Oleh: Maraimbang
A. Pendahuluan
Fazlur Rahman merupakan seorang
pemikir yang cukup besar perhatian dan pengaruhnya terhadap perkembangan dan
kemajuan umat Islam. Karena perhatiannya tersebut, salah seorang muridnya di
tanah air, Ahmad Syafii Ma’arif mengatakan bahwa barangkali Fazlur Rahman-lah
yang dipandang sebagai salah seorang yang paling serius memikirkan persoalan
Islam di antara pemikir kontemporer yang ada jika diperhatikan kiprahnya yang
dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya demi membangkitkan dan
mengembang-kan intelektualitas umat Islam.
Memang, diakui maupun tidak,
gagasan-gagasannya telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan
intelektual di dunia Islam. Bahkan pengaruh pemikirannya begitu terasa di tanah
air lewat banyaknya karya Fazlur Rahman yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan ini setidaknya merupakan bukti bahwa ide-ide Fazlur Rahman
mendapat sambutan positif dan mempengaruhi umat Islam Indonesia.
B. Riwayat Hidup dan Karyanya
Fazlur Rahman dilahirkan pada 21 Sep-tember
1919 M/1338 di distrik Hazara, Punjab, suatu daerah di anak benua Indo-Pakistan
yang sekarang terletak di sebelah barat laut Pakistan.[1] Ia dibesarkan dalam suatu keluaraga dengan
tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup kuat. Oleh karenanya, sebagaimana
diakuinya sendiri bahwa ia telah terbiasa menjalankan ritual-ritual agama,
seperti shalat dan puasa se-cara teratur sejak masa kecilnya dan tidak pernah
meninggalkannya.[2]
Dasar pemahaman keagamaan keluarganya yang
cukup kuat itu dapat ditelusuri dari ayahnya yang bernama Maulana Shihab
ad-Din, seorang ulama tradisional kenamaan lulusan Dar al-‘Ulum, Deoband. Maulana Shihab ad-Din
sendiri adalah seorang ulama modern, meskipun terdidik dalam pola pemikiran
Islam tradisional,[3]
Ayahnya ini memiliki keyakinan bahwa Islam
melihat modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang
harus dihadapi. Keyakinan seperti ini pulalah yang kemudian dimiliki dan
mewarnai kehidupan dan pemikiran Fazlur Rahman.[4]
Bekal dasar tersebut di atas memiliki
pengaruh signifikansi yang cukup berarti dalam pembentukan kepribadian dan
intelektualitas Fazlur Rahman pada masa-masa selanjutnya. Melalui didikan
ayahnya, Fazlur Rahman menjadi sosok yang cukup tekun untuk menimba pengetahuan
dari berbagai sumber dan media, termasuk karya-karya Barat. Pengajaran
dan pendidikan tradisional ilmu-ilmu keislaman pada waktu kecil beliau terima
dari ayahnya Maulana Shihab ad-Din di rumah. Pada
usia 10 tahun, Rahman pun dapat
menghafal Alquran. Selanjutnya pada usia 14 tahun, ia sudah mulai
belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis dan tafsir. Apalagi setelah
beliau menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Persia, Urdu, Inggris,
Perancis, Jerman, Latin dan Yunani, semakin memperteguh kualitas intelek-tualitasnya.[5] Pengaruh ayah dan
ibunya tersebut sangat kuat dalam membentuk kerangka pemikiran dan pengamalan
keagamaan Fazlur Rahman. Sang ayah yang dididik dalam pola pemikiran Islam
tradisional namun toleran terhadap nilai-nilai modernitas sebagai kenyataan
sehari-hari. Dari ibunya diajarkan nilai-nilai kebenaran, kasih sayang,
ketabahan dan cinta. Kedua orangtuanya ini ikut memberikan bekal yang cukup
signifikan dan mendasar terhadap pembentukan kepribadian dan keintelektualan
Fazlur Rahman pada masa selanjutnya. [6]
Hal lain yang mempengaruhi Fazlur Rahman
adalah tradisi mazhab Hanafi yang dianut oleh keluarganya dan ini yang
membentuk pola pemikirannya dalam hal keagamaan. Tradisi mazhab Hanafi dikenal
sebagai salah satu mazhab Sunni yang mengedepankan akal-logika. Ini menjadi
modal landasan berpikir Fazlur Rahman untuk selalu berada di lajur pemikiran
keagamaan yang bercorak rasional. Meskipun demikian, beliau tidak mau
dikungkung oleh satu mazhab tertentu.[7]
Pemikiran keagamaan Fazlur Rahman juga banyak
dipengaruhi pola pemikiran kalangan modernis dan sedikit tokoh-tokoh liberal
Pakistan sebelumnya sebagaimana yang diajarkan oleh Syah Waliyullah ad-Dihlawi
(1703-1762 M),[8] Sayyid
Ahmad Khan (1817-1898 M),[9] Sayyid Amir Ali (1849-1928 M),[10] dan Muhammad Iqbal (1977-1938 M),[11] pada
masa ini umat Islam di India sedang bergejolak dan berjuang membentuk negara
sendiri yang bebas dari India, yaitu suatu negara yang berlandaskan ajaran
Islam.
