A.Pengantar
Sejak masuknya Islam ke Indonesi, Islam telah menjadi anutan lebih
dari separoh Bangsa Indonesia, Islam telah membumi dan mendarah bagi Bangsa
Indonesia, sehingga setiap isu yang muncul dalam sosial Indonesia tidak lepas
dari berbagai istilah dalam Islam. meski tidak terlepas dari hal yang positif
maupun negatif, ini menunjukkan bahwa islam telah bersifat kosmopolitan, mengakar
dan membumi secara radikal, ditanah Indonesia ini.
Islam memberikan pengaruh yang menimbulkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri, yang kemudian
oleh penguasa asing ingin dijauhkan dari
pengaruh politik[1].
Inidapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, Islam menjadi satu hal yang
diterima pada lapisan bawah sosial (Grass root), sebagai kelompok sosial
yang murni, masyarakat ini menerima Islam sepenuh hati dan menuruti ajarannya dengan yakin dan tulus
terhadap agama. Mereka melihat Islam sebagai pembebas, dimana Hindu dan ajaran
lainnya tidak lagi memberi semangat
dalam kehidupan, mereka menjadi manusia, tetapi memiliki strata terendah
dalam sosial (kasta-kasta). Dengan Islam
menimbulkan semangat perubahan, yang
mengembalikan diri manusia menjadi dirinya sendiri dengan bebas, dan hak-hak
yang sama dengan lainnya (renaissance) Kedua, Ajaran Islam mempengaruhi
tata kehidupan, seperti perekonomian, dengan perdagangan, orientasi ini
ternyata pada masa Kolonialis Belanda mendapat tantangan, hambatan, bahkan
ancaman bagi umat Islam untuk melakukan aktivitas perdagangan, yang sebelum Kolonialis
Belanda masuk ke Indonesia telah menjadi salah satu kegiatan penting Umat Islam
di Indonesia. Adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan oleh Imperialis
Barat menimbulkan tantangan bagi umat Islam, dalam hal ini para ulama bekerja keras umtuk membina santri-santrinya
agar memiliki sikap combative spirit
( semangat siap tempur), pesantren yang sebelumnya hanya sebagai lembaga
pendidikan, fungsinya bertambah sebagai tempat kegiatan membina pasukan suka rela.[2]Dalam
hal ini dapat kita lihat peran dan fungsi pesantren sebagai pusat perlawanan
terhadap kolonialis dan Inperialis Barat (a centre of anty DucthCentiment).
Clifford Greertz menyatakan
dalam adab ke-19 saja
Belanda menghadapi empat kali pembrontakan santri yang besar, peperangan ini sering dalam
sejarah dituliskan sebagai perang sabil,
(the Holy war).
Adapunpembrontakan itu. Pertama, perang Cirebon, (1802-1806). Kedua,perang Diponegoro
(1825-1830), yang disebut sebagai perang Jawa Tengah yang dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro, dibawah panji Islam.Ketiga, Perang Padri, di Sumatera
barat, (1821-1838), sebagai akibat intervensi politik Belanda terhadap perang adat melawan ulama.
Keempat, di Aceh (1873-1908). Sebagai pemberontakan santri terpanjang, Belanda
menghadapi pembrontakan santri ini hingga masa kekuasaannya berakhir di
Indonesia, dimana ulama tidak pernah absen
melancarkan gerilya hingga tahun
1942.[3]
Sejak awal abad ke -16 kolonial
Barat mulai muncul di kepulauan nusantara, kektika itu kondisi Islam telah mulai mapan,
dengan berdirinya kerajaan-keraan Islam
yang bertebaran dikepulauan nusantara baik, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
dan beberapa kepulauan, seperti Maluku, Ambon dan lain sebagainya. Kondisi
sosial politik Indonesia mengalami kemakmuran dan kejayaan, yang dikenal dengan
zaman kejayaan Nusantara, berkat dengan tersiarnya Islam keseluruh
penjuru nusantara dan berkembangnya sistem perdagangan yang tidak sekedar
sekitar nusantara, tetapi berkembang keseluruh dunia, baik ketimur maupunn
Barat, perdagangan sutra yang melintasi asia, afrika Eropa sampai keIndonesia, merupakan salah
satu yang membuktikan luasnya perdagangan hasil-hasil rempah-rempah, keramik
emas sutra, bahkan konon kapur barus dari Daerah Barus sampai ke negara-negara
timur tengan dan Eropa.
