Minggu, 31 Maret 2013

STUDI TERHADAP PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN

Oleh: Maraimbang

A. Pendahuluan

Fazlur Rahman merupakan seorang pemikir yang cukup besar perhatian dan pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan umat Islam. Karena perhatiannya tersebut, salah seorang muridnya di tanah air, Ahmad Syafii Ma’arif mengatakan bahwa barangkali Fazlur Rahman-lah yang dipandang sebagai salah seorang yang paling serius memikirkan persoalan Islam di antara pemikir kontemporer yang ada jika diperhatikan kiprahnya yang dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya demi membangkitkan dan mengembang-kan intelektualitas umat Islam.

Memang, diakui maupun tidak, gagasan-gagasannya telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan intelektual di dunia Islam. Bahkan pengaruh pemikirannya begitu terasa di tanah air lewat banyaknya karya Fazlur Rahman yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan ini setidaknya merupakan bukti bahwa ide-ide Fazlur Rahman mendapat sambutan positif dan mempengaruhi umat Islam Indonesia.


B. Riwayat Hidup dan Karyanya

Fazlur Rahman dilahirkan pada 21 Sep-tember 1919 M/1338 di distrik Hazara, Punjab, suatu daerah di anak benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di sebelah barat laut Pakistan.[1] Ia dibesarkan dalam suatu keluaraga dengan tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup kuat. Oleh karenanya, sebagaimana diakuinya sendiri bahwa ia telah terbiasa menjalankan ritual-ritual agama, seperti shalat dan puasa se-cara teratur sejak masa kecilnya dan tidak pernah meninggalkannya.[2]
Dasar pemahaman keagamaan keluarganya yang cukup kuat itu dapat ditelusuri dari ayahnya yang bernama Maulana Shihab ad-Din, seorang ulama tradisional kenamaan lulusan  Dar al-‘Ulum, Deoband. Maulana Shihab ad-Din sendiri adalah seorang ulama modern, meskipun terdidik dalam pola pemikiran Islam tradisional,[3]
Ayahnya ini memiliki keyakinan bahwa Islam melihat modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang harus dihadapi. Keyakinan seperti ini pulalah yang kemudian dimiliki dan mewarnai kehidupan dan pemikiran Fazlur Rahman.[4]
Bekal dasar tersebut di atas memiliki pengaruh signifikansi yang cukup berarti dalam pembentukan kepribadian dan intelektualitas Fazlur Rahman pada masa-masa selanjutnya. Melalui didikan ayahnya, Fazlur Rahman menjadi sosok yang cukup tekun untuk menimba pengetahuan dari berbagai sumber dan media, termasuk karya-karya Barat. Pengajaran dan pendidikan tradisional ilmu-ilmu keislaman pada waktu kecil beliau terima dari ayahnya Maulana Shihab ad-Din di rumah. Pada usia 10 tahun, Rahman pun dapat menghafal Alquran. Selanjutnya pada usia 14 tahun, ia sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis dan tafsir. Apalagi setelah beliau menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Persia, Urdu, Inggris, Perancis, Jerman, Latin dan Yunani, semakin memperteguh kualitas intelek-tualitasnya.[5] Pengaruh ayah dan ibunya tersebut sangat kuat dalam membentuk kerangka pemikiran dan pengamalan keagamaan Fazlur Rahman. Sang ayah yang dididik dalam pola pemikiran Islam tradisional namun toleran terhadap nilai-nilai modernitas sebagai kenyataan sehari-hari. Dari ibunya diajarkan nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, ketabahan dan cinta. Kedua orangtuanya ini ikut memberikan bekal yang cukup signifikan dan mendasar terhadap pembentukan kepribadian dan keintelektualan Fazlur Rahman pada masa selanjutnya. [6]
Hal lain yang mempengaruhi Fazlur Rahman adalah tradisi mazhab Hanafi yang dianut oleh keluarganya dan ini yang membentuk pola pemikirannya dalam hal keagamaan. Tradisi mazhab Hanafi dikenal sebagai salah satu mazhab Sunni yang mengedepankan akal-logika. Ini menjadi modal landasan berpikir Fazlur Rahman untuk selalu berada di lajur pemikiran keagamaan yang bercorak rasional. Meskipun demikian, beliau tidak mau dikungkung oleh satu mazhab tertentu.[7]
Pemikiran keagamaan Fazlur Rahman juga banyak dipengaruhi pola pemikiran kalangan modernis dan sedikit tokoh-tokoh liberal Pakistan sebelumnya sebagaimana yang diajarkan oleh Syah Waliyullah ad-Dihlawi (1703-1762 M),[8] Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M),[9] Sayyid Amir Ali (1849-1928 M),[10] dan Muhammad Iqbal (1977-1938 M),[11] pada masa ini umat Islam di India sedang bergejolak dan berjuang membentuk negara sendiri yang bebas dari India, yaitu suatu negara yang berlandaskan ajaran Islam.
Pada tahun 1940, Fazlur Rahman menyelesaikan studinya pada program Bachelor of Art. Dan dua tahun kemudian ia meraih gelar Master dalam bahasa Arab. Kedua gelar ini diperolehnya dari Universitas Punjab, Lahore. Namun gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi di anak-benua India itu tampaknya lebih bersifat formalitas-akademia dibandingkan dengan aspeknya yang bersifat intelektual. Hal ini terbukti dari pernyataannya sendiri bahwa Pakistan tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual.[12] tentunya yang dimaksudkan dengan pernyataan-nya itu ialah dalam pengertian dasar intelektual yang memadai. Kritiknya terhadap sistem pendidikan Islam tercermin dari ungkapannya berikut: “Bila bahan bakar minyak bumi lenyap dari dunia, mungkin ada gantinya. Tetapi bila Islam yang lenyap, gantinya tidak akan ada lagi.”[13] Hal ini menunjukkan komitmen dan keprihatinan Fazlur Rahman terhadap kondisi pen-didikan dan intelektual umat Islam pada masa itu.

1. Pengembaraan Intelektual Pertama
Setelah memperoleh gelar Master of Art dari Universitas Punjab pada tahun 1946, ia melanjutkan studi ke Universitas Oxford Inggris, walaupun pada saat itu terdapat anggapan di kalangan umat Islam bahwa belajar ke Barat adalah sesuatu yang naif. Namun Fazlur Rahman tetap pada pendiriannya didasarkan atas ketidakpuasannya terhadap mutu pendidikan di negara-negara muslim, termasuk di Pakistan.[14]
 Di sini, selain mengikuti kuliah, Rahman aktif belajar bahasa-bahasa Barat, seperti bahasa Inggris, Yunani, Latin, Jerman, dan Perancis. Kemampuannya yang cepat menguasai berbagai bahasa sangat membantu memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studi-studi Islam melalui penelusuran terhadap literatur yang ditulis para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka.[15] 
Ketika Pakistan memisahkan diri dari India pada tanggal 14 Agustus 1947 dengan konsep dasar negara Islam, Fazlur Rahman kebetulan sedang menempuh studinya di Oxford University. Itulah sebab nantinya, ketika Ayub Khan tampil sebagai presiden Pakistan melalui suatu kudeta militer, ia berusaha mengakomodir pemikiran tokoh-tokoh Islam konservatif maupun modernis yang salah satunya adalah Fazlur Rahman.
Dalam waktu yang relatif singkat Fazlur Rahman menyelesaikan studinya pada tahun 1949 dengan meraih gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) di bawah bimbingan S. Van den Bergh dan Hamilton A. R Gibb dengan disertasi mengenai pemikiran Ibn Sina berjudul Avicenna’s Psychology. Pada tahun 1952, ia menerbitkan terjemahannya terhadap salah satu karya monumental Ibn Sina, yakni kitab al-Najat,[16] sehingga mengangkat reputasinya di kalangan sarjana ketimuran.
Setelah meraih gelar doktor, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke negerinya Pakistan, karena ia cemas terhadap kondisi negerinya ketika itu agak sulit menerima kehadiran seorang sarjana keislaman dari Barat.[17] Ia kemudian memutuskan untuk tinggal selama beberapa tahun di Barat dengan mengajar di Universitas Durham, Inggris. Ketika mengajar di Universitas ini, ia berhasil merampungkan karyanya Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy, yang diterbitkan pertama kali tahun 1958.
Karya ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama ini sarjana modern yang mengkaji pemikiran keagamaan umat Islam kurang menaruh perhatian terhadap doktrin kenabian, dan lebih terpusat pada masalah-masalah legal dan sosial praktis. Itulah sebabnya, karya Rahman ini memfokuskan perhatian pada area pemikiran religio-filosofis Islam tersebut.[18]
Selanjutnya Fazlur Rahman pindah dan mengajar di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada dan menjabat Associate Professor of Philopsophy sampai awal tahun 1960, di sini ia berkenalan dengan Wilfred C. Smith, salah seorang orientalis kenamaan yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies, McGill University.[19]

