Selasa, 02 April 2013

Kebijakan Kolonial Terhadap Agama di Indonesia

A.Pengantar
Sejak masuknya Islam ke Indonesi, Islam telah menjadi anutan lebih dari separoh Bangsa Indonesia, Islam telah membumi dan mendarah bagi Bangsa Indonesia, sehingga setiap isu yang muncul dalam sosial Indonesia tidak lepas dari berbagai istilah dalam Islam. meski tidak terlepas dari hal yang positif maupun negatif, ini menunjukkan bahwa islam telah bersifat kosmopolitan, mengakar dan membumi secara radikal, ditanah Indonesia ini.
Islam memberikan pengaruh yang menimbulkan  munculnya kelompok baru  yang disebut ulama dan santri, yang kemudian oleh penguasa asing  ingin dijauhkan dari pengaruh politik[1]. Inidapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, Islam menjadi satu hal yang diterima pada lapisan bawah sosial (Grass root), sebagai kelompok sosial yang murni, masyarakat ini menerima Islam sepenuh hati  dan menuruti ajarannya dengan yakin dan tulus terhadap agama. Mereka melihat Islam sebagai pembebas, dimana Hindu dan ajaran lainnya tidak lagi memberi semangat  dalam kehidupan, mereka menjadi manusia, tetapi memiliki strata terendah dalam sosial (kasta-kasta).  Dengan Islam menimbulkan semangat  perubahan, yang mengembalikan diri manusia menjadi dirinya sendiri dengan bebas, dan hak-hak yang sama dengan lainnya (renaissance) Kedua, Ajaran Islam mempengaruhi tata kehidupan, seperti perekonomian, dengan perdagangan, orientasi ini ternyata pada masa Kolonialis Belanda mendapat tantangan, hambatan, bahkan ancaman bagi umat Islam untuk melakukan aktivitas perdagangan, yang sebelum Kolonialis Belanda masuk ke Indonesia telah menjadi salah satu kegiatan penting Umat Islam di Indonesia. Adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan oleh Imperialis Barat menimbulkan tantangan bagi umat Islam, dalam hal ini para ulama  bekerja keras umtuk membina santri-santrinya agar memiliki sikap  combative spirit ( semangat siap tempur), pesantren yang sebelumnya hanya sebagai lembaga pendidikan, fungsinya bertambah sebagai tempat kegiatan membina pasukan  suka rela.[2]Dalam hal ini dapat kita lihat peran dan fungsi pesantren sebagai pusat perlawanan terhadap kolonialis dan Inperialis Barat (a centre of anty DucthCentiment).
Clifford Greertz menyatakan  dalam adab ke-19  saja Belanda  menghadapi empat  kali pembrontakan santri  yang besar, peperangan ini sering dalam sejarah dituliskan sebagai perang sabil,  (the Holy war).  Adapunpembrontakan itu. Pertama, perang Cirebon,  (1802-1806). Kedua,perang Diponegoro (1825-1830), yang disebut sebagai perang Jawa Tengah yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, dibawah panji Islam.Ketiga, Perang Padri, di Sumatera barat, (1821-1838), sebagai akibat intervensi politik  Belanda terhadap perang adat melawan ulama. Keempat, di Aceh (1873-1908). Sebagai pemberontakan santri terpanjang, Belanda menghadapi pembrontakan santri ini hingga masa kekuasaannya berakhir di Indonesia, dimana ulama tidak pernah absen  melancarkan gerilya  hingga tahun 1942.[3]
Sejak awal abad ke -16 kolonial  Barat mulai muncul di kepulauan nusantara,  kektika itu kondisi Islam telah mulai mapan, dengan berdirinya kerajaan-keraan Islam  yang bertebaran dikepulauan nusantara baik, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa kepulauan, seperti Maluku, Ambon dan lain sebagainya. Kondisi sosial politik Indonesia mengalami kemakmuran dan kejayaan, yang dikenal dengan zaman kejayaan Nusantara, berkat dengan tersiarnya Islam keseluruh penjuru nusantara dan berkembangnya sistem perdagangan yang tidak sekedar sekitar nusantara, tetapi berkembang keseluruh dunia, baik ketimur maupunn Barat, perdagangan sutra yang melintasi asia, afrika  Eropa sampai keIndonesia, merupakan salah satu yang membuktikan luasnya perdagangan hasil-hasil rempah-rempah, keramik emas sutra, bahkan konon kapur barus dari Daerah Barus sampai ke negara-negara timur tengan dan Eropa.
Munculnya Portugis tahun 1511,[4]di kerajaan Gowa, Sulawesi, dan menguasai wilayah itu, mendorong beberapa negara Eropa, seperti Belanda melakukan ekspidisi, penjelajahan ke Indonesia, yang kemudian menggantikan Portugis, menguasai perdagangan rempah-rempah dinusantara.Seterusnya hingga abad ke-19 memasuki awal abad 20 Belanda menjadi penguasa kolonial dan imperialis, yang selain mengeksploitasi bumi Indonesia sekaligus melakukan Kristenisasi dinusantara.Kristenisasi seiring dengan kolonialisasi, dengan melakukan politik standar ganda antara Belanda dengan pribumi, yang menyengsarakan rakyat yang nota bene umat Islam. Kebijakan Kolonialis terhadap pribumi tidak sekedar ingin menguasai dan mangambil hasil bumi Indonesia tetapi lebih jauh membatasi berbagai aktivitas Umat beragama khususnya kebijakan kehidupan beragama,  dalam pendidikan, sosial, politik ekonomi dan lain-lain.Hal ini dapat terlihat semacam kondisi sebelum Kolonial Belanda berkuasa di nusantara, Penguasa Hindu sebagai pengausa politik, tidak dapat lagi menjadi pelindung rakyat perobahan agama rakyat dari Hindu ke Islam, sementara penguasa masih tetap pada agamanya, menyebabkan rakyat berpaling kepada ulama dan menganggap penguasa politik telah gagal, alam peodal dan kondisi petani miskin sebagai hasil dari penindasan penguasa politik, sebagai ketidak beripihakan kepada rakyat, satu-satunya yang masih berpihak kepada rakyat adalah ulama
B. Kerbijakan Kolonialis Belanda terhadap Agama-Agama
            Kebijakan kolonoalis dan imperialis Belanda sejak kedatangannnya hingga akhir kekuasaannnya di Indonesia terhadap agama-agama cukup bervariasi, disampingh tidak feer, mereka melakukan standar ganda, terhadap Islam dan agama lainnya, khususnya perlakukan istimewa terhadap Kristen yang baru tumbuh dengan kedatangah Kolonialis dan inperialis Belanda sendiri. Karena itu penting untuk menjadi perhatian, dan hal ini sejak kehadirannya di Indonesia telah membatasi berbagai lapangan sosial dan keagamaan Umat Islam yang mayoritas itu.
            Pada awal kehadirannya, Kolonialis Belanda, tidak melihat adanya perbedaan dikalangan Umat Islam yang mereka anggap sebagai lawan, kecendrungan politik Kolonialis Belanda menempuh  cara menghancurkan  setiap perlawanan, dengan mengahncurkan kekuatan-kekuatan ulama dan umat Islam, dan dengan mengembangkan agama non Islam (Kristen)  sebagai tandingan, dari dalam mereka melakukan upaya penggeseran agama, meski halini tidak memiliki daya tarik bagi umat Islam, dan mereka hanya dapat menarik susuku-suku terasing, yang belum memiliki agama. Sedang dari luar melakukan serangan terhadap kekuatan-kekuatan ulama dan umat Islam.
            Bagian terahir  abad ke-20, bergaung keinginan umat Islam  untuk mendirikan  pemerintahan  sendiri, hal ini  dilihat penjajah  sebagai tantangan  untuk mempertahankan  dominasi  kolonial mereka  atas tanah jajahan  yang nota bene  Umat Islam. Kecaman terhadap politik liberal yang diterapkan di Indonesia  seiring dengan gerakan Pan- Islamisme  yang telah mendapat  perhatian besar  dinegeri-negeri muslim, maka sejak tahun 1970, sistem tanam paksa  (culture steelsel)  dalam politik liberal  yang merupakan  eksploitasi  tidak etis oleh perusahaan-perusahaan  swasta Belanda dihentikan. Kecaman itu muncul dari kaum  sosialis Belanda, hal ini mendapat perhatian  dari pemerintah  kolonial, disaping  munculnya kekuatan Jepang sebagai kekuatan tandingan  yang memaksa pemerintah kolonial  Belanda mengubah sistem politiknya  di negeri jajahan.
            Permulaan abad ini mencatat apa yang dinamakan politik etis yakni pemerintah tidak lagi melihat Indonesia semata-mata sebagai daerah yang dieksploitasi demi keperluan  Negeri Belanda saja, melainkan  juga untuk kemakmuran penduduk, meski secara paktual tidak pernah diwujudkan.Namun secara teoritis telah mengubah peta politik pemerintah kolonial. Istilah-istilah  barupun muncul seperti; Univikasi, asimilasi dan asosiasi.
            Unifikasi merupakan suatu istilah hukum dan bukan merupakan pengertian tentang hubungan sosial pada umumnya. Mulanya pengertian unifikasi berarti hapusnya peraturan-peraturan yang berbeda bagi daerah yang bermacam-macam seperti struktur hukum, proses hukum dan pajak. Setelah tahun 1900 istilah ini mulai mengandung suatu usaha  untuk mendirikan  suatu sistem legislatif  seperti  dalam bidang administratif kepegawaian, pendidikan, pajak dan sebagainya untuk semua golongan penduduk baik Eropa maupun Indonesia  dengan didasarkan kepada ukuran  yang berlaku bagi golongan Eropa.
