam buku yang sama, dikatakan bahwa konflik yaitu percekcokan; perselisihan- prselisihan; pertentangan. Jika kata ini digabung dengan term sosial menjadi suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Menurut teori konflik , masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas serta berkecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Jadi masyarakat (sosial) merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor : ekonomi, politik, sosial, bahkan agama.[22]

Faktor- faktor Konflik Ditinjau dari Aspek Agama
Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan. Di dalam terminologi Al-Qur’an, misi suci ini disebut rahmah lil alamin (rahmat dan kedamaian bagi alam semesta). Namun dalam tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agamapun menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad dijelaskan bahwa, “agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”[23] Hal ini sama dengan pendapat Johan Efendi yang menyatakan “Bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan. Namun, pada waktu yang lain menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik. Bahkan tidak jarang dicatat dalam sejarah menimbulkan peperangan.[24] Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya :
1. Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai- nilai suci itu.
Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan konsep- konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan, masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.

2. Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme. Seperti dalam kasus Dr. AM Saefuddin, yakni Menteri Negara Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Menteri itu telah melecehkan salah satu agama, dalam pernyataannya “Megawati Pindah Agama menjadi Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan seseorang yang beragam Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan ritual pada agama Hindu di Bali. Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi sejumlah demonstrasi, bahkan berubah menjadi kerusuhan.

3. Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Jika berada dalam agama ketiga, diluar kedua agama yang sedang bertikai, kita akan tersenyum mengejeknya, karena mereka saling menghancurkan, yang dalam persepsi kita bahwa agama yang bertikai tersebut sama-sama palsu. Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang perang adalah agama kita dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan menjadi sebuah perjuangan untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita akan meyakini adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya di anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat sama seperti itu, dan mereka yang berada dipihak ke tiga (tidak berperang), dan memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara dia kepalsuan. Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin dengan agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan mereka berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Jadi, merekalah yang sebenarnya menjadi sumber kebenaran.

4. Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Qur’an (QS.2:148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima keragaman budaya dan agama dengan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural dan suka kekerasan itu sangatlah tidak beralasan.
Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah SAW, ketika beliau berada di Madinah, masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa untuk mengikuti agamanya. Bahkan dalam perjanjian dengan penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satunya ” Orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan; tidak akan diperlukan zalim. Jika di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya dan keluarganya.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan Islam di daerah tersebut telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya yang berkembang, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu dikembangakan oleh seluruh agama, sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia harus mampu mempelakukan agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan perusakan tempat-tempat ibadah.

Kesimpulan
Jika memang konsepsi agama, paling tidak agama Islam, bukanlah alasan dan sebab utama yang memicu konflik antar umat Islam dan Kristen (serta umat beragama lain). Sejumlah kajian dan penelitian menjelaskan bahwa titik persoalan sebenarnya terletak pada faktor  internal dan eksternal umat. Tidak hanya di negara-negara yang penduduknya minoritas Muslim (misalnya: Filipina), bahkan di negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Indonesia gerakan puritanisasi dan revitalisasi Islam harus “berhadapan” dengan peradaban global yang sekuler, kapitalistis, dan bersemangat hedonistis. Politik Islam negara-negara Barat yang berabad-abad menekan aspirasi umat, yang kemudian disusul oleh upaya pembangunan di masing-masing negara dengan patron mengikuti Barat yang pernah menjajahnya membuat peran umat ini (Muslim) semakin lama semakin berkurang. Marginalisasi peran politik, ekonomi dan kebudayaan, menyebabkan kaum muslim mengalami disposisi dan disorientasi. 
Secara internal, kaum muslim masih berkutat dengan kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Kondisi ini diperparah oleh adanya penyakit “Islamofobia” (takut kepada Islam) yang ironisnya, tidak hanya pada umat Kristen, tapi juga menjangkiti sebagian cendekiawan muslim. Kelompok ini, yang nota bene adalah penganut pluralisme agama, mudah tersengat dan curiga pada gerakan-gerakan “Islam fundamentalis”, yang dinilai “ekstrem” dan “militan”. Padahal, bangkitnya “Islam fundamentalis”, menurut G. H. Jansen, “adalah reaksi terhadap masalah bagaimana mengahadapi tantangan  cara hidup Barat yang telah menjadi cara hidup dunia.”[25] Kelompok terakhir ini, yang senantiasa termarginalkan, didorong oleh semangat membebaskan umat dari materialisme yang sesat, yang mendorong pada suatu kesadaran hakiki, bahwa agama merupakan suatu kebutuhan batiniah dan sekaligus kebutuhan intelektuil manusia. Menggunakan istilah Arnold Toynbee, boleh jadi, mereka adalah kelompok creative minorities yang bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban kontemporer yang rapuh. Sehingga, seandainya pun terjadi benturan dan konflik, kebanyakan pada tataran ideologis, di antara “mereka” dengan rezim yang berkuasa dan kelompok-kelompok penentangnya. Konflik antar umat Islam dan Kristen sendiri, kebanyakan adalah  kompleksitas persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, yang  –oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab- dilegitimasi karena “perbedaan konsepsi keagamaan”.
Dari uraian di atas, penulis sampai pada kesimpulan bahwa konflik antara umat beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen, dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan karena perbedaan konsepsi di antara dua agama besar ini. Itu lebih merupakan asumsi yang tendensius, yang disengaja atau tidak, berupaya “mengaburkan” peran agama dalam membentuk peradaban baru yang lebih progressif. Dia lebih menonjolkan “wajah muram” agama-agama di tengah umatnya, sehingga  agama tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia dengan manusia  dari kepercayaan yang berbeda, sekaligus menumbuhsuburkan sikap kebencian dan permusuhan di antara pemeluk agama.
Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnya dua kutub pemikiran. Yang pertama bersikap “anti agama” sementara yang terakhir mencoba “menyamakan” agama-agama, dengan berlindung di balik “topeng” pluralisme agama. Gagasan yang terakhir ini, jika ditinjau dari keseluruhan aspek Islam terhadap Kristen jelas suatu gagasan yang tidak mungkin, karena “memang” kedua agama ini berbeda.
Penulis melihat jalan keluar bagi konflik agama yang disebabkan factor keagamaan adalah pluralisme, baik itu bermakna penyamaan agama-agama atau hanya sekedar penerimaan dan pengakuan atas perbedaan agama-agama. Sementara konflik yang disebabkan factor non-agama mungkin multikulturalisme bisa menjadi obat penawarnya.