2.    Mengabdi di Tanah Air
Pada tahun 1960, Fazlur Rahman kembali ke Pakistan karena diminta oleh Ayub Khan, Presiden Pakistan untuk ikut berpartiaipasi dalam mem-bangun negara Pakistan.[20] Ketika itu, Pakistan menghadapi kontroversi antara kelompok tradisionalis-fundamentalis dengan kelompok modernis.[21] Presiden Ayub Khan, menunjuknya sebagai Direktur pada lembaga penelitian Institute of Islamic Research, yang berkedudukan di Karachi. Melalui lembaga ini, Rahman memprakarsai penerbitan Journal Islamic Studies, yang hingga sekarang secara berkala masih terbit dan merupakan jurnal ilmiah setaraf internasional.
Pada tahun 1962 ketika Fazlur Rahman diminta Presiden Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute), dan tahun 1964 sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam (The Advistory Council of Islamic Ideology), ia berusaha mengabdikan dirinya mewujudkan cita-cita tersebut, yaitu membangkitkan kembali visi Alquran dari puing-puing reruntuhan sejarah.[22] 
Sepanjang tahun 1968, terjadi kerusuhan dan pemogokan di mana-­mana yang mengungkapkan keberatan masyarakat terhadap pandangan Fazlur Rahman tentang; (1) Sunnah dan Hadis di mana ia mempertahankan kesahihan dan kenormatifan Sunnah Nabi. (2) Penyembelihan hewan secara mekanis. Pada musim semi tahun 1967, Fazlur Rahman menerima surat dari Kantor Komisaris Tinggi Pakistan di London yang mengabarkan bahwa, pemerintah Inggris meminta Pakistan untuk membuka usaha penyembelihan hewan secara mekanis. Fazlur Rahman kemudian membalas surat tersebut dan mengemukakan bahwa hewan hasil sembelihan mekanis itu halal, serta melampirkan teks fatwa Imam Syafi'i. Namun, secara tidak terduga isi surat Fazlur Rahman itu terbit di media cetak Pakistan tanggal 23 September 1967, sehingga sebagian besar khatib Jum'at mengutuk pandangannya itu.[23] Menanggapi hal itu, bulan September 1968 Fazlur Rahman mengundurkan diri sebagai Direktur Lembaga Riset Islam. Pada tahun 1969, ia juga melepaskan keanggotaannya dari Dewan Penasihat Ideologi Islam. Karena ada tawaran mengajar dari  University of California, Los Angeles (UCLA), akhirnya mendorong Fazlur Rahman untuk berhijrah ke Amerika, sebagai aktualisasi pemikiran kelak.

3.    Pengembaraan Intelektual Kedua
Salah satu alasan hijrahnya Fazlur Rahman ke Los Angeles, Amerika Serikat dapat dilacak pada sikapnya yang realistis dan sekaligus idealis. la menyadari gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak pernah menemukan lahan yang subur di Pakistan. Padahal menurut tokoh ini, vitalitas karya intelektual sangat tergantung pada suatu lingkungan intelektual yang bebas. Gagasan yang bebas dan gagasan itu sendiri adalah dua kata yang sinonim. Suatu gagasan tidak akan pernah survive tanpa adanya kebebasan. Jadi, pemikiran atau gagasan tentang lslam sama dengan pemikiran yang lain menuntut adanya kebebasan di mana dalam kondisi itu perbedaan pendapat, konfrontasi pandangan, dan perdebatan antara ide-ide itu dapat dijamin.[24]
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencoba mencurahkan seluruh aktivitas kehidupannya pada dunia keilmuan. Seluruh kegiatannya hanya berkisar pada aktivitas yang berkaitan secara langsung dengan aspek keilmuan. Bahkan kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya yang terletak di basement rumahnya yang terletak di Neperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. la sendiri dengan bercanda menggambarkan dirinya seperti seekor ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara.[25]
Konsistensi dan kesungguhan Fazlur Rahman dalam dunia intelektual dapat dibuktikan dari pengakuan lembaga keilmuan yang berskala internasional. Misalnya, pada tahun 1983 ia menerima penghargaan Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E. Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles. Fazlur Rahman adalah orang Islam pertama dan satu-satunya (sampai meninggalnya) yang menerima penghargaan itu.[26]
Pada pertengahan dasawarsa delapan puluhan kesehatan Fazlur Rahman mulai terganggu karena penyakit kencing manis dan jantung yang dideritanya. Bahkan ketika dokter pribadinya telah memberikan lampu kuning agar mengurangi kegiatannya, ia tetap memenuhi undangan pemerin-tah Republik Indonesia pada musim panas 1985. Di Indonesia, Fazlur Rahman tinggal selama 2 bulan, melihat keadaan Islam di negeri ini sambil beraudiensi, berdiskusi, dan memberi kuliah di beberapa tempat. Akhirnya, pada tanggal 26 Juli 1988 ia wafat di Amerika Serikat dalam usia 69 tahun setelah beberapa lama sebelumnya ia dirawat di Rumah Sakit Chicago.[27]

4.    Karya-Karya Utama
Kajian dan penelusuran terhadap karya-karya Fazlur Rahman dianggap perlu dalam rangka mencari benang merah gagasan dan pemikirannya yang dibahas dalam tulisan ini. Dalam pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkannya yang lebih dari seratus buah, tidak akan diungkap dan dijelaskan semua. Pembahasan hanya ditekankan kepada beberapa karyanya yang dianggap mewakili gagasan sentralnya.
Karya orisinal pertama Fazlur Rahman yang berbentuk buku adalah Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy, yang diterbitkan oleh George Allen and Unwire Ltd., London pada tahun 1958. Dalam buku ini, ia membandingkan antara pandangan kaum filosof dan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep kenabian dan wahyu. Kemudian, karya Fazlur Rahman bersifat historis adalah bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History, yang pada mulanya ditulis dalam bentuk artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Islamic Studies, mulai bulan Maret 1962 sampai juni 1963, ketika ia di Pakistan. Karya ini bertujuan untuk memperlihatkan evolusi historis terhadap aplikasi prinsip-prinsip dasar pemikiran Islam yang empat: Alquran, Sunnah, ijtihad, dan ijma', yang menjadi kerangka bagi semua pemikiran Islam, selain untuk menunjukkan peran aktual keempat unsur tersebut dalam perkembangan Islam.[28]
Buku Fazlur Rahman yang lain Islam, ia berusaha menjadikan Islam sebagai agama yang 'hidup' melalui pembedaan antara yang normatif dan historis. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1966 oleh Holt, Rinehart dan Winson. Pada tahun 1968, kembali diterbitkan pada edisi The Anchor Book tanpa ada perubahan. Kemudian pada tahun 1979 terbit edisi kedua yang diberi tambahan epilog.[29]
Dalam buku ini, Fazlur Rahman menyajikan perkembangan Islam selama empat belas abad perjalanan sejarahnya. la mengawali bahasannya dari sejarah Nabi Muhammad, kemudian dilanjutkan tentang Alquran, sunnah, hukum, teologi, filsafat, sufisme, sekte-sekte, pendidikan, serta gerakan pembaharuan, dan kemudian diakhiri dengan analisis kritis terhadap warisan Islam.
Setelah menulis tentang Ibn Sina pada awal kehidupan intelektualnya, Fazlur Rahman kemudian melahirkan karya berjudul The Philosophy of Mulla Shadra. Melalui buku yang diterbitkan pertama kali oleh State University of New York Press pada tahun 1975 itu, dia memperkenalkan secara kritis dan analitis dari pemikiran religio­ filosofis Mulla Shadra[30] (w. 1460 M), salah satu tokoh filsafat Islam.
Sebagai seorang intelektual Muslim, Fazlur Rahman berupaya tanpa henti untuk mencari metode yang tepat dalam menangkap arti Alquran secara utuh dan sistematis, yang melahirkan karyanya berjudul Major Themes of the Qur'an, yang edisi pertama diterbitkan pada tahun 1980 oleh Bibliotheca Islamica, Minneapolia, Chicago. Dalam setup wacana intelektual Fazlur Rahman, Alquran selalu dijadikan sebagai sumber rujukan utama. Wacana ini kembali digaungkannya dalam karya Islam and Modernity. Transforma-tion of an Intellectual Tradition, yang diterbitkan pertama kali oleh the University of Chicago Press, 1982.[31]
Fazlur Rahman kemudian mengangkat masalah kesehatan dan pengobatan dalam perspektif Islam melalui karyanya Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, yang diterbitkan pertama kali oleh Crossroad, New York, tahun 1987,[32] sebagai karya terakhir, dan lanjutan dari nilai yang terdapat pada karya-karya sebelumnya. Dalam buku ini ia menunjukkan sikap dan pandangan positif Islam dalam menangani masalah-masalah dasar ke-hidupan umat manusia. Fokus perhatiannya diletakkan pada bidang kesehatan, pemeliharaan dan pengobatan.
Selain karya yang berbentuk buku di atas, masih banyak lagi karya Fazlur Rahman yang lain berupa artikel-artikel yang diterbitkan dalam berbagai jurnal ilmiah. Tidak diragukan lagi, bahwa Fazlur Rahman telah memberikan kontri-busi yang cukup berharga bagi pengembangan wacana keislaman modern. Bila ditelusuri lebih lanjut, minimal ada lima aspek yang ditinggalkannya terhadap kajian Islam, khususnya di Amerika Serikat.
Pertama, Fazlur Rahman mampu menggabungkan antara tradisionalisme Islam Sunni, modernisme Islam dan skolastisisme Barat. Kedua, dalam mencari kebenaran, Fazlur Rahman melakukan inovasi secara berani dan apresiatif di antara sikap Islam dan sikap Barat. Ketiga, ia mengenalkan metodologi pengkajian Islam yang bersifat interdisipliner. Keempat, dengan sikapnya yang gentle, spirit dan intelektulitasnya yang tajam, menjadikan Fazlur Rahman dan pemikiran-nya diterima secara luas dalam pengkajian Islam di Amerika Serikat. Kelima, dia telah meninggal-kan warisan pemikiran kepada muridnya yang tersebar di berbagai universitas dan perguruan tinggi Amerika Serikat dan Kanada. Melalui murid-muridnya, gagasan-gagasan yang pernah dikemukakan Fazlur Rahman terus berkembang sampai saat ini.[33]
Dengan lima varian yang ditinggalkannya itu, Fazlur Rahman menjadi salah satu tokoh yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan Barat. [ ]