Pada tahun 1940, Fazlur Rahman menyelesaikan
studinya pada program Bachelor of Art. Dan dua tahun kemudian ia meraih
gelar Master dalam bahasa Arab. Kedua gelar ini diperolehnya dari Universitas Punjab,
Lahore. Namun gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi di anak-benua India
itu tampaknya lebih bersifat formalitas-akademia dibandingkan dengan aspeknya
yang bersifat intelektual. Hal ini terbukti dari pernyataannya sendiri bahwa
Pakistan tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual.[12] tentunya yang dimaksudkan dengan
pernyataan-nya itu ialah dalam pengertian dasar intelektual yang memadai. Kritiknya
terhadap sistem pendidikan Islam tercermin dari ungkapannya berikut: “Bila
bahan bakar minyak bumi lenyap dari dunia, mungkin ada gantinya. Tetapi bila
Islam yang lenyap, gantinya tidak akan ada lagi.”[13] Hal ini menunjukkan komitmen dan keprihatinan
Fazlur Rahman terhadap kondisi pen-didikan dan intelektual umat Islam pada masa
itu.
1.
Pengembaraan Intelektual
Pertama
Setelah memperoleh gelar Master of Art
dari Universitas Punjab pada tahun 1946, ia melanjutkan studi ke Universitas
Oxford Inggris, walaupun pada saat itu terdapat anggapan di kalangan umat Islam
bahwa belajar ke Barat adalah sesuatu yang naif. Namun Fazlur Rahman tetap pada
pendiriannya didasarkan atas ketidakpuasannya terhadap mutu pendidikan di
negara-negara muslim, termasuk di Pakistan.[14]
Di
sini, selain mengikuti kuliah, Rahman aktif belajar bahasa-bahasa Barat,
seperti bahasa Inggris, Yunani, Latin, Jerman, dan Perancis. Kemampuannya yang
cepat menguasai berbagai bahasa sangat membantu memperluas wawasan keilmuannya,
khususnya dalam studi-studi Islam melalui penelusuran terhadap literatur yang
ditulis para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka.[15]
Ketika Pakistan memisahkan diri dari India pada tanggal
14 Agustus 1947 dengan konsep dasar negara Islam, Fazlur Rahman kebetulan
sedang menempuh studinya di Oxford University. Itulah sebab nantinya, ketika
Ayub Khan tampil sebagai presiden Pakistan melalui suatu kudeta militer, ia
berusaha mengakomodir pemikiran tokoh-tokoh Islam konservatif maupun modernis
yang salah satunya adalah Fazlur Rahman.
Dalam waktu yang relatif singkat Fazlur
Rahman menyelesaikan studinya pada tahun 1949 dengan meraih gelar Philosophy
of Doctor (Ph.D) di bawah bimbingan S. Van den Bergh dan Hamilton A. R Gibb
dengan disertasi mengenai pemikiran Ibn Sina berjudul Avicenna’s
Psychology. Pada tahun 1952, ia
menerbitkan terjemahannya terhadap salah satu karya monumental Ibn Sina, yakni
kitab al-Najat,[16] sehingga mengangkat reputasinya di kalangan
sarjana ketimuran.
Setelah meraih gelar doktor, Fazlur Rahman
tidak langsung kembali ke negerinya Pakistan, karena ia cemas terhadap kondisi
negerinya ketika itu agak sulit menerima kehadiran seorang sarjana keislaman
dari Barat.[17] Ia
kemudian memutuskan untuk tinggal selama beberapa tahun di Barat dengan
mengajar di Universitas Durham, Inggris. Ketika mengajar di Universitas ini, ia
berhasil merampungkan karyanya Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy,
yang diterbitkan pertama kali tahun 1958.
Karya ini dilatarbelakangi oleh kenyataan
bahwa selama ini sarjana modern yang mengkaji pemikiran keagamaan umat Islam
kurang menaruh perhatian terhadap doktrin kenabian, dan lebih terpusat pada
masalah-masalah legal dan sosial praktis. Itulah sebabnya, karya Rahman ini
memfokuskan perhatian pada area pemikiran religio-filosofis Islam tersebut.[18]
Selanjutnya
Fazlur Rahman pindah dan mengajar di Institute of Islamic Studies, McGill
University, Kanada dan menjabat Associate Professor of Philopsophy
sampai awal tahun 1960, di sini ia berkenalan dengan Wilfred C. Smith, salah
seorang orientalis kenamaan yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Institute
of Islamic Studies, McGill University.[19]
2. Mengabdi di Tanah Air
Pada tahun 1960, Fazlur Rahman kembali ke
Pakistan karena diminta oleh Ayub Khan, Presiden Pakistan untuk ikut
berpartiaipasi dalam mem-bangun negara Pakistan.[20] Ketika itu, Pakistan menghadapi kontroversi
antara kelompok tradisionalis-fundamentalis dengan kelompok modernis.[21] Presiden Ayub Khan, menunjuknya sebagai Direktur
pada lembaga penelitian Institute of Islamic Research, yang berkedudukan
di Karachi. Melalui lembaga ini, Rahman memprakarsai penerbitan Journal
Islamic Studies, yang hingga sekarang secara berkala masih terbit dan
merupakan jurnal ilmiah setaraf internasional.