Munculnya Portugis tahun 1511,[4]di
kerajaan Gowa, Sulawesi, dan menguasai wilayah itu, mendorong beberapa negara
Eropa, seperti Belanda melakukan ekspidisi, penjelajahan ke Indonesia, yang
kemudian menggantikan Portugis, menguasai perdagangan rempah-rempah
dinusantara.Seterusnya hingga abad ke-19 memasuki awal abad 20 Belanda menjadi
penguasa kolonial dan imperialis, yang selain mengeksploitasi bumi Indonesia sekaligus
melakukan Kristenisasi dinusantara.Kristenisasi seiring dengan kolonialisasi,
dengan melakukan politik standar ganda antara Belanda dengan pribumi, yang
menyengsarakan rakyat yang nota bene umat Islam. Kebijakan Kolonialis terhadap
pribumi tidak sekedar ingin menguasai dan mangambil hasil bumi Indonesia tetapi
lebih jauh membatasi berbagai aktivitas Umat beragama khususnya kebijakan
kehidupan beragama, dalam pendidikan,
sosial, politik ekonomi dan lain-lain.Hal ini dapat terlihat semacam kondisi
sebelum Kolonial Belanda berkuasa di nusantara, Penguasa Hindu sebagai pengausa
politik, tidak dapat lagi menjadi pelindung rakyat perobahan agama rakyat dari
Hindu ke Islam, sementara penguasa masih tetap pada agamanya, menyebabkan
rakyat berpaling kepada ulama dan menganggap penguasa politik telah gagal, alam
peodal dan kondisi petani miskin sebagai hasil dari penindasan penguasa
politik, sebagai ketidak beripihakan kepada rakyat, satu-satunya yang masih
berpihak kepada rakyat adalah ulama
B. Kerbijakan
Kolonialis Belanda terhadap Agama-Agama
Kebijakan kolonoalis dan imperialis Belanda sejak kedatangannnya
hingga akhir kekuasaannnya di Indonesia terhadap agama-agama cukup bervariasi,
disampingh tidak feer, mereka melakukan standar ganda, terhadap Islam dan agama
lainnya, khususnya perlakukan istimewa terhadap Kristen yang baru tumbuh dengan
kedatangah Kolonialis dan inperialis Belanda sendiri. Karena itu penting untuk
menjadi perhatian, dan hal ini sejak kehadirannya di Indonesia telah membatasi
berbagai lapangan sosial dan keagamaan Umat Islam yang mayoritas itu.
Pada awal
kehadirannya, Kolonialis Belanda, tidak melihat adanya perbedaan dikalangan
Umat Islam yang mereka anggap sebagai lawan, kecendrungan politik Kolonialis
Belanda menempuh cara menghancurkan setiap perlawanan, dengan mengahncurkan
kekuatan-kekuatan ulama dan umat Islam, dan dengan mengembangkan agama non Islam
(Kristen) sebagai tandingan, dari dalam
mereka melakukan upaya penggeseran agama, meski halini tidak memiliki daya
tarik bagi umat Islam, dan mereka hanya dapat menarik susuku-suku terasing,
yang belum memiliki agama. Sedang dari luar melakukan serangan terhadap
kekuatan-kekuatan ulama dan umat Islam.
Bagian
terahir abad ke-20, bergaung keinginan
umat Islam untuk mendirikan pemerintahan
sendiri, hal ini dilihat
penjajah sebagai tantangan untuk mempertahankan dominasi
kolonial mereka atas tanah
jajahan yang nota bene Umat Islam. Kecaman terhadap politik liberal
yang diterapkan di Indonesia seiring
dengan gerakan Pan- Islamisme yang telah
mendapat perhatian besar dinegeri-negeri muslim, maka sejak tahun
1970, sistem tanam paksa (culture
steelsel) dalam politik liberal yang merupakan eksploitasi
tidak etis oleh perusahaan-perusahaan
swasta Belanda dihentikan. Kecaman itu muncul dari kaum sosialis Belanda, hal ini mendapat
perhatian dari pemerintah kolonial, disaping munculnya kekuatan Jepang sebagai kekuatan
tandingan yang memaksa pemerintah
kolonial Belanda mengubah sistem
politiknya di negeri jajahan.
Permulaan abad ini
mencatat apa yang dinamakan politik etis yakni pemerintah tidak lagi melihat
Indonesia semata-mata sebagai daerah yang dieksploitasi demi keperluan Negeri Belanda saja, melainkan juga untuk kemakmuran penduduk, meski secara
paktual tidak pernah diwujudkan.Namun secara teoritis telah mengubah peta
politik pemerintah kolonial. Istilah-istilah
barupun muncul seperti; Univikasi, asimilasi dan asosiasi.
Unifikasi
merupakan suatu istilah hukum dan bukan merupakan pengertian tentang hubungan
sosial pada umumnya. Mulanya pengertian unifikasi berarti hapusnya
peraturan-peraturan yang berbeda bagi daerah yang bermacam-macam seperti struktur
hukum, proses hukum dan pajak. Setelah tahun 1900 istilah ini mulai mengandung
suatu usaha untuk mendirikan suatu sistem legislatif seperti
dalam bidang administratif kepegawaian, pendidikan, pajak dan sebagainya
untuk semua golongan penduduk baik Eropa maupun Indonesia dengan didasarkan kepada ukuran yang berlaku bagi golongan Eropa.