C. Pokok-Pokok Pemikiran Fazlur Rahman

1.    Wujud Tuhan
Fazlur Rahman dalam menerangkan gagasan tentang Tuhan dan alam semesta senantiasa mengacu pada Alquran sebagai sumber otoritas primer dan senantiasa aktual dan kontekstual dalam setiap masa dan keadaan dimana manusia berada.[34] Menurut Rahman, semua pernyataan Alquran tentang alam - ataupun Tuhan sekalipun- pada dasarnya menyatakan tentang keberadaan manusia. Hal ini ditunjukkan Alquran yang dengan tegas menolak untuk menyinggung masalah kekuasaan Ilahi – dengan mengutip beberapa ayat Alquran yang menyatakan bahwa,  Tuhan Maha Kuasa sebagai Pencipta alam semesta, dan manusia diberi pilihan dan diserahi tanggung jawab. Salah satu fungsi gagasan tentang Tuhan adalah menjelaskan keteraturan alam semesta sekaligus bahwa konsep Tuhan merupakan bagian dari logika yang inheren yang harus ada, dengan memberi pernyataan bahwa Tuhan bukan saja transenden tetapi juga imanen. Hal ini dibuktikan oleh ayat-ayat Alquran tentang hubungan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan.[35] 
Dalam pandangan Rahman, Tuhan itu memang dekat, namun bisa juga dipandang sangat jauh. Lebih lanjut katanya bahwa yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti teologis yang panjang lebar tentang eksistensi Tuhan, tetapai bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; secara harfiah dia adalah tak terhingga dan hanya Dia sajalah yang tak terhingga.[36] Mengutip pendapat Ibn Sina, perbedaan antara Allah sebagai Penvipta dengan makhluk sebagai ciptaanNya menurut Rahman adalah jika Allah ‘tak terhingga dan mutlak’  maka segala ciptaanNya adalah ‘terhingga’. Setiap sesuatu memang memiliki potensi-potensi tertentu, tetapi potensi-potensi  tersebut tidak dapat melampau keterhinggaannya dan menjadi ‘tak terhingga’.[37]

