Pembekalan PPL Tahun 2012

Yaser Amri, MA (kanan) saat memberikan materi pada kegiatan Pembekalan Mahasiswa PPL Tahun 2012.

Gedung Tarbiyah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2011 lalu.

Gedung Dakwah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2013.

Gedung STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa merupakan perguruan tinggi satu-satunya yang berprediket Negeri di Kota Langsa

International Conference

Pose ketika mengikuti Konferensi Internasional di STAIN ZCK dan AICIS

Tampilkan postingan dengan label studi Alquran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label studi Alquran. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 April 2013

MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

Term muhkamat dan mutasyabihat telah menjadi pembicaraan sejak masa klasik, dan masih menarik untuk dibicarakan pada saat ini. Umumnya ulama tafsir dan mutakallimun punya pendapat yang sama tentang muhkamat namun berbeda tentang  term yang kedua, baik tentang arti mutasyabihat sendiri maupun tentang apakah ayat-ayat mutasyabihat bisa dipahami manusia atau tidak karena kesamaran maknanya.
 Sama kita ketahui bahwa Alquran menyebutkan kata muhkamat dan mutasyabihat dalam beberapa ayatnya, antara satu dan lain ayat sekilas nampak bertentangan menyangkut kedua term tersebut.


Pada surat Hud ayat 1 dikatakan bahwa Alquran keseluruhannya adalah muhkamat.
 الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif, Laam, Raa'. Al-Quran sebuah Kitab yang tersusun ayat-ayatnya dengan tetap teguh, kemudian dijelaskan pula kandungannya satu persatu. (Susunan dan penjelasan itu) adalah dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana, lagi Maha Mendalam pengetahuanNya.
 

Sementara pada tempat yang lain, surat Al-Zumar ayat 23 mengatakan bahwa Alquran seluruhnya adalah mutasyabihat.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan iaitu Kitab Suci Al-Quran yang bersamaan isi kandungannya antara satu dengan yang lain (tentang benarnya dan indahnya), yang berulang-ulang (keterangannya, dengan berbagai cara); yang (oleh kerana mendengarnya atau membacanya) kulit badan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka menjadi seram; kemudian kulit badan mereka menjadi lembut serta tenang tenteram hati mereka menerima ajaran dan rahmat Allah. Kitab Suci itulah hidayah petunjuk Allah; Allah memberi hidayah petunjuk dengan Al-Quran itu kepada sesiapa yang dikehendakiNya (menurut undang-undang peraturanNya); dan (ingatlah) sesiapa yang disesatkan Allah (disebabkan pilihannya yang salah), maka tidak ada sesiapa pun yang dapat memberi hidayah petunjuk kepadanya.


Tidak seperti kedua ayat di atas, ayat berikut ini (ali Imran: 7) justru mengatakan bahwa sebagian dari Alquran adalah muhkamat dan sebagiannya lagi adalah mutasyabihat.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia lah yang menurunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab Suci Al-Quran. Sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat "Muhkamaat" (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. Dan yang lain lagi ialah ayat-ayat "Mutasyaabihaat" (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). Oleh sebab itu (timbulah faham yang berlainan menurut kandungan hati masing-masing) - adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut yang disukainya). Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu agama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" Dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang yang berfikiran.


Ketiga ayat di atas menjadi dasar pembahasan tentang term muhkamat dan mutasyabihat. Berangkat dari sini para ulama kemudian memberi makna terhadap muhkamat dan mutasyabihat, tentunya makna yang bisa mengakomodir ketiga ayat di atas, dalam arti makna yang sesuai dengan ketiganya sekaligus, karena kita tentunya meyakini bahwa ketiga ayat di atas benar adanya dan tidak mungkin mengandung kesalahan, justru pemahaman terhadap ketiga ayat tersebutlah yang mempunyai potensi benar dan salah.

Pengertian Muhkamat dan Mutasyabihat
Secara etimologis muhkamat berasal dari ahkama, akar katanya adalah hakama yang memiliki arti menghalangi, menahan, memilih yang terbaik dari dua hal. Hakamtu daabbah artinya saya menahan binatang itu. Hukm berarti memutuskan antara dua hal. Hakim berarti orang yang menahan atau mencegah kezaliman, yang memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, dan memilah yang haq dan yang batil. Sementara Ahkama memiliki arti ketelitian, keakuratan, ketelitian, kekukuhan, pencegahan dan keseksamaan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam al-murad bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir) Jadi, yang dimaksud kalam muhkam adalah perkataan yang kokoh, benar, jelas dan tegas. Mutasyabihat berasal dari kata tasyabaha, akar katanya adalah syabaha, memiliki arti mirip, serupa. Setelah diberi tambahan ta (tasyabaha) maka dia mengandung arti kemiripan atau keserupaan antara dua hal, yaitu apabila satu hal serupa dengan yang lainnya sehingga menjadi samar seperti termaktub dalam ayat 70 surat al-Baqarah.
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ
Mereka berkata lagi: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, supaya diterangkanNya kepada kami lembu betina yang mana itu? Kerana sesungguhnya lembu yang dikehendaki itu samar bagi kami (susah kami memilihnya), dan kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk mencari dan menyembelih lembu itu)".


 Jadi, mutasyabih adalah ungkapan yang maksud dan maknanya samar (ma khafiya bi nafs al-lafzh). Tasyabuh juga bisa berarti serupa atau mirip saja tanpa bermaksud /mengandung arti samar. Tasyabuh al-kalam adalah kesamaan serta kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.


Secara terminologi muhkamat dan mutasyabihat berarti:
1.    Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas maknanya. Sedangkan mutasyabihat tidak jelas maknanya
2.    Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara lansung tanpa membutuhkan keterangan lain. Sedangkan mutasyabih butuh penjelasan
3.    Muhkam adalah ayat yang dalalhnya kuat baik maksud maupun lafaznya. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang lemah dalalahnya, bersifat mujmal, sehingga memerlukan ta’wil
4.    Muhkam adalah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau konteksnya
5.    Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat di dalam sholat lima waktu.
6.    Muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib di amalkan. Adapun mutasyabih yaitu ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam serta yang wajib di imani tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud.
7.    Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi  (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah SWT mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini di bangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
8.    Muhkamat adalah ayat-ayat hukum Tuhan yang berkaitan langsung dengan manusia seperti hudud, akhlaq, faraid, halal dan haram. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat hukum Tuhan yang berkaitan dengan alam dan Tuhan sendiri seperti ilmu tentang ketuhanan dan hukum alam. 


Surat Hud ayat 1 yang menyatakan bahwa Alquran seluruhnya adalah muhkamat bisa dipahami bahwa seluruh ayat Alquran adalah kokoh, tidak mungkin diganti atau dirubah, akurat dalam arti ayat-ayat tersebut tidak meleset tujuannya, kekokohan ayat-ayat Alquran terlihat dari  kekokohan perkataannya yang memisahkan yang benar dan yang salah. Susunan lafal Alquran dan keindahan Nazmnya sangat sempurna tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya. Sementara surat al-Zumar ayat 23 yang menyatakan bahwa Alquran seluruhnya adalah mutasyabihat dapat dipahami bahwa seluruh ayat Alquran sebagai kalam Tuhan mempunyai kemiripan dan kesamaan sehingga ketika dibacakan orang akan tau bahwa itu adalah kata-kata Tuhan. Ayat-ayat itu juga menyerupai satu sama lain dan tidak saling bertentangan, sebagiannya menyerupai sebagian yang lain dalam kebenarannya dan hikmat. Dengan begitu kata muhkamat dan mutasyabihat pada kedua ayat tersebut berbeda konteksnya dengan Ali Imran:7 sehingga makna yang dibawanya pun tentu akhirnya berbeda.

Penerimaan Ulama terhadap Mutasyabihat.
Meskipun Alquran menegaskan bahwa didalamnya termuat ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, namun tak ada kepastian ayat-ayat mana saja yang termasuk kategori muhkamat dan mana pula yang mutasyabihat sehingga tidak diketahui pula dengan pasti berapa jumlah ayat yang muhkamat dan berapa yang mutasyabihat. Sebuah ayat bisa saja dianggap muhkamat bagi sebagian kelompok dan mutasyabihat bagi kelompok lain, meski beberapa ayat juga bisa saja disepakati sebagai mutasyabihat.