Asimilasi mengandung arti bahwa keperluan-keperluan Hindia akan
dipenuhi dengan syarat-syarat Barat… (sedang) Asosiasi mengandung maksud bagaimana
mengikat negeri jajahan dengan negeri
penjajah. Dalam hubungan ini, kebudayaan dianggap merupakan sarana yang sangat epektif, manfaat kebudayaan
negeri penjajah akan terbuka untuk dipergunakan
oleh negeri yang dijajah.[5]Dalam
konteks
asosiasi ini oleh Christian Snouch Horgronje diperjuangkan untuk memberikan
peluang bagi orang-orang Indonesia yang
secara akademis mendapat pendidian Barat dan secara teoritis menjadi tujuan
asosiasi, bukan saja untuk menarik simpati pribumi
melainkan sekaligus upaya Kristenisasi dan untuk menguatkan kolonialisasi di Indonesia. Menurut Snouch Horgronje akan
menjamin kekakalnya loyalitas mereka. Ditegaskan pula bahwa asosiasi akan
menghilangkan cita-cita Pan-Islamisme
dari segala kekuatannya. Tetapi asosiasi yang diterapkan tidak serta merta
menyeluruh bagi peibumi, khususnya dalam
pendidikan. Kolonilis Belanda memilih golongan yang memang selama ini dimana
pengaruh mereka telah tertanamkan dankarena itu hanya menyentuh segelintir masyarakat Indonesia terutama
mereka yang berafiliasi dengan perkumpulan NederlandschIndiche Vrijzinningen
Bond (Kesatuan Kaum Liberal Hindia Belanda)[6]
dan anak-anak bangsawan ….Dalam program ini pula kalangan bangsawan diharapkan Snouch
Horgronjemampu menjadi pewaris pola
asosiasinya, untuk selanjutnya menjadi partner
dalam kehidupan sosial budaya[7]Dasar
pemikiran pemilihan sasaran asosiasi dalam pendidikan ini terlihat atas pertimbangan bahwa lapisan
pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi
ini relatif jauh dari pengaruh Islam,
sedangkan pengaruh Barat yang mereka
miliki akan mempermudah mempertemukannya
dengan pemerintah Eropa[8]
Politik asosiasi
dalam pendidikan meski terlihat untuk pribumi, tetapi sepernuhnya bertujuan
demi kolonialisme, namun telah
membuka babakan baru bagi Bangsa Indonesia dalam hal meningkatkan
sumber daya manusianya. Secara akademis membuka wawasan berpikir serta
identitas diri Bangsa Indonesia. Diantara kader terdidik ini ada yang telah
mencapai gelar doktor yakni Pangeran Aria Hossein djajadiningrat(1886-1960)[9]
dengan prestasi Cumlaude di
Leiden dan secara resmi dibiayai oleh pemerintah Belanda sampai
tahun 1930, yang kemudian oleh Pemerintah Belanda melakukan pembatasan sehubungan
dengan kondisi sosio-ekonominya.
Pada akhir masa Snouchk Hurgronje di Indonesia, didirikan sebuah
lembaga husus, yang menjadi penting untuk studi Agama Islam yaitu, Kantoor
voor InlandseZaken, oleh rakyat disebut
Kantor Agama… kantoor Voor Inlandse Zaken berdiri terus samapai masuknya tentara
Jepang pada tahun 1942. Kemudian setelah
selesai perang tahun 1942 samapai 1945
berdirilah pemerintah Republik Indonesia
dan dibentuklah Kementrian Agama[10]
Upaya
asosiasi pendidikan yang dilakukan pemerintah Belanda untuk
mengutuhkan kolonial, diharapkan dapat menjinakkan pribumi disamping upaya menjauhkan mereka
dari rasa kebangsaaan dan ke-Indonesiaannya.
Hal ini ternyata tidak berhasil seperti prediksi dan asumsi mereka, kesadaran
agama dan kebangsaan itu muncul lebih
besar dengan ruh Islam yang begitu kuat. Rasa Ukhuah Islamiah dan rasa agama yang tinggi membuat Umat Islam
lebih merapatkan barisan dan Islam menjadi pemersatu dalam menghadapi kaum penjajah
dan Kaum Kristen yang dalam pandangan umat Islam adalah kaum kafir, khususnya dalam pandangan
kalangan santri dan kaum tradisional dan Islam menjadi identitas yang
membedakan mereka dari penjajah
(Kristen).
Hal lain yang
mendukung dinamika pergerakan pemikiran
dan sosial di Indonesia adalah, perkembangan yang terjadi dilevel internasional
khususnya perkembangan dinegeri-negeri Arab.Gaung Pan-Islamisme mengalir dengan derasnya, betapapun hubungan
Umat Islam dikepulauan ini dengan dunia Islam
tidak bisa dihindarkan, pada tahun
1924, bahkan datang utusan
Panitia Khilafah dari
India-Inggris bernama Husein
Mardani ad-Damsyiki. Kedatangannya
justru dalam rangka mempropagandakan
Pan-Islamisme,[11]
dan mendirikan Jam’iyyatul Ittihadi al-Islami atau de
Islamitische eenheid. Kehadiran
Husein al-Mardini inimerupakan realisasi keputusan Konfrensi Islam di Bombay
(India) pada pertengahan Maret 1923, yang juga dihadiri ulama dari Indonesia… kenyataan ini
membuktikan tidak terisolasinya umat Islam di wilayah ini dari dunai luar[12]
kemudian dikuatkan lagi dengan para
jemaah haji yang setiap tahun kontak
dengan dunia Islam, yang merupakan pertemuan universal, disana mereka
membicarakan berbagai masalah menyangkut
perkembangan di negeri masing-masing. Keberadaan Jemaah haji yang setiap
tahunnya terus mengalami pertambahan, disamping kwalitas para Jemaah haji, yang
sering membuat terobosan sosial dalam masyarakat, disamping keyakinan bahwa
haji sebagai manusia ideal dimata masyarakat dan setiap muslim mencita-citakan
posisi itu, hal ini tidak dapat dibendung oleh kolonialis yang mempunyai
tantangan tersendiri, karena menyangkut pelaksanaan ajaran agama.
Pertengahan abad
ke-19 pertambahan Jemaah haji setiap tahun meningkat, setelah menggunakan kapal uap sebagai media transportasi dan
diperlancar lagi dengan setelah dibukanya Terusan Suez tahun 1869, sehingga tahun 1939 jemaah haji
Indonesia mencapai 10.883 orang,[13]
hal ini cukup memberikan pengaruh khususnya arah pemikiran dan perkembangan
politik di tanah air, termasuk dalam menyoroti kondisi keberagamaan menyangkut praktek singkritis agama dan budaya, khurafat dan bid’ah
disamping pemikiran tentang Islam dalam
hubungannya dengan kemodrenan, ini tidak terlepas dari kontak Jemaah
haji dengan perkembangan modern khususnya dari umat Islam Indonesia
yang telah bermukin di Arab Saudi.
Karena itu pemerintah kolonial melakukan pengawasan dan pembatasan secara halus
terhadap Jemaah haji Indonesia
dan bagi C. Snouch Hurgronje masih membedakan antara jemaah haji biasa
dengan Jemaah haji Indonesia yang telah
bermukin disana yang sering disebut dengan Koloni Jawa, ini merupakan reservoir, bagi Islam di Indonesia. Mereka
terus menanamkan pengaruh dalam kehidupan beragama orang-orang sekampungnya,
baik melalui pergaulan langsung dengan para Jemaah haji di Mekkah
ataupun melalui hubungan surat
menyurat dengan saudara seagamanya di tanah air. Setelah pulang-pun mereka
sering memainkan peranan penting dalam kehidupan beragama
dalam lingkungannya[14]
Kenyataan ini
menggambarkan bahwa perkembangan politik kolonial (politik etis)
khususnya asosiasi kebudayaan-pendidikan
secara internal adalah awal dari keterbukaan pribumi untuk memunculkan
orang-orang terdidik secara Barat dan
gerakan yang timbul ditingkat internasional Islam dengan semangat Pan-Islamisme,
meski tidak berhasil tetapi telah membentuk semacam solidaritas diantara
negara-negara muslim. Dari politik asosiasi inilah yang melahirkan kaum nasionalis netral agama (Nasionalis sekuler),
selebihnya merupakan alumni Timur Tengah
dan lulusan pesantren di tanah
air (Nasionalis Islami)
Kebijakan
kolonialis Belanda terhadap agama-agama, dalam hal ini khususnya Islam,
mengalami perkembangan sejak Belanda berkuasa di Indonesia, meski mereka
memandang bahwa Bangsa Indonesia sebagai Muslim (beragama Islam) adalah
golongan rendah, Inlander, tanah jajahan, rakyat jajahan, termasuk
agamanya berada dibawah kekuasaan Belanda. Sehingga semua persoalan Belanda
menjadi sentrum kebijakan, kususnya kebijakan politik, kekuasaan,
ekonomi.Tentang keagamaan Belanda tidak banyak melakukan pengaturan, hal ini
seiring dengan pandangan sekuler kolnialis Belanda.Tetapi jika berhubungan
dengan politik dan kekuasaan maka belanda melakukan tindakan, yang jelas
Belanda tidak pernah memperhatikan kemajuan bangsa Indonesia yang berada
dibawah kekuasaannya, hingga lahirnya Politik Etis diatas.Dan Politik etis
muncul disaat-saat Belanda berada dipenghujung kekuasaannya di Indonesia, yang
kemudian digantikan oleh Kolonialis Jepang.Berubahnya pandangan kolonialis
Belanda terhadap rakyat jajahan, seiring juga dengan perkembangan pergerakan
Islam ditingkat internasional.Dalam hal ini memacu kolonialis melakukan
pendekatan kepada rakyat jajahan. Kebijakan asosiasi Kolonialis Belanda
merupakan salah satu dari kekhawatiran Belanda lepasnya tanah jajahan dari mereka. Dengan asosiasi ini memberikan
perubahan dalam beberapa hal menyangkut kepentingan umat Islam di Indonesia.
Pertama, Perhatian kepada pendidikan,yang selama ini rakyat hanya mengandalkan
pendidikan langgar, pesantren, dan sekolah madrasah, setingkat sekolah dasar.
Lembaga pendidikan ini hanya untuk mengerti tulis baca, disamping ilmu-ilmu
agama, fikih, ibadah, muamalah saja.Termasuk ilmu ilmu keduniaan, seperti, ilmu
hitung, ilmu obat-obatan, astronomi.[15]Karena
itu selama berabad-abad Belanda berkuasa di Indonesia tidak melahirkan
perubahan bagi rakyat, karena hal ini bertentangan dengan kebijakan
kolonialisme untuk tidak memajukan pendidikan rakyat jajahan, agar terus dapat
dijajah dan dikendalikan, sebab pendidikan yang membuat manusia sadar akan diri
dan keberadaannya.namun meski politik etis dalam kontek asosiasi ini dibuka
kolonialis Belanda, tetapi terbatas bagi masyarakat yang latar belakangnya
selama ini memiliki kedekatan dengan mereka, karena itu secara faktual tidak banyak
berpengaruh kepada rakyat Indonesia selain dari kepentingan Belanda saja.
Kolonilis Belanda tampaknya melakukan sistem pendidikan diskriminatif,
berdasarkan strata sosial, serta corak
pendidikan yang menyebabkan ketergantungan kepada pihak kolonilis Belanda
sendiri. Adapun prinsif pendidikan kolonialis Belanda sebagai berikut:
1.
Pemerintah
kolonialis berusaha tidak memihak salah
satu agama tertentu
2.
Pendidikan
diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja terutama demi kepentingan penjajah
3.
Sistem
persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat
4.
Pendidikan
diarahkan untuk membentuk golongan elit
sosial (penjilat penjajah) Belanda
5.
Dasar
pendidikannya adalah dasarpendidikan
Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan Barat.[16]
Prinsif pendidikan yang demikian diperparah lagi dengan munculnya
ordonansi pendidikan:
a.
Kelestarian
penjajahan merupakan tujuan prinsipil bagi kolonialis, sejalan dengan pola ini
maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang
harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai paktor yang akan
menghancurkan kekuatan Islam, karena
kolonialis sadar bahwa umat Islam menganggap
kolonial merupakan pemerintahan Kafir, yang menjajah agama dan
bangsa mereka dan hal ini semakin mendalam tertanam dikalangan santri.
Pesantren merupakan pusat pendidikan unggulan Islam pada saat itu mengambil
sikap ati belanda. Sampai uang yang diterima seseorang dari pemerintah Belanda
dinilai sebagai uang haram, celana dan dasi-pun dianggap haram, karena
merupakan identitas Belanda. Dimata Umat Islam pemerintah kolonial
dituduhsebagai pemerintah Kristen, sementara kebijakannya terhadap
agama, sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen yang diberi
subsidi oleh pemerintaha kolonial sering mewajibkan pendidikan agam Kristen
bagi murid-muridnya yang beragama Islam. Sekolah-sekolah negeri-pun sering
dimanfaatkan untuk kepentingan suatu
aliran gereja.Ketika Vanden Bossmenjadi Gubernur Jenderal di Jakarta (1831), dikeluarkan kebijakan bahwa
sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah dan tiap daerah ke-residenan didirikan satu
sekolah agama Kristen.
b.
Ordonansi guru,
suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat
menekan. Ordonansi pertama yang dikeluarkan tahun 1905, mewajibkan bagi setiap
guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum
melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi kedua dikeluarkan tahun
1925, mewajibkan guru agama Islam melaporkan diri. Pada tahun yang sama pula
pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat, bahwa tidak setiap
orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji.
c.
Ordonansi
sekolah liar, sejak tahun 1880, pemerintaqh kolonial secara resmi memberi izin
untuk mendidik pribumi, tetapi tahun 1932, keluar peraturan yang dapat
memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinnya dari pemerintah kolonial,
peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme-Islamisme
pada tahun 1928, berupa sumpah pemuda.[17]
Disisi lain keberadaan penasehat kolonial,
Snouchk Hurgronje telah berhasil memberikan pengertian kepada kolonialis
Belanda, bahwa rakyat (umat Islam)
hartus dibedakan dari sudut pandangnya, yakni, agama dan politik. Mereka yang
setia beragama tidak perlu membangun perlawanan dengan mereka, karena mereka
tidak berada pada sisi yang berlawanan dengan kolonial, demikan juga yang
bersifat kultural, tetapi yang bersifat poltis (Islam politis), dihadapi
dengan perlawanan, karena meraka ingin melawan kolonial Belanda.Selama ini
kebijakan kolonialis Belanda terhadap pelaksanaan ajaran agama tidak menjadi
perhatian, terutama Jemaah haji, setelah abad ke-19 seiring dengan perkembangan
Islam ditingkat global, maka belanda melakukan pembatasan secara halus kepada umat Islam, dan mengetatkan masuknya
pengaruh-pengaruh luar, yang membawa semangat pergolakan melepaskan diri dari
kolonil Belanda.seiring dengan keberadaan Snouchk Hurgronje, mendirikan kantoor
Voor InlandseZaken, (rakyat memberi nama Kantor Agama) yang tugasnya
pada masa kolonialialis Belanda adalah; mempelajari situasi politik-agama di
Indonesia dan dunia Arab. Memberi laporan dan nasehat kepada pemerintah Hindi
Belanda, yang kemudian pada masa Jepang berkuasa dijadikan kantor urusan agama.
Cikal bakanya telah ada sejak masa kolonilis Belanda.
Dalam hal ini masa kolonialis Belanda berakhir dengan masuknya kolonialis Jepang,
sepertinya bersambung secara baik, dengan adanya beberapa keterbukaan bagi
bangsa Indonesia diakhir kekuaasaan Belanda, masuknya Jepang justru membuka
secara lebar, sekat-sekat sosial, status sosial, agama yang secara
diskriminatif itu, Jepang justru memberikan kesempatan yang luas bagi semua
orang, kebijakan Jepang ini, bukan tidak punya alasan, karena mereka ingin
sumber daya manusia yang akan dipergunakan untuk kepentingan perang dan
militernya, disamping mengambil hati Bangsa Indonesia, meski hal ini tidak
menjadi perhatian bagi bangsa Indionesia, namun kesempatan ini harus
dipergunakan untuk kepentingan kemerdekaan yang kemudian menjadi fokus pemimpin-peminpin
Indonesia
C. Kebijakan
Kolonialisme Jepang terhadap agama-agama
Tahun
1942 Jepang menjadi kekuatan dominan di Asa Tenggara, dengan cepat menguasai
beberapa wilayah termasuk Philipina dan Indonesia, sebagai wilayah strategis
disamping memiliki sumberdaya alam dan populasi yang dianggap dapat menjadi
sumber kekuatan bersama untuk Perang Asia Timur Raya, meski Jepang menyadari
bahwa Indonesia menganut Islam, pada mulanya hal ini tidak menjadi masalah,
terbukti dengan kerjasama Jepang dengan Umat Islam pada awal-awal masuknya
jepang ke Indonesia. Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah air) satu lembaga
yang terdiri dari orang-orang Indonesia, didalamnya orang Indonesia dididik dan
dilatih memgang senjata, kemudian didirikan Kantor Urusan Agama (shumubu), dibentuknya Majlis Syuro
Muslimin Indonesia, dibentuknya Hizbullah. Meski selanjutnya Jepang harus
mempertimbangkan mana dari umat Islam yang dapat memenuhi kepentingan
kolonialnya di Indonesia.