2.    Kenabian dan Wahyu

Fazlur Rahman mengemukakan tentang perbandingan antara pandangan kaum filosof dan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep kenabian dan wahyu. Pembahasannya dimulai tentang konsep akal manusia menurut Ibn Sina (w. 1037 M).[38] Dalam pandangan Ibn Sina, akal aktual manusia lebih merupakan cermin yang di dalamnya tiap-tiap bentuk sesuatu dan sebagai emanasi dari Akal Aktif (Active Intelligence) ditanamkan atau direfleksikan, dan kemudian diambil ketika manusia mengalihkan perhatian kepada sesuatu yang lain.[39] Pada manusia biasa, cermin itu tertutup akibat berhubungan dengan badan, atau penglihatannya berpenyakit. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan proses-proses yang bersifat perenungan dan sensitif yang akan menjadikan cermin itu bersih, atau diperlukan pengobatan terhadap penglihatan tersebut.[40]
Dalam perspektif Ibn Sina, manusia dapat berhubungan dengan Akal Aktif ketika manusia telah mencapai akal aktual (actual intellect), dan selanjutnya melalui latihan-latihan akan dapat mencapai akal mustafad (acquirred intellect). Dalam taraf ini, manusia sudah tidak dapat diatur lagi oleh orang lain dalam hal apapun. Bahkan, ia benar-benar telah memperoleh semua pengetahu an dan makrifat, serta tidak memerlukan orang lain untuk mengatur dirinya dalam segala hal.[41]
Wahyu datang pada orang yang telah mencapai tingkat ini. Namun dalam masalah kenabian, proses-proses itu tidak diperlukan lagi karena seorang Nabi dari sifatnya adalah murni; dan karena itu ia secara langsung dapat berhubungan dengan Akal Aktif.[42] Pembahasan doktrin intelek dalam kenabian menurut pandangan kaum filosof, dengan mengangkat al-Farabi[43] (w. 956 M) dan Ibn Sina, merupakan pembahasan bagian pertama dan kedua buku Propechy in Islam Philosophy and Ortodoxy.
Pada bagian ketiga, Fazlur Rahman mengangkat masalah kenabian dari perspektif ortodoksi yang dikemukakan oleh ahli ilmu kalam. Ada tiga aliran utama dalam teologi skolastik mengenai kenabian. Pertama, adalah ‘mutakallimun dogmatik’ yang memperbolehkan penggunaan akal secara terbatas untuk menjelaskan dan mendukung dogma. Aliran ini diwakili oleh al-Syahrastani[44] (w. 1153 M) dan merupakan aliran ortodoksi terbesar. Kedua, aliran yang berbentuk dogmatisme akat yang mengabaikan akal dan hanya menggunakannya untuk menyerang posisi-posisi kaum rasionalis, yang diwakili oleh Ibn Hazm[45] (w. 1064 M). Ketiga, adalah pandangan yang berdiri di antara dua aliran yang menerima penggunaan akal, namun menolak kaum filosof dan pemikirannya secara total, Serta menolak sufisme tetapi menekankan nilai-nilai spiritual dalam kerangka Islam. Aliran terakhir ini direpresentasikan oleh lbn Taimiyah [46](w. 1328 M). Tipologi ketiga aliran pemikiran itu sepakat menolak pendekatan intelektualitas murni para filosof terhadap fenomena kenabian, dan tidak keberatan untuk menerima kesempurnaan intelektual Nabi. Meskipun demikian, mereka lebih menekankan nilai-nilai syari'ah daripada nilai-nilai intelektual.[47]
Fazlur Rahman kemudian menjelaskan beberapa tokoh Muslim terkenal dan dianggap kelompok ortodoks yang menerima esensi doktrin filosofis tentang kenabian dan memasukkannnya ke dalam Islam secara integral. Di antaranya adalah al-Ghazali[48] (w. 1111 M) yang dikenal sebagai tokoh sufi, dan Ibn Khaldun[49] (w. 1406 M), yang dikenal sebagai seorang ahli sosiologi Islam dalam sejarah. Manurut Fazlur Rahman, Wahyu adalah kalam Allah, dengan demikian Alquran merupakan kalam Allah. Kalam Allah peng-ertiannya sangat abstrak, untuk itu perlu dijelaskan terlebih dahulu pemikiran Fazlur Rahman tentang hubungan kalam Allah dengan Alquran atau wahyu itu sendiri.
Rahman membedakan pengertian antara bacaan (qira’ah), yang dibaca (maqru’), dan Alquran. Bacaan adalah perbuatan yang bersifat inderawi yang dilakukan pembaca dalam waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu, bacaan adalah baru. Sedang “yang dibaca” adalah kalam Allah yang qadim yang terdapat pada zat-Nya. Apa yang dibaca adalah searti dengan Alquran.  “Apa yang dibaca” dalam pandangan al-Ghazali adalah sesuatu yang terdapat di balik bacaan, bukan mushaf itu sendiri.[50]
Untuk menghindari kontroversi adanya kalam Allah yang qadim dengan Alquran yang terdapat dalam mushhaf, al-Ghazali menyatakan bahwa sesuatu yang ditunjukkan (madlul) bukan bukti (dalil) itu sendiri. Kalam Allah adalah madlul, sedangkan huruf-huruf yang ada dalam mushhaf adalah dalilnya.  Berdasarkan penjelasan itu, ia menyimpulkan bahwa “apa” yang ditulis di mushhaf, dipelihara di hati dan dibaca melalui bacaan adalah Kalam Allah. Artinya, Kalam Allah adalah “sesuatu” yang ditulis, dibaca, dan dihafal; dan bukan tulisan, bacaan dan hafalan itu sendiri. Meskipun sesuatu yang dibaca, yang ditulis, dan yang dihafal berbeda dengan bacaan, tulisan dan hafalan itu sendiri, tiga unsur yang pertama tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan tiga yang terakhir.[51]
Fazlur Rahman meletakkan pandangan al-Ghazali itu dalam rumusan  bahwa “Alquran keseluruhannya adalah Kalam Allah sejauh ia sempurna dan bebas dari kesalahan, namun sepanjang ia turun ke dalam hati Nabi dan kemudian berada pada ucapan, maka ia keseluruhannya adalah kata-katanya.”[52]  Namun tesis al-Ghazali itu belum menjelaskan secara tuntas bagaimana wahyu sebagai kalam al-nafs dan berbentuk lafaz-lafaz sebagaimana terdapat dalam mushhaf . Pada sisi ini Fazlur Rahman memberikan jalan keluar mengenai hubungan itu. Ia membeda-kan meskipun tidak dapat dipisahkan antara apa yang dibacakan Nabi Saw dan wahyu yang bersifat transendental. Lafaz-lafaz Alquran yang dibaca Nabi merupakan representasi yang akurat dari fi’il kreatif yang berasal dari wahyu ilahi. Kata itu harus direpresentasikan karena penurunannya semata-mata untuk membimbing manusia, makhluk yang dalam kehidupannya tidak melepaskan diri dari bahasa dan ungkapan.
Melalui pemahaman semacam itu Fazlur Rahman menerima, bahkan menyakini Alquran sebagai Kalam Allah yang diwahyukan secara verbal kepada Nabi dan bukan hanya pewahyuan dalam makna atau ide-idenya saja.[53] Namun ia menolak pandangan mengenai pewahyuan yang mekanis dan eksternal sebagaimana pandangan kalangan ortodoks,[54] sehingga penyampaiannya terkesan seakan-akan Jibril datang dan menyerahkan risalah Tuhan kepada Nabi Muhammad, seperti seorang tukang pos yang  menyerahkan surat. Penyampaian semacam ini tidak dapat diterima Fazlur Rahman karena dalam proses semacam itu sulit untuk menghubungkan antara yang transendental dan Ilahi pada satu pihak, dan Nabi sebagai mausia pada pihak lain.
Bagi Fazlur Rahman, Jibril sebagai penyampai wahyu adalah Spirit (Ruh). Pandangannya itu didasarkan bahwa Ruh al-Qudus menurunkan Alquran kepada Nabi; dan juga kepada ayat-ayat lain yang senada dengan itu.[55] Menurutnya, Ruh Suci itu adalah bagian dari para malaikat, bukan berarti Ruh Suci itu berbeda secara keseluruhan dari malaikat. Kemungkinan besar Ruh itu adalah malaikat yang paling mulia dan paling dekat kepada Allah. Untuk sampai kepada kesimpulan itu, Rahman merujuk firman Allah yang menyatakan: Ia menurunkan para malaikat dengan Ruh dari perintah-Nya kepada siapa saja Ia kehendaki dari hamba-hambanya.[56]  
Secara prinsip, Ruh tersebut adalah kekuatan, kemampuan, atau agen yang berkembang di hati Nabi Muhammad saw, yang awalnya turun dari ‘atas’, dan ketika diperlukan berubah menjadi operasi wahyu yang aktual. Dalam pandangannya, konsep tersebut adalah sangat sesuai dengan anggapan atau tradisi Islam yang sudah umum yang menyatakan bahwa keseluruhan Alquran pada mulanya diturunkan ke langit yang paling bawah, dan setelah itu ayat-ayat verbal yang relevan muncul ketika dibutuhkan.[57] Berdasarkan paparan di atas, Fazlur Rahman berargumentasi bahwa Alquran benar-benar bersifat ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, sebagaimana hal telah menjadi kenyakinan kalangan ortodoks.
Sejalan dengan hal di atas, maka pengutusan para rasul atau nabi dalam perpektif pemikiran Fazlur Rahman merupakan puncak dari kekasih sayang Allah pada satu sisi, dan ketidak-kedewasaan manusia dalam persepsi dan motoivasi etisnya pada sisi lain. Ada kaitan yang erat antara pengutus rasul atau nabi dan kasih sayang Allah disatu pihak, dan kelemahahan manusia di lain pihak. Dengan bahasa lain, manusia memiliki kemampuan terbatas. Karena itu, manusia membutuhkan bimbingan dan peringatan agar tidak menyimpang dari jalan kebenaran. Sebagai implikasi logisnya, Allah Yang Maha Pengasih akan mengutus para rasul atau nabi untuk mengingatkan, membimbing dan menunjukkan mereka kepada jalan yang benar.[58]
Berdasarkan kajiannya, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa antara filosof dan teolog sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai konsep kenabian dan wahyu. Bagi filosof, Nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Akal Aktif. Sedangkan menurut para teolog, para nabi mempunyai dua sisi; kemanusiaan dan kenabian. Dalam sisi kemanusiaan, para nabi adalah sama dengan jenis manusia-manusia lain. Sedangkan dalam sisi kenabian, para nabi mempunyai sifat-sifat sejenis malaikat, selalu mengagungkan Tuhan dan menyucikan transendensi-Nya.[59]
3.    Kedudukan Akal dan dan Fungsi Wahyu
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dan mulia. Ketinggian, keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lainnya terletak pada akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akal yang membuat manusia mempunyai kebudayaan yang tinggi, mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengatur dan mengubah alam sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik di masa kini maupun di masa depan. Begitu pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari kedudukannya dalam ajaran Islam.
Menurut Fazlur Rahman, Alquran menggambarkan ketaatan dan penyerahan mutlak seluruh bagian objek natural kepada hukum-hukum alam sebagai ibadah mereka kepada Tuhan. Alam semesta diciptakan menurut hukum-hukum dan terus menjalankan pola-pola teratur. Sedangkan manusia ditantang untuk menemukan hukum-hukum ini dan menempatkan pola-pola tersebut sehingga ia bisa menaklukkan alam serta memanfaatkannya. Sesungguhnya, inilah yang dinamakan amanah yang harus dilaksanakan sebagai pengabdian bagi manusia. Amanah ini dimaksudkan agar manusia dapat menemukan hukum-hukum alam serta menguasainya dan kemudian menggunakan penguasaan hukum alam tersebut di bawah inisiatif moral manusia untuk menciptakan suatu tata dunia yang baik.[60] Dari ungkapannya ini dapat dikatakan bahwa Rahman memberi kedudukan yang tinggi pada akal, yaitu untuk memperkuat kebenaran wahyu dan hukum alam, karena bila akal lemah maka ia tidak akan mampu menemukan hukum-hukum alam.
4.    Takdir atau Hukum Alam
Salah satu fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan adalah untuk menjelaskan keteraturan alam semesta. Menurut Fazlur Rahman, ajaran fundamental Alquran tentang alam semesta adalah:
a.  bahwa ia merupakan sebuah kosmos, sebuah tatanan,
b.  bahwa ia merupakan suatu tatanan yang berkembang, yang dinamis;
c. bahwa ia bukanlah suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus ditanggapi secara serius; manusia harus mempelajari hukum-hukumnya yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan, dan men-jadikannya sebagai panggung dari aktivitas manusia yang punya tujuan.[61]
Sebagai sebuah kosmos, alam memiliki hukum-hukum dan logikanya sendiri. Menurut Alquran, ketika Tuhan menciptakan sesuatu, yakni menghidupkan dan memberinya bentuk lahiriah, pada saat yang sama Tuhan juga melengkapinya dengan hukum-hukum kehidupannya dan menatanya dengan potensialitas-potensialitas serta dinamika perkembangannya. Pertama, (yaitu menghidupkan sesuatu dan memberi bentuk) diistilahkan dengan Khalq. Sedangkan yang kedua, (yaitu melengkapi sesuatu dengan suatu sifat atau dinamika perilakunya) didefinisikan oleh Alquran dengan istilah amr atau taqdir. Dari sinilah muncul konsep Rahman tentang takdir atau hukum alam.[62]
Pengertian taqdir secara harfiah berarti ukuran sesuatu, dan qadar adalah jumlah atau volume yang terukur. Fazlur Rahman menolak gagasan takdir yang sering dipahami sebagai peristiwa atau kejadian. Penolakan ini secara tegas diungkapkannya dalam pernyataan berikut: Ada dua hal yang berkaitan muncul di sini: Pertama, kejadian-kejadian di dunia ini tidak pernah dipredeterminasi atau ditetapkan terlebih dahulu oleh Tuhan. Bahwa kejadian “A” akan timbul pada waktu ‘A’ masih tetap merupakan kemungkinan terbuka di antara alternatif-alternatif lainnya yang mungkin, hingga ia ditimbulkan secara aktual. Kedua, hal ini disebabkan karena apa yang dideterminasi bukanlah kejadian-kejadian sebagaimana disebut di atas, tetapi potensi-potensi, kekuasaan-kekuasaan dan kekuatan-kekuatan. Jadi, ditetapkannya bahwa oksigen memiliki suatu potensi yang dengannya, bila dicampurkan dengan hidrogen dalam proporsi dan di bawah kondisi tertentu, akan menghasilkan air. Apa yang dideterminasi di sini adalah potensi-potensi dari oksigen dan hidrogen untuk berubah menjadi air jika dicampurkan di bawah kondisi tertentu. Sedangkan kejadian aktual dari pencampuran keduanya pada suatu ruang dan waktu tertentu tidaklah pernah dideterminasi sebelumnya.[63] 
Berdasarkan pengertian takdir yang dikemukakan Rahman, dapat dipahami bahwa takdir bukanlah sebuah kekuatan buta yang mengukur atau menetapkan hal-hal yang tidak dapat dielakkan atau dikendalikan oleh manusia, terutama sekali sehubungan dengan kelahiran, rezeki, dan maut. Konsep takdir yang dikemukakan Rahman menekankan bahwa Allah memberikan ukuran dan sifat tertentu kepada setiap sesuatu untuk menjamin keteraturan alam. Di samping itu, untuk menunjukkan perbedaan terpenting yang tidak dapat dihilangkan di antara Allah dan manusia.
Menurut Fazlur Rahman, perbedaan terpenting di antara Allah dengan ciptaan-Nya adalah: “Jika Allah ‘tak terhingga’ dan Mutlak, maka setiap sesuatu yang diciptakan-Nya adalah ‘terhingga’. Setiap sesuatu memiliki potensi-potensi tertentu, tetapi betapapun banyaknya potensi-potensi tersebut tidak dapat membuat yang terhingga melampaui keterhinggaannya dan menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksudkan Alquran ketika ia mengatakan bahwa setiap sesuatu selain dari Allah mempunyai ukurannya (qadar, taqdir, dan sebagainya), dan karena itu tergantung kepada Allah. Apabila sesuatu makhluk menyatakan dirinya dapat berdiri sendiri atau merdeka, berarti dia mengakui memiliki sifat ketidakterhinggaan dan sifat ketuhanan. Bila Allah menciptakan sesuatu, maka kepadanya Dia memberikan kekuatan atau hukum tingkah laku yang di dalam Alquran dikatakan petunjuk, perintah atau ukuran. Dengan hokum tingkah laku inilh ciptaan-Nya itu dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam semesta.[64]
Bila dihubungkan dengan konsep takdir seperti yang disinggung terdahulu, maka dalam pandangan Rahman, takdir atas manusia berarti Allah telah menetapkan ukuran-ukuran tertentu yang bersifat potensial bagi manusia yang dengan potensi itu manusia dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Dengan demikian, kejadian-kejadian yang menimpa manusia atau sering disebut nasib, sebetulnya mempunyai sebab-sebab tertentu yang alamiah dan bukan sebagai determinasi Allah atas manusia. Jadi, keberuntungan ataupun kemalangan yang menimpa manusia di dunia ini tidak lain adalah merupakan akumulasi dari berbagai sebab. Jika manusia melakukan serangkaian usaha yang mengarah kepada tercapainya nasib baik, maka ia akan memeroleh hasilnya, demikian pula sebaliknya.
Berkaitan dengan konsep takdir deterministik seperti yang banyak berkembang di kalangan umat Islam, Rahman menyatakan sebagai berikut: ”Tidak dapat diragukan lagi bahwa di akhir zaman pertengahan di dalam masyarakat muslim berkembang sebuah predeterminisme yang kuat pengaruhnya. Predeterminisme ini tidak bersumber dari ajaran-ajaran Alquran, tetapi bersumber dari faktor-faktor lain yang banyak sekali jumlahnya. Yang paling menonjol di antara faktor-faktor ini adalah keberhasilan yang sangat mengagumkan dari teologi Asy’ari (yang merendahkan manusia ke tingkat impotensi untuk memertahankan konsep ke-Mahakuasaan Allah, namun pengaruhnya terhadap kaum Muslimin lebih bersifat formal daripada riil), dan penyebaran doktrin-doktrin sufisme yang pantheistik serta fatalistik.”[65] Oleh karena pengaruh inilah konsep Alquran tentang qadar (takdir) ditafsirkan sebagai predeterminisasi Allah terhadap segala sesuatu, termasuk manusia.
Dengan mengembalikan gagasan takdir seperti yang tertuang dalam Alquran, maka aspek ikhtiar manusia menjadi sangat penting dalam pemikiran Rahman. Manusia-lah yang aktif berusaha dan keberhasilan-nyapun ditentukan sejauhmana ia telah memberikan investasi. Meskipun pandangan Rahman tentang aspek ikhtiar manusia demikian tegas, namun ia tetap mengakui fungsi do’a. Baginya, do’a adalah sikap pikir yang aktif dan reseptif untuk meminta pertolongan dari sumber kehidupan, dan lewat inilah mengalir energi-energi baru. Menurut Rahman, yang perlu dicamkan bahwa harus ada kerja keras atau usaha yang sungguh-sungguh secara konsisten dari pihak yang berdo’a. Hanya dalam konteks kerja keras itulah do’a memiliki arti dan makna.[66]
Dengan demikian, do’a merupakan manifestasi dari keterhinggaan manusia. Walaupun manusia bebas menentukan pilihannya, bukan berarti tidak tergantung pada Sang Pencipta. Manusia memiliki kecenderungan baik dan kecenderungan jahat. Oleh karena itu, di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara kecenderungan-kecenderungan itu
5.    Hari Akhir
Ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran Alquran tentang akhirat adalah bahwa akan tiba saat ketika manusia menemukan kesadaran unik yang tidak pernah dialaminya di masa sebelumnya mengenai amal perbuatannya.[67] Alam semesta ada batasnya, pada saatnya nanti ia akan hancur bersama seluruh kandungannya, itulah yang dinamakan kiamat. Alquran menerangkan tentang hari kiamt dengan penggambaran kehancuran kosmos secara menyeluruh dengan maksud menggambrkan kekuasaan Tuhan. Dalam kaitan ini, Rahman menyatakan, banyak yang mengira bahwa tatanan kosmos ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari kosmos ini. Mereka harus memahami Allah-lah yang Mahakuasa: Dia yang menyusun kembali alam semesta (setelah kehancurannya) guna menciptakan bentuk-bentuk kehidupan baru dan level-level kehidupan yang baru pula. Rahman berpendapat bahwa hari kiamat bukan berarti terjadinya kehancuran dunia secara total, tetapi hanya transformasi dari satu bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan yang lain.[68]
Hari kiamat merupakan hari pengadilan. Pada hari itu setiap manusia tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perubahan apapun juga. Satu-satunya kesempatan adalah di atas dunia ini yang hanya terjadi sekali. Oleh karena itu, manusia harus menghadapi hidup ini dengan serius dan benar-benar menyadari bahwa apapun yang dilakukannya tidak terlepas dari pengawasan Allah. Kehidupan manusia di atas dunia yang hanya terjadi sekali ini merupakan kesempatan emas bagi manusia untuk berjuang dan mendapatkan hasil yang baik. Rahman mengemukakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia di akhirat nanti tidak hanya bersifat spiritual karena raga dengan pusat kehidupan dan intelegensi itulah yang merupakan identitas atau kepribadian manusia yang sesungguhnya.[69] Dengan demikian, yang menjadi subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagi pribadi. Oleh karena itu, kebahagiaan atau penderitaan yang dirasakan manusia di akhirat kelak bersifat jasmani dan rohani (fisik dan spiritual).
Konsep teologi yang dikemukakan Rahman tersebut bukanlah kajian tersendiri yang ditulis dalam satu karya khusus. Konsep teologi Rahman merupakan refleksi pemikiran sebagai hasil dari proses dialektika berpikirnya. Dari beberapa buku dan artikel tulisannya, ditemukan beberapa doktrin teologi yang pernah dikembangkan oleh aliran-aliran terdahulu, yang kemudian dikritisinya. Dari berbagai tulisannya inilah apabila dicermati akan tampak bahwa konsep teologinya berpegang pada konsep-konsep dasar dalam Alquran dengan tema pokoknya tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia. Dilihat dari beberapa konsep teologi yang dikemukakan Rahman, maka dapat disimpulkan bahwa Rahman menganut paham teologi rasional.