Asimilasi mengandung arti bahwa keperluan-keperluan Hindia akan dipenuhi dengan syarat-syarat Barat… (sedang) Asosiasi mengandung maksud bagaimana mengikat negeri jajahan  dengan negeri penjajah. Dalam hubungan ini, kebudayaan dianggap merupakan sarana  yang sangat epektif, manfaat kebudayaan negeri penjajah akan terbuka untuk dipergunakan  oleh negeri yang dijajah.[5]Dalam konteks
asosiasi ini oleh Christian Snouch Horgronje diperjuangkan untuk memberikan peluang bagi orang-orang  Indonesia yang secara akademis mendapat pendidian Barat dan secara teoritis menjadi tujuan asosiasi, bukan saja untuk menarik simpati           pribumi melainkan sekaligus upaya Kristenisasi dan untuk menguatkan kolonialisasi  di Indonesia. Menurut Snouch Horgronje akan menjamin kekakalnya loyalitas mereka. Ditegaskan pula bahwa asosiasi akan menghilangkan cita-cita  Pan-Islamisme dari segala kekuatannya. Tetapi asosiasi yang diterapkan tidak serta merta menyeluruh bagi peibumi, khususnya  dalam pendidikan. Kolonilis Belanda memilih golongan yang memang selama ini dimana pengaruh mereka telah tertanamkan dankarena itu hanya menyentuh  segelintir masyarakat Indonesia terutama mereka yang berafiliasi dengan perkumpulan NederlandschIndiche Vrijzinningen Bond (Kesatuan Kaum Liberal Hindia Belanda)[6] dan anak-anak bangsawan ….Dalam program ini pula  kalangan bangsawan diharapkan Snouch Horgronjemampu menjadi pewaris  pola asosiasinya, untuk selanjutnya menjadi partner  dalam kehidupan sosial budaya[7]Dasar pemikiran pemilihan sasaran asosiasi dalam pendidikan  ini terlihat atas pertimbangan bahwa lapisan pribumi  yang berkebudayaan lebih tinggi ini relatif jauh  dari pengaruh Islam, sedangkan pengaruh Barat  yang mereka miliki  akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintah Eropa[8]
            Politik asosiasi dalam pendidikan meski terlihat untuk pribumi, tetapi sepernuhnya bertujuan demi kolonialisme,  namun telah membuka  babakan baru  bagi Bangsa Indonesia dalam hal meningkatkan sumber daya manusianya. Secara akademis membuka wawasan berpikir serta identitas diri Bangsa Indonesia. Diantara kader terdidik ini ada yang telah mencapai gelar doktor yakni Pangeran Aria Hossein  djajadiningrat(1886-1960)[9] dengan prestasi  Cumlaude di Leiden dan secara resmi dibiayai oleh pemerintah Belanda  sampai  tahun 1930, yang kemudian oleh Pemerintah Belanda melakukan pembatasan sehubungan dengan kondisi  sosio-ekonominya.
Pada akhir masa Snouchk Hurgronje di Indonesia, didirikan sebuah lembaga husus, yang menjadi penting untuk studi Agama Islam yaitu, Kantoor voor InlandseZaken, oleh rakyat disebut  Kantor Agama… kantoor Voor Inlandse Zaken  berdiri terus samapai masuknya tentara Jepang  pada tahun 1942. Kemudian setelah selesai perang  tahun 1942 samapai 1945 berdirilah pemerintah Republik Indonesia  dan dibentuklah Kementrian Agama[10]
            Upaya asosiasi  pendidikan  yang dilakukan pemerintah Belanda untuk mengutuhkan kolonial, diharapkan dapat menjinakkan pribumi  disamping upaya menjauhkan  mereka  dari rasa kebangsaaan  dan ke-Indonesiaannya. Hal ini ternyata tidak berhasil seperti prediksi dan asumsi mereka, kesadaran agama  dan kebangsaan itu  muncul lebih  besar dengan ruh Islam  yang  begitu kuat. Rasa Ukhuah Islamiah  dan rasa agama yang tinggi membuat Umat Islam lebih merapatkan barisan dan Islam menjadi pemersatu  dalam menghadapi  kaum penjajah  dan Kaum Kristen yang dalam pandangan umat Islam  adalah kaum kafir, khususnya dalam pandangan kalangan santri dan kaum tradisional dan Islam menjadi identitas yang membedakan mereka dari penjajah  (Kristen).
            Hal lain yang mendukung dinamika  pergerakan pemikiran dan sosial di Indonesia adalah, perkembangan yang terjadi dilevel internasional khususnya perkembangan dinegeri-negeri Arab.Gaung Pan-Islamisme  mengalir dengan derasnya, betapapun hubungan Umat Islam dikepulauan ini dengan dunia Islam  tidak bisa dihindarkan, pada tahun  1924, bahkan datang utusan  Panitia Khilafah  dari India-Inggris bernama  Husein Mardani  ad-Damsyiki. Kedatangannya justru dalam rangka mempropagandakan  Pan-Islamisme,[11] dan mendirikan Jam’iyyatul Ittihadi al-Islami atau de Islamitische  eenheid. Kehadiran Husein al-Mardini inimerupakan realisasi keputusan Konfrensi Islam di Bombay (India) pada pertengahan Maret 1923, yang juga dihadiri  ulama dari Indonesia… kenyataan ini membuktikan tidak terisolasinya umat Islam di wilayah  ini dari dunai luar[12] kemudian dikuatkan  lagi dengan para jemaah haji  yang setiap tahun kontak dengan dunia Islam, yang merupakan pertemuan universal, disana mereka membicarakan  berbagai masalah menyangkut perkembangan di negeri masing-masing. Keberadaan Jemaah haji yang setiap tahunnya terus mengalami pertambahan, disamping kwalitas para Jemaah haji, yang sering membuat terobosan sosial dalam masyarakat, disamping keyakinan bahwa haji sebagai manusia ideal dimata masyarakat dan setiap muslim mencita-citakan posisi itu, hal ini tidak dapat dibendung oleh kolonialis yang mempunyai tantangan tersendiri, karena menyangkut pelaksanaan ajaran agama.
            Pertengahan abad ke-19 pertambahan Jemaah haji setiap tahun meningkat, setelah menggunakan  kapal uap sebagai media transportasi dan diperlancar lagi dengan setelah dibukanya Terusan Suez  tahun 1869, sehingga tahun 1939 jemaah haji Indonesia mencapai 10.883 orang,[13] hal ini cukup memberikan pengaruh khususnya arah pemikiran dan perkembangan politik di tanah air, termasuk dalam menyoroti kondisi keberagamaan  menyangkut praktek singkritis  agama dan budaya, khurafat dan bid’ah disamping pemikiran tentang Islam  dalam hubungannya  dengan kemodrenan,  ini tidak terlepas dari kontak Jemaah haji  dengan perkembangan  modern khususnya dari umat Islam Indonesia yang telah bermukin  di Arab Saudi. Karena itu pemerintah kolonial melakukan pengawasan  dan pembatasan  secara halus  terhadap Jemaah haji Indonesia  dan bagi C. Snouch Hurgronje masih membedakan antara jemaah haji biasa dengan Jemaah haji Indonesia  yang telah bermukin disana yang sering disebut dengan Koloni Jawa, ini merupakan  reservoir, bagi Islam di Indonesia. Mereka terus menanamkan pengaruh dalam kehidupan beragama orang-orang sekampungnya, baik melalui pergaulan langsung dengan para Jemaah haji  di Mekkah  ataupun melalui hubungan surat  menyurat dengan saudara seagamanya di tanah air. Setelah pulang-pun mereka sering memainkan  peranan penting  dalam kehidupan  beragama  dalam lingkungannya[14]
            Kenyataan ini menggambarkan bahwa perkembangan politik kolonial (politik etis) khususnya asosiasi kebudayaan-pendidikan  secara internal adalah awal dari keterbukaan pribumi untuk memunculkan orang-orang terdidik secara Barat  dan gerakan yang timbul ditingkat internasional Islam dengan semangat Pan-Islamisme, meski tidak berhasil tetapi telah membentuk semacam solidaritas diantara negara-negara muslim. Dari politik asosiasi inilah  yang melahirkan kaum nasionalis  netral agama (Nasionalis sekuler), selebihnya merupakan alumni Timur Tengah  dan lulusan  pesantren di tanah air (Nasionalis Islami)
            Kebijakan kolonialis Belanda terhadap agama-agama, dalam hal ini khususnya Islam, mengalami perkembangan sejak Belanda berkuasa di Indonesia, meski mereka memandang bahwa Bangsa Indonesia sebagai Muslim (beragama Islam) adalah golongan rendah, Inlander, tanah jajahan, rakyat jajahan, termasuk agamanya berada dibawah kekuasaan Belanda. Sehingga semua persoalan Belanda menjadi sentrum kebijakan, kususnya kebijakan politik, kekuasaan, ekonomi.Tentang keagamaan Belanda tidak banyak melakukan pengaturan, hal ini seiring dengan pandangan sekuler kolnialis Belanda.Tetapi jika berhubungan dengan politik dan kekuasaan maka belanda melakukan tindakan, yang jelas Belanda tidak pernah memperhatikan kemajuan bangsa Indonesia yang berada dibawah kekuasaannya, hingga lahirnya Politik Etis diatas.Dan Politik etis muncul disaat-saat Belanda berada dipenghujung kekuasaannya di Indonesia, yang kemudian digantikan oleh Kolonialis Jepang.Berubahnya pandangan kolonialis Belanda terhadap rakyat jajahan, seiring juga dengan perkembangan pergerakan Islam ditingkat internasional.Dalam hal ini memacu kolonialis melakukan pendekatan kepada rakyat jajahan. Kebijakan asosiasi Kolonialis Belanda merupakan salah satu dari kekhawatiran Belanda lepasnya tanah jajahan dari  mereka. Dengan asosiasi ini memberikan perubahan dalam beberapa hal menyangkut kepentingan umat Islam di Indonesia. Pertama, Perhatian kepada pendidikan,yang selama ini rakyat hanya mengandalkan pendidikan langgar, pesantren, dan sekolah madrasah, setingkat sekolah dasar. Lembaga pendidikan ini hanya untuk mengerti tulis baca, disamping ilmu-ilmu agama, fikih, ibadah, muamalah saja.Termasuk ilmu ilmu keduniaan, seperti, ilmu hitung, ilmu obat-obatan, astronomi.[15]Karena itu selama berabad-abad Belanda berkuasa di Indonesia tidak melahirkan perubahan bagi rakyat, karena hal ini bertentangan dengan kebijakan kolonialisme untuk tidak memajukan pendidikan rakyat jajahan, agar terus dapat dijajah dan dikendalikan, sebab pendidikan yang membuat manusia sadar akan diri dan keberadaannya.namun meski politik etis dalam kontek asosiasi ini dibuka kolonialis Belanda, tetapi terbatas bagi masyarakat yang latar belakangnya selama ini memiliki kedekatan dengan mereka, karena itu secara faktual tidak banyak berpengaruh kepada rakyat Indonesia selain dari kepentingan Belanda saja. Kolonilis Belanda tampaknya melakukan sistem pendidikan diskriminatif, berdasarkan strata  sosial, serta corak pendidikan yang menyebabkan ketergantungan kepada pihak kolonilis Belanda sendiri. Adapun prinsif pendidikan kolonialis Belanda sebagai berikut:
1.      Pemerintah kolonialis  berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu
2.      Pendidikan diarahkan  agar para tamatannya  menjadi pencari kerja  terutama demi kepentingan penjajah
3.      Sistem persekolahan  disusun berdasarkan  stratifikasi sosial  yang ada dalam masyarakat
4.      Pendidikan diarahkan  untuk membentuk  golongan elit  sosial (penjilat penjajah) Belanda
5.      Dasar pendidikannya adalah  dasarpendidikan Barat  dan berorientasi  pada pengetahuan  dan kebudayaan Barat.[16]
Prinsif pendidikan yang demikian diperparah lagi dengan munculnya ordonansi pendidikan:
a.       Kelestarian penjajahan merupakan tujuan prinsipil bagi kolonialis, sejalan dengan pola ini maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai paktor yang akan menghancurkan  kekuatan Islam, karena kolonialis sadar bahwa umat Islam menganggap  kolonial merupakan pemerintahan Kafir, yang menjajah agama dan bangsa mereka dan hal ini semakin mendalam tertanam dikalangan santri. Pesantren merupakan pusat pendidikan unggulan Islam pada saat itu mengambil sikap ati belanda. Sampai uang yang diterima seseorang dari pemerintah Belanda dinilai sebagai uang haram, celana dan dasi-pun dianggap haram, karena merupakan identitas Belanda. Dimata Umat Islam pemerintah kolonial dituduhsebagai pemerintah Kristen, sementara kebijakannya terhadap agama, sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen yang diberi subsidi oleh pemerintaha kolonial sering mewajibkan pendidikan agam Kristen bagi murid-muridnya yang beragama Islam. Sekolah-sekolah negeri-pun sering dimanfaatkan untuk kepentingan  suatu aliran gereja.Ketika Vanden Bossmenjadi Gubernur Jenderal di Jakarta  (1831), dikeluarkan kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah  dan tiap daerah ke-residenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
b.      Ordonansi guru, suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan. Ordonansi pertama yang dikeluarkan tahun 1905, mewajibkan bagi setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi kedua dikeluarkan tahun 1925, mewajibkan guru agama Islam melaporkan diri. Pada tahun yang sama pula pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat, bahwa tidak setiap orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji.
c.       Ordonansi sekolah liar, sejak tahun 1880, pemerintaqh kolonial secara resmi memberi izin untuk mendidik pribumi, tetapi tahun 1932, keluar peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinnya dari pemerintah kolonial, peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928, berupa sumpah pemuda.[17]
Disisi lain keberadaan penasehat kolonial, Snouchk Hurgronje telah berhasil memberikan pengertian kepada kolonialis Belanda, bahwa rakyat  (umat Islam) hartus dibedakan dari sudut pandangnya, yakni, agama dan politik. Mereka yang setia beragama tidak perlu membangun perlawanan dengan mereka, karena mereka tidak berada pada sisi yang berlawanan dengan kolonial, demikan juga yang bersifat kultural, tetapi yang bersifat poltis (Islam politis), dihadapi dengan perlawanan, karena meraka ingin melawan kolonial Belanda.Selama ini kebijakan kolonialis Belanda terhadap pelaksanaan ajaran agama tidak menjadi perhatian, terutama Jemaah haji, setelah abad ke-19 seiring dengan perkembangan Islam ditingkat global, maka belanda melakukan pembatasan secara halus  kepada umat Islam, dan mengetatkan masuknya pengaruh-pengaruh luar, yang membawa semangat pergolakan melepaskan diri dari kolonil Belanda.seiring dengan keberadaan Snouchk Hurgronje, mendirikan kantoor Voor InlandseZaken, (rakyat memberi nama Kantor Agama) yang tugasnya pada masa kolonialialis Belanda adalah; mempelajari situasi politik-agama di Indonesia dan dunia Arab. Memberi laporan dan nasehat kepada pemerintah Hindi Belanda, yang kemudian pada masa Jepang berkuasa dijadikan kantor urusan agama. Cikal bakanya telah ada sejak masa kolonilis Belanda.
Dalam hal ini masa kolonialis Belanda  berakhir dengan masuknya kolonialis Jepang, sepertinya bersambung secara baik, dengan adanya beberapa keterbukaan bagi bangsa Indonesia diakhir kekuaasaan Belanda, masuknya Jepang justru membuka secara lebar, sekat-sekat sosial, status sosial, agama yang secara diskriminatif itu, Jepang justru memberikan kesempatan yang luas bagi semua orang, kebijakan Jepang ini, bukan tidak punya alasan, karena mereka ingin sumber daya manusia yang akan dipergunakan untuk kepentingan perang dan militernya, disamping mengambil hati Bangsa Indonesia, meski hal ini tidak menjadi perhatian bagi bangsa Indionesia, namun kesempatan ini harus dipergunakan untuk kepentingan kemerdekaan yang kemudian menjadi fokus pemimpin-peminpin Indonesia
C. Kebijakan Kolonialisme Jepang terhadap agama-agama
Tahun 1942 Jepang menjadi kekuatan dominan di Asa Tenggara, dengan cepat menguasai beberapa wilayah termasuk Philipina dan Indonesia, sebagai wilayah strategis disamping memiliki sumberdaya alam dan populasi yang dianggap dapat menjadi sumber kekuatan bersama untuk Perang Asia Timur Raya, meski Jepang menyadari bahwa Indonesia menganut Islam, pada mulanya hal ini tidak menjadi masalah, terbukti dengan kerjasama Jepang dengan Umat Islam pada awal-awal masuknya jepang ke Indonesia. Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah air) satu lembaga yang terdiri dari orang-orang Indonesia, didalamnya orang Indonesia dididik dan dilatih memgang senjata, kemudian didirikan Kantor Urusan Agama  (shumubu), dibentuknya Majlis Syuro Muslimin Indonesia, dibentuknya Hizbullah. Meski selanjutnya Jepang harus mempertimbangkan mana dari umat Islam yang dapat memenuhi kepentingan kolonialnya di Indonesia.
Masuknya jepang ke Indonesia membawa perubahan yang lebih luas bagi rakyat Indonesia, terutama dalam pendidikan, yang pada masa kolonilis Belanda bersifat diskriminatif, kini terbuka bagi setiap orang, semua mendapat kesempatan yang sama , jalur-jalur sekolah  dan pendidikan  menurut penggolongan  keturunan, bangsa, strata atau pun status sosial dihapuskan.  Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia, bukan bahasa Jepang, hal ini sejalan dengan tujuan kolonialis Jepang, adalah untuk menciptakan tenaga militer Jepang dan buruh romusa.[18]
Adapun sitem pendidikan yang dilakukan Jepang adalah:
1.      Jenjang  sekolah dasar  menggunakan istilah  Sekolah rakyat atau Kekumin Gakko yang terbuka bagi semua golongan  penduduk  tanpa pembedaan status sosial.
2.      Jenjang sekolah diatasnya, sekolah Lanjutan Pertama  (umum) atau SMP  disebut  Shjoto Chu Gakko, juga terbuka untuk semua golongan  penduduk  yang memiliki ijazah  Sekolah Rakyat
3.      Jenjang Sekolah diatasnya lagi , juga terbuka untu  semua golongan  penduduk.[19]
Dalam hal ini tentu umat Islam mendapat banyak porsi dalam pendidikan, sebagai mayoritas penduduk.
Selama tahun 1942-1945, jepang berkuasa di Indonesia, meghadapi ancaman dari luar (kekuatan Sekutu) dan dari dalam (pejuang Indonesia) yang memiliki kekuatan sebagai unsur politik yang hendak merdeka, untuk meredakan situasi itu Jepang beberapa kali menawarkan kemerdekaan, tapi hal ini tidakkunjung terjadi hingga kemerdekaan yang diproklamirkan Sukarno dan Hatta. Watak kolonialis Jepang sebenarnya diketahui oleh Indonesia, satu sisi pejuang terus melakukan penekanan dari luar sedang dari dalam dilakukan berbagai pendekatan kepada Jepang agar Jepang tidak menghalangi kemerdekaan Indonesia.
Detik terahir dari kekuasaannya Jepang mengubah arah kebijakannya, mereka makin banyak memberi dukungan  kepada pemimpin  kubu Nasionalis Sekuler, dimana sebelumnya mendekati kubu Nasionalis islamis sebagai mana disebut diatas.
Ada beberapa hal yang menguntungkan bagi bangsa Indonesia dengan kehadiran Jepang:
1.      Bahasa Indonesia  hidup dan berkembang  secara luas  diseluruh Indonesia
2.      Buku-buku dalam bahasa asing  diterjemahkan  kedalam Bahasa Indonesia
3.      Kreatifitas guru-guru berkembang  dalam memenuhi  kekuarangan buku-buku  pelajaran dengan menyadur  atau mengarang  sendiri, termasuk menciptakan alat pelajaran
4.      Seni bela diri  dan latihan perang-perangan  sebagai kegiatan kokurikuler, telah membangkitkan  kebeneranian  para pemuda, terutama,  seinendan, Keibodan, Heiho dan PETA  yang telah terlatih  memegang senjata api
5.      Diskriminasi menurut golongan penduduk, keturunan dan agama  dihilangkan, sehingga semua lapisan masyarakat  mendapat kesempatan  yang sama  dalam bidang pendidikan.
6.      Sekolah-sekolah diseragamkan  dan sekolah swasta dinegerikan  dan berkembang dibawah pengaturan  kantor pengajaran Bunkyo Kyoku
7.      Karena pengaruh indoktrinasi yang ketat  untuk men-Jepangkan rakyat Indonesia , justru perasaan rindu  kepada kebudayaan sendiri  muncul dan kemerdekaan nasional  berkembang
8.      Bangsa Indonesia  dilatih dan dididik  untuk memegang  jabatan-jabatan walaupun  dibawah pengawasan orangt-orang Jepang.[20]

D. Poin-Poin Kebijakan Kolonial Terhadap Agama-Agama
            Tidak semua orang Islam harus diposisikan  sebagai musuh, karean tidak semua orang Islam  Indonesia  merupakan orang fanatik  dan memusuhi pemerintah Belanda. Bahkan para ulamanya-pun, jika selama kegiatan ubudiah  mereka tidak diusik, maka para ulama itu  tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintahan kolonil Belanda. Oleh Snouchk, diusahakan agar umat Islam  Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui Politik Asosiasi, diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak Barat  dan pemanfaatan kebudayaan Eropa  diciptakan kaum pribumi  yang lebih terasosiasi  dengan negeri  dan budaya  Eropa. Dengan demikian hilanglah  kekuatan  cita-cita Pan Islam dan akan mempermudah  penyebaran agama Kristen.
            Dalam bidang politik,  bentuk-bentuk  agitasi politik Islamharus ditumpas, karena hal ini dapat membawa rakyat  kepada fanatisme  dan Pan-Islam. Penumpasan itu jika perlu  dilakukan  dengan kekerasan dan kekuasaan senjata.Dan setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial  harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi  mempercayai maksud  baik pemerintahan kolonial  dan akhirnya rela  diperintah orang-orang kafir
Dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan  adat kebiasaan  yang berlaku  dan membantu menggalakkkan rakyat  agar tetap berpegang  pada adat istiadat yang telah dipilih  agar sesuai  dengan tujuan  mendekatkan rakyat  kepada budaya Eropa, Snouchk menganjurkan agar pemerintah kolonial membatasi  meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam bidang hukum dan peraturan. Dalam hal ini diupayakan Islam jangan sampai  mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensinya dan kekuatan hukumnya, jika sudah diadopsi  menjadi hukm adat. Sejalan dengan itu Pemerintah Kolonial menerapkan konsep  Devide Et impera, dengan memanfaatkan kelompok priyayi dan Islam abangan untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya dimasyarakat.
Dalam bidang agama murni dan ibdah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberi kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan  agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatanserta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji. [21]

E. Kesimpulan
            Kebijakan kolonial terhadap agama-agama di Indonesia pada prinsifnya untuk mengawal kelanggengan kolonialisasi dan inperialisasi mereka di bumi jajahan, perlakuan diskriminatif, dalam sosial, pendidikan, kebudayaan, hukum, agama dan sistem pecah belah  (devide et impera) adalah cara untuk melumpuhkan kekuatan dan perlawanan politik, meski kolonial memberikan kebebasan pelaksanaan ajaran agama, bahkan memberi perhatian terhadap keberagamaan, hanya taktik menarik simpatik kalangan agama semata, sedang tujuan mereka adalah melumpuhkan jiwa Indonesia.
            Disamping tujuan kekuasaan, Kolonialis Belanda melakukan penyebaran agama Kristen (Kristenisasi), terutama kepada kelompok-kelompok asosiasi, sebagai alat mengokohkan kekuasaan.
            Kebijakan kolonialis terhadap agama-agama, justru bertolak belakang dengan prinsip khususnya dalam pendidikan, dari pembatasan guru agama (ordonansi) hingga isi pelajaran, izin mengajar, jumlah lembaga pendidikan agama.Kolonialis membuat standar ganda, bagi kalangan Islam dan Kristen, dan sebagainya.






Daftar Kutipan
1.      Ahmad Mansur Suryanegara. Menemukan Sejarah , Wacana Pergerakan,  Islam di Indonesia, Pen. Mizan, Bandung.  Cet. VII, 1998. h. 235
2.      Ibid, h. 236
3.      Lifford  Greertz, The Religiopn Of Java, The Free of Glencoe, Illionis 1968. h. 68.Lebih jau Lihat Karl. A. Stenbring. Beberapa aspek Tentang Islam Di Indonesia  Abad ke 19. Bulan Bintang, Jakarta, cet.  I. 1984.
4.      Lihat Slamet Mulyana, Runtuhnya kerajaan Hindu Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara, Pen. LkiS, Jogyakarta, Cet. VIII, 2009.
5.      Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Cti. II dari Buku The Modern Muslim Movement  in Indonesia.1900-1942, pen. LP3ES, Pent. Deliar Noer 1982. H. 181-182
6.      Aqib Sumitro. Politik Islam Hindia Belanda, dikutip dari Bernard MH.  Vlekke, The Story Of  Duch East Indie, Cambridge, 1945. h. 174 Pen. LP3ES, cet, I, 1985, h. 40.
7.      Deliar Noer, Op.Cit, h. 182
8.      Aqib Sumitro, OP.Cit, hal. 41-43
9.      Ia adalah keturunan bupati Banten, salah seorang yang pertama mendapat pendidikan akademis. Ia menyelesaikan Doktoenya di Leiden. Pada fakultas Sastra dan Filsafat (1913). LihatGF. Pijper, Benerapa studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950., Pen Universitas Indonesia, Cet. II. 1985 h. 9.
10.  Ibid, h. 10-11
11.  Sehubungan dengan Pan-Islamisme telah diadakan  pada beberapa kongres , seperti kongres Dunia Islam di Kairo tanggal, 13-19 Mei 1926 diprakarsai oleh  Raja Fuad. Kongres Khilafah tanggal, 1 Juni 1926 di Makkah  atas prakarsa  Raja Ibnu Saud, Indonesia mengirim  HOS Tjokroaminoto (SI) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah). Tahun 1927 Kongres kedua di Makkah, Indonesia diwakili  oleh H. Agussalim. Sejauh ini Kongres Khilafah selalu menghadapi kegagalan. 1930  berkat Kongres Palestina terbentuklan
12.  Organisasi  Muktamar Alam Islami, diketuai oleh  H. Amin al-Husaini dari Palestina dan H.  Abdul Kahar Muzakar dari Indonesia  sebagai sekretaris.
13.  Ibid, h. 92
14.  Laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda  tahun 1941, dikutip oleh Aqib Sumitro. Lihat Lampiran Politik Hindia Belanda.
15.  Ibid, h. 5. Tentang politik Belanda terhadap Jemaah haji Indonesia, Lihat kumpulan karang  Snouck Hurgronje, jilid  IX dari Buku  Verspreidegeschriften, pen. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Jakarta. INIS.  1994, h. 161-182.
16.  Ary H. Gunawan, Kebijakan-akebijakan aPendidikan, pen. Bina aksara, Cet. I. 1986 h. 6-7
17.  Ibid, h. 11
18.  Ibid, 29
19.  Ibid, h. 29.
20.  Ibid. h. 30.
21.  Hhtp:/kajad-alhikmahkajen.blogspot.com/ h. 2
22.  http/makalah pendidikan blogdetik com h.3-4


[1] Ahmad Mansur Suryanegara. Menemukan Sejarah , Wacana Pergerakan,  Islam di Indonesia, Pen. Mizan, Bandung.  Cet. VII, 1998. h. 235
[2] Ibid, h. 236
[3]Lifford  Greertz, The Religiopn Of Java, The Free of Glencoe, Illionis 1968. h. 68.Lebih jau Lihat Karl. A. Stenbring. Beberapa aspek Tentang Islam Di Indonesia  Abad ke 19. Bulan Bintang, Jakarta, cet.  I. 1984.
[4] Lihat Slamet Mulyana, Runtuhnya kerajaan Hindu Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara, Pen. LkiS, Jogyakarta, Cet. VIII, 2009.
[5] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Cti. II dari Buku The Modern Muslim Movement  in Indonesia.1900-1942, pen. LP3ES, Pent. Deliar Noer 1982. H. 181-182
[6]Aqib Sumitro. Politik Islam Hindia Belanda, dikutip dari Bernard MH.  Vlekke, The Story Of  Duch East Indie, Cambridge, 1945. h. 174 Pen. LP3ES, cet, I, 1985, h. 40.
[7] Deliar Noer, Op.Cit, h. 182
[8]Aqib Sumitro, OP.Cit, hal. 41-43
[9]Ia adalah keturunan bupati Banten, salah seorang yang pertama mendapat pendidikan akademis. Ia menyelesaikan Doktoenya di Leiden. Pada fakultas Sastra dan Filsafat (1913).LihatGF.Pijper, Benerapa studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950., Pen Universitas Indonesia, Cet. II.1985 h. 9.
[10] Ibid, h. 10-11
[11] Sehubungan dengan Pan-Islamisme telah diadakan  pada beberapa kongres , seperti kongres Dunia Islam di Kairo tanggal, 13-19 Mei 1926 diprakarsai oleh  Raja Fuad. Kongres Khilafah tanggal, 1 Juni 1926 di Makkah  atas prakarsa  Raja Ibnu Saud, Indonesia mengirim  HOS Tjokroaminoto (SI) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah). Tahun 1927 Kongres kedua di Makkah, Indonesia diwakili  oleh H. Agussalim. Sejauh ini Kongres Khilafah selalu menghadapi kegagalan.1930  berkat Kongres Palestina terbentuklan Organisasi  Muktamar Alam Islami, diketuai oleh  H. Amin al-Husaini dari Palestina dan H.  Abdul Kahar Muzakar dari Indonesia  sebagai sekretaris.
[12] Ibid, h. 92
[13] Laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda  tahun 1941, dikutip oleh Aqib Sumitro. Lihat Lampiran Politik Hindia Belanda.
[14]Ibid, h. 5. Tentang politik Belanda terhadap Jemaah haji Indonesia, Lihat kumpulan karang  Snouck Hurgronje, jilid  IX dari Buku  Verspreidegeschriften, pen. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Jakarta.INIS.  1994, h. 161-182.
[15] Ary H. Gunawan, Kebijakan-akebijakan aPendidikan, pen. Bina aksara, Cet. I. 1986 h. 6-7
[16] Ibid, h. 11
[17] Hhtp:/kajad-alhikmahkajen.blogspot.com/ h. 2
[18] Ibid, 29
[19]Ibid, h. 29.
[20]Ibid. h. 30.
[21] http/makalah pendidikan blogdetik com

1 comments:

darussalam mengatakan...

SALAM, APA KABAR ? Alhamdulillah saya telah mengunjungi Blog Anda, intinya thema dan uraian materinya sangat bagus. Nah, tidak ada salahnya jika tulisan-tulisan Anda juga untuk dituangkan dalam Jurnal Ilmiyah, dengan beberapa alasan. SUATU HAL YANG SULIT DIPUNGKIRI DENGAN LUASNYA WILAYAH NKRI + ASEAN SANGAT MUNGKIN DATA SEJARAH TERKAIT KEBERADAAN :
PERAN AKTIF TOKOH/TEUNGKU/TUAN GURU/ AJEUNGAN
LEMBAGA PENDIDIKAN (Mis. PESANTREN, DAYAH, SURAU, MADRASAH)
KESULTANAN
MASJID
KEMARITIMAN (Jaringan Sungai, Pelabuhan, dsb)
MAKAM
ISTANA
NASKAH/MANUSKRIP
TATARUANG KOTA
KERAJINAN (gerabah, batik, Kaligrafi, seni pentas, senjata, logam, keramik, dll)
Masing-masing tersebut di atas BELUM BANYAK TERUNGKAP. (Pilih salah satu saja)
Jurnal Ilmiyah KALIJAGA dengan izin terbit ISSN no.2302-6758, (focus Sejarah Kebudayaan & Peradaban Islam di Asia Tenggara) selalu setia menunggu Makalah dan/ atau hasil penelitian dari para PEMERHATI, PENELITI, DOSEN, GURU Pengampu materi SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM. Andai sudah ditulis tolong kirim via email : jurnalkalijaga@ymail.com.
Untuk membangun kebersamaan, tolong disampaikan kpd segenap teman yang lain. Jazakumullah kheir khoiral jaza’. Tks