Masuknya
jepang ke Indonesia membawa perubahan yang lebih luas bagi rakyat Indonesia,
terutama dalam pendidikan, yang pada masa kolonilis Belanda bersifat
diskriminatif, kini terbuka bagi setiap orang, semua mendapat kesempatan yang
sama , jalur-jalur sekolah dan
pendidikan menurut penggolongan keturunan, bangsa, strata atau pun status
sosial dihapuskan. Bahasa yang digunakan
adalah Bahasa Indonesia, bukan bahasa Jepang, hal ini sejalan dengan tujuan
kolonialis Jepang, adalah untuk menciptakan tenaga militer Jepang dan buruh
romusa.[18]
Adapun
sitem pendidikan yang dilakukan Jepang adalah:
1.
Jenjang sekolah dasar
menggunakan istilah Sekolah
rakyat atau Kekumin Gakko yang terbuka bagi semua golongan penduduk
tanpa pembedaan status sosial.
2.
Jenjang sekolah
diatasnya, sekolah Lanjutan Pertama
(umum) atau SMP disebut Shjoto Chu Gakko, juga terbuka untuk
semua golongan penduduk yang memiliki ijazah Sekolah Rakyat
3.
Jenjang Sekolah
diatasnya lagi , juga terbuka untu semua
golongan penduduk.[19]
Dalam
hal ini tentu umat Islam mendapat banyak porsi dalam pendidikan, sebagai
mayoritas penduduk.
Selama
tahun 1942-1945, jepang berkuasa di Indonesia, meghadapi ancaman dari luar
(kekuatan Sekutu) dan dari dalam (pejuang Indonesia) yang memiliki kekuatan
sebagai unsur politik yang hendak merdeka, untuk meredakan situasi itu Jepang
beberapa kali menawarkan kemerdekaan, tapi hal ini tidakkunjung terjadi hingga
kemerdekaan yang diproklamirkan Sukarno dan Hatta. Watak kolonialis Jepang
sebenarnya diketahui oleh Indonesia, satu sisi pejuang terus melakukan
penekanan dari luar sedang dari dalam dilakukan berbagai pendekatan kepada Jepang
agar Jepang tidak menghalangi kemerdekaan Indonesia.
Detik
terahir dari kekuasaannya Jepang mengubah arah kebijakannya, mereka makin
banyak memberi dukungan kepada pemimpin kubu Nasionalis Sekuler, dimana sebelumnya
mendekati kubu Nasionalis islamis sebagai mana disebut diatas.
Ada
beberapa hal yang menguntungkan bagi bangsa Indonesia dengan kehadiran Jepang:
1.
Bahasa
Indonesia hidup dan berkembang secara luas
diseluruh Indonesia
2.
Buku-buku dalam
bahasa asing diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia
3.
Kreatifitas
guru-guru berkembang dalam memenuhi kekuarangan buku-buku pelajaran dengan menyadur atau mengarang sendiri, termasuk menciptakan alat pelajaran
4.
Seni bela
diri dan latihan perang-perangan sebagai kegiatan kokurikuler, telah membangkitkan kebeneranian
para pemuda, terutama, seinendan,
Keibodan, Heiho dan PETA yang telah
terlatih memegang senjata api
5.
Diskriminasi
menurut golongan penduduk, keturunan dan agama
dihilangkan, sehingga semua lapisan masyarakat mendapat kesempatan yang sama
dalam bidang pendidikan.
6.
Sekolah-sekolah
diseragamkan dan sekolah swasta dinegerikan dan berkembang dibawah pengaturan kantor pengajaran Bunkyo Kyoku
7.
Karena pengaruh
indoktrinasi yang ketat untuk
men-Jepangkan rakyat Indonesia , justru perasaan rindu kepada kebudayaan sendiri muncul dan kemerdekaan nasional berkembang
8.
Bangsa
Indonesia dilatih dan dididik untuk memegang jabatan-jabatan walaupun dibawah pengawasan orangt-orang Jepang.[20]
D. Poin-Poin
Kebijakan Kolonial Terhadap Agama-Agama
Tidak semua orang Islam harus
diposisikan sebagai musuh, karean tidak
semua orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah Belanda. Bahkan para
ulamanya-pun, jika selama kegiatan ubudiah
mereka tidak diusik, maka para ulama itu
tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintahan
kolonil Belanda. Oleh Snouchk, diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama
dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui Politik Asosiasi,
diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak Barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri
dan budaya Eropa. Dengan demikian
hilanglah kekuatan cita-cita Pan Islam dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen.
Dalam bidang politik, bentuk-bentuk
agitasi politik Islamharus ditumpas, karena hal ini dapat membawa
rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islam. Penumpasan itu jika perlu dilakukan
dengan kekerasan dan kekuasaan senjata.Dan setelah diperoleh ketenangan,
pemerintah kolonial harus menyediakan
pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintahan kolonial dan akhirnya rela diperintah orang-orang kafir
Dalam
bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku
dan membantu menggalakkkan rakyat
agar tetap berpegang pada adat
istiadat yang telah dipilih agar
sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa, Snouchk menganjurkan
agar pemerintah kolonial membatasi
meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam bidang hukum dan
peraturan. Dalam hal ini diupayakan Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan
dilegitimasi serta diakui eksistensinya dan kekuatan hukumnya, jika sudah
diadopsi menjadi hukm adat. Sejalan dengan
itu Pemerintah Kolonial menerapkan konsep
Devide Et impera, dengan memanfaatkan kelompok priyayi dan Islam
abangan untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya dimasyarakat.
Dalam
bidang agama murni dan ibdah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka
pemerintah kolonial memberi kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan
ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah
memperhatikan agama Islam dengan
memperbaiki tempat peribadatanserta memberikan kemudahan dalam melaksanakan
ibadah haji. [21]
E. Kesimpulan
Kebijakan kolonial terhadap
agama-agama di Indonesia pada prinsifnya untuk mengawal kelanggengan
kolonialisasi dan inperialisasi mereka di bumi jajahan, perlakuan
diskriminatif, dalam sosial, pendidikan, kebudayaan, hukum, agama dan sistem
pecah belah (devide et impera)
adalah cara untuk melumpuhkan kekuatan dan perlawanan politik, meski kolonial
memberikan kebebasan pelaksanaan ajaran agama, bahkan memberi perhatian
terhadap keberagamaan, hanya taktik menarik simpatik kalangan agama semata,
sedang tujuan mereka adalah melumpuhkan jiwa Indonesia.
Disamping tujuan kekuasaan,
Kolonialis Belanda melakukan penyebaran agama Kristen (Kristenisasi),
terutama kepada kelompok-kelompok asosiasi, sebagai alat mengokohkan kekuasaan.
Kebijakan kolonialis terhadap
agama-agama, justru bertolak belakang dengan prinsip khususnya dalam
pendidikan, dari pembatasan guru agama (ordonansi) hingga isi pelajaran,
izin mengajar, jumlah lembaga pendidikan agama.Kolonialis membuat standar
ganda, bagi kalangan Islam dan Kristen, dan sebagainya.
1.
Ahmad Mansur Suryanegara. Menemukan Sejarah , Wacana
Pergerakan, Islam di Indonesia, Pen.
Mizan, Bandung. Cet. VII, 1998. h. 235
2.
Ibid, h. 236
3.
Lifford Greertz, The
Religiopn Of Java, The Free of Glencoe, Illionis 1968. h. 68.Lebih jau
Lihat Karl. A. Stenbring. Beberapa aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke 19. Bulan Bintang, Jakarta,
cet. I. 1984.
4.
Lihat Slamet Mulyana, Runtuhnya kerajaan Hindu Jawa dan
timbulnya negara-negara Islam di Nusantara, Pen. LkiS, Jogyakarta, Cet.
VIII, 2009.
5.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942.
Cti. II dari Buku The Modern Muslim Movement
in Indonesia.1900-1942, pen. LP3ES, Pent. Deliar Noer 1982. H.
181-182
6.
Aqib Sumitro. Politik Islam Hindia Belanda, dikutip dari
Bernard MH. Vlekke, The Story Of Duch East Indie, Cambridge, 1945. h. 174
Pen. LP3ES, cet, I, 1985, h. 40.
7.
Deliar Noer, Op.Cit, h. 182
8.
Aqib Sumitro, OP.Cit, hal. 41-43
9.
Ia adalah keturunan bupati Banten, salah seorang yang pertama
mendapat pendidikan akademis. Ia menyelesaikan Doktoenya di Leiden. Pada
fakultas Sastra dan Filsafat (1913). LihatGF. Pijper, Benerapa studi tentang
Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950., Pen Universitas Indonesia, Cet. II. 1985
h. 9.
10. Ibid,
h. 10-11
11. Sehubungan
dengan Pan-Islamisme telah diadakan pada
beberapa kongres , seperti kongres Dunia Islam di Kairo tanggal, 13-19 Mei 1926
diprakarsai oleh Raja Fuad. Kongres
Khilafah tanggal, 1 Juni 1926 di Makkah
atas prakarsa Raja Ibnu Saud,
Indonesia mengirim HOS Tjokroaminoto
(SI) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah). Tahun 1927 Kongres kedua di Makkah,
Indonesia diwakili oleh H. Agussalim.
Sejauh ini Kongres Khilafah selalu menghadapi kegagalan. 1930 berkat Kongres Palestina terbentuklan
12. Organisasi Muktamar Alam Islami, diketuai oleh H. Amin al-Husaini dari Palestina dan H. Abdul Kahar Muzakar dari Indonesia sebagai sekretaris.
13. Ibid,
h. 92
14. Laporan
resmi Pemerintah Hindia Belanda tahun
1941, dikutip oleh Aqib Sumitro. Lihat Lampiran Politik Hindia
Belanda.
15. Ibid,
h. 5. Tentang politik Belanda terhadap Jemaah haji Indonesia, Lihat kumpulan
karang Snouck Hurgronje, jilid IX dari Buku
Verspreidegeschriften, pen. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Jakarta.
INIS. 1994, h. 161-182.
16. Ary
H. Gunawan, Kebijakan-akebijakan aPendidikan, pen. Bina aksara, Cet. I.
1986 h. 6-7
17. Ibid,
h. 11
18. Ibid,
29
19. Ibid,
h. 29.
20. Ibid.
h. 30.
21. Hhtp:/kajad-alhikmahkajen.blogspot.com/
h. 2
22. http/makalah
pendidikan blogdetik com h.3-4
[1]
Ahmad Mansur Suryanegara. Menemukan Sejarah , Wacana Pergerakan, Islam di Indonesia, Pen. Mizan, Bandung. Cet. VII, 1998. h. 235
[2]
Ibid, h. 236
[3]Lifford Greertz, The Religiopn Of Java, The Free of
Glencoe, Illionis 1968. h. 68.Lebih jau Lihat Karl. A. Stenbring. Beberapa
aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke
19. Bulan Bintang, Jakarta, cet. I.
1984.
[4]
Lihat Slamet Mulyana, Runtuhnya kerajaan Hindu Jawa dan timbulnya negara-negara
Islam di Nusantara, Pen. LkiS, Jogyakarta, Cet. VIII, 2009.
[5]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Cti. II dari Buku The
Modern Muslim Movement in
Indonesia.1900-1942, pen. LP3ES, Pent. Deliar Noer 1982. H. 181-182
[6]Aqib
Sumitro. Politik Islam Hindia Belanda, dikutip dari Bernard MH. Vlekke, The Story Of Duch East Indie, Cambridge, 1945. h. 174 Pen.
LP3ES, cet, I, 1985, h. 40.
[7]
Deliar Noer, Op.Cit, h. 182
[8]Aqib
Sumitro, OP.Cit, hal. 41-43
[9]Ia
adalah keturunan bupati Banten, salah seorang yang pertama mendapat pendidikan
akademis. Ia menyelesaikan Doktoenya di Leiden. Pada fakultas Sastra dan Filsafat
(1913).LihatGF.Pijper, Benerapa studi tentang Sejarah Islam di Indonesia
1900-1950., Pen Universitas Indonesia, Cet. II.1985 h. 9.
[10]
Ibid, h. 10-11
[11]
Sehubungan dengan Pan-Islamisme telah diadakan
pada beberapa kongres , seperti kongres Dunia Islam di Kairo tanggal,
13-19 Mei 1926 diprakarsai oleh Raja
Fuad. Kongres Khilafah tanggal, 1 Juni 1926 di Makkah atas prakarsa
Raja Ibnu Saud, Indonesia mengirim
HOS Tjokroaminoto (SI) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah). Tahun 1927
Kongres kedua di Makkah, Indonesia diwakili
oleh H. Agussalim. Sejauh ini Kongres Khilafah selalu menghadapi
kegagalan.1930 berkat Kongres Palestina
terbentuklan Organisasi Muktamar Alam
Islami, diketuai oleh H. Amin al-Husaini
dari Palestina dan H. Abdul Kahar
Muzakar dari Indonesia sebagai
sekretaris.
[12]
Ibid, h. 92
[13]
Laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda
tahun 1941, dikutip oleh Aqib Sumitro. Lihat Lampiran Politik Hindia Belanda.
[14]Ibid,
h. 5. Tentang politik Belanda terhadap Jemaah haji Indonesia, Lihat kumpulan
karang Snouck Hurgronje, jilid IX dari Buku
Verspreidegeschriften, pen. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat,
Jakarta.INIS. 1994, h. 161-182.
[15]
Ary H. Gunawan, Kebijakan-akebijakan aPendidikan, pen. Bina aksara, Cet. I.
1986 h. 6-7
[16]
Ibid, h. 11
[17]
Hhtp:/kajad-alhikmahkajen.blogspot.com/ h. 2
[18]
Ibid, 29
[19]Ibid,
h. 29.
[20]Ibid.
h. 30.
[21]
http/makalah pendidikan blogdetik com
1 comments:
SALAM, APA KABAR ? Alhamdulillah saya telah mengunjungi Blog Anda, intinya thema dan uraian materinya sangat bagus. Nah, tidak ada salahnya jika tulisan-tulisan Anda juga untuk dituangkan dalam Jurnal Ilmiyah, dengan beberapa alasan. SUATU HAL YANG SULIT DIPUNGKIRI DENGAN LUASNYA WILAYAH NKRI + ASEAN SANGAT MUNGKIN DATA SEJARAH TERKAIT KEBERADAAN :
PERAN AKTIF TOKOH/TEUNGKU/TUAN GURU/ AJEUNGAN
LEMBAGA PENDIDIKAN (Mis. PESANTREN, DAYAH, SURAU, MADRASAH)
KESULTANAN
MASJID
KEMARITIMAN (Jaringan Sungai, Pelabuhan, dsb)
MAKAM
ISTANA
NASKAH/MANUSKRIP
TATARUANG KOTA
KERAJINAN (gerabah, batik, Kaligrafi, seni pentas, senjata, logam, keramik, dll)
Masing-masing tersebut di atas BELUM BANYAK TERUNGKAP. (Pilih salah satu saja)
Jurnal Ilmiyah KALIJAGA dengan izin terbit ISSN no.2302-6758, (focus Sejarah Kebudayaan & Peradaban Islam di Asia Tenggara) selalu setia menunggu Makalah dan/ atau hasil penelitian dari para PEMERHATI, PENELITI, DOSEN, GURU Pengampu materi SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM. Andai sudah ditulis tolong kirim via email : jurnalkalijaga@ymail.com.
Untuk membangun kebersamaan, tolong disampaikan kpd segenap teman yang lain. Jazakumullah kheir khoiral jaza’. Tks
Posting Komentar