6.    Politik dan Kepemimpinan
Fazlur-Rahman menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.
Secara umum, klasifikasikan pandangan menegenai persoalan ke-pemimpinan tidak terlepas dari pandangan mereka tentang hubungan negara dan agama, yang secara ringkas ada 3 (tiga) arus besar pendapat para pemikir Islam tentang hubungan Islam dan negara ini, yakni:
Pertama, ialah kelompok yang berpendapat bahwa hubungan antara Islam dan negara sangat lekat bahkan Islam mengatur persoalan negara secara eksplisit dan detail. Dengan demikian mendirikan sebuah negara Islam adalah wajib, konstruk negara harus negara Islam. Ajaran Islam harus menjadi dasar konstitusi.[70] Mereka menolak gagasan negara kebangsaan (nation state) karena dinilai bertentangan dengan prinsip ummah. Mereka mengakui prinsip musyawarah tetapi menolak musyawarah sistem demokrasi.[71] Jadi menurut pendapat pertama ini adalah, wajib hukumnya memilih imam (khalifah) yang berperan memimpin umat, serta wajib hukumnya menggunakan dasar negara dengan Alquran..
Kedua, mereka menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara Islam dengan negara dengan demikian mendirikan negara bukan sebuah kewajiban.[72] ‘Ali ‘Abd  Ar-Ráziq misalnya, tidak setuju dengan konsep negara Islam, bahkan ia menegaskan tidak ada hubungan antara agama dan negara. Menurutnya Allah tidak memberikan jabatan rasul sekaligus sebagai raja kepada nabi Muhammad saw. Buktinya hanya beberapa rasul saja yang menjadi raja seperti nabi Dawud, justru kebanyakannya rasul itu bukan raja, melainkan hanyalah rasul semata.[73] 
Ketiga, di luar kelompok yang pro dan kontra di atas yang pendapatnya dapat dianggap sebagai sebuah sintesa. Kelompok ini mengakui bahwa di dalam Islam memang terdapat ajaran tentang politik dan negara tetapi hanya menyangkut prinsip-prinsipnya saja, tidak menjelaskan secara ekplisit tentang bentuk negara, dasar negara dan ketatanegaran lainnya. Itu semua disesuaikan secara fleksibel dengan keadaan negara masing-masing.[74] 
Menurut Fazlur Rahman, adalah keliru apabila dikatakan bahwa Islam telah memberikan sistem sosial politik yang menyeluruh dan terperinci. Tuntutan Alquran tentang kehidupan bernegara tidak menunjuk kepada model tertentu tentang sebuah negara, yang terpenting prinsip-prinsip yang terdapat dalam Alquran itu harus di-transformasikan ke dalam bentuk rumusan-rumusan kenegaraan yang dipandang perlu akan memenuhi hajat kebutuhan kaum muslimin tentang sebuah negara pada zamannya.[75] 
Menurut Fazlur Rahman, yang penting adalah prinsip-prinsip terpokok Islam yang harus dijelmakan dalam sebuah negara, pertama-tama adalah tujuan yang hendak dicapai oleh negara itu yaitu masyarakat beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya terdapat persatuan, persaudaran, persamaan, musyawarah dan keadilan. Para pembaharu teologis yang berusaha melakukan pembaharuan konsep teologi keagamaan berupaya menyuarakan gagasan mengenai sebuah Islam yang substantif, inklusif, integratif dan toleran.[76] 
Oleh sebab itu, Fazlur Rahman menegaskan bahwa tujuan utama Alquran adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat ethis dan egalitarian. Jadi masyarakat Islam terbentuk karena ideologi Islam. Kondisi ideal dari tatanan masyarakat Islam itu adalah "yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan." [77]
Untuk tercapainya tujuan di atas, masya-rakat memerlukan pengaturan tersendiri, seperti pemenuhan kebutuhan bersama. Untuk melaksana-kan urusan bersama ini, Fazlur Rahman me-nyebutnya sebagai urusan pemerintahan, secara jelas Alquran memerintahkan kaum Muslimin untuk menegakkan syura [dewan atau majelis konsultatif] di mana keinginan rakyat dapat dikemukakan melalui wakil-wakil mereka. Dalam hal ini Rahman mengemukakan:
Syura was a pre-Islamic democratic Arab institution which the Qur'an (42:38) confirmed. The Qur'an commanded the Prophet himself (3: 159) to decide matters only after consulting the leaders of the people. But in the absence of the Prophet, the Qur'an (42: 38) seems to require some kind of collective leadership and responsibility.
[Syura ini adalah sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian didukung oleh Alquran (QS. as-Syuara [42]: 38). Nabi Muhammad sendiri diperintahkan Alquran (QS. Ali Imran [3]: 159) untuk memutuskan persoalan-persoalan yang ada setelah berkonsultasi dengan para pemuka masyarakat. Setelah Muhammad tidak ada, tampaknya Alquran (QS. as-Syura [42]: 38) menghendaki semacam kepemimpinan dan tanggung jawab kolektif.[78]
Itulah sebabnya Alquran walaupun menghendaki pluralisme institusi-institusi secara liberal dan kemerdekaan individu yang asasi, tetapi di dalam kondisi tertentu Alquran juga mengakui bahwa negara sebagai wakil masyarakat yang tertinggi. Pemberontakan terhadap negara dapat diganjar dengan hukuman yang berat,[79] berdasarkan firman Allah:
إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ. إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبْلِ أَن تَقْدِرُواْ عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ.....
[“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang]”.[80]
Ayat tersebut menjelaskan ganjaran terhadap orang-orang yang memberontak terhadap Allah dan Rasul-Nya dan berbuat aniaya di muka bumi adalah hukuman mati, digantung di atas salib, kaki dan tangan dipotong secara bersilang, atau dibuang - demikian hukuman buat mereka dalam kehidupan dunia ini sedang di akhirat dan bagi mereka hukuman yang lebih berat, kecuali bagi mereka yang bertobat.
Akan tetapi Fazlur Rahman juga menegaskan bahwa pemberontakan bukan berarti tak diizinkan dalam Islam. Menurut Alquran, semua nabi sesudah Nabi Nuh as. adalah pemberontak terhadap tatanan masyarakatnya. Yang menjadi kriteria bagi Alquran atas upaya pemberontakan tersebut adalah apa yang selalu disebutnya sebagai "penyelewengan di atas dunia" yang diartikan sebagai keadaan yang menjurus kepada pengabaian hukum – secara politik, etis, atau sosial – ketika urusan-urusan nasional dan internasional tidak dapat dikendalikan lagi,[81] sehingga menimbulkan kekacauan bagi masyarakat.
Pada umumnya kaum Muslimin disuruh untuk mentaati Allah, Rasul dan para peinimpin-peinimpin mereka [yang dipilih maupun yang diangkat]. Hal ini sejalan dengan ayat Alquran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ....
[“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.]”[82]
Selanjutnya Fazlur Rahman menyebutkan, bahwa tidak dapat disangkal bahwa di dalam sejarah Islam, telah terjadi faksi-faksi politik yang didasarkan pada doktrin agama, menyebabkan munculnya sikap dan perilaku politik tertentu golongan-golongan Islam. Muslim Sunni misalnya, yang menandaskan konsep laissez faire,[83] sangat menekankan doktrin mengenai kepatuhan kepada otoritas de facto, yang menghasilkan lemahnya sikap kriteria masyarakat terhadap perkembangan sekitarnya.
Perpaduan antara kepatuhan politik yang sengaja dibentuk dengan kepasifan moral masyarakat, tidak hanya memungkinkan oportunisme[84] politik, tetapi tampaknya juga memberikan dukungan doktrinal kepada oportunisme tersebut. Walaupun demikian, jika tidak didukung oleh faktor-faktor dominan lainnya, doktrin pasifisme moral dan kepatuhan politik yang murni, tentu tidak akan menyebabkan sikap yang begitu saja menerima oportunisme politik. Jadi sangat disayangkan bahwa dalam sejarah umat Islam, kepasifan politik dan moral tersebut ternyata terus berkembang [85] di kalangan umat Islam.
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.