DAFTAR KEPUSTAKAAN


Amstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan. Bandung: Mizan. 2002
Effendy, Bahtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press. 2001
Eliade (ed.), Mircea, The Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing Company, New York, 1987, Vol. 12
Hakiem (Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar Pembaruan Islam, LSIP, Jakarta, 1995   15
Huntington, Samuel P. Benturan Antar Peradaban. Yogyakarta: Qalam. 2002
Husaini, Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2004
Husaini, Adian, Solusi Damai Islam- Kristen, Pustaka Progresif, Surabaya, 2003
Jansen , G. H., Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980
Kurtz, Lester R. Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, t. t.
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001
Madjid, Nurcholis, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001
Mische, Patricia M. ,Toward Global Civilization? The Contribution of Religions, (Newyork: Peter Lang Publishing Inc., 2001)
Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002
Mulkhan, Abdul Munir, Dr.,  Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002
Noersena, Bambang, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2001
Parekh, Bikhu. Rethinking Multiculturalism. Yogyakarta: Kansiius. 2008
Rasyid, Daud, Dr. MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, 2002
Syalaby, Ahmad, Dr., Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh Ahmad,     S. Ag., Pustaka Da’i, Jakarta, 2004
Thayib dkk. (ed.), Anshari, Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), Jakarta, 1997



[1] Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 588
[2] Lihat Q. S. al-Baqarah: 190- 191, al-Hajj: 39, dan sebagainya
[3] Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, hlm. 215-216
[4] Di Indonesia, pernyataan-pernyataan yang bernada  “menyamakan” agama mulai diungkapkan oleh para tokoh organisasi Islam. Lihat: pernyataan Ulil Abshar Abdalla, di majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir Mulkhan,  Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
[5]Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, (Yogyakarta: Galang Press, 2001),  h. 24
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
[8] Joachim Wach, Sosiology of Religion, University of Chicago Press, Chicago and London, 1971, hlm. 35
[9] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.
[10] Lihat www.islamicindia.blogspot.com
[11]  Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,” Prisma, edisi extra, 1984, hlm. 3-9.
[12] Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989, hlm. 81-96.
[13]Universalitas dimaksud dapat dilihat dalam agama Kristen yaitu Roma 12:10 Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.  Petrus 2:17, 5:9, Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!, Petrus 3:8 Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati,  Matius 23:8, Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dalam ajaran Islam disebutkan dan katakanlah kepada para hambaku-Ku: "Hendaklah mereka berbicara dengan ucapan yang sebaik-baiknya" dalam berdakwah. Bahwasanya setan itu suka menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya antara setan dan manusia terbentang permusuhan sejak dahulu. Isra: 53 Janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan bersilang- sengketa sesudah datang kepada mereka bukti yang terang! .... Al-Imran: 105.
[14] Tidak dapat dipungkiri bahwa selain munculnya truth claim bahwa ditemukan sejumlah teks  keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan yang berdampak pada konflik. Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41, “(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan)
[15]Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,” hlm. 8
[16] Abdurrahman Wahid, “Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama,” Aula, Mei 1985, hlm. 31
[17] Untuk uraian lebih lanjut tentang primbumisasi Islam, lihat Abdurrahman Wahid, “Salahkah Jika Dipribumikan?” Tempo, 16 Juli 1991, halaman 19 dan “Pribumisasi Islam.” Lihat pula, “Merelevansikan Bukannya Menghilangkan Salam,” Amanah, No. 22, Mei 8-21, 1987.
[18] Lihat, misalnya, beberapa tulisan Adi Sasono, "Peta Permasalahan Sosial Umat Islam dan Pokok-Pokok Pemikiran Usaha Pengembangannya: Beberapa Catatan, makalah tidak diterbitkan, Mei, 1984; "Moral Agama dan Masalah Kemiskinan," makalah tidak diterbitkan, 21 April 1985; "Usaha Pengembangan Enasipasi Sosial: Beberapa Catatan," A Rifa'i Hasan dan Amrullah Achmad (ed.), Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: PLP2M, 1986, hlm. 323-335.
[19] Lihat, M. Dawam Rahardjo, "Umat Islam dan Pembaharuan Teologi," Bosco Carvallo dan Dasrizal (ed.), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983, hlm. 117-132.
[20] Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta, 1986, hlm. 32
[21] Thomas F. O'deo, Sosiologi Agama, Jakarta: PT Rajawali, 1985, hal. 139
[22] Ibid.,
[23] Dr. Afif Muhammad, Tafsir Al Qur’an untuk Anak-anak, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 16
[24] Dalam Harun Nasution, Islam dan Sistem Pemerintahan dalam Perkembangan Sejarah, Nuansa, Desember 1984, hlm. 4-12.
[25] G. H. Jansen, Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980, hlm. 6

0 comments: