Pembekalan PPL Tahun 2012

Yaser Amri, MA (kanan) saat memberikan materi pada kegiatan Pembekalan Mahasiswa PPL Tahun 2012.

Gedung Tarbiyah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2011 lalu.

Gedung Dakwah

Gedung Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mulai digunakan pada Tahun 2013.

Gedung STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa merupakan perguruan tinggi satu-satunya yang berprediket Negeri di Kota Langsa

International Conference

Pose ketika mengikuti Konferensi Internasional di STAIN ZCK dan AICIS

Tampilkan postingan dengan label ilmu kalam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu kalam. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 April 2013

MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

Term muhkamat dan mutasyabihat telah menjadi pembicaraan sejak masa klasik, dan masih menarik untuk dibicarakan pada saat ini. Umumnya ulama tafsir dan mutakallimun punya pendapat yang sama tentang muhkamat namun berbeda tentang  term yang kedua, baik tentang arti mutasyabihat sendiri maupun tentang apakah ayat-ayat mutasyabihat bisa dipahami manusia atau tidak karena kesamaran maknanya.
 Sama kita ketahui bahwa Alquran menyebutkan kata muhkamat dan mutasyabihat dalam beberapa ayatnya, antara satu dan lain ayat sekilas nampak bertentangan menyangkut kedua term tersebut.


Pada surat Hud ayat 1 dikatakan bahwa Alquran keseluruhannya adalah muhkamat.
 الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif, Laam, Raa'. Al-Quran sebuah Kitab yang tersusun ayat-ayatnya dengan tetap teguh, kemudian dijelaskan pula kandungannya satu persatu. (Susunan dan penjelasan itu) adalah dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana, lagi Maha Mendalam pengetahuanNya.
 

Sementara pada tempat yang lain, surat Al-Zumar ayat 23 mengatakan bahwa Alquran seluruhnya adalah mutasyabihat.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan iaitu Kitab Suci Al-Quran yang bersamaan isi kandungannya antara satu dengan yang lain (tentang benarnya dan indahnya), yang berulang-ulang (keterangannya, dengan berbagai cara); yang (oleh kerana mendengarnya atau membacanya) kulit badan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka menjadi seram; kemudian kulit badan mereka menjadi lembut serta tenang tenteram hati mereka menerima ajaran dan rahmat Allah. Kitab Suci itulah hidayah petunjuk Allah; Allah memberi hidayah petunjuk dengan Al-Quran itu kepada sesiapa yang dikehendakiNya (menurut undang-undang peraturanNya); dan (ingatlah) sesiapa yang disesatkan Allah (disebabkan pilihannya yang salah), maka tidak ada sesiapa pun yang dapat memberi hidayah petunjuk kepadanya.


Tidak seperti kedua ayat di atas, ayat berikut ini (ali Imran: 7) justru mengatakan bahwa sebagian dari Alquran adalah muhkamat dan sebagiannya lagi adalah mutasyabihat.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia lah yang menurunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab Suci Al-Quran. Sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat "Muhkamaat" (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. Dan yang lain lagi ialah ayat-ayat "Mutasyaabihaat" (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). Oleh sebab itu (timbulah faham yang berlainan menurut kandungan hati masing-masing) - adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut yang disukainya). Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu agama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" Dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang yang berfikiran.


Ketiga ayat di atas menjadi dasar pembahasan tentang term muhkamat dan mutasyabihat. Berangkat dari sini para ulama kemudian memberi makna terhadap muhkamat dan mutasyabihat, tentunya makna yang bisa mengakomodir ketiga ayat di atas, dalam arti makna yang sesuai dengan ketiganya sekaligus, karena kita tentunya meyakini bahwa ketiga ayat di atas benar adanya dan tidak mungkin mengandung kesalahan, justru pemahaman terhadap ketiga ayat tersebutlah yang mempunyai potensi benar dan salah.

Pengertian Muhkamat dan Mutasyabihat
Secara etimologis muhkamat berasal dari ahkama, akar katanya adalah hakama yang memiliki arti menghalangi, menahan, memilih yang terbaik dari dua hal. Hakamtu daabbah artinya saya menahan binatang itu. Hukm berarti memutuskan antara dua hal. Hakim berarti orang yang menahan atau mencegah kezaliman, yang memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, dan memilah yang haq dan yang batil. Sementara Ahkama memiliki arti ketelitian, keakuratan, ketelitian, kekukuhan, pencegahan dan keseksamaan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam al-murad bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir) Jadi, yang dimaksud kalam muhkam adalah perkataan yang kokoh, benar, jelas dan tegas. Mutasyabihat berasal dari kata tasyabaha, akar katanya adalah syabaha, memiliki arti mirip, serupa. Setelah diberi tambahan ta (tasyabaha) maka dia mengandung arti kemiripan atau keserupaan antara dua hal, yaitu apabila satu hal serupa dengan yang lainnya sehingga menjadi samar seperti termaktub dalam ayat 70 surat al-Baqarah.
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ
Mereka berkata lagi: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, supaya diterangkanNya kepada kami lembu betina yang mana itu? Kerana sesungguhnya lembu yang dikehendaki itu samar bagi kami (susah kami memilihnya), dan kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk mencari dan menyembelih lembu itu)".


 Jadi, mutasyabih adalah ungkapan yang maksud dan maknanya samar (ma khafiya bi nafs al-lafzh). Tasyabuh juga bisa berarti serupa atau mirip saja tanpa bermaksud /mengandung arti samar. Tasyabuh al-kalam adalah kesamaan serta kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.


Secara terminologi muhkamat dan mutasyabihat berarti:
1.    Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas maknanya. Sedangkan mutasyabihat tidak jelas maknanya
2.    Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara lansung tanpa membutuhkan keterangan lain. Sedangkan mutasyabih butuh penjelasan
3.    Muhkam adalah ayat yang dalalhnya kuat baik maksud maupun lafaznya. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang lemah dalalahnya, bersifat mujmal, sehingga memerlukan ta’wil
4.    Muhkam adalah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau konteksnya
5.    Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat di dalam sholat lima waktu.
6.    Muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib di amalkan. Adapun mutasyabih yaitu ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam serta yang wajib di imani tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud.
7.    Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi  (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah SWT mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini di bangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
8.    Muhkamat adalah ayat-ayat hukum Tuhan yang berkaitan langsung dengan manusia seperti hudud, akhlaq, faraid, halal dan haram. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat hukum Tuhan yang berkaitan dengan alam dan Tuhan sendiri seperti ilmu tentang ketuhanan dan hukum alam. 


Surat Hud ayat 1 yang menyatakan bahwa Alquran seluruhnya adalah muhkamat bisa dipahami bahwa seluruh ayat Alquran adalah kokoh, tidak mungkin diganti atau dirubah, akurat dalam arti ayat-ayat tersebut tidak meleset tujuannya, kekokohan ayat-ayat Alquran terlihat dari  kekokohan perkataannya yang memisahkan yang benar dan yang salah. Susunan lafal Alquran dan keindahan Nazmnya sangat sempurna tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya. Sementara surat al-Zumar ayat 23 yang menyatakan bahwa Alquran seluruhnya adalah mutasyabihat dapat dipahami bahwa seluruh ayat Alquran sebagai kalam Tuhan mempunyai kemiripan dan kesamaan sehingga ketika dibacakan orang akan tau bahwa itu adalah kata-kata Tuhan. Ayat-ayat itu juga menyerupai satu sama lain dan tidak saling bertentangan, sebagiannya menyerupai sebagian yang lain dalam kebenarannya dan hikmat. Dengan begitu kata muhkamat dan mutasyabihat pada kedua ayat tersebut berbeda konteksnya dengan Ali Imran:7 sehingga makna yang dibawanya pun tentu akhirnya berbeda.

Penerimaan Ulama terhadap Mutasyabihat.
Meskipun Alquran menegaskan bahwa didalamnya termuat ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, namun tak ada kepastian ayat-ayat mana saja yang termasuk kategori muhkamat dan mana pula yang mutasyabihat sehingga tidak diketahui pula dengan pasti berapa jumlah ayat yang muhkamat dan berapa yang mutasyabihat. Sebuah ayat bisa saja dianggap muhkamat bagi sebagian kelompok dan mutasyabihat bagi kelompok lain, meski beberapa ayat juga bisa saja disepakati sebagai mutasyabihat.


Ulama juga berbeda pendapat tentang kemampuan manusia untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat. Sebagian mengatakan bahwa hanya Tuhan saja yang mengerti tentang makna ayat-ayat itu, manusia hanya mengimaninya saja. Sikap ini dianut oleh mazhab salaf. Kata-kata dalam ayat mutasyabihat dikembalikan maknanya pada makna yang pernah disebutkan oleh ayat-ayat muhkamat. Misalnya kata ‘tangan’ dan ‘wajah’ pada yad Allah fawqo aidihim dan kullu syaiin halikun illa wajhah diyakini sebagai tangan dan wajah namun dalam arti yang dimaksud oleh ayat muhkamat laysa kamistlihi syai’un. Sehingga, meskipun Allah mengatakan ‘tangan’ dan ‘wajah’ tapi harus dipahami bahwa Allah tidak menyerupai apa pun sehingga ‘tangan’ dan ‘wajah’ yang bagaimanapun yang pernah terpikir oleh manusia pasti bukanlah bentuk ‘tangan’ atau ‘wajah’ Allah. Oleh karena kaum salaf tidak berani memberikan makna terhadap kata-kata yang mengandung tajsim, maka mereka membiarkan saja ayat itu tidak dapat dimengerti, khawatir akan menjadi syirik karena memberikan wujud/bentuk pada Tuhan.

Sebagian ulama menolak untuk membiarkan ayat Alquran tidak bisa dipahami karena Alquran dibuat dengan bahasa Arab yang jelas (QS. Al-Syu’ara’: 195), mustahil orang Arab tidak bisa memahaminya. Aneh rasanya bila Tuhan kemudian memberikan Alquran kepada manusia sebagai petunjuk namun ada ayat-ayatnya yang tidak bisa dipahami. Sikap ini dianut oleh ulama mazhab khalafi. Mereka mencoba memahami ayat-ayat mutasyabihat dengan memberikan takwil terhadap ayat tersebut. Takwil adalah usaha memahami makna Alquran yang tersembunyi dengan menggunakan kemampuan bahasa dan ijtihad.


Perbedaan mazhab salaf dan khalaf berawal dari pemahaman tentang surat Ali Imran ayat 7. Mazhab salaf meyakini bahwa huruf waw sebelum kata al-rasikhun adalah waw isti’naf sehingga kalimat “wa al-rasikhun fi al-ilmi….” Adalah kalimat baru yang tidak terkait dengan kalimat sebelumnya. Dengan begitu, maknanya menjadi sebagaimana arti ayat Ali Imran:7 yang tertulis di awal malakah ….. Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu agama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami"…… . Ini menunjukkan bahwa yang tau takwil ayat mutasyabihat cuma Allah, sedangkan orang-orang yang rasikh dalam ilmu dan pengetahuan hanya mengimaninya saja. 


Sementara itu mazhab khalaf mengklaim bahwa waw di situ adalah waw athaf . Dengan begitu makna ayat tersebut menjadi Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu agama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami"… Ini menunjukkan bahwa takwil ayat-ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang rasikh dalam ilmu dan pengetahuan. Ayat ini kemudian menjadi dasar penolakan ulama salaf terhadap takwil Alquran, karena takwil hanya dilakukan oleh orang-orang yang hatinya cenderung pada kesesatan dan menginginkan tersebarnya fitnah. 


Setelah membaca makna term muhkamat dan mutasyabihat di atas serta penerimaan ulama terhadap ayat-ayat itu, ada penjelasan baru tentang kedua term tersebut oleh Muhammad Shahrur, yang layak untuk kita baca dan renungkan. Entah mengapa, penjelasan Shahrur menurut saya sensible, terlepas dari pro dan kontra terhadap tafsir hermeneutiknya. Penjelasan Sharur tentang Muhkamat dan Mutasyabihat telas saya postingkan sebelumnya dalam “Hermeneutika Muhammad Shahrur” .

REFERENSI
Abdullah, Zulkarnaini. 2007. Yahudi Dalam Al-Quran. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Abu Zaid, Nashr Hamid. 2003. Manalar Firman Tuhan. Bandung: Mizan.
Shahur, Muhammad. 2008. Hermeneutika Al-Quran. Yogyakarta. eSAQ Press.
http://afrinaldiyunas.blogspot.com/2011/12/ayat-ayat-muhkamat-dan-mutasyabihat.html
http://islamtradisionalis.wordpress.com/2012/01/27/mengenal-ayat-ayat-muhkamat-dan-mutasyabihat/
http://aufamaudy0408.blogspot.com/2011/12/makalah-ayat-ayat-muhkamat-dan.html
http://adnanmahdi.blogspot.com/2009/11/muhkamat-dan-mutasyabihat.html

Selasa, 08 Januari 2008

Aliran-aliran pemikiran dalam Islam

Introduction

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kat”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.

Munculnya perbedaan antara umat Islam

Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.

Pada masa nabi Muhammad berada di Madinah dengan status sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan, umat Islam bersatu di bawah satu kekuasaan politik. Setelah beliau wafat maka muncullah perselisihan pertama dalam Islam yaitu masalah kepemimpinan. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman pertikaian sesama umat Islam berikutnya terjadi ya pada pembunuhan Usman bin Affan, khalifah ketiga.

Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran.

Sikap Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa diperoleh melalui arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang yang terlibat arbitrase sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar” sehingga layak dibunuh.

Aliran-aliran teologi Islam

Persoalan “dosa besar” ini sangat berpengaruh dalam perkembangan aliran pemikiran karena ini masalah krusial yang menyangkut dengan apakah seseorang bisa menjadi kafir karena berbuat dosa besar dan kemudian halal darahnya. Aliran Khawarij mengatakan bahwa pendosa besar adalah kafir maka wajib dibunuh. Paham Khawarij ini memicu munculnya paham yang berseberangan yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun dosanya terpulang kepada Allah untuk mengampuninya atau tidak. Paham ini dilontarkan oleh aliran Murji’ah. Sementara aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir tapi juga tidak bisa disebut mukmin. Mereka berada pada posisi antara keduanya yang dikenal dengan istilah al-manzilah baina al-manzilatain.

Dalam hal apakah orang mempunyai kemerdekaan atau tidak dalam berbuat ada dua aliran yang saling bertentangan. Al-Qadariah mengatakan manusia merdeka dalam berkehendak dan berbuat, sebaliknya Jabariah menolak free will dan free act. Menurut Jabariah manusia bertindak dengan kehendak dan paksaan Tuhan. Segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham ini disebut sebagai fatalisme. Dalam masalah ini aliran yang sepaham dengan Qadariah adalah aliran Mu’tazilah yang juga mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan sesuatu sehingga manusia diminta pertangungjawaban atas perbuatannya. Sementara Abul Hasan al-Asy’ari (935 M) seorang pengikut Mu’tazilah yang keluar dari Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang disebut dengan Asy’ariah memilih posisi lebih dekat ke Jabariah.Menurutnya seluruh perbuatan manusia adalah atas kehendak Allah hanya saja manusia, menurutnya, bisa berikhtiar. Selain Asy’ariah, Tahwiah dan Maturidiah juga menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiah yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi disebut juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.