Ulama juga berbeda pendapat tentang kemampuan manusia untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat. Sebagian mengatakan bahwa hanya Tuhan saja yang mengerti tentang makna ayat-ayat itu, manusia hanya mengimaninya saja. Sikap ini dianut oleh mazhab salaf. Kata-kata dalam ayat mutasyabihat dikembalikan maknanya pada makna yang pernah disebutkan oleh ayat-ayat muhkamat. Misalnya kata ‘tangan’ dan ‘wajah’ pada yad Allah fawqo aidihim dan kullu syaiin halikun illa wajhah diyakini sebagai tangan dan wajah namun dalam arti yang dimaksud oleh ayat muhkamat laysa kamistlihi syai’un. Sehingga, meskipun Allah mengatakan ‘tangan’ dan ‘wajah’ tapi harus dipahami bahwa Allah tidak menyerupai apa pun sehingga ‘tangan’ dan ‘wajah’ yang bagaimanapun yang pernah terpikir oleh manusia pasti bukanlah bentuk ‘tangan’ atau ‘wajah’ Allah. Oleh karena kaum salaf tidak berani memberikan makna terhadap kata-kata yang mengandung tajsim, maka mereka membiarkan saja ayat itu tidak dapat dimengerti, khawatir akan menjadi syirik karena memberikan wujud/bentuk pada Tuhan.

Sebagian ulama menolak untuk membiarkan ayat Alquran tidak bisa dipahami karena Alquran dibuat dengan bahasa Arab yang jelas (QS. Al-Syu’ara’: 195), mustahil orang Arab tidak bisa memahaminya. Aneh rasanya bila Tuhan kemudian memberikan Alquran kepada manusia sebagai petunjuk namun ada ayat-ayatnya yang tidak bisa dipahami. Sikap ini dianut oleh ulama mazhab khalafi. Mereka mencoba memahami ayat-ayat mutasyabihat dengan memberikan takwil terhadap ayat tersebut. Takwil adalah usaha memahami makna Alquran yang tersembunyi dengan menggunakan kemampuan bahasa dan ijtihad.


Perbedaan mazhab salaf dan khalaf berawal dari pemahaman tentang surat Ali Imran ayat 7. Mazhab salaf meyakini bahwa huruf waw sebelum kata al-rasikhun adalah waw isti’naf sehingga kalimat “wa al-rasikhun fi al-ilmi….” Adalah kalimat baru yang tidak terkait dengan kalimat sebelumnya. Dengan begitu, maknanya menjadi sebagaimana arti ayat Ali Imran:7 yang tertulis di awal malakah ….. Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu agama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami"…… . Ini menunjukkan bahwa yang tau takwil ayat mutasyabihat cuma Allah, sedangkan orang-orang yang rasikh dalam ilmu dan pengetahuan hanya mengimaninya saja. 


Sementara itu mazhab khalaf mengklaim bahwa waw di situ adalah waw athaf . Dengan begitu makna ayat tersebut menjadi Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu agama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami"… Ini menunjukkan bahwa takwil ayat-ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang rasikh dalam ilmu dan pengetahuan. Ayat ini kemudian menjadi dasar penolakan ulama salaf terhadap takwil Alquran, karena takwil hanya dilakukan oleh orang-orang yang hatinya cenderung pada kesesatan dan menginginkan tersebarnya fitnah. 


Setelah membaca makna term muhkamat dan mutasyabihat di atas serta penerimaan ulama terhadap ayat-ayat itu, ada penjelasan baru tentang kedua term tersebut oleh Muhammad Shahrur, yang layak untuk kita baca dan renungkan. Entah mengapa, penjelasan Shahrur menurut saya sensible, terlepas dari pro dan kontra terhadap tafsir hermeneutiknya. Penjelasan Sharur tentang Muhkamat dan Mutasyabihat telas saya postingkan sebelumnya dalam “Hermeneutika Muhammad Shahrur” .

REFERENSI
Abdullah, Zulkarnaini. 2007. Yahudi Dalam Al-Quran. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Abu Zaid, Nashr Hamid. 2003. Manalar Firman Tuhan. Bandung: Mizan.
Shahur, Muhammad. 2008. Hermeneutika Al-Quran. Yogyakarta. eSAQ Press.
http://afrinaldiyunas.blogspot.com/2011/12/ayat-ayat-muhkamat-dan-mutasyabihat.html
http://islamtradisionalis.wordpress.com/2012/01/27/mengenal-ayat-ayat-muhkamat-dan-mutasyabihat/
http://aufamaudy0408.blogspot.com/2011/12/makalah-ayat-ayat-muhkamat-dan.html
http://adnanmahdi.blogspot.com/2009/11/muhkamat-dan-mutasyabihat.html

HERMENEUTIKA MUHAMMAD SHAHRUR

A.    Pendahuluan
        Kitab suci berisikan Kalam Tuhan yang agung yang tak terbatas dan mempunyai pengetahuan absolut, diturunkan kepada manusia yang serba terbatas dan mempunyai pengetahuan yang tak dapat dibandingkan dengan pengetahuan Tuhan. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang ataupun sekelompok orang dari sebuah generasi manapun, mampu memahami teks Tuhan tersebut secara mutlak sebagaimana yang diinginkan oleh Tuhan. Pemikiran ini lah yang menjadi dasar bagi Shahrur dan tokoh-tokoh hermeneutika untuk meninjau ulang pemahaman terhadap teks  karangan Tuhan ini. Shahrur berkeyakinan bahwa teks Alquran tidak harus dipahami secara rigid sebagaimana para mufassir klasik memahaminya, karena Alquran bersifat universal dan shalih li kulli zaman wa al-makan, sehingga makna yang terkandung di dalamnya tentu dinamis sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman pembacanya pada zaman mereka masing-masing.
        Meskipun Shahrur mempunyai semangat yang sama dengan tokoh hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis, untuk meninjau ulang pemahaman terhadap teks Tuhan, namun ada sedikit perbedaan. Bila hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis ala barat terkesan putus asa memahami apa yang dinginkan oleh pengarang teks (Tuhan) karena apa yang sesungguhnya diinginkan oleh pengarang tidak akan bisa diketahui kecuali oleh pengarang sendiri, sehingga mereka kemudian lebih melihat pada pemahaman pembaca terhadap teks, dengan dalih, pengarang tidak mampu menyetir pemahaman pembaca terhadap teks yang telah dibuatnya. Shahrur juga lebih melihat pada pemahaman pembaca, tapi dalam arti, teks tersebut memang telah sengaja didesain bersifat universal sehingga memungkinkan untuk dipahami sesuai dengan ruang dan waktu si pembaca. Bukan karena tidak ingin memahami keinginan pengarang, tapi karena pemahaman pembaca yang sesuai zamannya tersebutlah sebetulnya yang dinginkan pengarang. Benar bahwa tidak mungkin memahami teks sesuai dengan pemahaman penciptanya, tapi bukan berarti meninggalkan apa yang dinginkan penciptanya, karena kalau begitu, maka berarti apa pun yang dipahami pembaca (interpreter) menjadi benar. Pemahaman yang serba benar ini tentunya tidak masuk akal.
        Keinginan Shahrur untuk meninjau kembali pemahaman Alquran dan menyesuaikan pemahamannya tersebut dengan ruang dan waktu yang sekarang, terkesan ingin meninggalkan pemahaman ulama salaf dan tafsir-tafsir klasik, karena karya mereka, sedikit banyak, tentunya tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang. Oleh karena itu, tulisan Shahrur menuai banyak kritik dari ulama berbagai negara. Tak kurang dari Said Ramadhan Buti, telah memberikan kritik terhadap tulisannya Al-Kitab wa Al-Quran: Qira'ah Mu'ashirah. Semakin banyak yang mengkritiknya, maka semakin menaikkan popularitasnya. Bukunya laris terjual dan bahkan banyak dibajak di beberapa negara Islam yang melarang memperjualbelikan bukunya. Phenomena Shahrur pun menjadi menarik untuk diperbincangkan.
        Dalam makalah singkat ini penulis juga ikut tertarik untuk membahas hermeneutika Sharur (bila memang metodenya dalam memahami Alquran bisa disebut dengan hermeneutika), atau paling tidak penulis mencoba memahami dasar pemikiran Shahrur dalam usaha beliau memahami Alquran. Dalam makalah ini penulis ingin melihat cara-cara memahami teks terlebih dahulu agar kemudian bisa memahami posisi Shahrur dalam upayanya memahami teks Alquran. Kemudian perlu rasanya untuk mengetahui perjalanan hidup beliau, latar belakang pendidikan dan karya-karyanya agar lebih mudah memahami pemikirannya. Baru setelah itu penulis mencoba memahami prinsip dan dasar hermeneutika beliau.
        Terkait dengan cara penulisan beberapa kata dalam makalah ini, penulis mungkin terkesan tidak konsisten dengan menuliskan kata Alquran pada beberapa tempat dan Quran, al-Quran pada tempat lain, padahal itu bukanlah bentuk ketidakkonsistenan penulis, melainkan isi makalah ini nampaknya menghendaki seperti itu. Penulis mengharap pembaca makalah akan mengetahuinya setelah membacanya dengan tuntas. Kata "Quran" dan "Alquran" merujuk pada KBBI yang maksudnya adalah kitab suci umat Islam, sedangkan al-Quran bisa berarti lain sesuai dengan konteks yang sedang dibicarakan.

B.    Metode Memahami Teks Alquran

        "Banyak jalan menuju Roma", ungkapan ini nampaknya cocok untuk menggambarkan banyaknya cara untuk memahami Alquran. Ulama terdahulu mempunyai pendekatan yang berbeda-beda dalam memahami Alquran, namun secara umum dapat kita bagi menjadi dua kategori, yang satu skriptural yang lainnya rasional. Kelompok pertama berusaha memahami teks Alquran melalui script atau naskah keagamaan, yaitu memahami teks Alquran dengan melihat teks Alquran yang lain, atau dengan Hadis dan perkataan Sahabat. Pendekatan ini juga disebut dengan pendekatan Naqliy dan karya yang menggunakan pendekatan ini disebut dengan Al-Tafsir bi Al-Ma'tsur. Sedangkan kelompok kedua memahami Alquran melalui rasio, meski kadangkala terpaksa menggunakan riwayat, namun itu hanyalah apabila diperlukan untuk memenuhi tuntutan rasionalitas. Pendekatan ini disebut juga dengan pendekatan 'Aqliy dan penafsiran yang menggunakan pendekatan ini disebut dengan Al-Tafsir bi Al-Ra'yi.  Ada juga tafsir yang menggunakan kedua pendekatan tersebut sekaligus seperti tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
        Disamping dua pendekatan yang disebut di atas, ada juga pendekatan bahasa dan sastra dan yang terbaru adalah pendekatan hermeneutika. Pendekatan bahasa adalah cara memahami Alquran dari aspek kebahasaan. Bahasa yang digunakan dalam Alquran dibedah dengan pisau linguistik; sintaksis, morfologi, semantik, semiotik, sehingga dapat ditemukan makna yang sebenarnya. Pendekatan bahasa di satu sisi bisa dikatakan naqly karena pendekatan ini menuntut kepatuhan terhadap aturan-aturan kebahasaan dan melihat contoh-contoh teks sejenis yang sudah biasa digunakan , namun di sisi lain ia juga bisa dikatakan 'aqly karena memahami bahasa harus dengan mencerna dan menganalisanya setelah melihat strukturnya. Sedangkan Hermeneutika adalah metode memahami teks yang berasal dari barat dengan latar belakang tradisi Yudeo-Kristiani dan filsafat Yunani.  Konsep ini muncul atas reaksi modernitas viz a viz pemahaman ajaran agama yang mulai disadari tidak masuk akal. Umat Kristen modern yang mengandalkan rasio mulai mempertanyakan otoritas gereja dan kepercayaan agama mereka yang terasa bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kuasai belakangan. Dengan hermeneutika mereka mencoba memahami kitab suci mereka dengan makna yang lebih sesuai dengan keadaan, kehidupan dan kerangka berfikir mereka yang sekarang. Hermeneutika, sebagaimana juga pendekatan bahasa, menggunakan pendekatan naqly dan 'aqly sekaligus. Ini tak lain karena bahasa dan pemahaman merupakan inti dari hermeneutika. Kita berfikir melalui bahasa; kita bicara dan menulis dengan bahasa; kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa. H. G. Gadamer dalam Sumaryono mengatakan, "Bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini".  Meskipun begitu, tentu berbeda pendekatan bahasa yang disebutkan sebelumnya dengan hermeneutika. Hermeneutika menggabungkan semua upaya untuk mendapatkan makna utuh, menyeluruh, relevan dan dapat diimplementasikan pada zaman sekarang. Sedangkan pendekatan bahasa (linguistik) an sich, mengungkapkan secara apa adanya sebuah ungkapan sebagaimana yang dikehendaki oleh aturan-aturan kebahasaan tanpa ada usaha untuk mengambil makna universal yang bisa dibawa ke zaman ini. Sementara hermeneutika adalah cara baru bergaul dengan bahasa. Ia berusaha menjangkau makna yang lebih jauh melampaui batas-batas aturan kebahasaan, atau dalam bahasa Sibawaihi, menyusup lebih jauh di balik sebuah teks.
        Hermeneutika sebagai metode baru memahami Alquran sudah cukup dikenal dalam dunia Islam dewasa ini meski belum bisa diterima sepenuhnya oleh sebagian besar umat Islam. Terminologi yang biasa digunakan dalam dunia Islam adalah tafsir dan metode yang berlaku selama ini adalah ulum al-tafsir. Memang istilah hermeneutik tidak ditemukan dalam khazanah keilmuan Islam klasik, namun prakteknya sebenarnya sudah dilakukan oleh umat Islam sejak lama – meski belum dalam bentuk hermeneutika modern – dengan sebutan ta'wil.
        Ta'wil pada level tertentu bisa dianggap sebagai padanan dari tafsir, yaitu penjelasan makna teks Alquran. Tapi para pakar ulum al-Quran membedakan keduanya.Tafsir merupakan penjelasan dari ungkapan baik murni atau pun simbolik, sedang ta'wil berusaha menyibak tirai hakikat terdalam dan tersembunyi yang dimaksud oleh ungkapan tersebut. Ta'wil biasanya dipakai terbatas pada lafaz-lafaz yang ambigu (mutsyabihat), yang memerlukan pengetahuan bahasa yang luas serta kemampuan berijtihad untuk menjelaskan maknanya.
        Menurut Farid Esack dalam Faiz, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa umat Islam telah mempraktekkan hermeneutik sejak lama. Bukti-bukti itu adalah:
1.    Problematika hermeneutik itu senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak ditampilkan secara definitive. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai asbabun-nuzul dan nasakh-mansukh.
2.    Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap al-Qur'an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
3.    Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi'ah, tafsir mu'tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran tentang kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu, maupun horizon-horison sosial tertentu dari tafsir.
        Ketiga hal yang disebutkan Esack di atas ini menunjukkan bahwa sebenarnya meskipun tidak secara defenitif namun kesadaran akan multitafsir sudah ada sejak dulu dan ini sejalan dengan corak hermenutika yang menganut asas pluralitas pemahaman. Operasional hermeneutika modern dalam penafsiran Alquran baru muncul belakangan dirintis oleh pembaharu muslim India yang disebut oleh Panicker dengan Pan-Indo-Muslim Hermeneutics  seperti Sir Syed Ahmad Khan , Maulana Azad , Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves. Namun karya tokoh-tokoh di atas belumlah mempunyai rumusan metodologis yang sistematis dan jelas. Baru pada tahun 1960 ke atas muncul tokoh-tokoh hermeneutika Islam seperti Hassan Hanafi, Fazlurrahman, Arkoun, Abu Zayd, Al-Jabiri, dan Shahrur.  
  
C.    Riwayat Hidup Muhammad Shahrur dan Karyanya

        Muhammad Shahrur dilahirkan di Salihiyya, Damascus, pada tahun 1938. Terlahir di keluarga Sunni yang lebih menjunjung tinggi etika moral Islam ketimbang ritual keagamaan, meskipun kedua orang tuanya adalah muslim yang taat, yang melakukan shalat, puasa dan haji. Orang tuanya mengajarkan bahwa agama hanya dapat diukur dengan praktek dan penerapan moralnya, bukan efikasi spiritual. "Kalau ingin menghangatkan badan, jangan dengan membaca Qur'an, tapi nyalakan api di kompor", kata-kata ini yang pernah diucapkan bapaknya pada Shahrur, sebagaimana yang ia sampaikan dalam sebuah wawancara.
        Tidak seperti anak-anak lainnya yang disekolahkan di kuttab dan madrasah yang mengajarkan dasar-dasar ilmu keislaman, Shahrur di sekolahkan pada sekolah negeri yang sekuler di Midan, dengan demikian atmosfir liberal tidak hanya ia dapat dari ayahnya di rumah, tapi juga pada lingkungan sekulernya di sekolah. Di sekolah ia memilih jurusan ilmu alam dan ketika kuliah dia memilih jurusan Teknik Sipil. Pada tahun 1959 dia dikirim ke Saratow, dekat Moscow, di mana dia belajar teknik sipil. Dia kembali ke Syria tahun 1964 setelah menggondol diploma dari Moscow Institute of Engineering, dan menikah dengan gadis Rusia. Empat tahun kemudian dia kuliah lagi, kali ini di Dublin, untuk mendapatkan ijazah Master dan doktornya di bidang mekanik tanah dan teknik fondasi. Ia kembali ke Syria dan mengajar di University of Syria sebagai profesor pada Fakultas Teknik sejak 1972 sampai 1998.
        Shahrur dilahirkan dalam latar belakang keadaan politik Syria yang tidak stabil. Sedikit atau pun banyak, langsung atau tak langsung, kekacauan ideologi, politik dan administrasi negara pada waktu itu  tentu berpengaruh terhadap Shahrur muda. Kedekatan Syria dengan Soviet waktu itu, membawanya ke Saratow. Mau tidak mau dia harus berhadapan lagi dengan "kekacauan ideologi politik" di mana dia menyaksikan sendiri kehancuran Stalinisme pada periode Nikita Khrushchev. Keyakinan agamanya tertantang untuk berkonfrontasi dengan filsafat Marxis dan ateisme Soviet yang sudah melembaga. Selama konfrontasinya dengan filsafat Marxis, dia mendapatkan pelajaran yang berharga, bahwa ideologi yang ideal dan praktikal membutuhkan sebuah konsep ilmu pengetahuan yang mendasar, yaitu teori tentang persepsi manusia terhadap sesuatu yang exist dalam realitas yang objektif. 
        Disamping karirnya sebagai professor dan konsultan , Shahrur tetap tertarik untuk mengembangkan pandangannya dalam logika, epistemologi, dan teologi sebagai respon terhadap krisis pan-Arabisme dan kekalahan Arab dalam perang enam hari melawan Israel pada tahun 1967. Namun bukan berarti Shahrur sudah terdengar atau terlihat sebagai filosof Islam, karena saat itu tak sekalipun beliau pernah menerbitkan tulisan yang bertemakan filsafat dan agama sebelum diterbitkan tulisannya yang kontroversial, al-Kitab wa al-Qur'an. Buku tersebut adalah karya pertamanya yang monumental sekaligus sangat kontroversial pada tahun 1990. Sebelum itu, karya beliau hanya seputar pengetahuan yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan tekniknya. Beliau dikenal sebagai pengarang beberapa buku referensi standar Syria tentang mekanika tanah dan teknik fondasi. Tahun 1994 terbit lagi buku keduanya, al-Dawla wa al-Mujtama'. Kemudian secara berturut sejak tahun 1996 hingga 2008 beliau telah menerbitkan lebih kurang empat buku; al-Islam wa al-Iman – manzumat al-Qiyam (1996), Mashru' Mitsaq al-'Amal al-Islami (1999), Nahw Ushul Jadida li al-Fiqh al-Islami – Fiqh al-Mar'ah (2000), Tajfif manabi' al-Irhab (2008). Bukunya yang terakhir adalah respon terhadap insiden WTC 11 September di mana beliau menolak interpretasi militan terhadap konsep utama Alquran yang diusung oleh muslim radikal.
        Selain buku, Shahrur menulis beberapa artikel yang tersebar dalam jurnal, surat kabar dan situs internet. Di antara artikel-artikel yang pernah ditulisnya adalah:
-    “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies.” Muslim Politics Report (August 14, 1997)

-    “Modernists”, Islam 21 (UK), (January 1999)

-    "Qawl fi’l-Hurriyya" (“The Talk About Freedom.”) Taqrir al-Tanmiyya al-Insaniyya al-'Arabiyya, Markaz Ibn Khaldun (Egypt), (March 2003)

-    "Al-Harakat al-libraliyya rafadat al-fiqh wa-tashri'atiha wa-lakinnaha lam tarfud al-islam ka-tawhid wa-risala samawiyya" (“The Liberal Movements Have Rejected Islamic Jurisprudence and Its Legislations, and Yet They Did Not Reject Islam As Monotheistic Belief and Divine Message.”) Akhbar al-'Arab al-Khalijiyya (UAE),no. 20 (December 16, 2000)

-    "Al-Harakat al-islamiyya lan tafuz bi’l-shar'iyya illa idha tarahat nazhariyya islamiyya mu'ashira fi’l-dawla wa’l-mujtama'" (“The Islamic Movements Will Only Gain Legality If They Propose A Contemporary Theory of State and Society.”) Akhbar al-'Arab al-Khalijiyya (UAE), no. 21 (December 17, 2000)

-    Al-Irhab wa-Harb al-mustalahat (“Terrorism and the War of Words.”) Al-Ittihad (UAE), (April 2004)—(lihat juga: www.shahrour.org).

-    "Al-Gharb…wa’l-islam" (“The West…and Islam.”) Al-Ittihad (UAE), (April 2004) — (lihat juga: www.shahrour.org).

-    "Bi-nass al-Qur'an al-Karim: kull atba' al-diyanat al-samawiyya muslimun" (“According to the Text of the Noble Qur'an: All the Followers of the Heavenly Religions Are Muslims.”) Rawz al-Yusuf (Egypt), no. 3988 (November 19, 2004) — (lihat juga: www.shahrour.org)
       
D.    Prinsip dan Dasar Hermeneutika Shahrur
        Prinsip dan dasar berfikir Shahrur dalam membaca dan memahami Alquran dapat kita ketahui dari beberapa tulisannya dengan sangat jelas, terutama dalam buku pertamanya yang kontroversial itu. Ada beberapa term, yang perlu kita pahami, yang dipakai Shahrur sebagai dasar dalam memahami Alquran yang nantinya akan kita paparkan satu per satu.

Al-Kitab
        Al-Kitab adalah wahyu Tuhan, bukan karya Muhammad. Bila ia adalah karya manusia tentu dia hanyalah merupakan tradisi produk zamannya yang tidak cocok lagi untuk diterapkan di zaman sesudahnya, sementara Alquran (Al-Kitab) relevan untuk semua zaman. Al-Kitab mempunyai karakter sebagai berikut: 1) Al-Kitab sebagai wahyu dari Tuhan yang absolut, sempurna pengetahuannya dan tidak bersifat relatif, berisikan kandungan unsur-unsur yang absolut. 2) Al-Kitab diturunkan untuk manusia, dengan begitu maka tentunya dia mempunyai sisi pemahaman manusia yang memuat unsur-unsur yang relatif. 3) Al-Kitab dimanifestasikan dalam bahasa manusia.
        Dari karakter-karakter Al-Kitab tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Kitab memiliki muatan yang absolut namun pemahamannya bersifat relatif.   Di samping itu, kita dapat pahami bahwa Al-Kitab mempunyai kemutlakan bentuk linguistik yang berupa teks namun di saat yang bersamaan memiliki relatifitas pemahaman. Inilah yang membuktikan bahwa ia berasal dari Tuhan, karena manusia tidak sanggup membuat yang semacam itu.
        Jenis ayat-ayat yang ada dalam kitab bisa dipilah menjadi tiga: (1) Muhkamat. Al-Kitab sendiri menyebutnya dengan istilah umm al-Kitab, isinya adalah masalah ibadah, akhlak, dan hudud. Pemahaman tentang kaidah-kaidah yang terkandung di dalamnya dapat dikaji ulang dengan ijtihad disesuaikan dengan perubahan manusia. (2) Mutasyabihat. Al-Kitab menyebutnya dengan sab'ul matsani dan Qur'an, isinya mengenai akidah. Pemahaman tentang ayat-ayat yang tergolong dalam kategori ini dapat dikaji dengan cara ta'wil. (3) Non-muhkamat dan non-mutasyabihat. Al-Kitab menyebutnya dengan Tafshil al-Kitab, isinya adalah ayat-ayat yang tidak masuk dalam kategori muhkamat ataupun mutasyabihat. 

Al-Nubuwah dan Al-Risalah
        Al-Nubuwah adalah akumulasi pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad sehingga membuatnya menjadi manusia yang menerima wahyu nubuwah yang dipanggil dengan sebutan Nabi. Al-Nubuwah meliputi seluruh informasi dan pengetahuan ilmiah yang termaktub dalam al-Kitab. Al-Risalah adalah ketentuan penetapan hukum yang diwahyukan kepada Muhammad yang membuatnya kemudian dpanggil sebagai rasul. Jadi, kenabian identik dengan ilmu pengetahuan dan kerasulan identik dengan hukum. Dengan begitu, ayat-ayat hukum, sebagaimana telah dibahas sebelumnya termasuk dalam kategori muhkamat atau disebut juga dengan istilah umm al-Kitab, adalah  ayat-ayat kerasulan (risalah). Di sisi lain, ayat-ayat kenabian (nubuwah) adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan eksistensi alam semesta, manusia, sejarah, ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya akidah yang kesemuanya termasuk dalam kategori mutasyabihat dengan sebutan lainnya Quran dan sab'ul matsani, ditambah dengan penjelasan kandungan al-Kitab yang disebut dengan tafshil al-Kitab.
        Menurut Shahrur kemukjizatan al-Kitab justru berada pada ayat-ayat nubuwah yaitu ayat-ayat mutsyabihat (al-Quran dan al-sab'ul matsani) dan tafshil al-Kitab karena disitulah terdapat kemutlakan bentuk linguistik teks sekaligus dinamisasi kandungan maknanya. Shahrur menolak adanya kata yang sinonim dalam menunjukkan al-Kitab. Al-Kitab, al-Quran, al-Furqan dan al-Dzikir adalah terma yang berbeda-beda. Menurut teori ini tentunya ayat waris tidak termasuk dalam Quran (dalam arti dia bukanlah ayat nubuwah), melainkan masuk dalam umm al-Kitab (ayat risalah). Namun harus dipahami bahwa Umm al-Kitab, Quran, Sab'ul Matsani dan Tafshil al-Kitab seluruhnya berasal dari Allah sebagaimana tertulis dalam Ali Imran ayat 7, kullun min 'indi rabbina. Lebih jauh teori ini menyatakan bahwa al-Quran sebagai pembeda antar yang hak dan yang batil dengan menetapkan hukum-hukum alam sehingga dikatakan ia sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-nas)  sedangkan umm al-Kitab berisi tentang penetapan hukum yang dikaji ulang dan diperbaharui sehingga ia disebut sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (hudan li al-muttaqin) .

Al-Sab'ul Matsani
        Selama ini sab'ul matsani dipahami sebagai 7 ayat yang diulang-ulang dan dipahami ketujuh ayat itu adalah 7 ayat pada surat al-Fatiha, karena ketujuh ayat ini lah yang paling sering diulang-ulang pengucapannya, paling sedikit 17 kali dalam sehari diucapkan dalam shalat lima waktu. Shahrur dengan cerdasnya membantah itu dan menemukan makna yang sebenarnya. Setelah menemukan semantik dari kata "matsani", Shahrur menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan matsani adalah ujung dari tiap-tiap surat dalam al-kitab, dalam hal ini yang dimaksud adalah ayat-ayat pembuka surat, maka sab'ul matsani adalah 7 ayat pembuka surat. Ketujuh ayat yang dimaksud adalah 1. Alif lam mim, 2. Alif lam mim shad, 3. Kaf ha ya 'ain shad, 4. Yasin, 5. Thaha, 6. Tha sin mim, 7. Ha mim.
        Ada huruf-huruf lain yang juga berada pada pembukaan surat namun tidak dimasukkan dalam 7 ayat yang terhimpun sebagai sab'ul matsani, seperti: alif lam ra, alif lam mim ra, tha sin, nun, qaf, shad. Menurut Shahrur, alasannya adalah karena dia bukan merupakan sebuah ayat yang utuh, melainkan bagian dari sebuah ayat, sedangkan yang terhimpun dalam sab'ul matsani adalah satu ayat utuh. Lalu apa signifikansinya 7 ayat itu?. 7 ayat itu bila dikeluarkan fonemnya, seluruhnya ada 11 fonem. Kesebelas fonem ini sebetulnya telah mewakili seluruh fonem yang merupakan huruf-huruf dalam pembuka surat yang tidak terhimpun dalam sab'ul matsani kecuali 3 fonem: qaf, ra dan nun. 3 fonem ini bila digabung dengan 11 fonem yang tergabung dalam 7 ayat pembuka surat jumlahnya jadi 14 fonem. 14 adalah hasil perkalian 2 dengan 7. Al-sab'ul matsani secara letterlijk  juga bisa berarti "7 yang didobelkan". 7 yang didobelkan jumlahnya 14, sama seperti jumlah fonem dari seluruh pembuka surat. Mungkin Shahrur ingin mengatakan bahwa ini bukan kebetulan, ini memang disengaja, menunjukkan bahwa isi al-Kitab sudah diperhitungkan secara detail.
        Terlepas dari hitungan matematis Shahrur yang terkesan terlalu dibuat-buat, apa yang ia ulaskan kemudian  menyangkut 11 fonem yang terhimpun dalam sab'ul matsani, bahwa 11 fonem yang tersebut itu adalah bentuk pelbagai fonem yang dipadatkan dan merupakan asal-usul bahasa manusia dan batas minimal pada bahasa manusia, cukup masuk akal.

Al-Inzal dan al-Tanzil
        Menyangkut turunnya Alquran, redaksi yang dipakai dalam al-kitab pada satu tempat adalah anzala yang masdarnya adalah inzal, di tempat lain dipakai kata nazzala yang masdarnya adalah tanzil. Kedua kata itu berbeda meski mempunyai akar kata yang sama dan bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya sama-sama menurunkan. Shahrur kemudian menjelaskan perbedaannya dari sisi linguistik dengan cara mengumpulkan semua kata anzala dan nazzala, kemudian melihat semua kata tersebut dalam persamaan dan perbedaannya, sehingga ditemukanlah arti yang sebenarnya. Ia juga membandingkannya dengan kata ablagha dengan ballagha.
        Shahrur akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kata kerja ta'addi dalam wazan أفعل mengandung arti proses diluar kesadaran manusia dari wilayah yang tidak diketahui menuju wilayah yang dapat diketahui, sementara yang dalam wazan فعّل   mengandung arti perpindahan objek secara material diluar kesadaran manusia dan proses tersebut berlangsung tanpa ada pemastian bahwa objek benar-benar sampai pada tujuannya. Lebih jelasnya, Shahrur memberikan contoh dengan proses pemindahan objek gunung Qaison kepada manusia yang hidup di Kairo melalui sketsa. Ada dua proses yang terjadi, proses inzal dan proses tanzil. Pemindahan objek gunung Qaison ke dalam sketsa adalah proses inzal. Proses pengiriman sketsa itu ke Kairo agar bisa dilihat orang Kairo adalah proses tanzil. Bila ini diaplikasikan pada proses turunnya Alquran maka proses pemindahan Alquran dari bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia adalah proses inzal (Yusuf: 2 إنا أنزلناه قرآنا عربيا ), dan proses pengiriman Alquran kepada Muhammad adalah proses tanzil. Proses inzal terjadi secara keseluruhan dan dalam satu kesempatan, tepatnya adalah pada malam lailatul qadr ( إنا أنزلناه فى ليلة القدر  ), sedangkan proses tanzil berlangsung secara berangsur-angsur dalam rentang waktu 23 tahun.

Al-Dzikr
        Al-Dzikr selama ini dipahami sebagai sinonim dari al-quran, namun salah satu ayat dalam Alquran nampaknya membantah pemahaman ini, ayat itu adalah Shad wa al-qur'ani dzi al-dzikr (Shad: 1).  Atribut dzi menunjukkan bahwa al-quran adalah sesuatu yang berbeda dengan al-dzikr. Al-Qur'an adalah subjek tertentu dan al-dzikr adalah sifatnya. Ayat tersebut bila diartikan adalah al-Qur'an pemilik dzikr. Jadi ada sifat dzikr yang dimiliki al-Qur'an. Menurut Shahrur sifat itu adalah bentuk al-Quran dalam format linguistik Arab, dan dalam bentuknya yang baru ini lah dia menduduki posisi sebagai bentuk wahyu yang bernilai ibadah bila dibaca. Ketika manusia membaca bentuk literal Alquran meski tanpa pemahaman tetap bernilai ibadah. Ketika seorang muslim shalat dia membaca al-dzikr dalam shalatnya, meskipun dia tidak memahaminya shalatnya tetap sah. Yang dituntut dalam shalat adalah membaca dzikr bukan melafalkan makna kandungannya, maka shalat harus menggunakan lafal bahasa Arab.
 
Al-Furqan
        Al-Furqan menurut Shahrur bukanlah al-Quran tetapi dia adalah The Ten Commandement, sepuluh wasiat yang diturunkan kepada Nabi Musa.  Thabari mengartikan al-furqan dengan al-fashlu baina al-haq wa al-batil (pembeda antara yang haq dan yang batil), dan beliau menyamakan al-furqan dengan al-kitab ketika menafsirkan ayat 53 dari Surat Al-Baqarah:
                                                        وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ  .
Shahrur mengkritik pendapat itu dan mengatakan bahwa adanya atribut waw athaf menunjukkan bahwa ma'thuf dan athf nya adalah dua hal yang berbeda meskipun pada level tertentu mempunyai kesamaan.  Terma al-furqan diturunkan pertama sekali pada Musa, dan al-furqan yang sama diturunkan juga kepada Nabi Muhammad dalam bulan Ramadhan seperti terekam dalam ayat: syahru ramadhana al-ladzi unzila fihi al-Qur'anu hudan li al-nasi wa bayyinatin min al-huda wa al-furqani…. (al-Baqarah: 185). Menurut Shahrur, al-furqan dalam ayat tersebut diposisikan sejajar (ma'thuf) dengan al-Quran sehingga dia bukanlah al-Quran. Menurutnya al-Quran adalah ayat-ayat yang mengandung ilmu pengetahuan dan hukum-hukum alam, sedangkan al-furqan adalah sepuluh wasiat Tuhan yang pernah diturunkan pada Nabi Musa dan diturunkan juga kepada Nabi Muhammad yang terkandung dalam ayat 151-153 Surat al-An'am:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ .......
 

Teori Limit
        Salah satu ide Shahrur yang kontroversial adalah teori limit. Beliau menerapkan konsep limit dalam Matematika pada ketentuan hukum fikih yang kemudian sebut dengan teori tentang batasan hukum Tuhan. Ia membangun teorinya ini berdasarkan pengalamannya dalam dunia teknik. Dia mempertautkan sains modern dengan teori linguistik dalam menafsirkan ayat Tuhan dan hasilnya adalah sebuah teori tentang batas maksimal dan batas minimal dalam hukum Tuhan. Nashr Abu Zaid mengutip Shahrur dalam kata pengantarnya,
"One day an idea occurred to me when I was lecturing at the university of civil engineering about how to make compaction roads. We have what we call protector test, in which we sample and test soil used in fills in embankments. In this test, we exclude and interpolate. We have x and y. A hyperbole. We have a basic risk. We plot a curve and put a line on the top of it. This line is the upper limit. Then I thought of the concept of God's limit (hudud Allah). I returned here to the office and opened the Qur'an. Just as in mathematics we have five ways of representing limits, I found five cases in which the notion of God's limit occurred. What they have in common is the idea that God has not set down the exact rules of conduct, but only the limits within which societies can create their own rules and laws. I have written about ideas of integrity (al-istiqama) and universal moral or ethical codes. The idea was at first only a footnote in my last chapter, but I saw that I wrote about 'hudud Allah' in the book in order to be consistent. Then I considered my argument to be sound."

        Dalam ilmu matematika ada teori tentang limit, hal ini mengingatkan Shahrur tentang hukum hudud (hudud Allah atau terjemahan sederhananya batasan Tuhan). Menurutnya, seperti limit  dalam matematika, Allah juga mempunyai batas maksimal dan minimal dalam menentukan hukumnya. Makanya, variasi hukuman (had) yang disebutkan secara rinci dalam Alquran sebenarnya adalah tanda batas tertinggi atau terendah dari hukuman bagi kesalahan tertentu, bukan mutlak. Hukuman yang diterapkan di masyarakat bisa saja di bawah standard tertinggi itu, disesuaikan dengan keadaan dan budaya masyarakat yang ada, atau di atas standard minimal, bila yang disebutkan dalam Alquan adalah batas minimalnya. Dengan begitu, menurut beliau, penentuan hukum harus melalui ijtihad yang bisa bebas bergerak menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat selama masih berada dalam garis antara batas maksimal dan batas minimal (hudud Allah). "Islamic legislation must be based on the principles of ijtihad that govern a controlled renewal and flexible adaptation of legal rules to changing historical circumstances”.

E.    Penutup
        Begitulah Shahrur membaca al-kitab dengan pemahaman baru (qira'ah mu'ashirah). Penjelasan Shahrur tentang posisi ayat-ayat dan kategori-kategorinya menunjukkan penguasaannya atas ayat-ayat yang menjelaskan kandungan al-Kitab (ayat-ayat yang masuk dalam kategori tafshil al-Kitab). Penamaan kandungan al-kitab sesuai dengan kategori-kategorinya ini adalah terobosan baru dalam memahami Alquran yang tidak ditemukan dalam karya-karya klasik. Secara keseluruhan usaha Shahrur patut diacungi jempol meski ternyata masih ada kejanggalan-kejanggalan dalam penjelasannya sehingga terkesan terlalu dipaksakan. Salah satu contohnya adalah ketika Shahrur mengatakan bahwa al-Quran dan al-furqan adalah hal yang berbeda. Pernyataannya tersebut terlihat masuk akal dengan mengkategorikan ayat-ayat ilmu pengetahuan adalah al-Qur'an sementara al-furqan adalah the ten commandement. Namun, ketika bukti yang dimunculkan adalah ayat yang tercakup dalam al-Baqarah:185 dengan alasan bahwa ayat tersebut menyebutkan  al-Quran sejajar (ma'thuf) dengan al-furqan sehingga itu berarti bahwa kedua hal itu berbeda, penulis menganggap Shahrur terlalu memaksakannya dan mengabaikan sisi gramatikal (sintaksis) tata bahasa Arab, karena kata  "al-Qur-an" berada dalam keadaan marfu' sedangkan al-furqan berada dalam keadaan majrur. Al-furqan bisa dikatakan sejajar dengan al-huda, sedangkan al-Quran sejajar dengan bayyinat, karena yang disebut pertama diselingi dengan huruf waw athaf dan berada dalam keadaan sama-sama majrur, begitu juga disebut terakhir sama-sama berada dalam keadaan marfu'.
        Penjelasan Shahrur tentang inzal, tanzil dan dzikr lebih dapat diterima dalam konteks pemahaman ulama klasik ketimbang pemahaman Fazlur Rahman atau Arkoun terkait penciptaan/proses turunnya Alquran. Konsep inzal-tanzil-dzikrnya Shahrur lebih selamat dari paham bahwasanya Alquran adalah ciptaan Muhammad atau ada campur tangan manusia di dalamnya, atau  pernyataan bahwa Alquran ada produk budaya. Konsep ini lebih mudah diterima daripada pernyataan menggelitik bahwa Alquran adalah 100% dari Tuhan dan 100% dari Muhammad.
        Bila Fazlur Rahman mempunyai double movement, Sharur punya the limit. Keduanya sama-sama membuka peluang untuk mengeluarkan hukum yang diadaptasikan dengan keadaan kontemporer. Pemotongan tangan pencuri bagi Fazlur Rahman tidak manusiawi, itu adalah tradisi Arab, bukan Islam. Ideal moral dalam potong tangan adalah memotong kemampuan pencuri untuk melakukan pencurian lagi. Sesuai dengan keadaan sekarang, potong tangan tak cocok diterapkan, tapi bisa diganti dengan penjara atau denda yang berat. Sedikit berbeda dengan teori the limit, dalam konteks teori ini, potong tangan tentunya adalah batas maksimal hukuman bagi pencuri. Pada waktu dan ruang yang berbeda, hukuman pencuri bisa saja lebih ringan dari potong tangan, tapi bagaimanapun hukuman itu disesuaikan dengan keadaan ruang dan waktunya, hukuman itu tidak boleh melebihi potong tangan.     

BIBLIOGRAFI
Abdullah, Zulkarnaini. 2007. Yahudi Dalam Al-Qur'an. Yogyakarta: eLSAQ Press
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Christmann, Andreas. 2009. The Qur'an, Morality and Critical Reason. Leiden: Brill
Engineer, Asghar Ali. 2005. The Qur'an, Women and Modern Society. New Delhi: New Dawn Press 
Faiz, Fachruddin. 2011. Hermeneutika Al-Qur'an. Yogyakarta: eLSAQ
Al-Kashmiri, Muhammad Anwar Shah. Musykilat al-Qur'an. Gujarat: Majlis Ilmi
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika. Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Panicker, P. L. John. 2006. Gandhi On Pluralism and Communalism. Delhi: Cambridge Press
Shahrur, Muhammad. 2008. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur'an, terj. Shahiron Syamsuddin. Yogyakarta: eLSAQ Press
 _______"Bi-nass al-Qur'an al-Karim: kull atba' al-diyanat al-samawiyya muslimun" (“According to the Text of the Noble Qur'an: All the Followers of the Heavenly Religions Are Muslims.”) Rawz al-Yusuf (Egypt), no. 3988 (19 Nopember 2004)
_______"Al-Gharb…wa’l-islam" (“The West…and Islam.”) Al-Ittihad (UAE), (April 2004) — (lihat juga: www.shahrour.org).
_______"Al-Harakat al-islamiyya lan tafuz bi’l-shar'iyya illa idha tarahat nazhariyya islamiyya mu'ashira fi’l-dawla wa’l-mujtama'" (“The Islamic Movements Will Only Gain Legality If They Propose A Contemporary Theory of State and Society.”) Akhbar al-'Arab al-Khalijiyya (UAE), no. 21 (17 Desember 2000)
_______"Al-Harakat al-libraliyya rafadat al-fiqh wa-tashri'atiha wa-lakinnaha lam tarfud al-islam ka-tawhid wa-risala samawiyya" (“The Liberal Movements Have Rejected Islamic Jurisprudence and Its Legislations, and Yet They Did Not Reject Islam As Monotheistic Belief and Divine Message.”) Akhbar al-'Arab al-Khalijiyya (UAE),no. 20 (16 Desember 2000)
_______"Al-Irhab wa-Harb al-mustalahat" (“Terrorism and the War of Words.”) Al-Ittihad (UAE), (April 2004)—(lihat juga: www.shahrour.org).

_______“Modernists”, Islam 21 (UK), (Januari 1999)
_______"Qawl fi’l-Hurriyya" (“The Talk About Freedom.”) Taqrir al-Tanmiyya al-Insaniyya al-'Arabiyya, Markaz Ibn Khaldun (Egypt), (Maret 2003)
_______“The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies.” Muslim Politics Report (14 Agustus 1997)
Sibawaihi. 2007. Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Al-Thabari, Abu Ja'far. 2000. Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, Juz II. Muassasah al-Risalah
Thompson, John B. 2005. Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. Terj. Abdullah Khozin Afandi. Surabaya: Visi Humanika
Zaid, Nashr Hamid Abu. 2003. Menalar Firman Tuhan. Bandung: Mizan  
 

Minggu, 07 April 2013

PRO DAN KONTRA TERHADAP HERMENEUTIKA

Oleh: Yaser Amri

Ketika membaca judul di atas maka perlu dipahami bahwa yang menjadi pro dan kontra dalam kancah perdebatan intelektual muslim adalah hermeneutika sebagai metode memahami Alquran atau penerimaan hermeneutika sebagai salah satu metode tafsir yang sejajar dengan ulum al-tafsir, bukan hermeneutika sebagai metode untuk memahami teks selain Alquran dan hadis. Bila kita peta-kan sikap intelektual muslim Indonesia dari penerimaannya terhadap hermeneutika, kita akan melihat dengan jelas sebagian besar dari yang pro hermeneutika adalah kalangan pemikir liberal yang berlatar pendidikan barat, sedangkan yang kontra kebanyakan berasal dari pemikir fundamental yang berlatar pendidikan timur tengah, sebagian lagi adalah kelompok moderat yang lebih suka berada pada daerah abu-abu, tidak memilih pro atau kontra, atau antara menerima sebagian dan menolak sebagian lainnya. Namun pemetaan tersebut bukanlah pembagian yang mutlak, karena sebagian "jebolan" barat ada juga yang tidak liberal, dan sebaliknya keluaran timur tengah juga ada yang mempunyai pemikiran liberal.

Hermeneutika sejatinya adalah metode menafsirkan teks, diambil dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan atau dari kata bendanya hermeneia yang artinya penafsiran. Tampaknya kata itu diambil orang Yunani dari nama tokoh mitologis Hermes, seorang utusan dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Pada awalnya hermeneutika merujuk pada aktifitas menafsirkan teks mitos untuk memahami makna terdalam di balik kata-kata, yang telah dimulai oleh Hommer dan Hesoid. Pada perkembangan sejarah hermeneutika, akitiftas memahami makna terdalam di balik kata tersebut juga dilakukan pada teks kitab suci, seperti yang dilakukan oleh Philo von Alexandrien terhadap teks Perjanjian Lama.

Dia mencoba mengungkap makna literal dan allegoris untuk mengetahui makna yang terdalam dari teks. Kegiatan ini mungkin bisa disamakan dengan takwil dalam tradisi Islam. Seiring dengan perjalanan waktu, hermeneutika, singkatnya menjadi metode penafsiran Bible pada masa renaissance abad 19 dan 20, yang dimulai oleh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834). Ia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern karena menghidupkan kembali hermeneutika sebagai seni penafsiran dalam tradisi gereja. Teori
hermeneutika Schleimacher berangkat dari dua hal: pemahaman kebahasaan dari sebuah teks, dan pemahaman psikologis terhadap pengarang teks. Karena itulah hermeneutika ini disebut juga dengan hermeneutika romantis. Willhem Dilthey kemudian mengkritik pendahulunya, Schleiermacher, Menurutnya, manusia tidak sekedar makhluk bahasa, yang hanya mendengar, menulis dan membaca untuk kemudian mehamami dan menafsirkan. namun
lebih dari itu, manusia merupakan makhluk eksistensial, yang memahami dan menafsirkan
dalam setiap aspek kehidupannya, dimana ekspresi kebahasaan adalah hasil dari pengalaman penutur bahasa. Sisi psikologi manusia tidak dapat dipisahkan dari sisi “eksternal-nya”, karena manusia adalah produk sistem sosial. Hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, yang berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa saja”, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Hermenetika Dilthey ini kemudian disebut dengan hermeneutika metodis. Sementara itu, Husserl menawarkan fenomenologi untuk melacak keteraturan sistemik dalam persepsi dan pemahaman melalui kepastian terhadap pengetahuan dunia objektif. Yaitu dengan cara menerima apa yang sebenarnya terlihat dalam fenomena, dan menggambarkannya secara jujur. Untuk bisa memahami teks Husserl harus menghilangkan prasangka dan membiarkan teks berbicara sendiri. Haidegger sebaliknya justru menentang hermeneutika fenomenologi Husserl, yang mengharuskan netralitas penafsir. Menurutnya, pemahaman harus didahului dengan prasangka-prasangka akan objek. Murid Heidegger, H. G. Gadamer, berpendapat bahwa pemahaman yang benar terhadap teks akan dapat dicapai malalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Hermeneutika Gadamer disebut juga dengan hermeneutika dialogis. Gadamer lah yang mengembangkan hermenutika teori menjadi filsafat. Setelah itu muncullah hermeneutika jenis baru yaitu hermeneutika kritis dengan tokoh-tokohnya seperti Jurgen Habermas dan Jacques Derrida.

Demikianlah banyaknya jenis-jenis hermeneutika dengan berbagai ide tokoh- tokohnya untuk dapat memahami teks, dan jenis-jenis tersebut tentunya bukanlah produk final, tapi masih terbuka kemungkinan untuk munculnya bermacam jenis lain. Variasi jenis tersebut sebetulnya menunjukkan spirit yang mendasari hermeneutika, yaitu semangat
pluralitas pemahaman. Semangat itu sebetulnya juga dimiliki oleh khazanah Islam dalam
konteks memahami ayat Alquran, terbukti dengan banyaknya jenis tafsir yang muncul
serta variasi penafsiran dalam tradisi Islam klasik. Metode memahami makna terdalam dari teks juga sebenarnya sudah ada dalam tradisi Islam, yaitu takwil, meskipun hanya terbatas pada ayat-ayat tertentu yang dianggap mempunyai makna yang ambigu. Maka sebenarnya hermeneutika pada taraf-taraf tertentu sudah dilakukan oleh intelektual muslim klasik hanya saja tafsir klasik belum berani menyentuh hal-hal yang sudah menjadi kesepakatan, seperti mengharamkan poligami, mengahalalkan perkawinan wanita muslimah dengan non-muslim, menyamakan bagian waris laki-laki dengan perempuan atau membolehkan kawin kontrak.

Sebenarnya mayoritas intelektual muslim atau bahkan umat Islam mainstream menerima perbedaan pendapat atau ikhtilaf karena itu adalah sebuah keniscayaan. Dalam menentukan sebuah hukum, misalnya, seorang mufti dibebaskan untuk berijtihad, dan ijtihadnya tetap dianggap baik meskipun ternyata salah. Ikhtilaf tersebut bisa saja tentang hal-hal yang berada pada wilayah furu' mau pun ushul, selama dia bukanlah masalah yang qath'i. Terkait dengan hermenutika, intelektual muslim terpecah menjadi tiga kelompok; menerimanya, menolaknya, menerima sebagiannya saja. Hal-hal yang menjadi sumber penolakan kelompok yang kontra biasanya berkisar pada asal-usul hermeneutika yang bukan dari lingkungan Islam, pengabaian sifat transenden teks, dan pemahaman yang serba benar.

Alasan yang paling konyol terhadap penolakan hermeneutika adalah bahwasanya dia berasal dari barat. Nampaknya penolakan ini didasari oleh semangat anti barat, sehingga apa yang berasal dari barat atau mengandung nilai-nilai budaya barat akan ditolak tanpa harus menimbang lagi manfaatnya. Sikap ini muncul awalnya adalah sebagai reaksi atas modernisme barat, penolakan atas modernitas itu kemudian bergeser menjadi anti barat. Sikap ini memang biasanya ada pada kelompok yang menyebut diri mereka muslim fundamentalis.

Alasan lain adalah bahwa dalam hermeneutika penafsir bisa mengetahui makna lebih baik dari pembuat teks. Pernyataan ini muncul dari Dilthey, bila aspek sejarah dipertimbangkan lebih mendalam maka penafsir bisa merekonstruksi makna lebih baik dari
pengarangnya sendiri. Hal ini hanya mungkin applicable terhadap teks-teks selain Alquran, karena pengarang Alquran (Allah) tidak mungkin tidak memahami isi Alquran, Alquran sampai kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab yang masih exist sampai sekarang, tanpa perlu juga menerjemahkannya dari bahasa tuhan ke bahasa Arab. Berbeda dengan Perjanjian Lama yang bahasa aslinya sudah punah, atau Bible yang penulisnya mendapat inspirasi dari roh kudus, seperti Markus, Yohanes, Matius dan lain-lain. Bagi keduanya, pembaca memungkinkan mengetahui teks yang ada sekarang ini lebih baik dari penulisnya. Oleh karenanya, Yunahar, salah satu ketua PP Muhammadiyah menyatakan bahwa hermeneutika
tidak cocok dipakai untuk memahami Alquran.

Sikap kritis hermeneut yang curiga bahwa teks tidak pernah lepas dari kepentingan-
kepentingan tertentu juga tidak cocok dikenakan pada teks Alquran, karena seperti yang telah diterangkan di atas, Alquran secara lafaz dan makna berasal dari Allah (lafzhan wa ma'nan minallah). Sayangnya, beberapa sarjana muslim pendukung hermeneutika justru menolak ini, agar hermeneutika bisa diterapkan pada Alquran. Mereka menolak teks dan makna Alquran berasal dari Tuhan. Menurut mereka, makna Alquran memang berasal dari tuhan, namun teks yang sampai ke kita adalah buatan manusia yang tak terlepas dari kungkungan budaya. Sebagian lain beranggapan bahwa teks dan makna berasal dari tuhan, namun manusia tak mempunyai kemampuan untuk menangkap makna dari tuhan yang absolut dan tak terhingga itu. Oleh karena itu perbedaan dalam memahami teks untuk mendapatkan makna tuhan jamak adanya, sehingga tidak ada yang berada pada posisi benar-benar salah atau yang pasti benar, dengan sendirinya kebenaran menjadi sangat relatif.

Pernyataan sebagian hermeneut muslim bahwa Alquran adalah produk budaya, seperti Nashr Hamid Abu Zaid, Arkoun, Bassam Tibi, Fazlur Rahman, ditentang keras oleh intelektual muslim mainstream. Nashr sendiri terpaksa meninggalkan Mesir karena di sana beliau dianggap murtad dan harus bercerai dengan istrinya. Sedikit berbeda dengan rekan-rekannya, hermeneutika Muhammad Shahrur bisa dikatakan selamat dari masalah transendensi Alquran, berkat teori inzal dan tanzilnya. Menurutnya turunnya Alquran melewati dua proses ini, inzal, yaitu turunya Alquran yang dalam bahasa Tuhan ke
lauhul mahfuz, setelah itu proses tanzil, yaitu turunnya Alquran yang dalam bahasa Arab ke Nabi Muhammad, dan ia tidak punya peran apa-apa dalam membentuk teks bahasa Arab
tersebut. Ini bersesuaian dengan pemahaman mainstream yang mengatakan bahwa teks dan
makna berasal dari Tuhan, bahkan susunan Alquran pun sudah ditertibkan Allah, bukan
manusia. Oleh karenanya teks Alquran menjadi sakral dan membacanya saja tanpa pengertian sudah dihitung ibadah. Berbeda dengan sebagian hermeneut yang mengabaikan sakralitas teks, Shahrur justru mendukung kesakralan teks, menurutnya teks yang sakral itu lah yang dimaksud dengan al-Dzikr. Dalam shalat, teks yang sakral ini lah yang harus dibaca, tidak boleh diganti dengan yang lain, meski tanpa pengertian tentang teks tersebut, shalat tetap menjadi sah. Menurut analisa penulis, beberapa ciri khas hermeneutika produk intelektual muslim yang kontroversial tidak ada pada karya Shahrur, seperti demitologi, dan menghilangkan sakralitas kitab suci, namun sebagai karya hermeneutis tentu dia tak terlepas dari kontekstualisasi, itu pun terbatas pada hukum-hukum had yang zhanni dilalah, dan terbatas pula dalam wilayah diantara batas hukum maksimal dan minimal.

Rasanya memang terlalu mengecilkan kekuasaan Tuhan bila kita berpendapat bahwa Tuhan butuh manusia yang bisa menafsirkan bahasa Tuhan ke dalam bahasa yang dimengerti manusia sedangkan Tuhan maha kuasa. Bahasa Arab bukanlah hal yang terlalu sulit bagi Tuhan. Mudah saja baginya untuk membuatkan teks yang langsung dalam bahasa manusia (bahasa Arab). Tahapan dalam turunnya Alquran bukanlah berarti Tuhan tidak bisa menurunkannya dalam sekali waktu. Alquran diturunkan bertahap agar manusia bisa mengingatnya, mudah memahaminya karena disesuaikan dengan kebutuhan turun dan sebab
turunnya. Alangkah naïfnya kita bila beranggapan bahwa budaya lah yang membentuk

Kembali pada kenyataan bahwa hermeneutika Shahrur dalam beberapa hal berbeda
dengan yang lainnya, Fazlur Rahman juga berbeda dalam beberapa hal dengan yang
lainnya, menunjukkan bahwa hermenutika sebagai produk memang tidak sama dan berbeda-
beda. Bila kita bisa sependapat dengan Faiz, untuk melihat hermeneutika bisa dibedakan
antara sebagai alat dan produk, mungkin kita bisa menerima hermeneutika sebagai alat
yang tentunya bebas nilai. Mungkin malah kita pun bisa memilah-milah dan menerima
sebagian dan menolak sebagian produk hermeneutika. Jadi hermeneutika yang merupakan
alat tentunya tidak bertentangan dengan Islam, karena semua tergantung dari pemakai alat tersebut, dan hermeneutika sebagai produk tentu tidak semuanya salah sehingga kita juga bisa menerima sebagiannya. Sayangnya, sebagian dari kelompok yang kontra pun tak bisa menerima bahwa hermeneutika sebagai alat adalah free value. Mungkin memang masih
perlu kajian yang lebih mendalam untuk menempatkan apakah sebuah metode semacam hermeneutika adalah value-laden atau kah value-free. Masalah ini saja umat Islam tidak bisa menentukan apakah metode bisa bebas nilai seperti posisi ilmu, meskipun diperoleh dari luar Islam, atau kah dia tetap membawa nilai-nilai yang tidak Islami.

Hamid Fahmi Zarkasyi adalah salah satunya yang tidak bisa menerima hermeneutika, meskipun sebagai alat, bukan produk. Menurut beliau hermeneutika tidak bisa lepas dari
tiga pengaruh; (1) Milieu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. (2) Milieu
masyarakat Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi yang dimaksud. (3) Milieu masyarakat Eropa pada zaman pencerahan yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan
membawa hermeneutika keluar dari konteks keagamaan. Zarkasyi menyimpulkan bahwa heremeneutika dengan kedua genrenya, alegoris dan gramatikal adalah metode pemahaman
yang merupakan produk kebudayaan Yunani. Karenanya dipandang tidak bebas nilai.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada Zarkasyi, penulis merasa beliau terlalu berlebihan menilai hermeneutika. Hermeneutika sebagai sebuah alat tentunya tidak dipengaruhi oleh budaya mana pun sebagai mana ilmu biologi, matematika, atau pun fisika yang tidak dipengaruhi oleh budaya mana pun. Namun, sebagai produk, bahkan ilmu-ilmu tersebut diatas pernah berkaitan dengan mitos dan budaya tertentu, seperti paham yang mengatakan bahwa bumi datar, matahari mengelilingi bumi dan sebagainya. Sebenarnya setiap ilmu tak lepas dari sejarahnya masing-masing, namun dalam perjalanan sejarahnya dia melepaskan pengaruh budaya dan berjalan menuju arah yang lebih murni. Tak bedanya dengan hermeneutika, metode itu terus berkembang dan berjalan menuju kemurnian, tak perduli dari mana dia berasal. Terlepas dari itu semua, metode gramatikal dan alegoris bukanlah hal baru dalam khazanah tafsir klasik, sehingga agak aneh kalau beliau alergi dengan kedua metode itu.

Penulis sendiri tidak berada pada posisi sebagai pendukung hermeneutika secara totalitas, dan bukan juga termasuk yang kontra secara membabi buta. Beberapa pandangan
Ahmad Khan, Maulana Azad, Nashr, Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, Fazlur Rahman,
Shahrur dan hermeneut muslim lainnya tidak bisa penulis terima terutama yang berkaitan
dengan wilayah qath'I dilalah. Namun, sebagian dari ide-ide baru mereka tentunya tidak
bertentangan dengan ajaran pokok agama Islam dan sebagian idenya lagi menggugah selera
untuk dikaji lebih lanjut. Terlepas dari itu semua, hermeneutika meniscayakan adanya
beberapa teori untuk diaplikasikan ke dalam penafsiran al-Qur’an. Pertama, teori kesadaran sejarah dan teori pra-pemahaman dan kehati-hatian dalam menafsirkan teks al-Qur’an; kedua, teori fusion of horizons, horizon teks (studi atas apa yang ada dalam teks dan apa yang melingkupi teks) dan horizon penafsir (reaktualisasi dari nilai yang terkandung); ketiga, teori aplikasi (Anwendung) dan interpretasi ma’na cum-maghza (maqasid al-syari'ah).