7.    Konsep Etika
Salah satu karakter pemikir Islam adalah komitmennya terhadap proyek reconstruction (membangun kembali) atau rethinking (memikirkan kembali) segala sesuatu yang berkaitan dengan masya rakat dan peradaban, terutama apabila kondisinya sudah kurang menguntungkan bagi kemanusiaan dan peradabannya Untuk itu para akademisi Islam senantiasa akrab dengan perubahan (change) dan memang mereka sendiri menjadi penggeraknya.[86]
Berkaitan dengan ini, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa etika bukan saja sebagai the basic elan of the Quran (esensi dalam ajaran Alquran), tetapi juga merupakan aspek universal yang ada dalam setiap diri manusia. Hukum etika atau moral yang hakiki tak dapat diubah. Ia merupakan “perintah” Tuhan (God’s Command) manusia tak dapat membuat hukum moral. Ketundukan terhadap moral itulah “Islam” dan perwujudannya disebut dengan “ibadah”.[87] Penyusunan etika Alquran menurut Fazlur Rahman didasarkan pada dua alasan, yaitu Alquran dalam keyakinan umat Islam adalah kalam Allah, dan Alquran diyakini umat Islam mengandung secara aktual dan potensial jawaban-jawaban atas semua masalah kehidupan sehari­-hari.[88] 
Oleh karena itu, suatu sistem etika yang tumbuh dari Alquran menjadi kebutuhan yang perlu dikembangkan sehingga misi Alquran sebagai petunjuk bagi manusia benar-benar aktual dan aplikatif. Sebagaimana disebutkan Nurcholish Madjid, bahwa salah satu obsesi Fazlur Rahman adalah merekonstruksi etika Alquran melalui sistematisasi nilai-nilai etika yang terkandung di dalamnya.[89]
Etika Alquran dalam konstruksi pemikiran Fazlur Rahman dapat ditelusuri dari gagasannya mengenai beberapa istilah yang menjadi konsep-konsep kunci etika Alquran, yaitu istilah “iman, islam, dan taqwa”.[90] Ketiga istilah tersebut membentuk pondasi etika Alquran sebagai hakikat dari Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek ajarannya.



C.  Penutup
Menarik untuk dikemukakan bahwa Ismail Raji al-Faruqi memuji karya filosofis Fazlur Rahman sebagai sebuah catatan deskriptif dan gagasan umum di dunia muslim. Salah satu karya Rahman berjudul Islam, merupakan survei singkat  tentang Muhammad, Alquran, dan hukum Islam (fiqh) sampai kepada gerakan-gerakan reformis di dunia Islam. Karya tersebut merupakan buku yang paling komprehensif di bidangnya dan ditulis dengan cara yang sangat baik.
Karya-karya Rahman berbeda dengan kebanyakan orientalis yang memperlakukan Islam sebagai dogma dan sejarah yang mati, sementara Rahman dalam berbagai karyanya berorientasi ke masa depan. Oleh sebab itu posisi Rahman harus dibaca dalam estafet gelombang pemikiran Islam sejak Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Syah Waliyullah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal. Sekalipun Rahman mengagumi tokoh-tokoh itu, dalam butir-butir tertentu ia mengkritiknya dengan landasan pemahamannya terhadap Alquran. Dalam hal ini Fazlur Rahman  menekankan pentingnya konteks sosio-historis dalam menangkap gagasan sebuah pemikiran.
Dalam konteks pembaharuan Islam, Fazlur Rahman adalah penerus kaum modernis. Namun, berbeda dengan kaum modernis yang lebih banyak bertumpu pada sumber-sumber modern, ia menyarankan pijakan yang lebih kokoh terhadap akar-akar khazanah Islam klasik yang sangat kaya. Berbeda dengan kaum tradisionalis yang sering terjebak dalam romantisme berlebihan, Rahman menawarkan metodologi yang memungkinkan kekayaan yang terkandung dalam warisan Islam klasik tersebut memiliki relevansi  untuk mengatasi masalah-masalah modern.
Dapat disimpulkan bahwa ada dua kunci dalam memahami kompleksitas pemikiran Fazlur Rahman, (1) relevansi dan (2) integritas. Relevansi berkaitan dengan pemikiran Rahman dan integritas berkaitan dengan sosok Rahman sebagai pribadi. Kontruksi metodologi yang dirumuskan Rahman dalam memahami Islam pada dasarnya adalah suatu upaya untuk menemukan relevansi berbagai kekayaan yang terkandung dalam khazanah Islam dengan konteks komodernan yang dihadapi umat Islam saat ini.
Tentang filsafat kenabian, Rahman mengkritik kecenderungan elitis di kalangan intelektual muslim yang menggunakan “metode kebenaran ganda”, yaitu kebenaran untuk kaum elit dan kaum awam. Kecen-derungan elitis seperti ini mendasarkan argumennya pada anggapan bahwa masalah-masalah intelektual yang sensitif semestinya tidak dibicarakan secara terbuka, sebab orang awam tidak memiliki kemampuan intelektual yang memadai untuk memahami persoalan-persoalan intelektual tersebut, yang pada gilirannya justru membuat mereka bingung.
Anggapan semacam ini jika dibiarkan, menurut Rahman, sangat berbahaya karena bisa mendorong tumbuhnya kemunafikan di dalam masyarakat. Seperti, eksistensi kenabian ditinjau dari sudut filsafat dan tasawuf maupun fiqih. Banyak sekali kasus yang terjadi dalam Islam, misalnya al-Ghazali yang menulis buku yang tidak dimaksudkan untuk masyarakat luas, tetapi ditujukan untuk kalangan terbatas. Wallahu a’lamu bial-shawab.
























DAFTAR PUSTAKA


Abu Hasan Ali Nadwi, 1978, Western Civilization: islam and Muslim, India: Academy of Islam Reseach and Publications.

Abdurrahman, Muslim., 1995, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Abd. A’la, 2003, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

Ahmad Syafi’i Ma’rif, 1994, Peta Bumi Intelektual Islam, Bandung: Mizan.

Ali, A. Mukti., 1998, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung:Mizan.

Amal, Taufik Adnan (peny.), 1987, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung:Mizan.

--------------., 1992, Islam dan Tantangan Modernitas:Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung:Mizan.

Amin, M. Masyhur., 1989, Teologi Pembangunan, Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta:LKPSM-NU.

Azra, Azyumardi., 1999, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-Modernisme, Jakarta:Paramadina

Djohan Effendi, 1985, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, Bandung: Mizan.

Donald L. Denry, 1998,  “Fazlur Rahman (1919-1988): A Live and Riview,” dalam Earle H. Waugh & Fedrick M. Denry (ed) The Shaping of an Amarican Islamic Discourse: Memorial to Fazlur Rahman, Georgia: Scholars Press.

Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia Press.

Gibb, H.A.R., 1995, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husain, Jakarta: Rajawali Press

Harun Nasution, 1992, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.

J. M. S. Baljon, 1986, Religion and Thought of Shah Wali Allah ad-Dahlawi Leiden: E. J. Brill.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i, 1995, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholish., 1993, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.

Nurcholish Madjid, 1993, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember.

--------------, 2000, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1973., Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang.

Rahman, Fazlur, 1958,  Prophecy in Islam Phylosophy and Orthodoxy, London: George Allen and Unwi Ltd.

----------------, 2003, Kontroversi Kenabian dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Mizan.

---------------, 1967, “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man”, in Jurnal Islamic Studies, No. 1.

---------------, 1994,  Islamic Methodology in History, Delhi: Adam Publisher & Distributor.

--------------, 1992, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, terj. Ikhsan Ali Fauzi, dalam al-Hikmah,No. 6.

--------------, 1995, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka
.
--------------, 1982, Islam dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press.

--------------, 1996, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka.

--------------, Islam,  1979, Chicago & London: University of Chicago Press; Second Edition.

--------------,  1976, The Philosophy of Mulla Shadra, Albany, New York: State University of New York Press.

--------------, 1990,  “An Autobiograpchal Note,” dalam Journal of Islamic Reseach, Vol. 4, 1990.

-------------, 1983, “Some Key Ethical Concept of the Quran”, yang dimuat dalam Journal of Religious Ethics, jilid XI, No. 2.

Wilfred. C. Smith, 1979, Modern Islam in India: Social Analiysis, New Delhi: USA Publications.

Yusuf, Yunan, 1990, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas.



[1]Taufik Adnan Amal (Peny.), Metode dan Altematif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), h. 13.
[2]Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago & London: university of Chicago Press; Scond Edition, 1979), h. 35.
[3]Pengertian tradisional disini adalah kepenganutan seseorang terhadap salah satu mazhab fiqh yang empat: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dalam hal ini corak keberagamaan ayah Fazlur Rahman mengikut faham Hanafi.
[4]Abd. A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: jejak Fazlur Rahman dalam wacana islam indonesia (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2003), h. 33.
[5]Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember, 1993, h. 23-24.
[6]Fazlur Rahman. “An Autobiograpchal Note,” dalam Journal of Islamic Reseach, Vol. 4, 1990, h. 27.
[7]Fazlur Rahman, Islam ..., h. 36.
[8]Syah Waliyullah lahir di Delhi dan mendapat pendidikan dari orang tuanya Syah Abd al-Rahim, Seorang sufi yang memiliki madrasah. Setelah dewasa, ia ikut menekuni pekerjaan orang tuanya sebagai guru di madrasah tersebut. Selain mengajar di madrasah, Syah Waliyullah gemar mengarang dan banyak meninggalkan karangannya, di antaranya adalah buku Hujjatullah al-Balighah. Lihat, J. M. S. Baljon, Religion and Thought of Shah Wali Allah ad-Dahlawi (Leiden: E. J. Brill, 1986), h. 1.
[9]Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817 M. Ia mendapatkan pendidikan tradisional tentang pengetahuan agama seperti Alquran, Hadis, dan Teologi Islam. Akan tetapi, meskipun ia mendapatkan pendidikan tradisional, ia tidak berpandangan sempit, hal ini disebabkan oleh minat dan semangat bacanya yang tinggi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Syed Abu Hasan Ali Nadwi, Western Civilization: islam and Muslim (India: Academy of Islam Reseach and Publications, 1978), h. 67. Lihat juga, W. C. Smith, Modern Islam in India: Social Analiysis (New Delhi: USA Publications, 1979), h. 1.
[10]Sayyid Amir Ali berasal dari keturunan keluarga syi’ah pada zaman Nadhir Syah (1736-1747) yang pindah dari Khurasan di Persia ke India. Ia lahir pada tahun1849 M dan wafat tahun 1928 M. Setelah tamat pendidikan madrasah, ia menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi Muhsiniyah, yang berada di dekat Calkutta. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 181.
[11]Muhammad Iqbal adalah salah seorang penyair, filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis Muslim. Ia berasal dari golongan manengah di Punjab dan lahir di Sialkot pada 1876 M. Lihat, Djohan Effendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal (Bandung: Mizan, 1985), h. 13.
[12]Fazlur Rahman, Islam dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago press, 1982), h. 117.
[13]Ahmad Syafi’i Ma’rif, Peta Bumi Intelektual Islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 135.
[14]Ketika Fazlur Rahman sudah berada di Inggris, ia pernah ditanya oleh seorang pendeta Hindu S. Radhakrisna: “Mengapa anda tidak ke Mesir saja, tapi malah ke Oxford” Rahman menjawab: “Studi-studi islam di sana tidak sama kritisnya dengan India.” Lihat Rahman, Islam and Modernity ..., h. 120.
[15]Walaupun Fazlur Rahman banyak menimba ilmu pengetahuan dari sarjana-sarjana barat, tapi ia sangat kritis dengan pandangan-pandangan mereka yang berhubungan dengan Islam dan umat Islam. Taufik Adnan Amal dan Ihsan Ali Fauzi, Fazlur Rahman, Sang Sarzana Sang Pemikir (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1998), h. 10.
[16]Kitab al-Najat adalah ringkasan Ibn Sina sendiri terhadap karya agung, al-Syifa’. Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Falur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), h. 82.
[17]Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 247.
[18]Taufik Adnan, Fazlur Rahman..., h. 12.
[19]John L. Esposito (eds), The Oxford Encyclopedia of the Modem Islamic World III (New York: Oxford University Press, 1995), h. 408.
[20]Abd A’la, Modernisme ..., h. 35.
[21]Fazlur Rahman, Islam and Modernity ..., h. 217.
[22]Ibid., h. 230.
[23]Rahman, Some Islamic Issues, h. 296.
[24]Rahman, Islam and Modernity, h. 125, juga Fazlur Rahman, “Mengapa saya hengkang dari Pakistan” dalam Islamika, No.2 (Oktober-Desember 1993), h. 17.
[25]Wan Mohd. Nor Wan Daud, “ Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,” dalam Ulumul Quran, Vol. II, (No. 8,1991), h. 108.
[26]Denry, The Legacy, h. 97. Dalam catatan kaki, No. 4, h. 106 disebutkan bahwa tokoh-tokoh sebelum Fazlur Rahman yang menerima penghargaan serupa adalah Robert Brunsching, joseph Schacht, Francesco Gabriel, S.D. Goiten, Gustave E. Von Grunebaum, Franz Rosenthal, Albert Hourani, W. Montgomery Watt, dan Annamarrie Schimmel.
[27]Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 44. Juga Wan Mohd. Nor Wan Daud, Fazlur Rahman, h. 108.
[28]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher & Distributor, 1994), h. V. Lihat juga Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 47.
[29]Lihat Ahmad Syafi’i Ma’rif, dalam Kata Pengantar untuk buku Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bumi Aksara. 1987), h. viii.
[30]Namanya adalah Shadr al-Din as-Syirazi, lebih dikenal dengan Mulla Shadra. Mengenai pemikirannya lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Shadra (Albany, New York: State University of New York Press, 1976), h. 67.
[31]Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 53.
[32]Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 55.
[33]Donald L. Denry “Fazlur Rahman (1919-1988): A Live and Riview,” dalam Earle H. Waugh & Fedrick M. Denry (ed) The Shaping of an Amarican Islamic Discourse: Memorial to Fazlur Rahman (Georgia: Scholars Press, 1998), h. 40-43.
[34]Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, Pustaka, Bandung, 1984. hal. 86
[35]Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 1984, h. 87
[36]Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an... h. 88.
   [37] Ibid., h. 97-98.
   [38]Ibn Sina lahir di Afsyfan, daerah Bukhara pada tahun 340 H (980 M), pada masa pemerintahan Khalifah Nuh bin Mansur, dari daulah Samaniyah. Dia wafat di Hamdzan dalam usia 58 tahun pada 428 H (1037 M). Lihat, Poerwantara Dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 145.
[39]Fazlur Rahman, Prophecy in Islam Phylosophy and Orthodoxy (London: George Allen and Unwi Ltd, 1958), h. 145.
[40]Ibid., h. 32.
[41]Ibid., h. 30. Ibn Sina, memasukkan kemampuan akal sebagai salah satu daya dalam jiwa teoritis manusia yang memilki empat tingkat: 1) material intellect, yaitu potensi akal untuk berpikir dan belum dilatih, 2) intelctual in habitat, yaitu akal yang mulai dilatih untuk berpkir abstrak, 3) actual intelect, yaitu kemampuan berpikir abstrak, dan 4) acquired intelect, yaitu kesanggupan akal berpikir manusia untuk berpikir abstrakdan sarana yang mamapu menerima limpahan dari akal aktif. Lihat Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara filsafat dan ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003), h. 40.
[42]Ibid., h. 30-32. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 31-32.
[43]Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan al-Farabi. Ia dilahirkan di kota Farab tahun 257 H (870 M). Lihat, Poerwantana Dkk, Seluk Beluk, h. 133.
[44]Nama lengkapnya adalah Iman Abi Fatih Muhammad bin Abd al-Karim Asy-Syarastani, atau lebih dikenal dengan Asy-Syahrastani, seorang teolog Muslim.
[45]Ibn Hazm ialah Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm (384-456), seorang ulama fuqaha dan ahli hadis yang berasal dari Andalusia, M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 61.
[46]Nama lengkapnya Taqi ad-Din Ibn Abu al-Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Muhammad bin Taimiyah al-Haramy al-Hambaly. Lahir di Haran pada tanggal 10 Rabi’ul Awal 661 H (22 Januari 1263 M). Lihat Muhammad Al-Bahy, Al-Fikr al-Islamy fi Tathawwurihi, alih bahasa Al-Yasa’ Abu Bakar, Alam Pikiran Islam dan Perkembangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 27.
[47]Rahman, Prophecy in Islam, h. 92.
[48]Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us al-Thusi al-Syafi’i al-Ghazali. Ia lahir di Ghazala, suatu kota dekat Khurasan, Iran pada tahun 450 H. Lihat, M. Sholihin & Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 53.
[49]Namanya adalah Abu Zaid Abd al-Rahman Ibn Khaldun, dilshirkan di Tunisia pada tahun 1332. Lihat Charles Issawi, An Arab Philosophy of History, Ali Bahsa Mukti Ali, Filsafat Islam tentang Sejarah (Bandung: Tintamas; 1967), h. 2.
[50]Kelihatannya Fazlur Rahman terpengaruh terhadap pemikiran teologi al-Ghazali, lih. Al-Ghazali, Kitab al-Iqtishadi fi al-I’tiqad, h. 163-164
[51]Ibid.
[52]Fazlur Rahman, Islam ..., h. 3. Dalam perspektif itu, tesis Alquran dari Fazlur Rahman juga mempunyai keterpengaruhan, minimal benang merah dengan tesis Ibn Rusyd. Menurut tokoh Muslim pasca al-Ghazali itu, Alquran sebagai Kalam Allah adalah qadim, dan lafaznya adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia. Oleh karena itu, lafaz-lafaz selain Alquran yang merupakan perbuatan manusia. Sedangkan huruf-huruf dalam mushhaf adalah buatan manusia dengan seizin Allah. Meskipun begitu, manusia wajib menghormati huruf-huruf itu karena ia menunjukkan kepada lafaz yang diciptakan Allah dan kepada makna yang bukan ciptaan. [52] Pengaruh Ibn Rusyd pada Fazlur Rahman terletak pada pembedaan antara yang dibaca dan bacaan, yang kemudian oleh Rahman diuraikan dalam bentuk defenisi sebagaimana tersebut diatas.
[53]Ibid.
[54]Misalnya, al-Baqillani berpendapat bahwa Jibril membacakan Alquran yang berbahasa Arab, Lihat. Al-Baqillani, Kitab al-Inshaf, h. 147.
[55]Q.S> An-Nahl/16: 102. Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, h. 95-96.
[56]QS. An-Nahl/16: 2.
[57]al-Zarqani, Manahil al-’Urfan fi ‘Ulum Alquran, Jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 43-37
[58]Ibid.,  h. 76-79.
   [59]Rahman, Prophecy in Islam, h. 99-109.
[60] Amal, Taufik Adnan (peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung:Mizan, 1987, h. 80.
[61] Taufik Adnan Amal,  Metode dan Alternatif....., h. 75.
[62]Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia Press, 1999, h. 145-146.
[63] Rahman, Fazlur., 1967, “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man”, in Jurnal Islamic Studies, No. 1, h. 6-7.
[64] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996, h. 97-98.
[65] Ibid.,  h. 35.
[66] Rahman, Fazlur., 1967, “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man,” in Jurnal Islamic Studies, No. 1, h. 14.
[67] Fazlur Rahman, Tema Pokok ..., h.154.         
[68] Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam ..., h. 148.
[69] Fazlur Rahman, Tema Pokok....,  h. 163.
[70]Abul A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, dalam Khursid Ahmad (ed.), Islamic Law and Constitution (Lahore: 1967), h. 243. Lihat juga Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah (Beirut: t.tt), h. 5.
[71]Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (Austin: 1982), hlm. 6, dan lihat juga, Imam Khomeini, Islam and Revolution (Berkeley: 1981), h. 35.
[72]‘Ali ‘Abd al-Ráziq, al-Islam wa Usul al-Hukm (Beirut: 1966), h. 92.
[73]Ibid., h. 95.
[74]Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 16.
[75]Ibid.
[76]Ibid.
[77]Q.S. Ali Imran [3]: 104.
[78]Rahman, Major Themes, h. 43.
[79]Ibid., h. 44.
[80]Q.S. al-Maidah [5]: 33-34.
[81]Rahman, Tema Pokok, h. 64-65. Lihat juga Rahman, Major Themes, h. 44.
[82]Lihat, Q.S. an-Nisa [4]: 59.
[83]Konsep laissez faire, konsep yang berprinsip membiarkan masyarakat mengajarkan apa yang mereka sukai, dan tidak mencampuri urusan politik. Lihat Fazlur Rahman, Membuka Pintu, h. 136.
[84]Istilah oportunisme bersal dari kata oportune artinya kesempatan. Oportunisme politik berarti memanfaatkan atau mengambil kesempatan mendukung penguasa untuk tujuan-tujuan kepentingan kelompoknya. Lihat, Andreas Halim, Kamus Lengkap Praktis (Surabaya: Fajar Mulya, 2000), h. 233.
[85]Rahman, Membuka Pintu, h. 137-138.
[86]Lihat Edward Shill, Representation of the Intelectual, edisi Indonesia Peran Intelektual (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993).
[87]Ibid., h. 32.
[88]Ibid., h. 54.
[89]Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Alquran”‘dalam Jurnal Islamika, No. 2 (Oktober-Desember, 1993), h. 23.
[90]Fazlur Rahman “Some Key Ethical Concept of the Quran”, yang dimuat dalam Journal of Religious Ethics, jilid XI, No. 2, 1983, h. 170. 


0 comments: