Pembekalan PPL Tahun 2012

Yaser Amri, MA (kanan) saat memberikan materi pada kegiatan Pembekalan Mahasiswa PPL Tahun 2012.

Gedung Tarbiyah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2011 lalu.

Gedung Dakwah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2013.

Gedung STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa merupakan perguruan tinggi satu-satunya yang berprediket Negeri di Kota Langsa

International Conference

Pose ketika mengikuti Konferensi Internasional di STAIN ZCK dan AICIS

Senin, 15 April 2013

BEBERAPA ISTILAH DALAM ILMU HADIS

Adil                             : Adil adalah kualitas seorang perawi. Seorang perawi dikatakan adil apabila ia memiliki sifat-sifat ketakwaan , seperti senantiasa melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangannya, akidahnya benar, terpelihara dari dosa besar, tidak membiasakan dosa kecil, akhlaknya terpelihara, serta menjaga muru'ah. Disamping itu tentu saja dia haruslah seorang muslim, baligh, berakal dan tidak fasik.
Ahad                           : Ahad berarti satu. Hadis ahad berarti hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih. Bisa juga berarti hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau lebih, tetapi tidak memenuhi syarat masyhur atau mutawatir.
Asbabul Wurud          : Ilmu yang menerangkan seputar sebab munculnya hadis.
Atsar                           : Sesuatu (riwayat) yang disandarkan kepada sahabat dan tabi'in, baik berupa perkataan ataupun perbuatan
Aziz                            : Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang perawi dan diterima dari dua orang pula. Apabila dalam salah satu generasinya kurang dari dua perawi, berarti tidak termasuk dalam hadis aziz.
Dhabith                       : Orang yang kuat hafalannya terhadap sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut manakala diperlukan.
Dhaif                          : Hadis yang tidak terhimpun padanya ciri-ciri hadis sahih dan tidak pula hadis hasan.
Dirayah                       : Ilmu hadis dirayah adalah sekumpulan kaedah atau aturan dan permasalahan untuk mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkannya dari segi dapat diterima atau ditolak.
Gharib                         : Hadis yang diriwayatkan hanya oleh seorang saja pada tempat manapun terjadinya penyendirian itu di dalam sanad. Tidak mesti pada semua generasi hanya ada seorang perawi, tapi bila terjadi pada satu generasi saja perawinya ada yang cuma seorang, maka dia termasuk hadis gharib.
Hadis                          : Sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik perkataan, perbuatan, keadaan, pengakuan dan sifatnya.
Hasan                          : Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kekuatan hafalannya di bawah perawi hadis sahih, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan syaz.
Hasan lidzatihi            : Hasan dengan sendirinya, bukan karena bantuan sanad yang lain, tetapi karena sanadnya sendiri.
Hasan lighairihi           : Hasan bukan dengan sanadnya sendiri, tetapi karena dibantu oleh adanya keterangan atau sanad yang lain sehingga menjadi kuat.
Ilmu Hadis                  : Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan hadis Rasul saw. hingga dapat memberi penilaian apakah suatu hadis memenuhi kriteria untuk dapat diterima atau tidak.
Illat                             : Penyakit atau cacat
Isnad                           : Jajaran orang-orang yang menyampaikan matan hadis (rantaian perawi) dari rasul, sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan seterusnya sampai pada orang yang membukukan hadis tersebut.
Khabar                        : Sinonim dari hadis. Namun sebagian ulama membatasinya hanya pada riwayat yang berasal dari selain Rasul. Khabar lebih condong pada sejarah.
Mahfuz                       : Hadis sahih dan hasan yang diriwayatkan oleh orang yang sangat tsiqah, tapi menyalahi riwayat rawi lain yang juga tsiqah namun derajat ketsiqahannya berada dibawahnya.
Majhul                        : Riwayat yang tidak dikenal atau hadis yang perawinya tidak dikenal
Maqbul                       : Hadis yang dapat diterima sebagai hujjah, yaitu yang sanadnya bersambung, perawinya adil dan dhabith meskipun dabhithnya ringan, terhindar dari syaz dan tidak ada illat.
Maqlub                       : Hadis yang terbalik lafalnya pada matan, atau pada nama seseorang, atau nasabnya dalam sanad.
Maqthu'                      : Sesuatu yang disandarkan pada tabiin atau generasi setelahnya, baik itu perkataan atau perbuatan. Ia tidak dapat dijadikan hujjah meskipun sanadnya sahih tapi sika ada indikasi perkataan itu marfu' kepada Nabi maka hukumnya menjadi marfu' mursal.
Mardud                       : Hadis yang ditolak karena tidak memenuhi syarat-syarat maqbul
Marfu'                         : Hadis yang disandarkan kepada Rasul saw. sendiri baik perkataan, perbuatan ataupun taqrir, baik sanadnya bersambung (muttashil), maupun terputus (munqathi') atau terputus beberapa sanadnya menurut urutan (mu'dhal).
Ma'ruf                         : Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan perawi yang dhaif.
Masyhur                      : Hadis yang disampaikan oleh 3 orang atau lebih tapi jumlahnya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Matan                         : Materi berita hadis yang terletak sesudah sanad.
Maudu'                       : Hadis yang dibuat-buat oleh pendusta disandarkan pada Rasul dengan sengaja untuk mengada-ada.
Mudallas                     : Hadis yang diriwayatkan dengan perkiraan bahwa tidak terdapat cacat atau aib di dalamnya. Ada juga yang mengatakan mudallas adalah menyembunyikan cacat rangkaian sanad dan menunjukkan keelokannya.
Muhaddits                  : Orang yang berkecimpung dalam ilmu hadis baik riwayah maupun dirayah.
Muhmal                      : Hadis yang diriwayatkan dari salah seorang yang serupa namanya, kunyahnya, dan laqabnya, atau salah satu dari ketiganya.
Munkar                       : Hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang banyak melakukan kesalahan, lalai, atau jelas kefasikannya.
Munqalib                    : Hadis yang sebagian lafal matannya terbalik atau tertukar karena perbuatan si perawi sehingga berubah maknanya.
Munqathi'                   : Hadis yang salah seorang atau lebih perawinya dari awal sanad gugur, termasuk juga apabila di dalam sanad ada disebutkan seseorang yang tidak jelas.
Mursal                         : Hadis yang perawinya adalah sahabat yang tidak disebutkan namanya. Hadis tersebut tidak menyebutkan sahabat yang menerimanya dari Rasul.
Musnad                       : Kitab yang memuat hadis-hadis berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya dari Rasul tanpa memperhatikan masalah yang dibicarakan hadis itu.
Mutawatir                   : Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin mereka sepakat berdusta. Hal serupa itu terjadi sejak awal sanad hingga akhir sanad.
Muttafaq Alaih           : Hadis yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim
Muttashil                    : Hadis yang sanadnya bersambung, baik marfu' maupun mawquf.
Qudsi                          : Hadis yang diriwayatkan oleh Nabi saw. bahwa hal tersebut dari Allah swt. Perawinyanya meriwayatkannya dari Rasul yang disandarkan kepada Allah swt. Lafalnya berasal dari Rasul namun maknanya berasal dari Allah.
Rajih                           : Hadis yang terkuat dari dua hadis yang berlawanan kandungannya.
Rawi                           : Orang yang menerima hadis dari gurunya dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain atau menulisnya dalam sebuah kitab.
Rijal al-Hadits            : Orang-orang yang terkait di sekitar hadis, baik sebagai sanad maupun mukharrij. Ilmu Rijal Hadis adalah ilmu yang menyajikan tetntang pengenalan keadaan para perawi hadis dalam kapasitas mereka sebagai periwayat hadis.
Riwayah                     : Suatu pemberitaan yang disandarkan kepada Nabi.
Sahih                           : Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil, dhabith hingga akhir sanadnya, tidak ada syaz dan illat di dalamnya.
Sanad                          : Rantaian orang-orang yang menyampaikan matan hadis dari Rasul saw. , sahabat, tabiin, tabi' al-tabiin dan seterusnya sampai pada orang yang membukukan hadis tersebut.
Sunnah                        : Segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir, atau akhlak, atau keadaan fisik, atau sejarah kehidupanhya baik sesudah menjadi Rasul atau sebelumnya.
Syaz                            : Hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang riwayatnya maqbul namun menyelisihi riwayat yang lebih rajah karena mempunyai kelebihan, baik kelebihan itu berupa banyaknya jalur sanadnya atau ke-dhabith-an yang lebih kuat.
Tsabat                         : Seorang yang adil lagi dhabith
Tsiqat                          : Seorang yang adil lagi dhabith

Sabtu, 13 April 2013

MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

Term muhkamat dan mutasyabihat telah menjadi pembicaraan sejak masa klasik, dan masih menarik untuk dibicarakan pada saat ini. Umumnya ulama tafsir dan mutakallimun punya pendapat yang sama tentang muhkamat namun berbeda tentang  term yang kedua, baik tentang arti mutasyabihat sendiri maupun tentang apakah ayat-ayat mutasyabihat bisa dipahami manusia atau tidak karena kesamaran maknanya.
 Sama kita ketahui bahwa Alquran menyebutkan kata muhkamat dan mutasyabihat dalam beberapa ayatnya, antara satu dan lain ayat sekilas nampak bertentangan menyangkut kedua term tersebut.


Pada surat Hud ayat 1 dikatakan bahwa Alquran keseluruhannya adalah muhkamat.
 الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif, Laam, Raa'. Al-Quran sebuah Kitab yang tersusun ayat-ayatnya dengan tetap teguh, kemudian dijelaskan pula kandungannya satu persatu. (Susunan dan penjelasan itu) adalah dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana, lagi Maha Mendalam pengetahuanNya.
 

Sementara pada tempat yang lain, surat Al-Zumar ayat 23 mengatakan bahwa Alquran seluruhnya adalah mutasyabihat.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan iaitu Kitab Suci Al-Quran yang bersamaan isi kandungannya antara satu dengan yang lain (tentang benarnya dan indahnya), yang berulang-ulang (keterangannya, dengan berbagai cara); yang (oleh kerana mendengarnya atau membacanya) kulit badan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka menjadi seram; kemudian kulit badan mereka menjadi lembut serta tenang tenteram hati mereka menerima ajaran dan rahmat Allah. Kitab Suci itulah hidayah petunjuk Allah; Allah memberi hidayah petunjuk dengan Al-Quran itu kepada sesiapa yang dikehendakiNya (menurut undang-undang peraturanNya); dan (ingatlah) sesiapa yang disesatkan Allah (disebabkan pilihannya yang salah), maka tidak ada sesiapa pun yang dapat memberi hidayah petunjuk kepadanya.


Tidak seperti kedua ayat di atas, ayat berikut ini (ali Imran: 7) justru mengatakan bahwa sebagian dari Alquran adalah muhkamat dan sebagiannya lagi adalah mutasyabihat.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia lah yang menurunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab Suci Al-Quran. Sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat "Muhkamaat" (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. Dan yang lain lagi ialah ayat-ayat "Mutasyaabihaat" (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). Oleh sebab itu (timbulah faham yang berlainan menurut kandungan hati masing-masing) - adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut yang disukainya). Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu agama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" Dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang yang berfikiran.


Ketiga ayat di atas menjadi dasar pembahasan tentang term muhkamat dan mutasyabihat. Berangkat dari sini para ulama kemudian memberi makna terhadap muhkamat dan mutasyabihat, tentunya makna yang bisa mengakomodir ketiga ayat di atas, dalam arti makna yang sesuai dengan ketiganya sekaligus, karena kita tentunya meyakini bahwa ketiga ayat di atas benar adanya dan tidak mungkin mengandung kesalahan, justru pemahaman terhadap ketiga ayat tersebutlah yang mempunyai potensi benar dan salah.

Pengertian Muhkamat dan Mutasyabihat
Secara etimologis muhkamat berasal dari ahkama, akar katanya adalah hakama yang memiliki arti menghalangi, menahan, memilih yang terbaik dari dua hal. Hakamtu daabbah artinya saya menahan binatang itu. Hukm berarti memutuskan antara dua hal. Hakim berarti orang yang menahan atau mencegah kezaliman, yang memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, dan memilah yang haq dan yang batil. Sementara Ahkama memiliki arti ketelitian, keakuratan, ketelitian, kekukuhan, pencegahan dan keseksamaan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam al-murad bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir) Jadi, yang dimaksud kalam muhkam adalah perkataan yang kokoh, benar, jelas dan tegas. Mutasyabihat berasal dari kata tasyabaha, akar katanya adalah syabaha, memiliki arti mirip, serupa. Setelah diberi tambahan ta (tasyabaha) maka dia mengandung arti kemiripan atau keserupaan antara dua hal, yaitu apabila satu hal serupa dengan yang lainnya sehingga menjadi samar seperti termaktub dalam ayat 70 surat al-Baqarah.
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ
Mereka berkata lagi: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, supaya diterangkanNya kepada kami lembu betina yang mana itu? Kerana sesungguhnya lembu yang dikehendaki itu samar bagi kami (susah kami memilihnya), dan kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk mencari dan menyembelih lembu itu)".


 Jadi, mutasyabih adalah ungkapan yang maksud dan maknanya samar (ma khafiya bi nafs al-lafzh). Tasyabuh juga bisa berarti serupa atau mirip saja tanpa bermaksud /mengandung arti samar. Tasyabuh al-kalam adalah kesamaan serta kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.


Secara terminologi muhkamat dan mutasyabihat berarti:
1.    Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas maknanya. Sedangkan mutasyabihat tidak jelas maknanya
2.    Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara lansung tanpa membutuhkan keterangan lain. Sedangkan mutasyabih butuh penjelasan
3.    Muhkam adalah ayat yang dalalhnya kuat baik maksud maupun lafaznya. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang lemah dalalahnya, bersifat mujmal, sehingga memerlukan ta’wil
4.    Muhkam adalah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau konteksnya
5.    Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat di dalam sholat lima waktu.
6.    Muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib di amalkan. Adapun mutasyabih yaitu ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam serta yang wajib di imani tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud.
7.    Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi  (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah SWT mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini di bangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
8.    Muhkamat adalah ayat-ayat hukum Tuhan yang berkaitan langsung dengan manusia seperti hudud, akhlaq, faraid, halal dan haram. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat hukum Tuhan yang berkaitan dengan alam dan Tuhan sendiri seperti ilmu tentang ketuhanan dan hukum alam. 


Surat Hud ayat 1 yang menyatakan bahwa Alquran seluruhnya adalah muhkamat bisa dipahami bahwa seluruh ayat Alquran adalah kokoh, tidak mungkin diganti atau dirubah, akurat dalam arti ayat-ayat tersebut tidak meleset tujuannya, kekokohan ayat-ayat Alquran terlihat dari  kekokohan perkataannya yang memisahkan yang benar dan yang salah. Susunan lafal Alquran dan keindahan Nazmnya sangat sempurna tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya. Sementara surat al-Zumar ayat 23 yang menyatakan bahwa Alquran seluruhnya adalah mutasyabihat dapat dipahami bahwa seluruh ayat Alquran sebagai kalam Tuhan mempunyai kemiripan dan kesamaan sehingga ketika dibacakan orang akan tau bahwa itu adalah kata-kata Tuhan. Ayat-ayat itu juga menyerupai satu sama lain dan tidak saling bertentangan, sebagiannya menyerupai sebagian yang lain dalam kebenarannya dan hikmat. Dengan begitu kata muhkamat dan mutasyabihat pada kedua ayat tersebut berbeda konteksnya dengan Ali Imran:7 sehingga makna yang dibawanya pun tentu akhirnya berbeda.

Penerimaan Ulama terhadap Mutasyabihat.
Meskipun Alquran menegaskan bahwa didalamnya termuat ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, namun tak ada kepastian ayat-ayat mana saja yang termasuk kategori muhkamat dan mana pula yang mutasyabihat sehingga tidak diketahui pula dengan pasti berapa jumlah ayat yang muhkamat dan berapa yang mutasyabihat. Sebuah ayat bisa saja dianggap muhkamat bagi sebagian kelompok dan mutasyabihat bagi kelompok lain, meski beberapa ayat juga bisa saja disepakati sebagai mutasyabihat.


Ulama juga berbeda pendapat tentang kemampuan manusia untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat. Sebagian mengatakan bahwa hanya Tuhan saja yang mengerti tentang makna ayat-ayat itu, manusia hanya mengimaninya saja. Sikap ini dianut oleh mazhab salaf. Kata-kata dalam ayat mutasyabihat dikembalikan maknanya pada makna yang pernah disebutkan oleh ayat-ayat muhkamat. Misalnya kata ‘tangan’ dan ‘wajah’ pada yad Allah fawqo aidihim dan kullu syaiin halikun illa wajhah diyakini sebagai tangan dan wajah namun dalam arti yang dimaksud oleh ayat muhkamat laysa kamistlihi syai’un. Sehingga, meskipun Allah mengatakan ‘tangan’ dan ‘wajah’ tapi harus dipahami bahwa Allah tidak menyerupai apa pun sehingga ‘tangan’ dan ‘wajah’ yang bagaimanapun yang pernah terpikir oleh manusia pasti bukanlah bentuk ‘tangan’ atau ‘wajah’ Allah. Oleh karena kaum salaf tidak berani memberikan makna terhadap kata-kata yang mengandung tajsim, maka mereka membiarkan saja ayat itu tidak dapat dimengerti, khawatir akan menjadi syirik karena memberikan wujud/bentuk pada Tuhan.

Sebagian ulama menolak untuk membiarkan ayat Alquran tidak bisa dipahami karena Alquran dibuat dengan bahasa Arab yang jelas (QS. Al-Syu’ara’: 195), mustahil orang Arab tidak bisa memahaminya. Aneh rasanya bila Tuhan kemudian memberikan Alquran kepada manusia sebagai petunjuk namun ada ayat-ayatnya yang tidak bisa dipahami. Sikap ini dianut oleh ulama mazhab khalafi. Mereka mencoba memahami ayat-ayat mutasyabihat dengan memberikan takwil terhadap ayat tersebut. Takwil adalah usaha memahami makna Alquran yang tersembunyi dengan menggunakan kemampuan bahasa dan ijtihad.


Perbedaan mazhab salaf dan khalaf berawal dari pemahaman tentang surat Ali Imran ayat 7. Mazhab salaf meyakini bahwa huruf waw sebelum kata al-rasikhun adalah waw isti’naf sehingga kalimat “wa al-rasikhun fi al-ilmi….” Adalah kalimat baru yang tidak terkait dengan kalimat sebelumnya. Dengan begitu, maknanya menjadi sebagaimana arti ayat Ali Imran:7 yang tertulis di awal malakah ….. Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu agama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami"…… . Ini menunjukkan bahwa yang tau takwil ayat mutasyabihat cuma Allah, sedangkan orang-orang yang rasikh dalam ilmu dan pengetahuan hanya mengimaninya saja. 


Sementara itu mazhab khalaf mengklaim bahwa waw di situ adalah waw athaf . Dengan begitu makna ayat tersebut menjadi Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu agama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami"… Ini menunjukkan bahwa takwil ayat-ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang rasikh dalam ilmu dan pengetahuan. Ayat ini kemudian menjadi dasar penolakan ulama salaf terhadap takwil Alquran, karena takwil hanya dilakukan oleh orang-orang yang hatinya cenderung pada kesesatan dan menginginkan tersebarnya fitnah. 


Setelah membaca makna term muhkamat dan mutasyabihat di atas serta penerimaan ulama terhadap ayat-ayat itu, ada penjelasan baru tentang kedua term tersebut oleh Muhammad Shahrur, yang layak untuk kita baca dan renungkan. Entah mengapa, penjelasan Shahrur menurut saya sensible, terlepas dari pro dan kontra terhadap tafsir hermeneutiknya. Penjelasan Sharur tentang Muhkamat dan Mutasyabihat telas saya postingkan sebelumnya dalam “Hermeneutika Muhammad Shahrur” .

REFERENSI
Abdullah, Zulkarnaini. 2007. Yahudi Dalam Al-Quran. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Abu Zaid, Nashr Hamid. 2003. Manalar Firman Tuhan. Bandung: Mizan.
Shahur, Muhammad. 2008. Hermeneutika Al-Quran. Yogyakarta. eSAQ Press.
http://afrinaldiyunas.blogspot.com/2011/12/ayat-ayat-muhkamat-dan-mutasyabihat.html
http://islamtradisionalis.wordpress.com/2012/01/27/mengenal-ayat-ayat-muhkamat-dan-mutasyabihat/
http://aufamaudy0408.blogspot.com/2011/12/makalah-ayat-ayat-muhkamat-dan.html
http://adnanmahdi.blogspot.com/2009/11/muhkamat-dan-mutasyabihat.html

HERMENEUTIKA MUHAMMAD SHAHRUR

A.    Pendahuluan
        Kitab suci berisikan Kalam Tuhan yang agung yang tak terbatas dan mempunyai pengetahuan absolut, diturunkan kepada manusia yang serba terbatas dan mempunyai pengetahuan yang tak dapat dibandingkan dengan pengetahuan Tuhan. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang ataupun sekelompok orang dari sebuah generasi manapun, mampu memahami teks Tuhan tersebut secara mutlak sebagaimana yang diinginkan oleh Tuhan. Pemikiran ini lah yang menjadi dasar bagi Shahrur dan tokoh-tokoh hermeneutika untuk meninjau ulang pemahaman terhadap teks  karangan Tuhan ini. Shahrur berkeyakinan bahwa teks Alquran tidak harus dipahami secara rigid sebagaimana para mufassir klasik memahaminya, karena Alquran bersifat universal dan shalih li kulli zaman wa al-makan, sehingga makna yang terkandung di dalamnya tentu dinamis sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman pembacanya pada zaman mereka masing-masing.
        Meskipun Shahrur mempunyai semangat yang sama dengan tokoh hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis, untuk meninjau ulang pemahaman terhadap teks Tuhan, namun ada sedikit perbedaan. Bila hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis ala barat terkesan putus asa memahami apa yang dinginkan oleh pengarang teks (Tuhan) karena apa yang sesungguhnya diinginkan oleh pengarang tidak akan bisa diketahui kecuali oleh pengarang sendiri, sehingga mereka kemudian lebih melihat pada pemahaman pembaca terhadap teks, dengan dalih, pengarang tidak mampu menyetir pemahaman pembaca terhadap teks yang telah dibuatnya. Shahrur juga lebih melihat pada pemahaman pembaca, tapi dalam arti, teks tersebut memang telah sengaja didesain bersifat universal sehingga memungkinkan untuk dipahami sesuai dengan ruang dan waktu si pembaca. Bukan karena tidak ingin memahami keinginan pengarang, tapi karena pemahaman pembaca yang sesuai zamannya tersebutlah sebetulnya yang dinginkan pengarang. Benar bahwa tidak mungkin memahami teks sesuai dengan pemahaman penciptanya, tapi bukan berarti meninggalkan apa yang dinginkan penciptanya, karena kalau begitu, maka berarti apa pun yang dipahami pembaca (interpreter) menjadi benar. Pemahaman yang serba benar ini tentunya tidak masuk akal.
        Keinginan Shahrur untuk meninjau kembali pemahaman Alquran dan menyesuaikan pemahamannya tersebut dengan ruang dan waktu yang sekarang, terkesan ingin meninggalkan pemahaman ulama salaf dan tafsir-tafsir klasik, karena karya mereka, sedikit banyak, tentunya tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang. Oleh karena itu, tulisan Shahrur menuai banyak kritik dari ulama berbagai negara. Tak kurang dari Said Ramadhan Buti, telah memberikan kritik terhadap tulisannya Al-Kitab wa Al-Quran: Qira'ah Mu'ashirah. Semakin banyak yang mengkritiknya, maka semakin menaikkan popularitasnya. Bukunya laris terjual dan bahkan banyak dibajak di beberapa negara Islam yang melarang memperjualbelikan bukunya. Phenomena Shahrur pun menjadi menarik untuk diperbincangkan.
        Dalam makalah singkat ini penulis juga ikut tertarik untuk membahas hermeneutika Sharur (bila memang metodenya dalam memahami Alquran bisa disebut dengan hermeneutika), atau paling tidak penulis mencoba memahami dasar pemikiran Shahrur dalam usaha beliau memahami Alquran. Dalam makalah ini penulis ingin melihat cara-cara memahami teks terlebih dahulu agar kemudian bisa memahami posisi Shahrur dalam upayanya memahami teks Alquran. Kemudian perlu rasanya untuk mengetahui perjalanan hidup beliau, latar belakang pendidikan dan karya-karyanya agar lebih mudah memahami pemikirannya. Baru setelah itu penulis mencoba memahami prinsip dan dasar hermeneutika beliau.
        Terkait dengan cara penulisan beberapa kata dalam makalah ini, penulis mungkin terkesan tidak konsisten dengan menuliskan kata Alquran pada beberapa tempat dan Quran, al-Quran pada tempat lain, padahal itu bukanlah bentuk ketidakkonsistenan penulis, melainkan isi makalah ini nampaknya menghendaki seperti itu. Penulis mengharap pembaca makalah akan mengetahuinya setelah membacanya dengan tuntas. Kata "Quran" dan "Alquran" merujuk pada KBBI yang maksudnya adalah kitab suci umat Islam, sedangkan al-Quran bisa berarti lain sesuai dengan konteks yang sedang dibicarakan.

B.    Metode Memahami Teks Alquran

        "Banyak jalan menuju Roma", ungkapan ini nampaknya cocok untuk menggambarkan banyaknya cara untuk memahami Alquran. Ulama terdahulu mempunyai pendekatan yang berbeda-beda dalam memahami Alquran, namun secara umum dapat kita bagi menjadi dua kategori, yang satu skriptural yang lainnya rasional. Kelompok pertama berusaha memahami teks Alquran melalui script atau naskah keagamaan, yaitu memahami teks Alquran dengan melihat teks Alquran yang lain, atau dengan Hadis dan perkataan Sahabat. Pendekatan ini juga disebut dengan pendekatan Naqliy dan karya yang menggunakan pendekatan ini disebut dengan Al-Tafsir bi Al-Ma'tsur. Sedangkan kelompok kedua memahami Alquran melalui rasio, meski kadangkala terpaksa menggunakan riwayat, namun itu hanyalah apabila diperlukan untuk memenuhi tuntutan rasionalitas. Pendekatan ini disebut juga dengan pendekatan 'Aqliy dan penafsiran yang menggunakan pendekatan ini disebut dengan Al-Tafsir bi Al-Ra'yi.  Ada juga tafsir yang menggunakan kedua pendekatan tersebut sekaligus seperti tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
        Disamping dua pendekatan yang disebut di atas, ada juga pendekatan bahasa dan sastra dan yang terbaru adalah pendekatan hermeneutika. Pendekatan bahasa adalah cara memahami Alquran dari aspek kebahasaan. Bahasa yang digunakan dalam Alquran dibedah dengan pisau linguistik; sintaksis, morfologi, semantik, semiotik, sehingga dapat ditemukan makna yang sebenarnya. Pendekatan bahasa di satu sisi bisa dikatakan naqly karena pendekatan ini menuntut kepatuhan terhadap aturan-aturan kebahasaan dan melihat contoh-contoh teks sejenis yang sudah biasa digunakan , namun di sisi lain ia juga bisa dikatakan 'aqly karena memahami bahasa harus dengan mencerna dan menganalisanya setelah melihat strukturnya. Sedangkan Hermeneutika adalah metode memahami teks yang berasal dari barat dengan latar belakang tradisi Yudeo-Kristiani dan filsafat Yunani.  Konsep ini muncul atas reaksi modernitas viz a viz pemahaman ajaran agama yang mulai disadari tidak masuk akal. Umat Kristen modern yang mengandalkan rasio mulai mempertanyakan otoritas gereja dan kepercayaan agama mereka yang terasa bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kuasai belakangan. Dengan hermeneutika mereka mencoba memahami kitab suci mereka dengan makna yang lebih sesuai dengan keadaan, kehidupan dan kerangka berfikir mereka yang sekarang. Hermeneutika, sebagaimana juga pendekatan bahasa, menggunakan pendekatan naqly dan 'aqly sekaligus. Ini tak lain karena bahasa dan pemahaman merupakan inti dari hermeneutika. Kita berfikir melalui bahasa; kita bicara dan menulis dengan bahasa; kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa. H. G. Gadamer dalam Sumaryono mengatakan, "Bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini".  Meskipun begitu, tentu berbeda pendekatan bahasa yang disebutkan sebelumnya dengan hermeneutika. Hermeneutika menggabungkan semua upaya untuk mendapatkan makna utuh, menyeluruh, relevan dan dapat diimplementasikan pada zaman sekarang. Sedangkan pendekatan bahasa (linguistik) an sich, mengungkapkan secara apa adanya sebuah ungkapan sebagaimana yang dikehendaki oleh aturan-aturan kebahasaan tanpa ada usaha untuk mengambil makna universal yang bisa dibawa ke zaman ini. Sementara hermeneutika adalah cara baru bergaul dengan bahasa. Ia berusaha menjangkau makna yang lebih jauh melampaui batas-batas aturan kebahasaan, atau dalam bahasa Sibawaihi, menyusup lebih jauh di balik sebuah teks.
        Hermeneutika sebagai metode baru memahami Alquran sudah cukup dikenal dalam dunia Islam dewasa ini meski belum bisa diterima sepenuhnya oleh sebagian besar umat Islam. Terminologi yang biasa digunakan dalam dunia Islam adalah tafsir dan metode yang berlaku selama ini adalah ulum al-tafsir. Memang istilah hermeneutik tidak ditemukan dalam khazanah keilmuan Islam klasik, namun prakteknya sebenarnya sudah dilakukan oleh umat Islam sejak lama – meski belum dalam bentuk hermeneutika modern – dengan sebutan ta'wil.
        Ta'wil pada level tertentu bisa dianggap sebagai padanan dari tafsir, yaitu penjelasan makna teks Alquran. Tapi para pakar ulum al-Quran membedakan keduanya.Tafsir merupakan penjelasan dari ungkapan baik murni atau pun simbolik, sedang ta'wil berusaha menyibak tirai hakikat terdalam dan tersembunyi yang dimaksud oleh ungkapan tersebut. Ta'wil biasanya dipakai terbatas pada lafaz-lafaz yang ambigu (mutsyabihat), yang memerlukan pengetahuan bahasa yang luas serta kemampuan berijtihad untuk menjelaskan maknanya.
        Menurut Farid Esack dalam Faiz, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa umat Islam telah mempraktekkan hermeneutik sejak lama. Bukti-bukti itu adalah:
1.    Problematika hermeneutik itu senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak ditampilkan secara definitive. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai asbabun-nuzul dan nasakh-mansukh.
2.    Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap al-Qur'an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
3.    Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi'ah, tafsir mu'tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran tentang kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu, maupun horizon-horison sosial tertentu dari tafsir.
        Ketiga hal yang disebutkan Esack di atas ini menunjukkan bahwa sebenarnya meskipun tidak secara defenitif namun kesadaran akan multitafsir sudah ada sejak dulu dan ini sejalan dengan corak hermenutika yang menganut asas pluralitas pemahaman. Operasional hermeneutika modern dalam penafsiran Alquran baru muncul belakangan dirintis oleh pembaharu muslim India yang disebut oleh Panicker dengan Pan-Indo-Muslim Hermeneutics  seperti Sir Syed Ahmad Khan , Maulana Azad , Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves. Namun karya tokoh-tokoh di atas belumlah mempunyai rumusan metodologis yang sistematis dan jelas. Baru pada tahun 1960 ke atas muncul tokoh-tokoh hermeneutika Islam seperti Hassan Hanafi, Fazlurrahman, Arkoun, Abu Zayd, Al-Jabiri, dan Shahrur.  
  
C.    Riwayat Hidup Muhammad Shahrur dan Karyanya

        Muhammad Shahrur dilahirkan di Salihiyya, Damascus, pada tahun 1938. Terlahir di keluarga Sunni yang lebih menjunjung tinggi etika moral Islam ketimbang ritual keagamaan, meskipun kedua orang tuanya adalah muslim yang taat, yang melakukan shalat, puasa dan haji. Orang tuanya mengajarkan bahwa agama hanya dapat diukur dengan praktek dan penerapan moralnya, bukan efikasi spiritual. "Kalau ingin menghangatkan badan, jangan dengan membaca Qur'an, tapi nyalakan api di kompor", kata-kata ini yang pernah diucapkan bapaknya pada Shahrur, sebagaimana yang ia sampaikan dalam sebuah wawancara.
        Tidak seperti anak-anak lainnya yang disekolahkan di kuttab dan madrasah yang mengajarkan dasar-dasar ilmu keislaman, Shahrur di sekolahkan pada sekolah negeri yang sekuler di Midan, dengan demikian atmosfir liberal tidak hanya ia dapat dari ayahnya di rumah, tapi juga pada lingkungan sekulernya di sekolah. Di sekolah ia memilih jurusan ilmu alam dan ketika kuliah dia memilih jurusan Teknik Sipil. Pada tahun 1959 dia dikirim ke Saratow, dekat Moscow, di mana dia belajar teknik sipil. Dia kembali ke Syria tahun 1964 setelah menggondol diploma dari Moscow Institute of Engineering, dan menikah dengan gadis Rusia. Empat tahun kemudian dia kuliah lagi, kali ini di Dublin, untuk mendapatkan ijazah Master dan doktornya di bidang mekanik tanah dan teknik fondasi. Ia kembali ke Syria dan mengajar di University of Syria sebagai profesor pada Fakultas Teknik sejak 1972 sampai 1998.
        Shahrur dilahirkan dalam latar belakang keadaan politik Syria yang tidak stabil. Sedikit atau pun banyak, langsung atau tak langsung, kekacauan ideologi, politik dan administrasi negara pada waktu itu  tentu berpengaruh terhadap Shahrur muda. Kedekatan Syria dengan Soviet waktu itu, membawanya ke Saratow. Mau tidak mau dia harus berhadapan lagi dengan "kekacauan ideologi politik" di mana dia menyaksikan sendiri kehancuran Stalinisme pada periode Nikita Khrushchev. Keyakinan agamanya tertantang untuk berkonfrontasi dengan filsafat Marxis dan ateisme Soviet yang sudah melembaga. Selama konfrontasinya dengan filsafat Marxis, dia mendapatkan pelajaran yang berharga, bahwa ideologi yang ideal dan praktikal membutuhkan sebuah konsep ilmu pengetahuan yang mendasar, yaitu teori tentang persepsi manusia terhadap sesuatu yang exist dalam realitas yang objektif. 
        Disamping karirnya sebagai professor dan konsultan , Shahrur tetap tertarik untuk mengembangkan pandangannya dalam logika, epistemologi, dan teologi sebagai respon terhadap krisis pan-Arabisme dan kekalahan Arab dalam perang enam hari melawan Israel pada tahun 1967. Namun bukan berarti Shahrur sudah terdengar atau terlihat sebagai filosof Islam, karena saat itu tak sekalipun beliau pernah menerbitkan tulisan yang bertemakan filsafat dan agama sebelum diterbitkan tulisannya yang kontroversial, al-Kitab wa al-Qur'an. Buku tersebut adalah karya pertamanya yang monumental sekaligus sangat kontroversial pada tahun 1990. Sebelum itu, karya beliau hanya seputar pengetahuan yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan tekniknya. Beliau dikenal sebagai pengarang beberapa buku referensi standar Syria tentang mekanika tanah dan teknik fondasi. Tahun 1994 terbit lagi buku keduanya, al-Dawla wa al-Mujtama'. Kemudian secara berturut sejak tahun 1996 hingga 2008 beliau telah menerbitkan lebih kurang empat buku; al-Islam wa al-Iman – manzumat al-Qiyam (1996), Mashru' Mitsaq al-'Amal al-Islami (1999), Nahw Ushul Jadida li al-Fiqh al-Islami – Fiqh al-Mar'ah (2000), Tajfif manabi' al-Irhab (2008). Bukunya yang terakhir adalah respon terhadap insiden WTC 11 September di mana beliau menolak interpretasi militan terhadap konsep utama Alquran yang diusung oleh muslim radikal.
        Selain buku, Shahrur menulis beberapa artikel yang tersebar dalam jurnal, surat kabar dan situs internet. Di antara artikel-artikel yang pernah ditulisnya adalah:
-    “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies.” Muslim Politics Report (August 14, 1997)

-    “Modernists”, Islam 21 (UK), (January 1999)

-    "Qawl fi’l-Hurriyya" (“The Talk About Freedom.”) Taqrir al-Tanmiyya al-Insaniyya al-'Arabiyya, Markaz Ibn Khaldun (Egypt), (March 2003)

-    "Al-Harakat al-libraliyya rafadat al-fiqh wa-tashri'atiha wa-lakinnaha lam tarfud al-islam ka-tawhid wa-risala samawiyya" (“The Liberal Movements Have Rejected Islamic Jurisprudence and Its Legislations, and Yet They Did Not Reject Islam As Monotheistic Belief and Divine Message.”) Akhbar al-'Arab al-Khalijiyya (UAE),no. 20 (December 16, 2000)

-    "Al-Harakat al-islamiyya lan tafuz bi’l-shar'iyya illa idha tarahat nazhariyya islamiyya mu'ashira fi’l-dawla wa’l-mujtama'" (“The Islamic Movements Will Only Gain Legality If They Propose A Contemporary Theory of State and Society.”) Akhbar al-'Arab al-Khalijiyya (UAE), no. 21 (December 17, 2000)

-    Al-Irhab wa-Harb al-mustalahat (“Terrorism and the War of Words.”) Al-Ittihad (UAE), (April 2004)—(lihat juga: www.shahrour.org).

-    "Al-Gharb…wa’l-islam" (“The West…and Islam.”) Al-Ittihad (UAE), (April 2004) — (lihat juga: www.shahrour.org).

-    "Bi-nass al-Qur'an al-Karim: kull atba' al-diyanat al-samawiyya muslimun" (“According to the Text of the Noble Qur'an: All the Followers of the Heavenly Religions Are Muslims.”) Rawz al-Yusuf (Egypt), no. 3988 (November 19, 2004) — (lihat juga: www.shahrour.org)
       
D.    Prinsip dan Dasar Hermeneutika Shahrur
        Prinsip dan dasar berfikir Shahrur dalam membaca dan memahami Alquran dapat kita ketahui dari beberapa tulisannya dengan sangat jelas, terutama dalam buku pertamanya yang kontroversial itu. Ada beberapa term, yang perlu kita pahami, yang dipakai Shahrur sebagai dasar dalam memahami Alquran yang nantinya akan kita paparkan satu per satu.

Al-Kitab
        Al-Kitab adalah wahyu Tuhan, bukan karya Muhammad. Bila ia adalah karya manusia tentu dia hanyalah merupakan tradisi produk zamannya yang tidak cocok lagi untuk diterapkan di zaman sesudahnya, sementara Alquran (Al-Kitab) relevan untuk semua zaman. Al-Kitab mempunyai karakter sebagai berikut: 1) Al-Kitab sebagai wahyu dari Tuhan yang absolut, sempurna pengetahuannya dan tidak bersifat relatif, berisikan kandungan unsur-unsur yang absolut. 2) Al-Kitab diturunkan untuk manusia, dengan begitu maka tentunya dia mempunyai sisi pemahaman manusia yang memuat unsur-unsur yang relatif. 3) Al-Kitab dimanifestasikan dalam bahasa manusia.
        Dari karakter-karakter Al-Kitab tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Kitab memiliki muatan yang absolut namun pemahamannya bersifat relatif.   Di samping itu, kita dapat pahami bahwa Al-Kitab mempunyai kemutlakan bentuk linguistik yang berupa teks namun di saat yang bersamaan memiliki relatifitas pemahaman. Inilah yang membuktikan bahwa ia berasal dari Tuhan, karena manusia tidak sanggup membuat yang semacam itu.
        Jenis ayat-ayat yang ada dalam kitab bisa dipilah menjadi tiga: (1) Muhkamat. Al-Kitab sendiri menyebutnya dengan istilah umm al-Kitab, isinya adalah masalah ibadah, akhlak, dan hudud. Pemahaman tentang kaidah-kaidah yang terkandung di dalamnya dapat dikaji ulang dengan ijtihad disesuaikan dengan perubahan manusia. (2) Mutasyabihat. Al-Kitab menyebutnya dengan sab'ul matsani dan Qur'an, isinya mengenai akidah. Pemahaman tentang ayat-ayat yang tergolong dalam kategori ini dapat dikaji dengan cara ta'wil. (3) Non-muhkamat dan non-mutasyabihat. Al-Kitab menyebutnya dengan Tafshil al-Kitab, isinya adalah ayat-ayat yang tidak masuk dalam kategori muhkamat ataupun mutasyabihat. 

Al-Nubuwah dan Al-Risalah
        Al-Nubuwah adalah akumulasi pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad sehingga membuatnya menjadi manusia yang menerima wahyu nubuwah yang dipanggil dengan sebutan Nabi. Al-Nubuwah meliputi seluruh informasi dan pengetahuan ilmiah yang termaktub dalam al-Kitab. Al-Risalah adalah ketentuan penetapan hukum yang diwahyukan kepada Muhammad yang membuatnya kemudian dpanggil sebagai rasul. Jadi, kenabian identik dengan ilmu pengetahuan dan kerasulan identik dengan hukum. Dengan begitu, ayat-ayat hukum, sebagaimana telah dibahas sebelumnya termasuk dalam kategori muhkamat atau disebut juga dengan istilah umm al-Kitab, adalah  ayat-ayat kerasulan (risalah). Di sisi lain, ayat-ayat kenabian (nubuwah) adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan eksistensi alam semesta, manusia, sejarah, ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya akidah yang kesemuanya termasuk dalam kategori mutasyabihat dengan sebutan lainnya Quran dan sab'ul matsani, ditambah dengan penjelasan kandungan al-Kitab yang disebut dengan tafshil al-Kitab.
        Menurut Shahrur kemukjizatan al-Kitab justru berada pada ayat-ayat nubuwah yaitu ayat-ayat mutsyabihat (al-Quran dan al-sab'ul matsani) dan tafshil al-Kitab karena disitulah terdapat kemutlakan bentuk linguistik teks sekaligus dinamisasi kandungan maknanya. Shahrur menolak adanya kata yang sinonim dalam menunjukkan al-Kitab. Al-Kitab, al-Quran, al-Furqan dan al-Dzikir adalah terma yang berbeda-beda. Menurut teori ini tentunya ayat waris tidak termasuk dalam Quran (dalam arti dia bukanlah ayat nubuwah), melainkan masuk dalam umm al-Kitab (ayat risalah). Namun harus dipahami bahwa Umm al-Kitab, Quran, Sab'ul Matsani dan Tafshil al-Kitab seluruhnya berasal dari Allah sebagaimana tertulis dalam Ali Imran ayat 7, kullun min 'indi rabbina. Lebih jauh teori ini menyatakan bahwa al-Quran sebagai pembeda antar yang hak dan yang batil dengan menetapkan hukum-hukum alam sehingga dikatakan ia sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-nas)  sedangkan umm al-Kitab berisi tentang penetapan hukum yang dikaji ulang dan diperbaharui sehingga ia disebut sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (hudan li al-muttaqin) .

Al-Sab'ul Matsani
        Selama ini sab'ul matsani dipahami sebagai 7 ayat yang diulang-ulang dan dipahami ketujuh ayat itu adalah 7 ayat pada surat al-Fatiha, karena ketujuh ayat ini lah yang paling sering diulang-ulang pengucapannya, paling sedikit 17 kali dalam sehari diucapkan dalam shalat lima waktu. Shahrur dengan cerdasnya membantah itu dan menemukan makna yang sebenarnya. Setelah menemukan semantik dari kata "matsani", Shahrur menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan matsani adalah ujung dari tiap-tiap surat dalam al-kitab, dalam hal ini yang dimaksud adalah ayat-ayat pembuka surat, maka sab'ul matsani adalah 7 ayat pembuka surat. Ketujuh ayat yang dimaksud adalah 1. Alif lam mim, 2. Alif lam mim shad, 3. Kaf ha ya 'ain shad, 4. Yasin, 5. Thaha, 6. Tha sin mim, 7. Ha mim.
        Ada huruf-huruf lain yang juga berada pada pembukaan surat namun tidak dimasukkan dalam 7 ayat yang terhimpun sebagai sab'ul matsani, seperti: alif lam ra, alif lam mim ra, tha sin, nun, qaf, shad. Menurut Shahrur, alasannya adalah karena dia bukan merupakan sebuah ayat yang utuh, melainkan bagian dari sebuah ayat, sedangkan yang terhimpun dalam sab'ul matsani adalah satu ayat utuh. Lalu apa signifikansinya 7 ayat itu?. 7 ayat itu bila dikeluarkan fonemnya, seluruhnya ada 11 fonem. Kesebelas fonem ini sebetulnya telah mewakili seluruh fonem yang merupakan huruf-huruf dalam pembuka surat yang tidak terhimpun dalam sab'ul matsani kecuali 3 fonem: qaf, ra dan nun. 3 fonem ini bila digabung dengan 11 fonem yang tergabung dalam 7 ayat pembuka surat jumlahnya jadi 14 fonem. 14 adalah hasil perkalian 2 dengan 7. Al-sab'ul matsani secara letterlijk  juga bisa berarti "7 yang didobelkan". 7 yang didobelkan jumlahnya 14, sama seperti jumlah fonem dari seluruh pembuka surat. Mungkin Shahrur ingin mengatakan bahwa ini bukan kebetulan, ini memang disengaja, menunjukkan bahwa isi al-Kitab sudah diperhitungkan secara detail.
        Terlepas dari hitungan matematis Shahrur yang terkesan terlalu dibuat-buat, apa yang ia ulaskan kemudian  menyangkut 11 fonem yang terhimpun dalam sab'ul matsani, bahwa 11 fonem yang tersebut itu adalah bentuk pelbagai fonem yang dipadatkan dan merupakan asal-usul bahasa manusia dan batas minimal pada bahasa manusia, cukup masuk akal.

Al-Inzal dan al-Tanzil
        Menyangkut turunnya Alquran, redaksi yang dipakai dalam al-kitab pada satu tempat adalah anzala yang masdarnya adalah inzal, di tempat lain dipakai kata nazzala yang masdarnya adalah tanzil. Kedua kata itu berbeda meski mempunyai akar kata yang sama dan bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya sama-sama menurunkan. Shahrur kemudian menjelaskan perbedaannya dari sisi linguistik dengan cara mengumpulkan semua kata anzala dan nazzala, kemudian melihat semua kata tersebut dalam persamaan dan perbedaannya, sehingga ditemukanlah arti yang sebenarnya. Ia juga membandingkannya dengan kata ablagha dengan ballagha.
        Shahrur akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kata kerja ta'addi dalam wazan أفعل mengandung arti proses diluar kesadaran manusia dari wilayah yang tidak diketahui menuju wilayah yang dapat diketahui, sementara yang dalam wazan فعّل   mengandung arti perpindahan objek secara material diluar kesadaran manusia dan proses tersebut berlangsung tanpa ada pemastian bahwa objek benar-benar sampai pada tujuannya. Lebih jelasnya, Shahrur memberikan contoh dengan proses pemindahan objek gunung Qaison kepada manusia yang hidup di Kairo melalui sketsa. Ada dua proses yang terjadi, proses inzal dan proses tanzil. Pemindahan objek gunung Qaison ke dalam sketsa adalah proses inzal. Proses pengiriman sketsa itu ke Kairo agar bisa dilihat orang Kairo adalah proses tanzil. Bila ini diaplikasikan pada proses turunnya Alquran maka proses pemindahan Alquran dari bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia adalah proses inzal (Yusuf: 2 إنا أنزلناه قرآنا عربيا ), dan proses pengiriman Alquran kepada Muhammad adalah proses tanzil. Proses inzal terjadi secara keseluruhan dan dalam satu kesempatan, tepatnya adalah pada malam lailatul qadr ( إنا أنزلناه فى ليلة القدر  ), sedangkan proses tanzil berlangsung secara berangsur-angsur dalam rentang waktu 23 tahun.

Al-Dzikr
        Al-Dzikr selama ini dipahami sebagai sinonim dari al-quran, namun salah satu ayat dalam Alquran nampaknya membantah pemahaman ini, ayat itu adalah Shad wa al-qur'ani dzi al-dzikr (Shad: 1).  Atribut dzi menunjukkan bahwa al-quran adalah sesuatu yang berbeda dengan al-dzikr. Al-Qur'an adalah subjek tertentu dan al-dzikr adalah sifatnya. Ayat tersebut bila diartikan adalah al-Qur'an pemilik dzikr. Jadi ada sifat dzikr yang dimiliki al-Qur'an. Menurut Shahrur sifat itu adalah bentuk al-Quran dalam format linguistik Arab, dan dalam bentuknya yang baru ini lah dia menduduki posisi sebagai bentuk wahyu yang bernilai ibadah bila dibaca. Ketika manusia membaca bentuk literal Alquran meski tanpa pemahaman tetap bernilai ibadah. Ketika seorang muslim shalat dia membaca al-dzikr dalam shalatnya, meskipun dia tidak memahaminya shalatnya tetap sah. Yang dituntut dalam shalat adalah membaca dzikr bukan melafalkan makna kandungannya, maka shalat harus menggunakan lafal bahasa Arab.
 
Al-Furqan
        Al-Furqan menurut Shahrur bukanlah al-Quran tetapi dia adalah The Ten Commandement, sepuluh wasiat yang diturunkan kepada Nabi Musa.  Thabari mengartikan al-furqan dengan al-fashlu baina al-haq wa al-batil (pembeda antara yang haq dan yang batil), dan beliau menyamakan al-furqan dengan al-kitab ketika menafsirkan ayat 53 dari Surat Al-Baqarah:
                                                        وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ  .
Shahrur mengkritik pendapat itu dan mengatakan bahwa adanya atribut waw athaf menunjukkan bahwa ma'thuf dan athf nya adalah dua hal yang berbeda meskipun pada level tertentu mempunyai kesamaan.  Terma al-furqan diturunkan pertama sekali pada Musa, dan al-furqan yang sama diturunkan juga kepada Nabi Muhammad dalam bulan Ramadhan seperti terekam dalam ayat: syahru ramadhana al-ladzi unzila fihi al-Qur'anu hudan li al-nasi wa bayyinatin min al-huda wa al-furqani…. (al-Baqarah: 185). Menurut Shahrur, al-furqan dalam ayat tersebut diposisikan sejajar (ma'thuf) dengan al-Quran sehingga dia bukanlah al-Quran. Menurutnya al-Quran adalah ayat-ayat yang mengandung ilmu pengetahuan dan hukum-hukum alam, sedangkan al-furqan adalah sepuluh wasiat Tuhan yang pernah diturunkan pada Nabi Musa dan diturunkan juga kepada Nabi Muhammad yang terkandung dalam ayat 151-153 Surat al-An'am:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ .......
 

Teori Limit
        Salah satu ide Shahrur yang kontroversial adalah teori limit. Beliau menerapkan konsep limit dalam Matematika pada ketentuan hukum fikih yang kemudian sebut dengan teori tentang batasan hukum Tuhan. Ia membangun teorinya ini berdasarkan pengalamannya dalam dunia teknik. Dia mempertautkan sains modern dengan teori linguistik dalam menafsirkan ayat Tuhan dan hasilnya adalah sebuah teori tentang batas maksimal dan batas minimal dalam hukum Tuhan. Nashr Abu Zaid mengutip Shahrur dalam kata pengantarnya,
"One day an idea occurred to me when I was lecturing at the university of civil engineering about how to make compaction roads. We have what we call protector test, in which we sample and test soil used in fills in embankments. In this test, we exclude and interpolate. We have x and y. A hyperbole. We have a basic risk. We plot a curve and put a line on the top of it. This line is the upper limit. Then I thought of the concept of God's limit (hudud Allah). I returned here to the office and opened the Qur'an. Just as in mathematics we have five ways of representing limits, I found five cases in which the notion of God's limit occurred. What they have in common is the idea that God has not set down the exact rules of conduct, but only the limits within which societies can create their own rules and laws. I have written about ideas of integrity (al-istiqama) and universal moral or ethical codes. The idea was at first only a footnote in my last chapter, but I saw that I wrote about 'hudud Allah' in the book in order to be consistent. Then I considered my argument to be sound."

        Dalam ilmu matematika ada teori tentang limit, hal ini mengingatkan Shahrur tentang hukum hudud (hudud Allah atau terjemahan sederhananya batasan Tuhan). Menurutnya, seperti limit  dalam matematika, Allah juga mempunyai batas maksimal dan minimal dalam menentukan hukumnya. Makanya, variasi hukuman (had) yang disebutkan secara rinci dalam Alquran sebenarnya adalah tanda batas tertinggi atau terendah dari hukuman bagi kesalahan tertentu, bukan mutlak. Hukuman yang diterapkan di masyarakat bisa saja di bawah standard tertinggi itu, disesuaikan dengan keadaan dan budaya masyarakat yang ada, atau di atas standard minimal, bila yang disebutkan dalam Alquan adalah batas minimalnya. Dengan begitu, menurut beliau, penentuan hukum harus melalui ijtihad yang bisa bebas bergerak menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat selama masih berada dalam garis antara batas maksimal dan batas minimal (hudud Allah). "Islamic legislation must be based on the principles of ijtihad that govern a controlled renewal and flexible adaptation of legal rules to changing historical circumstances”.

E.    Penutup
        Begitulah Shahrur membaca al-kitab dengan pemahaman baru (qira'ah mu'ashirah). Penjelasan Shahrur tentang posisi ayat-ayat dan kategori-kategorinya menunjukkan penguasaannya atas ayat-ayat yang menjelaskan kandungan al-Kitab (ayat-ayat yang masuk dalam kategori tafshil al-Kitab). Penamaan kandungan al-kitab sesuai dengan kategori-kategorinya ini adalah terobosan baru dalam memahami Alquran yang tidak ditemukan dalam karya-karya klasik. Secara keseluruhan usaha Shahrur patut diacungi jempol meski ternyata masih ada kejanggalan-kejanggalan dalam penjelasannya sehingga terkesan terlalu dipaksakan. Salah satu contohnya adalah ketika Shahrur mengatakan bahwa al-Quran dan al-furqan adalah hal yang berbeda. Pernyataannya tersebut terlihat masuk akal dengan mengkategorikan ayat-ayat ilmu pengetahuan adalah al-Qur'an sementara al-furqan adalah the ten commandement. Namun, ketika bukti yang dimunculkan adalah ayat yang tercakup dalam al-Baqarah:185 dengan alasan bahwa ayat tersebut menyebutkan  al-Quran sejajar (ma'thuf) dengan al-furqan sehingga itu berarti bahwa kedua hal itu berbeda, penulis menganggap Shahrur terlalu memaksakannya dan mengabaikan sisi gramatikal (sintaksis) tata bahasa Arab, karena kata  "al-Qur-an" berada dalam keadaan marfu' sedangkan al-furqan berada dalam keadaan majrur. Al-furqan bisa dikatakan sejajar dengan al-huda, sedangkan al-Quran sejajar dengan bayyinat, karena yang disebut pertama diselingi dengan huruf waw athaf dan berada dalam keadaan sama-sama majrur, begitu juga disebut terakhir sama-sama berada dalam keadaan marfu'.
        Penjelasan Shahrur tentang inzal, tanzil dan dzikr lebih dapat diterima dalam konteks pemahaman ulama klasik ketimbang pemahaman Fazlur Rahman atau Arkoun terkait penciptaan/proses turunnya Alquran. Konsep inzal-tanzil-dzikrnya Shahrur lebih selamat dari paham bahwasanya Alquran adalah ciptaan Muhammad atau ada campur tangan manusia di dalamnya, atau  pernyataan bahwa Alquran ada produk budaya. Konsep ini lebih mudah diterima daripada pernyataan menggelitik bahwa Alquran adalah 100% dari Tuhan dan 100% dari Muhammad.
        Bila Fazlur Rahman mempunyai double movement, Sharur punya the limit. Keduanya sama-sama membuka peluang untuk mengeluarkan hukum yang diadaptasikan dengan keadaan kontemporer. Pemotongan tangan pencuri bagi Fazlur Rahman tidak manusiawi, itu adalah tradisi Arab, bukan Islam. Ideal moral dalam potong tangan adalah memotong kemampuan pencuri untuk melakukan pencurian lagi. Sesuai dengan keadaan sekarang, potong tangan tak cocok diterapkan, tapi bisa diganti dengan penjara atau denda yang berat. Sedikit berbeda dengan teori the limit, dalam konteks teori ini, potong tangan tentunya adalah batas maksimal hukuman bagi pencuri. Pada waktu dan ruang yang berbeda, hukuman pencuri bisa saja lebih ringan dari potong tangan, tapi bagaimanapun hukuman itu disesuaikan dengan keadaan ruang dan waktunya, hukuman itu tidak boleh melebihi potong tangan.     

BIBLIOGRAFI
Abdullah, Zulkarnaini. 2007. Yahudi Dalam Al-Qur'an. Yogyakarta: eLSAQ Press
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Christmann, Andreas. 2009. The Qur'an, Morality and Critical Reason. Leiden: Brill
Engineer, Asghar Ali. 2005. The Qur'an, Women and Modern Society. New Delhi: New Dawn Press 
Faiz, Fachruddin. 2011. Hermeneutika Al-Qur'an. Yogyakarta: eLSAQ
Al-Kashmiri, Muhammad Anwar Shah. Musykilat al-Qur'an. Gujarat: Majlis Ilmi
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika. Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Panicker, P. L. John. 2006. Gandhi On Pluralism and Communalism. Delhi: Cambridge Press
Shahrur, Muhammad. 2008. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur'an, terj. Shahiron Syamsuddin. Yogyakarta: eLSAQ Press
 _______"Bi-nass al-Qur'an al-Karim: kull atba' al-diyanat al-samawiyya muslimun" (“According to the Text of the Noble Qur'an: All the Followers of the Heavenly Religions Are Muslims.”) Rawz al-Yusuf (Egypt), no. 3988 (19 Nopember 2004)
_______"Al-Gharb…wa’l-islam" (“The West…and Islam.”) Al-Ittihad (UAE), (April 2004) — (lihat juga: www.shahrour.org).
_______"Al-Harakat al-islamiyya lan tafuz bi’l-shar'iyya illa idha tarahat nazhariyya islamiyya mu'ashira fi’l-dawla wa’l-mujtama'" (“The Islamic Movements Will Only Gain Legality If They Propose A Contemporary Theory of State and Society.”) Akhbar al-'Arab al-Khalijiyya (UAE), no. 21 (17 Desember 2000)
_______"Al-Harakat al-libraliyya rafadat al-fiqh wa-tashri'atiha wa-lakinnaha lam tarfud al-islam ka-tawhid wa-risala samawiyya" (“The Liberal Movements Have Rejected Islamic Jurisprudence and Its Legislations, and Yet They Did Not Reject Islam As Monotheistic Belief and Divine Message.”) Akhbar al-'Arab al-Khalijiyya (UAE),no. 20 (16 Desember 2000)
_______"Al-Irhab wa-Harb al-mustalahat" (“Terrorism and the War of Words.”) Al-Ittihad (UAE), (April 2004)—(lihat juga: www.shahrour.org).

_______“Modernists”, Islam 21 (UK), (Januari 1999)
_______"Qawl fi’l-Hurriyya" (“The Talk About Freedom.”) Taqrir al-Tanmiyya al-Insaniyya al-'Arabiyya, Markaz Ibn Khaldun (Egypt), (Maret 2003)
_______“The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies.” Muslim Politics Report (14 Agustus 1997)
Sibawaihi. 2007. Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Al-Thabari, Abu Ja'far. 2000. Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, Juz II. Muassasah al-Risalah
Thompson, John B. 2005. Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. Terj. Abdullah Khozin Afandi. Surabaya: Visi Humanika
Zaid, Nashr Hamid Abu. 2003. Menalar Firman Tuhan. Bandung: Mizan  
 

Kamis, 11 April 2013

Konflik Agama-agama di Dunia

Pendahuluan
Ketika kita mengemudikan kendaraan di jalan raya kita terikat dengan aturan rambu-rambu lalu lintas yang ada. Traffic light, bila menunjukkan lampu merah, mengharuskan kita untuk berhenti dan mempersilahkan jalur lain untuk berjalan, dan bila lampu hijau hidup kita boleh melintas dan jalur lain berhenti. Ketika mengikuti aturan itu, kita berharap pengemudi lain juga memahami traffic light sebagaimana yang kita pahami sekaligus mau mengikuti pesan yang disampaikan traffic light tersebut. Bila ternyata pengemudi lain mempunyai pemahaman yang berbeda tentang makna warna lampu-lampu tersebut, maka akan terjadilah clash atau konflik.
Paragraf diatas memberikan ilustrasi tentang konflik yang terjadi antar umat beragama di dunia. Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi  tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai  tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang  –sedikit banyak- dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini. Perang antara Israel yang Yahudi dengan Palestina yang Muslim adalah contoh lain dari konflik antar umat beragama yang masih belum selesai hingga hari ini. Pembantaian umat Yahudi oleh Nazi yang notabene adalah adalah konflik terbesar antara pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.
Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya.  Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran yang  –boleh jadi- terdapat pada umat.sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius yang bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan berupaya menyebarkan pesan Yesus yang terakhir, “Pergilah ke seluruh dunia dan kabarkanlah Injil kepada seluruh makhluk!” (Martius 16: 15)
Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. Tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah teks  keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan. Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41, “
(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”[1]
Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan).[2] Maka, sebagian pengamat melihat, agama adalah  sumber konflik, atau setidaknya memberikan legitimasi terhadap berbagai konflik sosial. Ferguson (1977) mencatat, “Every major religious tradition includes its justification for violence”. Sebagian lain menyimpulkan bahwa agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh yang melegitimasi pembunuhan. Dalam tradisi Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), kata mereka, Tuhan membunuh masyarakat, dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan hal yang sama.[3]
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Pada level eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan,[4] termasuk Islam dan Kristen.
Namun, dalam banyak hal, realitas menunjukkan bahwa ketegangan yang terjadi di antara umat beragama justru berkaitan erat dengan factor-faktor yang berada di luar lingkup agama. Ketegangan yang terjadi di beberapa kawasan, meskipun dibungkus dalam baju agama, pada dasarnya disebabkan oleh factor-faktor social, budaya, ekonomi, dan politik.[5]
Sehubungan dengan itu, tulisan ini bermaksud membahas tentang: Konflik agama di dunia; dan benarkah perbedaan konsepsi agama-lah yang menyebabkan konflik di antara kedua umat ini?


Pengertian Konflik
Secara etimologi, konflik berasal dari kata kerja Latin confligere yang berarti saling memukul. Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah percekcokkan, perselisihan, pertentangan. Secara terminologi, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.[6]
Menurut para ahli, konflik adalah sebagaimana tersebut di bawah ini:
                                                              i.      Berstein
Konflik merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik mempunyai potensi positif dan ada pula yang negative di dalam interaksi social.
                                                            ii.      Dr. Robert M.Z. Lawang
Konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, di mana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
                                                          iii.      Drs. Ariyono Suyono
Konflik adalah proses atau keadaan di mana dua pihak berusaha menggagalkan tercapainya tujuan masing-masing yang disebabkan adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai  ataupun tuntutan dari masing-masing pihak.
                                                          iv.      James W. Vander Zanden
Konflik adalah suatu pertentangan mengenai nilai atau tuntutan hak atas kekayaan, kekuasaan, status atau wilayah tempat pihak yang saling berhadapan betujuan menetralkan, merugikan, ataupun menyisihkan lawan mereka.
                                                            v.      Soerjono Soekanto
Konflik adalah proses social dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.[7]

Agama ; Peran pemersatu atau konflik (?)
Semua ajaran agama pada dasarnya ba­ik dan mengajak kepada kebaikan. Na­­­mun nyatanya tidak semua yang di­anggap baik itu bisa bertemu dan se­iring sejalan. Bahkan, sekali waktu da­pat terjadi pertentangan antara yang sa­­­­tu dengan yang lain. Alasannya tentu ber­­ma­cam-macam. Misalnya, tidak mes­ti yang dianggap baik itu benar. Juga, a­pa yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain  yang dapat dimuncul­kan.
Menurut Joachim Wach, seorang sar­jana ahli dalam sosiologi agama, se­tidaknya terdapat dua pandangan ter­hadap kehadiran agama dalam suatu ma­sya­rakat, negatif dan positif. Pen­dapat  pertama mengatakan, ketika a­ga­ma hadir dalam satu komunitas,  perpecahan tak dapat dielakkan. Dalam hal ini, agama dinilai sebagai faktor dis­integrasi. Mengapa? Salah satu se­babnya adalah ia hadir dengan se­perangkat ritual dan sistem ke­percayaan yang lama-lama melahirkan sua­tu komunitas tersendiri yang ber­beda dari komunitas pemeluk agama la­in. Rasa perbedaan tadi kian intensif ke­tika para pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan keyakinan bah­wa satu-satunya agama yang benar a­dalah agama yang dipeluknya. Se­dangkan yang lain salah dan kalau per­lu dimusuhi.
Pandangan yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama berperan se­bagai faktor integrasi. Katakanlah ke­tika masyarakat hidup dalam suku-su­ku dengan sentimen sukuisme yang ting­gi, bahkan di sana berlaku hukum rim­ba, biasanya agama mampu ber­peran memberikan ikatan baru yang le­bih menyeluruh sehingga terkuburlah ke­pingan-kepingan sentimen lama sum­ber perpecahan tadi. Agama dengan sistem kepercayaan yang ba­ku, bentuk ritual yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam hu­bung­an sosial mempunyai da­­ya ikat yang amat kuat bagi integrasi masya­rakat.[8]
Dalam kaitan ini, thesis yang amat me­narik diajukan oleh Prof. Dr. Naquib al-Attas dari Universitas Malaysia, bah­wa berkat Islamlah maka bahasa Me­layu berkembang cepat di nusantara i­ni, yang pada akhirnya diresmikan se­bagai bahasa Indonesia, bahasa na­sional. Mengapa bahasa Melayu yang re­latif digunakan oleh kelompok kecil sang­gup mengeser bahasa Jawa yang do­minan? Naquib menjawab, bahasa Ja­wa telah dirasuki falsafah Hindu yang feo­dalistik dan membagi manusia pada ke­las-kelas, sementara Islam yang ber­sifat demokratis, tidak mengenal kelas. Sa­tu-satunya alternatif  yang tepat a­dalah berkomunikasi dengan bahasa Me­layu. Jalinan antara sifat Islam yang de­mokratis, bahasa Melayu yang di­gunakan, lalu disebarkan oleh para pe­dagang yang merangkap sebagai juru dak­wah, maka pada waktu yang relatif sing­kat tersebarlah bahasa Melayu ke seantero nu­santara ini. Islam memperkuat pe­nyebaran bahasa, bahasa mendorong ser­ta memperkuat timbulnya persatuan nu­santara, dan pada gilirannya lahirlah ke­satuan nasional dengan Islam se­bagai dasarnya, ditambah bahasa Melayu dan na­sionalisme sebagai pilarnya.[9]
Dengan demikian, mengikuti teori Joachim Wach, bagaimana pun juga ke­hadiran dan eksistensi  Islam di In­donesia ini jelas merupakan faktor in­tegrasi sekaligus konflik yang amat besar, yang mam­pu mengikis friksi-friksi sukuisme se­belumnya.

Agama Dan Konflik
Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai kawasan di dunia. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti konflik Israel-Palestina, sengketa Kashmir, Perang Salib, Perang Bosnia, dan Holocaust. Ada baiknya kita melihat sekilas satu persatu konflik-konflik tersebut di atas agar bisa melihat gambaran yang jelas tentang konflik-konflik antara pemeluk agama di dunia.
Perang Salib mungkin adalah konflik terbesar antara umat Islam dan Kristen yang tertoreh dalam sejarah dan tak kan pernah terlupakan. Kebencian antara kedua pemeluk agama ini belakangan sering berakar pada peristiwa sejarah tersebut. Meskipun potensi perbedaan dari sisi keagamaan sudah ada sebelumnya, namun pengaruh perang salib memberikan kontribusi yang besar terhadap ketegangan umat Islam dan Kristen.
Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan kaum Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berasal dari sekelompok tentara pengintai Islam menyeberang dari Afrika Utara ke ujung paling selatan Spanyol pada Juli 710. Laporan kegiatan mata-mata ini menimbulkan minat baru untuk menyerang. Spanyol Islam dianggap mencapai puncak kekuasaan dan kemakmurannya pada masa kekhalifahan Abd al-Rahman III (912 – 961). Keberadaan negara atau wilayah tidak lepas dari gerakan-gerakan politik di dalamnya..
Gerakan politik ini selalu melekat pada pemerintahan Islam di sepanjang sejarah, termasuk di Spanyol Islam. Intrik-intrik ini membuat Spanyol Islam mengalami pasang surut. Dunia Kristen Latin juga merasakan pengaruh Islam melalui Sisilia. Serangan pertama ke Sisilia terjadi pada tahun 652 di kota Sisacusa. Akan tetapi pendudukan orang-orang Arab di Sisilia tidak berlangsung lama. Kebangkitan kembali Kerajaan Byzantium mengakibatkan berakhirnya semua pendudukan atas wilayah-wilayah penting. Byzantium menggandeng gereja untuk menguasai wilayah-wilayah Islam. Peperangan dengan menggunakan atribut gereja ini kemudian menjadi perang Kristen melawan Islam yang banyak menyita waktu.
Bila kita cermati factor utama terjadinya perang salib, maka kita akan mendapatkan bahwa alasan politik dan perluasan wilayah untuk menguasai sumber-sumber alamlah yang menjadi dasarnya. Hal yang sama juga terjadi di Palestina, ketika Inggris memberikan tempat bagi bangsa Israel untuk mendirikan negaranya di tanah Palestina. Pertambahan imigran Yahudi ke Palestina semakin pesat karena bangsa ini mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi di berbagai belahan dunia, disamping keyakinan mereka bahwa tanah tersebut adalah janji tuhan yang diperuntukkan bagi mereka. Kedatangan ini kemudian dimaknai sebagai agresi orang luar terhadap bangsa Palestina yang merdeka. Pada gilirannya konflik fisik pun terjadi dengan membawa bendera agama.[10]
Tak berbeda dengan kasus Indonesia, kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa konflik di Maluku pada awalnya disebabkan oleh karena kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Eskalasi politik meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik, karena isu agama itu muncul belakangan.
Konflik di antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan non keagamaan.[11] Berikut ini keterangan singkat mengenai kedua faktor itu.

A.                Faktor Keagamaan
Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi, antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat.[12]
Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal.[13] Selain itu, terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan disintegrasi,[14] bila dipahami secara sempit dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
Secara internal, teks-teks keagamaan dalam satu agama juga terbuka terhadap aneka penafsiran yang dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam, bahkan bertentangan satu sama lain sehingga memicu konflik.[15]
Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri.  Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama dapat juga berpotensi  menjadi sumber konflik di kemudian hari. Mana diantara potensi tersebut yang dominan? Konflik bisa saja terjadi. Penyebab konflik terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran). Namun yang dominan, konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di blow up menjadi konflik (ajaran) agama.
Selain faktor yang terkait dengan doktrin seperti disebutkan di atas, ada faktor-faktor keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat beragama. Di antaranya: 1) Penyiaran agama, 2)Bantuan keagamaan dari luar negeri, 3) Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, 4) Pengangkatan anak, 5)Pendidikan agama, 6)Perayaan hari besar keagamaan, 7)Perawatan dan pemakaman jenazah, 8)Penodaan agama, 9)Kegiatan kelompok sempalan 10)Transparansi informasi keagamaan dan 11)Pendirian rumat ibadat.[16]
Berikut ini penjelasan tentang sebagian dari faktor-faktor itu. Penyiaran agama merupakan perintah (paling tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan yang sifatnya terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan antar umat beragama. Untuk mengurangi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan semacam itu, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Faktor lain terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu terganggunya hubungan antar umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah satu alat untuk mengajak pasangan agar berpindah agama. Konversi agama dilakukan untuk mengesahkan perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung beberapa lama, orang yang bersangkutan kembali ke agamanya semula dan mengajak pasangannya untuk memeluk agama tersebut.[17]
Kasus yang juga sering muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadat. Kehadiran sebuah rumah ibadat sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau bahkan memicu konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama lain. Rumah ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai simbol keberadaan, suatu kelompok agama.
Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat tersebut dipandang oleh pihak lain tidak berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada komunitas lain. Kasus-kasus yang terkait dengan pengrusakan rumah ibadat menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1969 yang kemudian disempurnakan dan diganti dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 2006/No 8 tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006.

B.                 Faktor-faktor non Keagamaan
Adapun faktor-faktor non keagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab ketidakrukunan umat beragama meliputi beberapa hal, antara lain 1)kesenjangan ekonomi, 2) kepentingan politik, 3) perbedaan nilai sosial budaya, 4) kemajuan teknologi informasi dan transportasi.[18]
Kehadiran penduduk pendatang di satu daerah sering menimbulkan kesenjangan ekonomi, sebab mereka lebih ulet dan trampil bekerja dibandingkan dengan penduduk asli . Kondisi itu sering menimbulkan kecemburuan sosial dan dapat memicu konflik. Selanjutnya, dalam berbagai kasus, munculnya suatu kelompok politik juga dipengaruhi oleh misi keagamaan dari para elit kelompok politik tersebut.
Ketegangan atau konflik di antara elit politik tersebut lalu pada gilirannya dilihat sebagai pertikaian antar kelompok politik yang berbeda agama. Demikian pula perbedaan nilai budaya juga dapat menjadi penyebab konflik bila suatu komunitas yang kebetulan menganut agama tertentu mengalami ketersinggungan karena perilaku atau tindakan pihak lain, yang kebetulan menganut agama berbeda kurang memahami atau kurang menghargai adat istiadat, atau budaya yang mereka hormati.[19]
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system sosial yang dibuat oleh penganut- penganutnya yang berproses pada kekuatan- kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka. Dalam kamus sosiologi pengertian agama ada 3 macam, yaitu (1) kepercayaan pada hal- hal yang spiritual; (2) Perangkat kepercayaan dan praktik – praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3) Ideologi mengenai hal- hal yang bersifat supranatural.[20] Sementara itu, Thomas F. O’ Deo mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana- sarana supra empiris untuk maksud- maksud non empiris atau supra empiris.[21]
Dari beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya. Karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah- masalah yang non empiris. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa agama adalah ajaran, system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Selanjutnya dalam buku yang sama, dikatakan bahwa konflik yaitu percekcokan; perselisihan- prselisihan; pertentangan. Jika kata ini digabung dengan term sosial menjadi suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Menurut teori konflik , masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas serta berkecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Jadi masyarakat (sosial) merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor : ekonomi, politik, sosial, bahkan agama.[22]

Faktor- faktor Konflik Ditinjau dari Aspek Agama
Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan. Di dalam terminologi Al-Qur’an, misi suci ini disebut rahmah lil alamin (rahmat dan kedamaian bagi alam semesta). Namun dalam tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agamapun menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad dijelaskan bahwa, “agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”[23] Hal ini sama dengan pendapat Johan Efendi yang menyatakan “Bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan. Namun, pada waktu yang lain menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik. Bahkan tidak jarang dicatat dalam sejarah menimbulkan peperangan.[24] Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya :
1. Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai- nilai suci itu.
Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan konsep- konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan, masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.

2. Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme. Seperti dalam kasus Dr. AM Saefuddin, yakni Menteri Negara Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Menteri itu telah melecehkan salah satu agama, dalam pernyataannya “Megawati Pindah Agama menjadi Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan seseorang yang beragam Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan ritual pada agama Hindu di Bali. Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi sejumlah demonstrasi, bahkan berubah menjadi kerusuhan.

3. Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Jika berada dalam agama ketiga, diluar kedua agama yang sedang bertikai, kita akan tersenyum mengejeknya, karena mereka saling menghancurkan, yang dalam persepsi kita bahwa agama yang bertikai tersebut sama-sama palsu. Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang perang adalah agama kita dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan menjadi sebuah perjuangan untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita akan meyakini adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya di anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat sama seperti itu, dan mereka yang berada dipihak ke tiga (tidak berperang), dan memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara dia kepalsuan. Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin dengan agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan mereka berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Jadi, merekalah yang sebenarnya menjadi sumber kebenaran.

4. Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Qur’an (QS.2:148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima keragaman budaya dan agama dengan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural dan suka kekerasan itu sangatlah tidak beralasan.
Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah SAW, ketika beliau berada di Madinah, masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa untuk mengikuti agamanya. Bahkan dalam perjanjian dengan penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satunya ” Orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan; tidak akan diperlukan zalim. Jika di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya dan keluarganya.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan Islam di daerah tersebut telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya yang berkembang, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu dikembangakan oleh seluruh agama, sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia harus mampu mempelakukan agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan perusakan tempat-tempat ibadah.

Kesimpulan
Jika memang konsepsi agama, paling tidak agama Islam, bukanlah alasan dan sebab utama yang memicu konflik antar umat Islam dan Kristen (serta umat beragama lain). Sejumlah kajian dan penelitian menjelaskan bahwa titik persoalan sebenarnya terletak pada faktor  internal dan eksternal umat. Tidak hanya di negara-negara yang penduduknya minoritas Muslim (misalnya: Filipina), bahkan di negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Indonesia gerakan puritanisasi dan revitalisasi Islam harus “berhadapan” dengan peradaban global yang sekuler, kapitalistis, dan bersemangat hedonistis. Politik Islam negara-negara Barat yang berabad-abad menekan aspirasi umat, yang kemudian disusul oleh upaya pembangunan di masing-masing negara dengan patron mengikuti Barat yang pernah menjajahnya membuat peran umat ini (Muslim) semakin lama semakin berkurang. Marginalisasi peran politik, ekonomi dan kebudayaan, menyebabkan kaum muslim mengalami disposisi dan disorientasi. 
Secara internal, kaum muslim masih berkutat dengan kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Kondisi ini diperparah oleh adanya penyakit “Islamofobia” (takut kepada Islam) yang ironisnya, tidak hanya pada umat Kristen, tapi juga menjangkiti sebagian cendekiawan muslim. Kelompok ini, yang nota bene adalah penganut pluralisme agama, mudah tersengat dan curiga pada gerakan-gerakan “Islam fundamentalis”, yang dinilai “ekstrem” dan “militan”. Padahal, bangkitnya “Islam fundamentalis”, menurut G. H. Jansen, “adalah reaksi terhadap masalah bagaimana mengahadapi tantangan  cara hidup Barat yang telah menjadi cara hidup dunia.”[25] Kelompok terakhir ini, yang senantiasa termarginalkan, didorong oleh semangat membebaskan umat dari materialisme yang sesat, yang mendorong pada suatu kesadaran hakiki, bahwa agama merupakan suatu kebutuhan batiniah dan sekaligus kebutuhan intelektuil manusia. Menggunakan istilah Arnold Toynbee, boleh jadi, mereka adalah kelompok creative minorities yang bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban kontemporer yang rapuh. Sehingga, seandainya pun terjadi benturan dan konflik, kebanyakan pada tataran ideologis, di antara “mereka” dengan rezim yang berkuasa dan kelompok-kelompok penentangnya. Konflik antar umat Islam dan Kristen sendiri, kebanyakan adalah  kompleksitas persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, yang  –oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab- dilegitimasi karena “perbedaan konsepsi keagamaan”.
Dari uraian di atas, penulis sampai pada kesimpulan bahwa konflik antara umat beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen, dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan karena perbedaan konsepsi di antara dua agama besar ini. Itu lebih merupakan asumsi yang tendensius, yang disengaja atau tidak, berupaya “mengaburkan” peran agama dalam membentuk peradaban baru yang lebih progressif. Dia lebih menonjolkan “wajah muram” agama-agama di tengah umatnya, sehingga  agama tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia dengan manusia  dari kepercayaan yang berbeda, sekaligus menumbuhsuburkan sikap kebencian dan permusuhan di antara pemeluk agama.
Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnya dua kutub pemikiran. Yang pertama bersikap “anti agama” sementara yang terakhir mencoba “menyamakan” agama-agama, dengan berlindung di balik “topeng” pluralisme agama. Gagasan yang terakhir ini, jika ditinjau dari keseluruhan aspek Islam terhadap Kristen jelas suatu gagasan yang tidak mungkin, karena “memang” kedua agama ini berbeda.
Penulis melihat jalan keluar bagi konflik agama yang disebabkan factor keagamaan adalah pluralisme, baik itu bermakna penyamaan agama-agama atau hanya sekedar penerimaan dan pengakuan atas perbedaan agama-agama. Sementara konflik yang disebabkan factor non-agama mungkin multikulturalisme bisa menjadi obat penawarnya.




DAFTAR KEPUSTAKAAN


Amstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan. Bandung: Mizan. 2002
Effendy, Bahtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press. 2001
Eliade (ed.), Mircea, The Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing Company, New York, 1987, Vol. 12
Hakiem (Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar Pembaruan Islam, LSIP, Jakarta, 1995   15
Huntington, Samuel P. Benturan Antar Peradaban. Yogyakarta: Qalam. 2002
Husaini, Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2004
Husaini, Adian, Solusi Damai Islam- Kristen, Pustaka Progresif, Surabaya, 2003
Jansen , G. H., Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980
Kurtz, Lester R. Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, t. t.
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001
Madjid, Nurcholis, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001
Mische, Patricia M. ,Toward Global Civilization? The Contribution of Religions, (Newyork: Peter Lang Publishing Inc., 2001)
Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002
Mulkhan, Abdul Munir, Dr.,  Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002
Noersena, Bambang, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2001
Parekh, Bikhu. Rethinking Multiculturalism. Yogyakarta: Kansiius. 2008
Rasyid, Daud, Dr. MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, 2002
Syalaby, Ahmad, Dr., Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh Ahmad,     S. Ag., Pustaka Da’i, Jakarta, 2004
Thayib dkk. (ed.), Anshari, Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), Jakarta, 1997



[1] Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 588
[2] Lihat Q. S. al-Baqarah: 190- 191, al-Hajj: 39, dan sebagainya
[3] Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, hlm. 215-216
[4] Di Indonesia, pernyataan-pernyataan yang bernada  “menyamakan” agama mulai diungkapkan oleh para tokoh organisasi Islam. Lihat: pernyataan Ulil Abshar Abdalla, di majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir Mulkhan,  Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
[5]Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, (Yogyakarta: Galang Press, 2001),  h. 24
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
[8] Joachim Wach, Sosiology of Religion, University of Chicago Press, Chicago and London, 1971, hlm. 35
[9] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.
[10] Lihat www.islamicindia.blogspot.com
[11]  Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,” Prisma, edisi extra, 1984, hlm. 3-9.
[12] Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989, hlm. 81-96.
[13]Universalitas dimaksud dapat dilihat dalam agama Kristen yaitu Roma 12:10 Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.  Petrus 2:17, 5:9, Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!, Petrus 3:8 Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati,  Matius 23:8, Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dalam ajaran Islam disebutkan dan katakanlah kepada para hambaku-Ku: "Hendaklah mereka berbicara dengan ucapan yang sebaik-baiknya" dalam berdakwah. Bahwasanya setan itu suka menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya antara setan dan manusia terbentang permusuhan sejak dahulu. Isra: 53 Janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan bersilang- sengketa sesudah datang kepada mereka bukti yang terang! .... Al-Imran: 105.
[14] Tidak dapat dipungkiri bahwa selain munculnya truth claim bahwa ditemukan sejumlah teks  keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan yang berdampak pada konflik. Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41, “(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan)
[15]Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,” hlm. 8
[16] Abdurrahman Wahid, “Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama,” Aula, Mei 1985, hlm. 31
[17] Untuk uraian lebih lanjut tentang primbumisasi Islam, lihat Abdurrahman Wahid, “Salahkah Jika Dipribumikan?” Tempo, 16 Juli 1991, halaman 19 dan “Pribumisasi Islam.” Lihat pula, “Merelevansikan Bukannya Menghilangkan Salam,” Amanah, No. 22, Mei 8-21, 1987.
[18] Lihat, misalnya, beberapa tulisan Adi Sasono, "Peta Permasalahan Sosial Umat Islam dan Pokok-Pokok Pemikiran Usaha Pengembangannya: Beberapa Catatan, makalah tidak diterbitkan, Mei, 1984; "Moral Agama dan Masalah Kemiskinan," makalah tidak diterbitkan, 21 April 1985; "Usaha Pengembangan Enasipasi Sosial: Beberapa Catatan," A Rifa'i Hasan dan Amrullah Achmad (ed.), Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: PLP2M, 1986, hlm. 323-335.
[19] Lihat, M. Dawam Rahardjo, "Umat Islam dan Pembaharuan Teologi," Bosco Carvallo dan Dasrizal (ed.), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983, hlm. 117-132.
[20] Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta, 1986, hlm. 32
[21] Thomas F. O'deo, Sosiologi Agama, Jakarta: PT Rajawali, 1985, hal. 139
[22] Ibid.,
[23] Dr. Afif Muhammad, Tafsir Al Qur’an untuk Anak-anak, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 16
[24] Dalam Harun Nasution, Islam dan Sistem Pemerintahan dalam Perkembangan Sejarah, Nuansa, Desember 1984, hlm. 4-12.
[25] G. H. Jansen, Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980, hlm. 6