Oleh: Ismail Fahmi Nst
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah
negara yang penduduknya majemuk dari segi suku bangsa, budaya dan agama.
Realitas kemajemukan tersebut, disadari oleh para pemimpin bangsa, yang
memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, dari penjajahan asing. Mereka memandang
bahwa kemajemukan tersebut bukanlah halangan untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan, serta untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam wadah negara kesatuan
Republik Indonesia. Kemajemukan tersebut termasuk kekayaan bangsa Indonesia.
Para pemimpin bangsa
tersebut mempunyai cara pandang yang positif tentang kemajemukan. Cara pandang
seperti ini selaras dengan ajaran agama yang menjelaskan bahwa kemajemukan itu,
bagian dari sunnatullah. Agama mengingatkan bahwa kemajemukan terjadi atas
kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga harus diterima dengan lapang dada dan
dihargai, termasuk di dalamnya perbedaan konsepsi keagamaan.
Perbedaan konsepsi di
antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri
oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir
semua aspek agama, baik di bidang konsepsi
tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam
prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
Konflik Maluku, Poso,
ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai
tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat
Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang
–sedikit banyak- dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini.
Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat
Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di
Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang
sejarah. Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat
(Amerika dan sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini.
Pandangan stereotip
satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul
bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya
saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru
masing-masing, dan sebagainya. Umat
Islam dipandang sebagai umat yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif
dalam memandang kebenaran yang –boleh
jadi- terdapat pada umat.sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang
agresif dan ambisius yang bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan
berupaya menyebarkan pesan Yesus yang terakhir, “Pergilah ke seluruh dunia dan
kabarkanlah Injil kepada seluruh makhluk!” (Martius 16: 15)
Sebagian kalangan
berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang menjadi sumber konflik
utama antara umat manusia. Tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah teks keagamaan memang mengatur masalah kekerasan
dan peperangan. Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam
Bibel- digambarkan sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur
18: 40- 41, “
(40) Engkau telah
mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke
bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari
aku, dan orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”[1]
Dalam Islam juga
dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan).[2] Maka,
sebagian pengamat melihat, agama adalah
sumber konflik, atau setidaknya memberikan legitimasi terhadap berbagai
konflik sosial. Ferguson (1977) mencatat, “Every major religious tradition
includes its justification for violence”. Sebagian lain menyimpulkan bahwa
agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh yang melegitimasi pembunuhan. Dalam
tradisi Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), kata mereka, Tuhan membunuh
masyarakat, dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan hal yang sama.[3]
Cara pandang terhadap
agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan
berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik
temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat manusia akan
teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Pada level
eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-agama memang berbeda, tetapi pada level
esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang
sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan,[4] termasuk
Islam dan Kristen.
Sehubungan dengan itu,
tulisan ini bermaksud membahas tentang: bagaimana sikap umat beragama (Islam
dan Kristen) terhadap agamanya di era millenium sekarang; dan benarkah
perbedaan konsepsi agama-lah yang menyebabkan konflik di antara kedua umat ini?
Agama ; Peran pemersatu atau konflik
(?)
Semua ajaran agama pada dasarnya baik
dan mengajak kepada kebaikan. Namun nyatanya tidak semua yang dianggap baik
itu bisa bertemu dan seiring sejalan. Bahkan, sekali waktu dapat terjadi
pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Alasannya tentu bermacam-macam.
Misalnya, tidak mesti yang dianggap baik itu benar. Juga, apa yang benar
menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain yang
dapat dimunculkan.
Menurut Joachim Wach, seorang sarjana
ahli dalam sosiologi agama, setidaknya terdapat dua pandangan terhadap
kehadiran agama dalam suatu masyarakat, negatif dan positif. Pendapat
pertama mengatakan, ketika agama hadir dalam satu komunitas,
perpecahan tak dapat dielakkan. Dalam hal ini, agama dinilai sebagai faktor
disintegrasi. Mengapa? Salah satu sebabnya adalah ia hadir dengan seperangkat
ritual dan sistem kepercayaan yang lama-lama melahirkan suatu komunitas
tersendiri yang berbeda dari komunitas pemeluk agama lain. Rasa perbedaan
tadi kian intensif ketika para pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan
keyakinan bahwa satu-satunya agama yang benar adalah agama yang dipeluknya.
Sedangkan yang lain salah dan kalau perlu dimusuhi.
Pandangan yang kedua adalah
sebaliknya. Justru agama berperan sebagai faktor integrasi. Katakanlah
ketika masyarakat hidup dalam suku-suku dengan sentimen sukuisme yang tinggi,
bahkan di sana berlaku hukum rimba, biasanya agama mampu berperan memberikan
ikatan baru yang lebih menyeluruh sehingga terkuburlah kepingan-kepingan
sentimen lama sumber perpecahan tadi. Agama dengan sistem kepercayaan yang baku,
bentuk ritual yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam hubungan sosial
mempunyai daya ikat yang amat kuat bagi integrasi masyarakat.[5]
Teori di atas bagi bangsa Indonesia
amat mudah dipahami. Sebelum Islam datang, bentuk persatuan memang sudah ada
dan terjalin kuat di bumi nusantara ini. Apa yang mengikat? Bisa jadi oleh
emosionalitas keyakinan pada agama Hindu atau Buddha, atau bisa saja karena
rasa sukuisme (ikatan agama dalam sosiologi kadang-kadang di sejajarkan
dengan ikatan kesukuan, bahkan juga nasionalisme. Misalnya oleh Durkheim).
Tetapi pada hal tersebut kita bertanya, sejauh mana dan seberapa kuat rasa
persatuan (integrasi) tadi terwujud? Tanpa mengurangi rasa homat pada Hayamwuruk
dan Gajah mada dari Majapahit dalam merintis persatuan nusantara, bagaimana
pun juga kehadiran Islam di nusantara mempunyai andil yang amat besar dalam
menciptakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari ujung Sumatera sampai
ujung Timor.
Dalam kaitan ini, thesis yang amat
menarik diajukan oleh Prof. Dr. Naquib al-Attas dari Universitas Malaysia, bahwa
berkat Islamlah maka bahasa Melayu berkembang cepat di nusantara ini, yang
pada akhirnya diresmikan sebagai bahasa Indonesia, bahasa nasional. Mengapa
bahasa Melayu yang relatif digunakan oleh kelompok kecil sanggup mengeser
bahasa Jawa yang dominan? Naquib menjawab, bahasa Jawa telah dirasuki
falsafah Hindu yang feodalistik dan membagi manusia pada kelas-kelas,
sementara Islam yang bersifat demokratis, tidak mengenal kelas. Satu-satunya
alternatif yang tepat adalah berkomunikasi dengan bahasa Melayu.
Jalinan antara sifat Islam yang demokratis, bahasa Melayu yang digunakan,
lalu disebarkan oleh para pedagang yang merangkap sebagai juru dakwah, maka
pada waktu yang relatif singkat tersebarlah bahasa Melayu ke seantero nusantara
ini. Islam memperkuat penyebaran bahasa, bahasa mendorong serta memperkuat
timbulnya persatuan nusantara, dan pada gilirannya lahirlah kesatuan nasional
dengan Islam sebagai dasarnya, ditambah bahasa Melayu dan nasionalisme
sebagai pilarnya.[6]
Dengan demikian, mengikuti teori
Joachim Wach, bagaimana pun juga kehadiran dan eksistensi Islam di Indonesia
ini jelas merupakan faktor integrasi sekaligus konflik yang amat besar, yang
mampu mengikis friksi-friksi sukuisme sebelumnya.
Agama Dan Konflik
Sejumlah
kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia,
beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung
lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara
(2000), dan beberapa tempat lain.
Kajian-kajian
yang telah dilakukan mengatakan bahwa konflik di Maluku pada awalnya disebabkan
oleh karena kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Eskalasi politik
meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk
memperoleh dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu
konflik, karena isu agama itu muncul belakangan.
Konflik di
antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan non keagamaan.[7]
Berikut ini keterangan singkat mengenai kedua faktor itu.
A.
Faktor
Keagamaan
Agama pada
dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi, antara
lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan
kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan
sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan
kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat.[8]
Ajaran yang
disebutkan itu bersifat universal.[9]
Selain itu, terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan disintegrasi,[10]
bila dipahami secara sempit dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama
menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar,
sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah
pemeluk agama lain.
Secara internal,
teks-teks keagamaan dalam satu agama juga terbuka terhadap aneka penafsiran
yang dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam, bahkan
bertentangan satu sama lain sehingga memicu konflik.[11]
Keragaman agama
ternyata menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, memberikan
kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama
dapat juga berpotensi menjadi sumber konflik di kemudian hari. Mana
diantara potensi tersebut yang dominan? Konflik bisa saja
terjadi. Penyebab konflik terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim
kebenaran). Namun yang dominan,
konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama
sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan ekonomi, sosial dan
politik, yang selanjutnya di blow up menjadi konflik (ajaran) agama.
Selain faktor
yang terkait dengan doktrin seperti disebutkan di atas, ada faktor-faktor
keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara
umat beragama. Di antaranya: 1) Penyiaran agama, 2)Bantuan keagamaan dari luar
negeri, 3) Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, 4) Pengangkatan anak,
5)Pendidikan agama, 6)Perayaan hari besar keagamaan, 7)Perawatan dan pemakaman
jenazah, 8)Penodaan agama, 9)Kegiatan kelompok sempalan 10)Transparansi
informasi keagamaan dan 11)Pendirian rumat ibadat.[12]
Berikut ini
penjelasan tentang sebagian dari faktor-faktor itu. Penyiaran agama merupakan
perintah (paling tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa
disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk
memilih sendiri jalan hidupnya.
Akibat terjadi
kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan yang sifatnya
terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan
antar umat beragama. Untuk mengurangi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan
atau bahkan pemaksaan semacam itu, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan
Mendagri No 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Faktor lain
terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia,
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu terganggunya
hubungan antar umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah
satu alat untuk mengajak pasangan agar berpindah agama. Konversi agama
dilakukan untuk mengesahkan perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung beberapa
lama, orang yang bersangkutan kembali ke agamanya semula dan mengajak
pasangannya untuk memeluk agama tersebut.[13]
Kasus yang juga
sering muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadat. Kehadiran sebuah
rumah ibadat sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau bahkan memicu
konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut
agama lain. Rumah ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat
untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai
simbol keberadaan, suatu kelompok agama.
Permasalahannya
menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat tersebut dipandang oleh pihak lain tidak
berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada
komunitas lain. Kasus-kasus yang terkait dengan pengrusakan rumah ibadat
menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya SKB Menag dan Mendagri
No 1 tahun 1969 yang kemudian disempurnakan dan diganti dengan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 2006/No 8 tahun 2006
tanggal 21 Maret 2006.
B.
Faktor-faktor
non Keagamaan
Adapun
faktor-faktor non keagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab ketidakrukunan
umat beragama meliputi beberapa hal, antara lain 1)kesenjangan ekonomi, 2)
kepentingan politik, 3) perbedaan nilai sosial budaya, 4) kemajuan teknologi
informasi dan transportasi.[14]
Kehadiran
penduduk pendatang di satu daerah sering menimbulkan kesenjangan ekonomi, sebab
mereka lebih ulet dan trampil bekerja dibandingkan dengan penduduk asli .
Kondisi itu sering menimbulkan kecemburuan sosial dan dapat memicu konflik.
Selanjutnya, dalam berbagai kasus, munculnya suatu kelompok politik juga
dipengaruhi oleh misi keagamaan dari para elit kelompok politik tersebut.
Ketegangan atau
konflik di antara elit politik tersebut lalu pada gilirannya dilihat sebagai
pertikaian antar kelompok politik yang berbeda agama. Demikian pula perbedaan
nilai budaya juga dapat menjadi penyebab konflik bila suatu komunitas yang kebetulan
menganut agama tertentu mengalami ketersinggungan karena perilaku atau tindakan
pihak lain, yang kebetulan menganut agama berbeda kurang memahami atau kurang
menghargai adat istiadat, atau budaya yang mereka hormati.[15]
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu
jenis system sosial yang dibuat oleh penganut- penganutnya yang berproses pada
kekuatan- kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk
mencapai keselamatan bagi mereka. Dalam kamus sosiologi pengertian agama ada 3
macam, yaitu (1) kepercayaan pada hal- hal yang spiritual; (2) Perangkat
kepercayaan dan praktik – praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan
tersendiri; dan (3) Ideologi mengenai hal- hal yang bersifat supranatural.[16]
Sementara itu, Thomas F. O’ Deo mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan
sarana- sarana supra empiris untuk maksud- maksud non empiris atau supra
empiris.[17]
Dari beberapa definisi diatas, jelas
tergambar bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya.
Karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-
masalah yang non empiris. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dikatakan bahwa agama adalah ajaran, system yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Selanjutnya dalam buku yang sama, dikatakan
bahwa konflik yaitu percekcokan; perselisihan- prselisihan; pertentangan. Jika
kata ini digabung dengan term sosial menjadi suatu pertentangan antar anggota
masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Menurut teori konflik ,
masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara
kelompok dan kelas serta berkecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan
perubahan. Jadi masyarakat (sosial) merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya
konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor : ekonomi, politik, sosial, bahkan
agama.[18]
Faktor- faktor Konflik Ditinjau dari Aspek Agama
Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan
keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk
Tuhan. Di dalam terminologi Al-Qur’an, misi suci ini disebut rahmah lil alamin
(rahmat dan kedamaian bagi alam semesta). Namun dalam tataran historisnya misi agama
tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agamapun
menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad dijelaskan bahwa, “agama acapkali
menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”[19]
Hal ini sama dengan pendapat Johan Efendi yang menyatakan “Bahwa agama pada
suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan,
dan persaudaraan. Namun, pada waktu yang lain menampilkan dirinya sebagai
sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik. Bahkan tidak jarang dicatat
dalam sejarah menimbulkan peperangan.[20]
Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya :
1.
Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang
yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran.
Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan
dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka mengklaim
telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-
nilai suci itu.
Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu
pemaksaan konsep- konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan
dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme,
eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit
yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah
kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme
adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam
bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan
fisik.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat
seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang
lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah
“dakiyah”. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran
agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan
menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di
utamakan, masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak
kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit
dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar
agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen.
Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.
2.
Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan
persoalan agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan
kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih
sektarianisme. Seperti dalam kasus Dr. AM Saefuddin, yakni Menteri Negara
Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Menteri
itu telah melecehkan salah satu agama, dalam pernyataannya “Megawati Pindah
Agama menjadi Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan seseorang
yang beragam Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan ritual pada agama Hindu
di Bali. Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi sejumlah
demonstrasi, bahkan berubah menjadi kerusuhan.
3.
Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap
sempit dan tidak toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal
disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang
orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka menganggap membunuh orang
yang menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Jika berada dalam agama ketiga,
diluar kedua agama yang sedang bertikai, kita akan tersenyum mengejeknya,
karena mereka saling menghancurkan, yang dalam persepsi kita bahwa agama yang
bertikai tersebut sama-sama palsu. Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang perang
adalah agama kita dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan
menjadi sebuah perjuangan untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan
kita akan meyakini adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di
dalamnya di anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang
ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat sama seperti itu, dan mereka yang
berada dipihak ke tiga (tidak berperang), dan memandang perang kita sebagai
usaha saling menghancurkan antara dia kepalsuan. Semua orang di dunia ini
sepakat bahwa agama selalu mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang
semakin yakin dengan agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat
membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan mereka berhak
mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Jadi, merekalah yang
sebenarnya menjadi sumber kebenaran.
4.
Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Qur’an (QS.2:148) mengakui bahwa masyarakat
terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan
sendiri-sendiri. Manusia harus menerima keragaman budaya dan agama dengan
memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan
ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural dan
suka kekerasan itu sangatlah tidak beralasan.
Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah
SAW, ketika beliau berada di Madinah, masyarakat non-Muslim tidak pernah
dipaksa untuk mengikuti agamanya. Bahkan dalam perjanjian dengan penduduk
Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan
kerukunan. Salah satunya ” Orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami
berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan; tidak akan diperlukan zalim.
Jika di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya dan
keluarganya.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga
terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia,
Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan Islam di daerah
tersebut telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa
sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah
menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di
dalamnya yang berkembang, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup
saling berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu dikembangakan
oleh seluruh agama, sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat alami manusia,
yakni kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia harus mampu
mempelakukan agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara
sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini
dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan
perusakan tempat-tempat ibadah.
Perbedaan
Konsepsi dan Sikap Anti Agama
Terhadap konflik yang
terjadi antara umat beragama telah menimbulkan dua kutub pemikiran yang
berbeda. Pertama, sikap “anti agama” yaitu berupa penegasian dan pengingkaran
peran agama dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Agama
dianggap sebagai sumber konflik, sehingga harus disingkirkan. Agama dianggap
tidak mempunyai peranan penting dalam
kehidupan sehingga harus disingkirkan. Agama dianggap sebagai salah satu
penyebab terjadinyaa pembunuhan dan kematian di antara umat manusia, sehingga
sudah saatnya dilenyapkan, sebagaimana dikatakan John Lennon dalam syair
lagunya Imagine, “There is no religion too”.
Sikap anti agama ini,
yang berakar di Eropa, kiranya dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah Eropa
abad pertengahan yang mengalami ketertinggalan dalam hampir seluruh aspek
kehidupan. Dalam konteks ini, agama
–yang direpresentasikan oleh para pemuka agama (Gereja)- dianggap
menjadi faktor penghambat kemajuan Eropa di samping istana dan kaum borjuis.
Menyandarkan peradaban pada nilai-nilai agama dianggap tidak sesuai dengan
semangat Renaissance dan Humanisme Eropa yang telah mengubah paradigma Eropa,
dari pandangan-pandangan makrokosmos kepada mikrokosmos, di mana
rasionalitas dianggap sebagai alat
pencari dan pengukur kebenaran yang bisa diakui validitasnya. Paham ini, pada
kenyataannya berkembang terus, di berbagai belahan dunia, baik yang mayoritas
penduduknya Islam maupun Kristen.
Kendatipun demikian,
gagasan “melenyapkan” peran agama dalam peradaban umat manusia, dalam
kenyataannya tetap dianggap absurd, dan tidak sesuai dengan realitas.
Tokoh-tokoh politik Eropa, pasca Renaissance, meskipun tidak menyukai perilaku
berbagai pemuka agama, akhirnya juga memerlukan agama untuk kepentingan mereka.[21]
Arnold Toynbee, pakar
sejarah, menekankan peran agama dalam peradaban. Ia meneliti aspek peran
dinamis agama dalam kelahiran dan kehancuran satu peradaban. Ia menyimpulkan
bahwa banyak peradaban yang hancur (mati) karena “bunuh diri” dan bukan karena
benturan dengan kekuatan luar. Dalam studi yang mendalam tentang kebangkitan
dan kehancuran peradaban, Tonbee menemukan bahwa agama dan spiritualitas
memainkan peran sebagai chrysalis ‘kepompong’ yang merupakan cikal bakal
tumbuhnya peradaban. Antara kematian dan
kebangkitan satu peradaban baru, ada satu kelompok yang disebut Toynbee
creative minorities yang dengan spiritualitas mendalam (deep spiritual) atau
motivasi agama (religious motivation)- bekerja keras untuk melahirkan satu
peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama. Karena itu, aspek spiritual memainkan peran sentral dalam
mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang
spiritualitasnya, ia akan mengalami penurunan (Civilizations that los their spiritual core soon fell into decline).[22]
Wacana
Pluralisme Agama
Gagasan kedua, adalah
kelompok yang berupaya “menyamakan” semua agama. Gagasan ini muncul karena
beranggapan bahwa perbedaan konsepsi agama merupakan sumber konflik umat
manusia. Upaya penyamaan ini biasanya dikamuflasekan dengan paham pluralisme
agama (religious pluralism/ al-ta’addud
al-diniyyah).
Adalah John Hick yang
dianggap sebagai penggagas pluralisme agama. Dia mendefinisikan religious
pluralism sebagai:
“Philosophically, however, the term refers to a particular
theory of the relation between these traditions, with their different and
competing claims. This is the theory that the great world religions constitute
variant conceptions and perceptions of,
and responses to, the one ultimate, mysterious divine reality…Explicit
pluralism accepts the more radical position implied by inclusivism: the view
that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of,
and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate, and that
within each of them independently the transformation of human existence from
self-conteredness is taking place. Thus the great religious traditons are to be
regarded as alternative esoteriological ‘spaces’ within which--or ways along
which—men and women can find salvation, liberation and fulfillment.”[23]
Definisi
di atas menyimpulkan bahwa agama-agama besar mengandung persepsi-persepsi varian
dari “yang asal”, yaitu realitas ketuhanan yang misterius dan respon-respon
terhadapnya. Pada akhirnya John Hick sampai pada satu kesimpulan bahwa agama
pada hakekatnya adalah jalan yang berbeda-beda menuju tujuan (the Ultimate) yang sama. The Real atau Yang Ada (Tuhan), hanya Esa, namun penyebutan
dan interpretasi manusia saja yang berbeda-beda. Pluralisme agama John Hick
kelihatannya adalah bentuk pengembangan dari paham inklusivisme.[24]
Dr. J.
Verkuil dalam bukunya Samakah Semua Agama? Memuat kisah Nathan der Weise
(Nathan yang Bijaksana) karya Lessing (1729-1781). Kesimpulan dari kisah itu
adalah bahwa semua agama intinya sama saja. Intisari agama Kristen, menurutnya
adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal.Intisari itu, demikian Verkuil,
juga terdapat pd agama Islam, Yahudi, dan agama lainnya. Konferensi Parlemen
Agama-agama di Chicago tahun 1893, mendeklarasikan bahwa seluruh tembok pemisah
antara berbagai agama di dunia sudah runtuh. Konferensi itu, lebih jauh
menyerukan persamaan antara Kon Fu Tsu, Budha, Islam dan agama lainnya.
Pada
level Indonesia, Nurcholis Madjid dan Ulil Abshar Abdalla, dan Prof. Dr. Said
Agil Siradj, termasuk cendekiawan yang mengusung “pluralitas” dengan tendensi “menyamakan” agama-agama yang
ada. Ulil Abshar Abdalla menyatakan, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan
kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.”[25] Said
Agil Siradj menyatakan bahwa agama
Islam, Yahudi dan Kristen adalah agama yang “sama-sama” memiliki komitmen untuk
menegakkan kalimat Tauhid, karena ,secara geneologi, ketiga agama ini, mengakui
bahwa Ibrahim adalah ‘the foundation father’s’[26] Dr.
Abdul Munir Mulkhan menyatakan bahwa agama-agama hanyalah salah satu “pintu”
menuju surga Tuhan yang satu. Dan surga Tuhan itu hanya bisa dimasuki dengan keikhlasan,
pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa
melihat agamanya.[27]
Senada
dengan para tokoh pembaharu di atas, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa Islam
“bukanlah” nama agama. Dengan menginterpretasi Q. S. Ali Imran ayat 67, yang
menceritakan tentang polemik kecil antara Yahudi dan Nasrani. Kedua kelompok
ini, demikian Nurcholis, mengklaim Nabi
Ibrahim as. masuk ke dalam golongannya.
Lalu Al-Qur’an menegaskan bahwa Ibrahim adalah “hannifan musliman”. Yang
terakhir ini diartikannya “seorang pencari kebenaran yang tulus dan murni
(hanif), dan seorang yang berhasrat untuk pasrah”. Ia keberatan bila kalimat
itu diartikan bahwa Ibrahim adalah seorang muslim.[28]
“Islam”
bagi Nurcholis bukanlah nama sebuah agama formal (organized religion), karena
menurutnya, istilah itu muncul pada abad kedua hijrah. Setiap agama yang
mengajarkan sikap tunduk dan berserah diri, dalam pandangannya, adalah Islam.
Karenanya, bukan hanya Islam (sebagai organized religion), namun Kristen,
Yahudi, Hindu, Budha dan lain-lain adalah Islam.[29]
Dari
uraian di atas bisa disimpulkan bahwa para penganut paham pluralisme beragama
menganggap bahwa, terlepas dari perbedaan-perbedaannya, esssensi agama-agama
adalah sama. Sebab sumbernya adalah sama, yaitu Yang Mutlak (Tuhan). Jika
terjadi perbedaan bentuk, ini disebabkan karena perbedaan manifestasi dalam
menanggapi Yang Mutlak. Sehingga, walaupun pada aspek eksoterisnya berbeda,
namun pada level esoteris, kondisi internal atau batin, akan didapat titik
temu. Dengan paham ini, maka tidak benar (dan tidak dibolehkan) sikap
masing-masing agama yang menganggap memiliki kebenaran secara mutlak (truth
claim). Pada level keindonesiaan, cendekiawan yang tergolong pluralis
mengindikasikan betapa banyaknya konflik antar umat beragama (baik antar maupun
intern) disebabkan karena sikap eksklusif para pemeluknya terhadap ajaran agama
mereka. Yang terakhir ini, menurut mereka, cenderung menjadi “pemberhalaan”
konsep ajaran agama itu sendiri, sehingga lupa pada essensi agama yang
sebenarnya yaitu sikap tunduk dan pasrah pada kebenaran. Karena –mengutip
istilah Nurcholis Madjid- sebaik-baik agama di sisi Allah (baca: Yang
Mutlak-pen) ialah al-hanafiyat al-samhah,
semangat kebenaran yang lapang dan terbuka.[30] Karena
itu, dengan perspektif “Teologi Inklusif”, kelompok ini berpendapat bahwa
pandangan subjektif seperti , “Hanya agama sayalah yang memberi keselamatan,
sementara agama Anda tidak, dan bahkan menyesatkan” akan mengakibatkan sikap
menutup diri terhadap kebenaran agama lain, dan berimplikasi serius atas
terjadinya konflik atas nama agama dan Tuhan.[31]
Kelompok pengusung pluralisme agama, dalam prakteknya telah bertindak tidak
hanya sebatas wacana. Sejumlah sikap dan tindakan konkret mereka perlihatkan
dalam mewujudkan “sikap toleransi” dan “keterbukaan” untuk menerima kebenaran
dari berbagai “pintu/ jalan” (baca: agama). Perkawinan antara laki-laki dan
perempuan yang berlainan agama, atau konversi dari Islam ke Kristen dan
sebaliknya adalah hal yang dianggap mereka “lumrah”, dan tidak harus
dipersoalkan. Sebab, bagi mereka, kebenaran mutlak hanya “satu”, hanya
interpretasi dan implementasinya saja yang berbeda di tengah-tengah masyarakat.
Gagasan
pluralisme yang cenderung menyamakan agama-agama jelas merupakan sesuatu yang
absurd dan tidak sesuai dengan realitas bahwa konsepsi masing-masing agama
memang berbeda. Tidak hanya pada level eksoteris, bahkan pada level esoteris
pun, jika dikaji lebih dalam menimbulkan pertanyaan, apakah benar semua agama
sama pada level ini. Adalah sesuatu yang mustahil “mempersatukan” agama-agama,
sementara konsep masing-masing agama tentang “Tuhan”, misalnya, berbeda antara
satu dengan lainnya.
Walaupun benar bahwa
ada konflik-konflik horizontal yang disebabkan karena perbedaan konsepsi agama,
seperti yang terjadi pada konflik antara Katolik dan Protestan di Eropa
(khususnya Irlandia Utara), dan antara Sunni dan Syi’ah di dunia Islam
(misalnya Irak), atau Perang Salib antara kaum Muslim dengan bangsa Eropa
(1096- 1271). Konflik Ambon, yang pernah terjadi di Indonesia, juga disinyalir
disebabkan karena perbedaan konsep agama (walaupun faktor-faktor lain, seperti
kondisi sosial, ekonomi dan sebagainya turut juga berperan). Ribuan bahkan
ratusan ribu nyawa melayang dalam pertikaian panjang dan melelahkan itu. Namun,
jauh lebih banyak konflik yang terjadi “bukan” karena perbedaan konsep agama.
Perang Dunia I dan II, dan Perang Dingin antara Eropa Barat plus Amerika
Serikat dengan Eropa Timur, serta Perang Saudara di Amerika Serikat adalah
beberapa contoh, di mana perbedaan ideologi politik dan ekonomi menjadi sebab
pertumpahan darah di antara dua kelompok yang saling berseberangan. Sejarah
menunjukkan bahwa –di samping
faktor-faktor yang disebutkan di atas-,
perebutan wilayah dan hegemoni, perbedaan dan arogansi etnis, serta
perebutan sumber-sumber daya alam untuk kepentingan pertanian dan industri
merupakan penyebab munculnya berbagai konflik di berbagai belahan dunia.
Konflik
Islam- Kristen yang terjadi di beberapa tempat, jika dianalisa lebih dalam, ternyata
tidak disebabkan karena perbedaan konsepsi keagamaan. Adian Husaini mengatakan
bahwa konflik Islam-Kristen yang pernah terjadi di Rengasdengklok, Situbondo,
dan Tasikmalaya ternyata terkait dengan masalah politik, ekonomi, sosial,
penyebaran agama, pembangunan rumah ibadah dan sebagainya. Dibandingkan
masa-masa sebelumnya dalam perjalanan sejarah bangsa ini, ternyata konflik
antara Islam-Kristen lebih banyak terjadi di masa Orde Baru (juga pada masa
pasca Reformasi sekarang), pada saat mana, negara secara sistematis
melaksanakan program sekulerisasi dan menekan wacana ideologis dan keagamaan.[32]
Menyamakan
semua agama adalah suatu gagasan yang jelas-jelas mengingkari kenyataan bahwa
masing-masing agama memang berbeda. Tuhan dalam Islam tidaklah sama dengan Tuhan dalam
Kristen (dan juga agama lain). Tuhan dalam Islam adalah Tuhan Yang Maha Esa,
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, serta Maha Kuasa. Dia tidak beranak
dan tidak diperanakkan, dan tidak ada satu
pun yang menyerupai-Nya.[33] Allah
tidak terjangkau panca indra dan akal manusia yang terbatas kemampuannya.
Dia –Allah- jelas tidak sama dengan
pemahaman umat Kristen (Katolik dan Protestan) tentang Tuhan Yang Maha Esa,
namun terdiri atas tiga oknum yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus.
Konsep-konsep
tentang peribadahan dalam Islam haruslah semua yang ditentukan oleh Allah dan
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Substansi peribadahan Islam adalah
ketundukan dan ketaatan pada Allah, namun tata cara peribadahan itu diatur oleh
Allah. Jadi bukan dilakukan sesuai dengan kehendak manusia –apalagi sejarah- untuk membentuk ritualitas
tertentu. Sejarah menunjukkan bahwa Islam mengecam tata-cara ibadah orang-orang
kafir yang musyrik. Nabi Muhammad Saw. menolak untuk secara bergantian
beribadah dengan cara Islam dan kafir, walaupun orang-orang kafir menyatakan bahwa Tuhan-tuhan yang mereka
sembah hanyalah sarana menuju Tuhan Yang Maha Esa.[34]
Islam
tidak “mengakui” konsepsi Kristen yang mempertuhankan Isa as.[35] Agama
yang benar di sisi Allah, dalam konsepsi Islam, adalah agama Islam, dan barang
siapa yang mencari agama selain Islam, maka agama itu adalah sesat.[36]
Implikasinya adalah, aspek-aspek lain Kristen, termasuk aspek eksoteris yaitu
ibadah juga tidak diakui dan karenanya ditolak. Al-Qur’an bahkan tidak
segan-segan memberikan sebutan “kafir” kepada orang-orang non-muslim seperti
Kristen. Sementara orang beranggapan bahwa sebutan itu tidak etis, dan
mengganggu suasana kerukunan yang sejak dulu dijalin di Indonesia. Padahal
dalam agama Kristen sendiri pemeluk agama lain seperti kaum Muslim disebut
“domba-domba yang tersesat” yang kurang
lebih sama maknanya dengan sebutan kafir dalam Islam.
Dalam
konsepsi Islam, Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang Nabi dan Rasul mempunyai
posisi yang sangat sentral untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada
hamba-hamba-Nya. “Islam” sebagai agama, tidak hanya merujuk kepada satu bangsa,
individu, atau kelompok pada ruang dan waktu tertentu. Islam adalah juga nama
aktivitas manusia yang menunjukkan sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan, Yang
Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia, yaitu Allah. Dengan demikian, Islam adalah agama yang
meliputi seluruh umat manusia, sejak Muhammad Saw. sampai akhir zaman kelak.
Sementara
itu, jika bagi umat Islam, Isa As. Hanyalah seorang Nabi sekaligus manusia
biasa, yang diutus kepada Bani Israil saja, bagi umat Kristen, Isa adalah
anak Allah yang azali. Artinya tidak ada
perubahan antara dirinya dan Allah dalam
hal waktu. Sebenarnya Allah murka kepada manusia karena dosa-dosa
mereka, khususnya dosa nenek moyang mereka yaitu Adam yang telah mengeluarkannya dari surga.
Tetapi, sekalipun Allah murka kepada manusia, Dia tetap maha Pengasih dan ingin
menghapus dosa manusia. Maka Doa mengutus anak-Nya ke bumi dengan cara masuk ke
dalam rahim Maryam yang masih gadis dan dilahirkan seperti lazimnya anak yang
lain. Setelah dewasa, Ia disalib oleh Pontius Pilatus (Wakil kaisar Romawi)
sebagai penebus dosa nenek moyang manusia yaitu Adam.[37] Dengan
demikian, Tuhan Yang Maha Esa dalam Kristen terdiri atas oknum-oknum Bapa, Anak
(Isa) dan Roh Kudus yang dikenal dengan sebutan Trinitas, suatu ajaran yang
“diperkenalkan” pertama kali oleh Paulus.[38] Dia
pulalah yang menghapus sekaligus
menciptakan syari’at-syari’at baru yang bertentangan dengan apa yang diajarkan
Musa sebagai Nabi yang paling dihormati dan diagungkan oleh Bani Israil.
Dari
uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa kendatipun Islam mengakui bahwa –sebagai
mana halnya Islam- Kristen berasal dari sumber yang satu yaitu Allah, namun
menyamakan kedua agama, sebagai agama yang sama-sama mengajarkan sikap tunduk
dan pasrah kepada Tuhan, adalah sebuah kesimpulan yang gegabah dan tidak
diterima oleh umat beragama (dalam hal ini umat Islam). Ribuan ulama Islam
telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah kafir untuk sebutan
bagi orang non-muslim, termasuk Kristen.[39]
Trauma
pengggunaan istilah kafir tampaknya berasal dari pengalaman sejarah, betapa
kata itu disamakan istilah “heresy” (bid’ah) yang diterapkan Gereja Eropa pada
abad pertengahan, yang berujung dengan pembantaian terhadap kelompok/
sekte-sekte Kristen yang berbeda konsepsi dengan Gereja Katolik Roma. Padahal
konsep kafir dalam Islam tidak sama dengan heresy sebagaimana yang pernah
terjadi di Eropa. Allah Swt. berfirman:
“Tidak ada paksaan
dalam (memeluk) agama Islam….” (al-Baqarah: 256) “
Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agamamu dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu….” (al-Mumtahanah:
8)
Dengan
demikian, jika dilihat dari konsepsi masing-masing agama, terutama Islam, tidak
ada dalil untuk berlaku agresif terhadap umat beragama lain, termasuk Kristen.
Konflik umat Islam dengan Kristen hanya dilegitimasi jika umat Kristen itu
nyata-nyata memusuhi, dan atau mengusir kaum Muslim dari negeri (kampung
halamannya).
Priodesasi Peta Konflik di Indonesia
Untuk
mengkaji masalah konflik antar kelompok agama Islam dan Kristen, terlebih
dahulu kita perlu memahami sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia.
Sejarah Singkat Masuknya Agama Islam di Indonesia
Para ahli sejarah berpendapat bahwa Islam
datang ke Indonesia pada abad ke-13, yang dibawa oleh para pedagang India yang
menganut paham sufisme (mistik Islam).
Paham sufisme dalam berbagai bentuknya lebih
menekankan pada pengertian agama sebagai urusan pribadi seseorang dalam
usahanya untuk mencari hubungan yang intim dengan Allah Hubungan pribadi ini
mencari suatu keakraban hidup dengan Allah, dan yang berpusat pada kepuasan dan
kehangatan hati atau perasaan.
Menurut para ahli, sufisme pada dasarnya
adalah religion of the heart atau agama hati, dan bukan religion of the law
atau agama hukum. Atas dasar ini, maka memang berbeda dengan perjumpaan Islam -
Kristen di Eropa pada abad-abad pertama Hijriyah, yang ditandai oleh
konfrontasi dan kekerasan, maka penyebaran agama; Islam ke dunia timur,
termasuk ke Indonesia adalah melalui jalan dagang dan jalan damai. Sebagai
kekuatan, Islam pada mulanya mengambil posisi di daerah-daerah pelabuhan di
sepanjang pantai utara Jawa dan pantai timur Sumatera. Dari daerah pantai dan
pusat dagang ini, Islam menyebar secara berangsur-angsur dan secara damai ke
daerah-daerah pedalaman.
Memang para sufi inilah, menurut para ahli.
yang telah berhasil membuat Islam para raja dan menjadikan mereka sultan yang
mengepalai pemerintahan dalam suatu daerah Islam. Begitu raja menjadi Islam,
maka rakyat pun secara otomatis mengikuti agama sang sultan. Proses pengislaman
seperti ini merupakan hal yang lazim pada saat itu, dan merupakan gejala yang
sama yang terjadi di Jerman pada zaman reformasi abad ke-16. Jika kita
mengamati perkembangan Islam di Indonesia, maka Islam versi sufi ini menyebar
ke seluruh nusantara. Dan untuk kurun waktu kira-kira 600 tahun, keadaan Islam
versi sufi ini tetap berlangsung tanpa gangguan yang berarti.
Sufisme memiliki keluwesan sebagai agama
pribadi, maka dengan mudah berbaur dengan unsur-unsur kepercayaan pribumi, dan
pembauran antara unsur inilah yang disebut sebagai abangan dalam keagamaan
jawa. Dengan demikian dapat pula kita mengerti bahwa versi abangan seperti ini
telah mengambil kedudukan yang sukar digoyahkan di hati sebagian besar umat
Islam di Indonesia. Sebab itu, walau di abad ke-19, versi Islam Sunni atau
Islam ortodoks yang disebut golongan santri tiba di nusantara ini, kemudian
mengadakan gerakan pemurnian (reislamisasi), kelihatannya sampai pada saat
inipun belum berhasil untuk mengambil alih kekuatan golongan abangan ini
terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa dan di Jawa Barat.
Sejarah Singkat Masuknya Agama Kristen di Indonesia
Pada akhir abad ke-15, orang Portugis telah
mendapat jalan laut ke timur: Vasco De Gama tiba di pantai India pada tahun
1498. Beberapa tahun kemudian (1512). kapal-kapal Portugis mengunjungi
kepulauan rempah-rempah, Maluku, untuk pertama kali, dan sejak tahun 1522
mereka tinggal tetap di Ternate, Ambon, Banda, dan lain-lain tempat untuk
berdagang.
Paus membagi dunia baru antara Spanyol dan
Portugis, maka salah satu syaratnya ialah raja-raja harus memajukan misi
Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka. Tuntutan ini
memang sesuai dengan pertalian rapat antara negara dan gereja pada zaman itu,
dan raja-raja dengan rela hati melayani kepentingan gereja.
Misionaris yang pertama-tama menginjakkan
kakinya di pulau-pulau Maluku, ialah beberapa rahib Franciskan yang mendarat di
Ternate pada tahun 1522, tetapi karena rupa-rupa perselisihan di antara orang
Portugis sendiri, mereka segera terpaksa berangkat pulang. Lalu, mereka mulai
bekerja di Halmahera pada tahun 1534. Tetapi karena kebengisan pembesar
Portugis, rakyat bermufakat untuk mengusir semua orang kulit putih dan memaksa
orang yang sudah masuk Kristen untuk murtad. Simon Vaz, seorang pater
Franciskan, mati dibunuh selaku syahid pertama di Maluku (1536). Perlawanan ini
ditindas, dan kemudian pater lain berusaha lagi untuk menanamkan bibit agama
Roma di Halmahera. Di Ambon sebagian rakyat dibaptiskan, karena ingin mendapat
pertolongan Portugis terhadap orang Islam.
Usaha misi baru berkembang sesudah kunjungan
misionaris Yesuit yang masyhur, yaitu Franciscus Xaverius ke Maluku. Setelah
mempersiapkan diri beberapa bulan lama di Maluku dengan mempelajari bahasa
Melayu, Xaverius tiba di Ambon pada bulan Februari 1546. Setelah tiga bulan
bekerja di sana, ia mengunjungi Ternate, Halmahera, dan Morotai. Setelah 15
bulan bekerja di Maluku, ia membaptiskan beribu-ribu orang.
Pada tahun 1570, misi Katolik Roma di Maluku
ditimpa bencana yang hebat. Sultan Hairun dari Ternate dibunuh dalam benteng
Portugis dengan pengkhianatan yang keji. Akibatnya ialah banyak kampung Kristen
dibakar oleh orang Islam, Bacan dikalahkan oleh Ternate, sehingga hilang bagi
misi, dan di mana-mana serangan Islam terhadap jemaat Kristen bertambah
berbahaya sehingga banyak orang murtad. Kedudukan misi makin hari makin sukar,
orang Portugis dibenci, kehidupan rohani banyak mundur, dan bilangan orang
Kristen berkurang. Kebanyakan mereka secara nama saja. Jumlah para misionaris
yang tinggal cuma sedikit dan mereka menderita pelbagai sengsara. Makin sukar
kuasa Portugis, maka makin lenyaplah pengaruh misi.
Dalam rangka peperangan melawan Spanyol dan
Portugis, orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Mereka mengambil alih daerah
yang dikuasai Portugis. Orang-orang Kristen dijadikan Protestan. Itulah awalnya
Gereja Protestan memasuki wilayah nusantara ini.
Para Pendeta Protestan datang bersama-sama
dengan kekuasaan Belanda dengan kongsi dagangnya yaitu VOC. Gereja terlalu erat
berhubungan dengan negara (VOC) dan dikuasai olehnya.
Karena kepentingan gereja harus mengalah
terhadap kepentingan negara (VOC), maka pekabaran Injil kepada orang-orang non
Kristen tidak dapat berkembang.
Pada abad ke-19, di Eropa terjadi suatu
gerakan yang membawa hidup baru, yaitu revival (kebangunan) yang besar. Hal ini
membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan gereja di Indonesia. Abad
ke-19 ini menjadi abad "Pekabaran Injil" bagi Indonesia. Dalam abad
ke-19 dan awal abad ke-20, diletakkanlah dasar gereja-gereja yang ada sekarang
ini.
Konflik Islam - Kristen di Indonesia
Awal masuknya kekristenan di Indonesia
sebenarnya dalam suasana yang kurang bersahabat, terutama berhubungan dengan
kelompok masyarakat beragama, khususnya agama Islam. Sebagaimana telah
dipaparkan di atas, pada abad ke-16, terjadi konflik yang disertai dengan
penindasan fisik dan mental dari orang Islam terhadap orang Kristen di Maluku.
Setelah Belanda dikalahkan Jepang, maka
keadaan turut berubah dalam hubungan Islam - Kristen di Indonesia. Untuk maksud
keuntungan politiknya, Jepang memberikan keleluasaan yang besar kepada Islam
untuk turut mendukung berbagai rencana pengukuhan kedudukan penjajahan Jepang
di Indonesia.
Pada sisi lain, kelompok Islam beraliran
sunni atau santri sejak awal perjuangan untuk merebut kemerdekaan dilihat
sebagai jihad untuk melawan kaum kafir dan yang sekaligus merupakan tugas
pribadi dan tugas masyarakat dalam umat.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh,
dan Sulawesi Selatan adalah penampakan ketidakpuasan sebagian santri terhadap
gagalnya gagasan negara Islam diberlakukan di Indonesia.
Pada tahun 1985 terjadi pemboman terhadap
bank-bank, beberapa gereja, dan Sekolah Teologia. Walaupun pemerintah tidak
menyebut dengan jelas pihak yang tersangkut dalam peristiwa itu, namun adalah
jelas dalam kejadian yang sebenarnya bahwa beberapa oknum Islam fundamentalis
terlibat.
Sudah merupakan gejala umum dalam kerusuhan
di Indonesia bahwa bangkitnya oposisi keras Islam mengambil bentuk dalam
gerakan anti pemerintah, anti Cia, dan anti Kristen.
Pada tahun 1996 dan awal tahun 1997 diwarnai
dengan berbagai kerusuhan di berbagai tempat di Indonesia. Pada bulan April
1996, Cikampek sebuah kota di sebelah timur ibu kota DKI Jakarta mengalami
kerusuhan yang menjurus pada huru-hara SARA, dimana berapa gedung gereja dan SD
Kristen dilempari batu oleh massa yang marah. Peristiwa serupa dialami oleh
orang-orang Kristen di daerah Cileungsi - Bogor. Pada tanggal 14 April,
beberapa Gereja Pantekosta dirusak dan dihancurkan massa, bahkan ada anggota
jemaat yang dipukuli oleh massa yang marah dan brutal.
Kasus-kasus yang melanda beberapa kota di
Jawa Barat itu ternyata berkembang dan menjalar ke kota Surabaya pada bulan
Juni 1996 tidak kurang dari 10 gedung gereja dirusak oleh massa.
Pada tanggal 10 Oktober 1996, kasus yang
lebih berat dan lebih luas menimpa kota Situbondo dan sekitarnya. Lebih dari 20
gedung gereja dan beberapa Sekolah Kristen dihancurkan dan ada yang dibakar.
Kasus serupa kembali menerpa kota Tasikmalaya. Tanggal 26 Desember 1996, massa
mengamuk dan menghancurkan berbagai fasilitas umum, kantor polisi, dan
gedung-gedung gereja. Tercatat paling tidak 13 gedung gereja dihancurkan
sebagian dibakar, dua sekolah Kristen dan Katolik dibakar.
Pada awal tahun 1997, tepatnya 30 Januari
1997, kembali terjadi kerusuhan di daerah Jawa Barat, yaitu kota
Rengasdengklok. Dan, kembali gedung gereja dan Sekolah Kristen dihancurkan dan
sebagian dibakar massa.
Masih ada banyak kasus lagi yang berbau
SARA. khususnya kental berbau keagamaan yang belum dikemukakan, namun berbagai
kasus yang sudah dikemukakan di atas tersirat sentimen keagamaan demikian kuat.
Konflik masyarakat beragama Islam dengan orang Kristen tak terhindarkan.
Kesimpulan
Jika memang konsepsi
agama, paling tidak agama Islam, bukanlah alasan dan sebab utama yang memicu
konflik antar umat Islam dan Kristen (serta umat beragama lain). Sejumlah
kajian dan penelitian menjelaskan bahwa titik persoalan sebenarnya terletak
pada faktor internal dan eksternal umat.
Tidak hanya di negara-negara yang penduduknya minoritas Muslim (misalnya:
Filipina), bahkan di negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Indonesia
gerakan puritanisasi dan revitalisasi Islam harus “berhadapan” dengan peradaban
global yang sekuler, kapitalistis, dan bersemangat hedonistis. Politik Islam
negara-negara Barat yang berabad-abad menekan aspirasi umat, yang kemudian
disusul oleh upaya pembangunan di masing-masing negara dengan patron mengikuti
Barat yang pernah menjajahnya membuat peran umat ini (Muslim) semakin lama
semakin berkurang. Marginalisasi peran politik, ekonomi dan kebudayaan,
menyebabkan kaum muslim mengalami disposisi dan disorientasi.
Untuk level Indonesia,
faktor di atas, diikuti dengan upaya pemerintah memberikan “kebebasan” berbuat
kepada umat Kristen , sehingga walaupun secara kuantitatif jumlah mereka kecil,
namun secara kualitatif, peran politik, ekonomi, dan menentukan arah nilai-nilai
moral –bahkan peradaban masa depan bangsa ini yang diberikan kepada mereka
relatif besar. Secara kasat mata, pengaruh mereka dapat dilihat pada
berkembangnya cara hidup kebaratbaratan di tengah umat.
Secara internal, kaum
muslim masih berkutat dengan kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan.
Kondisi ini diperparah oleh adanya penyakit “Islamofobia” (takut kepada Islam)
yang ironisnya, tidak hanya pada umat Kristen, tapi juga menjangkiti sebagian
cendekiawan muslim. Kelompok ini, yang nota bene adalah penganut pluralisme
agama, mudah tersengat dan curiga pada gerakan-gerakan “Islam fundamentalis”,
yang dinilai “ekstrem” dan “militan”. Padahal, bangkitnya “Islam
fundamentalis”, menurut G. H. Jansen, “adalah reaksi terhadap masalah bagaimana
mengahadapi tantangan cara hidup Barat
yang telah menjadi cara hidup dunia.”[40]
Kelompok terakhir ini, yang senantiasa termarginalkan, didorong oleh semangat
membebaskan umat dari materialisme yang sesat, yang mendorong pada suatu
kesadaran hakiki, bahwa agama merupakan suatu kebutuhan batiniah dan sekaligus
kebutuhan intelektuil manusia. Menggunakan istilah Arnold Toynbee, boleh jadi,
mereka adalah kelompok creative minorities yang bekerja keras untuk melahirkan
satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban kontemporer yang rapuh. Sehingga,
seandainya pun terjadi benturan dan konflik, kebanyakan pada tataran ideologis,
di antara “mereka” dengan rezim yang berkuasa dan kelompok-kelompok
penentangnya. Konflik antar umat Islam dan Kristen sendiri, kebanyakan
adalah kompleksitas persoalan-persoalan
sosial, ekonomi, politik, yang –oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab- dilegitimasi karena “perbedaan konsepsi
keagamaan”.
Dari uraian di atas,
penulis sampai pada kesimpulan bahwa konflik antara umat beragama, dalam hal
ini Islam dan Kristen, dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan karena
perbedaan konsepsi di antara dua agama besar ini. Itu lebih merupakan asumsi
yang tendensius, yang disengaja atau tidak, berupaya “mengaburkan” peran agama
dalam membentuk peradaban baru yang lebih progressif. Dia lebih menonjolkan
“wajah muram” agama-agama di tengah umatnya, sehingga agama tidak ubahnya seperti tembok yang
memisahkan manusia dengan manusia dari
kepercayaan yang berbeda, sekaligus menumbuhsuburkan sikap kebencian dan
permusuhan di antara pemeluk agama.
Implikasi yang muncul
kemudian adalah lahirnya dua kutub pemikiran. Yang pertama bersikap “anti agama”
sementara yang terakhir mencoba “menyamakan” agama-agama, dengan berlindung di
balik “topeng” pluralisme agama. Gagasan yang terakhir ini, jika ditinjau dari
keseluruhan aspek Islam terhadap Kristen jelas suatu gagasan yang tidak
mungkin, karena “memang” kedua agama ini berbeda.
Kendatipun demikian,
konflik antara umat Islam dan Kristen jika dianalisa lebih jauh, tidak
seluruhnya disebabkan karena perbedaan konsepsi di antara kedua pemeluknya.
Faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya sering lepas dari
pengamatan, sehingga agama dijadikan alat legitimasi terhadap sikap-sikap
agresif dan radikal kelompok satu terhadap yang lainnya.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Eliade
(ed.), Mircea, The Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing Company, New
York, 1987, Vol. 12
Hakiem
(Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar Pembaruan
Islam, LSIP, Jakarta, 1995 15
Husaini,
Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press,
Jakarta, 2004
Husaini,
Adian, Solusi Damai Islam- Kristen, Pustaka Progresif, Surabaya, 2003
Jansen
, G. H., Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980
Kurtz,
Lester R. Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, t. t.
Lembaga
Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001
Madjid,
Nurcholis, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001
Mische,
Patricia M. ,Toward Global Civilization? The Contribution of Religions,
(Newyork: Peter Lang Publishing Inc., 2001)
Mulkhan,
Abdul Munir, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta,
2002
Mulkhan,
Abdul Munir, Dr., Ajaran dan Jalan
Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002
Noersena,
Bambang, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2001
Rasyid,
Daud, Dr. MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Akbar Media Eka
Sarana, Jakarta, 2002
Syalaby,
Ahmad, Dr., Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh Ahmad, S. Ag., Pustaka Da’i, Jakarta, 2004
Thayib
dkk. (ed.), Anshari, Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi dan
Kebijakan (PKSK), Jakarta, 1997
[1] Lembaga Alkitab
Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 588
[2] Lihat
Q. S. al-Baqarah: 190- 191, al-Hajj: 39, dan sebagainya
[3] Lester R. Kurtz, Gods in
the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, hlm. 215-216
[4] Di Indonesia,
pernyataan-pernyataan yang bernada
“menyamakan” agama mulai diungkapkan oleh para tokoh organisasi Islam.
Lihat: pernyataan Ulil Abshar Abdalla, di majalah Gatra, edisi 21 Desember
2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir Mulkhan,
Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta,
2002, hlm. 44
[5] Joachim Wach, Sosiology of Religion, University of Chicago Press, Chicago and London,
1971, hlm. 35
[6] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan
Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah,
No. 3 Juli-Oktober 1991.
[7]
Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan
Berbangsa,” Prisma, edisi extra, 1984, hlm. 3-9.
[8] Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” Muntaha
Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan,
Jakarta: P3M, 1989, hlm. 81-96.
[9]Universalitas dimaksud dapat dilihat dalam agama Kristen yaitu Roma
12:10 Hendaklah kamu
saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Petrus 2:17, 5:9, Hormatilah semua orang, kasihilah
saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!, Petrus
3:8 Dan
akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara,
penyayang dan rendah hati, Matius 23:8, Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi;
karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dalam ajaran Islam disebutkan dan katakanlah kepada para hambaku-Ku:
"Hendaklah mereka berbicara dengan ucapan yang sebaik-baiknya" dalam
berdakwah. Bahwasanya setan itu suka menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Sesungguhnya antara setan dan manusia terbentang permusuhan sejak dahulu. Isra:
53 Janganlah
kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan bersilang- sengketa sesudah
datang kepada mereka bukti yang terang! ....
Al-Imran: 105.
[10] Tidak dapat dipungkiri bahwa selain
munculnya truth claim bahwa ditemukan sejumlah teks
keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan yang
berdampak pada konflik.
Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan
sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41, “(40) Engkau telah mengikat pingggangku
dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang
yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang
yang membenci aku kubinasakan.”Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang
dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan)
[13] Untuk uraian lebih lanjut tentang primbumisasi
Islam, lihat Abdurrahman Wahid, “Salahkah
Jika Dipribumikan?” Tempo, 16 Juli 1991, halaman 19 dan “Pribumisasi Islam.” Lihat pula, “Merelevansikan Bukannya Menghilangkan Salam,”
Amanah, No. 22, Mei 8-21, 1987.
[14]
Lihat, misalnya, beberapa tulisan
Adi Sasono, "Peta Permasalahan
Sosial Umat Islam dan Pokok-Pokok Pemikiran Usaha Pengembangannya: Beberapa
Catatan, makalah tidak diterbitkan, Mei, 1984; "Moral Agama dan Masalah Kemiskinan," makalah tidak
diterbitkan, 21 April 1985; "Usaha
Pengembangan Enasipasi Sosial: Beberapa Catatan," A Rifa'i Hasan dan
Amrullah Achmad (ed.), Perspektif Islam
dalam Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: PLP2M, 1986, hlm. 323-335.
[15] Lihat, M. Dawam Rahardjo, "Umat Islam dan Pembaharuan Teologi,"
Bosco Carvallo dan Dasrizal (ed.), Aspirasi
Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983, hlm. 117-132.
[16] Hendropuspito, D. Sosiologi Agama.
Yogyakarta, 1986, hlm. 32
[17] Thomas
F. O'deo, Sosiologi Agama, Jakarta: PT Rajawali,
1985, hal. 139
[18] Ibid.,
[20] Dalam Harun Nasution, Islam
dan Sistem Pemerintahan dalam Perkembangan Sejarah, Nuansa, Desember 1984,
hlm. 4-12.
[21] Sebagai gambaran,
betapapun liberal dan sekulernya
Napoleon Bonaparte, ia menobatkan dirinya sebagai Kaisar Perancis pada 2
Desember 1804, dalam sebuah acara kolosal di Katedral Notre Dame, Paris. Dia
menolak menjadikan Katolik sebagai agama resmi negara, namun tetap mengeluarkan
The Concordat 1801 yang mengakui Chatolicism sebagai agama terbesar yang dianut
oleh rakyat.
[22] Patricia M. Mische
‘Toward Civilization Worthy of the Human Person’, pendahuluan dalam buku Toward Global Civilization? The Contribution
of Religions, (Newyork: Peter Lang Publishing Inc., 2001), hlm. 6
[23] Mircea Eliade (ed.), The
Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing Company, New York, 1987, Vol.
12, hlm. 331; pada Adian Husaini MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen
Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hlm. 7
[24] Bandingkan dengan
definisi Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa pluralisme agama berwujud bond civilityi (ikatan keadaban, dimana masing-masing
pemeluk agama punya kesediaan untuk
melihat orang lain (baca: pemeluk agama lain) punya potensi untuk benar,
dan diri sendiri punya potensi untuk salah. Maka absolutisme, faham mutlakan
dan sistem kultus, bukanlah refleksi dari pluralisme agama. Untuk lebih jelas
lihat Nurcholis Madjid, “Hak Asasi Manusia- Pluralisme Agama dan Integrasi
Nasional (Konsepsi dan Aktualisasi) dalam Anshari Thayib dkk. (ed.), Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi
dan Kebijakan (PKSK), Jakarta, 1997, hlm.70
[25] Lihat
Gatra, edisi 21 Desember 2002
[26] Lihat Bambang Noersena,
Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2001, hlm.
165-169
[27] Abdul Munir
Mulkhan, Ajaran dan Kematian Syekh Siti
Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
[28] Dr. Daud Rasyid,
MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme
dalam Sorotan, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, 2002, hlm. 54; lihat juga
Nurkholis Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia
untuk Generasi Mendatang” dalam H. Lukman Hakiem (Ed.), Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat
Besar Pembaruan Islam, LSIP, Jakarta, 1995, hlm. 71
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Untuk lebih jelasnya
mengenai “Teologi Inklusif” Nurcholis
ini baca Nurcholis Madjid, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001
[32] Baca
Adian Husaini, Solusi Damai Islam- Kristen, Postaka Progresif, Surabaya, 2003
[33] Q. S.
al-Ikhlas: 1- 4
[34] Q. S.
al-Kafiruun: 1-6
[35] Q. S.
Ali Imran: 51
[36] Q. S.
Ali Imran: 19-20
[37] Dr. Ahmad Syalaby,
Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh Ahmad, S. Ag., Pustaka Da’I,
Jakarta, 2004, hlm. 83-84
[38] Trinitas adalah konsepsi
Ketuhanan Kristen yang pertama kali “diungkapkan oleh Saul atau Paulus. Seorang
yang masuk agama Isa As. Setelah
wafatnya Isa Almasih di tiang salib, di atas Bukit Golgotha. Dia yang pada
mulanya memusuhi para pengikut Isa As., dan tidak pernah bertemu secara
langsung dengan Isa As. Pada akhirnya mengambil kepemimpinan dalam agama ini,
melebihi pengaruh 12 Rasul yaitu murid-murid yang diangkat dan belajar langsung
dari Isa As. Baca Kisah Para Rasul 9: 1-9
[39] Lagi-lagi pendapat ini
dipersoalkan oleh para penganut pluralisme agama. Ulil Abshar Abdalla dan
Jalaluddin Rahmat menolak penggunaan
istilah kafir bagi orang non-Muslim. Jalaluddin Rahmat meskipun mengakui bahwa
konsep tentang kafir masih relevan, karena terdapat di dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, namun –demikian Jalaluddin- masih harus direkonstruksi. Menurutnya,
kata kafir dan seluruh derivasinya di dalam Al-Qur’an selalu didefinisikan dan
dikaitkan dengan akhlak yang buruk, dan tidak pernah didefinisikan sebagai
non-muslim. Jadi, orang kafir menurut Jalaluddin adalah orang (beragama) yang
berakhlak buruk. Definisi kafir sebagai
orang non-muslim hanya terjadi di Indonesia saja.
[40] G. H.
Jansen, Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980, hlm. 6
5 comments:
sedot mas, makasih
Masyarakat Indonesia pada dasarnya ramah dan rukun
Konflik terjadi karena ada pihak yang memaksakan kehendak, komentar juga ya di blog saya www.goocap.com
PENDAFTARAN BELA NEGARA
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
Untuk Wali Wali Allah dimana saja kalian berada
Sekarang keluarlah, Hunuslah Pedang dan Asahlah Tajam-Tajam
Api Jihad Fisabilillah Akhir Zaman telah kami kobarkan
Panji-Panji Perang Nabimu sudah kami kibarkan
Arasy KeagunganMu sudah bergetar Hebat Ya Allah,
Wahai Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang
hamba memohon kepadaMu keluarkan para Muqarrabin bersama kami
Allahumma a’izzal islam wal muslim wa adzillas syirka wal musyrikin wa dammir a’da aka a’da addin wa iradaka suui ‘alaihim yaa Robbal ‘alamin.
Wahai ALLAH muliakanlah islam dan Kaum Muslimin, hinakan dan rendahkanlah kesyirikan dan pelaku kemusyrikan dan hancurkanlah musuh-mu dan musuh agama-mu dengan keburukan wahai RABB
semesta alam.
Allahumma ‘adzdzibil kafarotalladzina yashudduna ‘ansabilika, wa yukadzdzibuna min rusulika wa yuqotiluna min awliyaika.
Wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. orang-oramg kafir yang telah menghalang-halangi kami dari jalan-Mu, yang telah mendustakan-Mu dan telah membunuh Para Wali-Mu, Para Kekasih-Mu
Allahumma farriq jam’ahum wa syattit syamlahum wa zilzal aqdamahum wa bilkhusus min yahuud wa syarikatihim innaka ‘ala kulli syaiin qodir.
Wahai ALLAH pecah belahlah, hancur leburkanlah kelompok mereka, porak porandakanlah mereka dan goncangkanlah kedudukan mereka, goncangkanlah hati hati mereka terlebih khusus dari orang-orang yahudi dan sekutu-sekutu mereka. sesungguhnya ENGKAU Maha Berkuasa.
Allahumma shuril islam wal ikhwana wal mujahidina fii kulli makan yaa rabbal ‘alamin.
Wahai ALLAH tolonglah Islam dan saudara kami dan Para Mujahid dimana saja mereka berada wahai RABB Semesta Alam.
Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin
Wahai Wali-wali Allah Kemarilah, Datanglah dan Berkujunglah dan bergabunglah bersama kami kami Ahlul Baitmu
Al Qur`an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para Da`i yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, Kami akan bawa anda untuk mengikuti jejak langkah penghulu para rasul Muhammad SAW dan pemimpin semua umat manusia.
Hai kaumku ikutilah aku, aku akan menunjukan kepadamu jalan yang benar (QS. Al-Mu'min :38)
Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya Khilafah yang dijanjikan.
Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)
Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia Allah yang Antum miliki.
301. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik Musuh Islam
302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
- ahli segala macam pertempuran
- ahli Membunuh secara cepat
- ahli Bela diri jarak dekat
- Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan
303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi Pasukan Rahasia
- Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat / Jauh
- Ahli Pembuat BOM / Racun
- Ahli Sandera
- Ahli Sabotase
304. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam
305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan Rahasia Cyber Death
- ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
- Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
- Ahli enkripsi cryptographi
- Ahli Satelit / Nuklir
- Ahli Pembuat infra merah / Radar
- Ahli Membuat Virus Death
- Ahli infiltrasi Sistem Pakar
Semua Negara adalah Negara Dajjal, sebab itu
Bunuhlah Tentara , Polisi dan semua pendukung negara dajjal dimana saja berada
Disebarluaskan
MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
Syuaib Bin Shaleh
singahitam@hmamail.com
PESAN IMAM MAHDI MENYERU UNTUK PARA IKHWAN
BENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA ISLAM
SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah senjata kalian.
Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu yang Agung
Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !
Firman Allah: at-Taubah 38, 39
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat, melainkan sedikit
sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi, sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan kedurhakaan yang besar terhadap Allah!
Firman Allah: al-Anfal 39
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah.
Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan kepada manusia di bumi.
Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka Dajjal
Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada sesama manusia karena itu adalah FITNAH
Firman Allah: al-Hajj 39, 40
Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka itu. Iaitu
orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah
Firman Allah: an-Nisa 75
Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk (membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki, perempuan-perempuan dan kanak-kanak .
Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan(al-Baqarah 217)
Firman Allah: at-Taubah 36, 73
Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.
Firman Allah: at-Taubah 29,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..
Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa / kampung.
Bersiaplah menjadi Tentara Islam akhir Zaman sebelum anda dibantai oleh Zionis,Salibis,Munafiq dan Musyrikin
Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.
Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera Hitam
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)
email : seleksidim@yandex.com
Dipublikasikan
Markas Besar Angkatan Perang
Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Posting Komentar