Pada tahun
1962 ketika Fazlur Rahman diminta Presiden Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga
Riset Islam (Islamic Research Institute), dan tahun 1964 sebagai anggota
Dewan Penasehat Ideologi Islam (The Advistory Council of Islamic Ideology), ia
berusaha mengabdikan dirinya mewujudkan cita-cita tersebut, yaitu membangkitkan
kembali visi Alquran dari puing-puing reruntuhan sejarah.[22]
Sepanjang tahun 1968, terjadi kerusuhan dan pemogokan di
mana-mana yang mengungkapkan keberatan masyarakat terhadap pandangan Fazlur
Rahman tentang; (1) Sunnah dan Hadis di mana ia mempertahankan
kesahihan dan kenormatifan Sunnah Nabi.
(2) Penyembelihan hewan secara mekanis. Pada musim semi tahun
1967, Fazlur Rahman menerima surat dari Kantor Komisaris Tinggi Pakistan di
London yang mengabarkan bahwa, pemerintah Inggris meminta Pakistan untuk
membuka usaha penyembelihan hewan secara mekanis. Fazlur Rahman kemudian membalas
surat tersebut dan mengemukakan bahwa hewan hasil sembelihan mekanis itu halal,
serta melampirkan teks fatwa Imam Syafi'i. Namun, secara tidak terduga isi
surat Fazlur Rahman itu terbit di media cetak Pakistan tanggal 23 September
1967, sehingga sebagian besar khatib Jum'at mengutuk pandangannya itu.[23] Menanggapi hal itu, bulan
September 1968 Fazlur Rahman
mengundurkan diri
sebagai Direktur Lembaga Riset
Islam. Pada tahun 1969,
ia juga melepaskan keanggotaannya dari Dewan Penasihat Ideologi Islam. Karena
ada tawaran
mengajar dari University of California,
Los Angeles (UCLA),
akhirnya mendorong Fazlur Rahman untuk berhijrah ke Amerika, sebagai
aktualisasi pemikiran kelak.
3.
Pengembaraan Intelektual Kedua
Salah satu alasan
hijrahnya Fazlur Rahman ke Los Angeles, Amerika Serikat dapat dilacak pada
sikapnya yang realistis dan sekaligus
idealis. la menyadari gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak pernah menemukan
lahan yang subur di Pakistan. Padahal
menurut tokoh ini, vitalitas karya intelektual sangat tergantung pada suatu
lingkungan intelektual yang bebas. Gagasan yang bebas dan gagasan itu sendiri
adalah dua kata yang sinonim. Suatu gagasan tidak akan pernah survive tanpa
adanya kebebasan. Jadi, pemikiran atau gagasan tentang lslam sama dengan pemikiran yang lain
menuntut adanya kebebasan di mana dalam kondisi itu perbedaan pendapat,
konfrontasi pandangan, dan perdebatan antara ide-ide itu dapat dijamin.[24]
Selama di Chicago, Fazlur Rahman
mencoba mencurahkan seluruh aktivitas kehidupannya pada dunia keilmuan. Seluruh
kegiatannya hanya berkisar
pada aktivitas yang berkaitan secara langsung dengan aspek keilmuan. Bahkan kehidupannya
banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya yang terletak di basement rumahnya yang terletak di Neperville, kurang
lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. la sendiri dengan bercanda
menggambarkan dirinya seperti seekor ikan yang naik ke atas hanya untuk
mendapatkan udara.[25]
Konsistensi
dan kesungguhan Fazlur Rahman dalam dunia intelektual dapat dibuktikan dari
pengakuan lembaga keilmuan yang berskala internasional. Misalnya, pada tahun
1983 ia menerima penghargaan Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E. Von
Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los
Angeles. Fazlur Rahman adalah orang Islam pertama dan satu-satunya (sampai
meninggalnya) yang menerima penghargaan itu.[26]
Pada pertengahan dasawarsa delapan
puluhan kesehatan Fazlur Rahman mulai terganggu karena penyakit kencing manis dan jantung yang dideritanya. Bahkan ketika
dokter pribadinya telah memberikan lampu kuning agar mengurangi kegiatannya, ia
tetap memenuhi undangan pemerin-tah
Republik Indonesia pada musim panas 1985. Di Indonesia, Fazlur Rahman tinggal selama 2 bulan, melihat keadaan Islam di
negeri ini
sambil beraudiensi, berdiskusi, dan memberi kuliah di beberapa tempat. Akhirnya, pada
tanggal 26 Juli 1988 ia wafat di Amerika Serikat dalam usia 69 tahun setelah
beberapa lama sebelumnya ia dirawat di Rumah Sakit Chicago.[27]
4.
Karya-Karya Utama
Kajian dan
penelusuran terhadap karya-karya Fazlur Rahman dianggap perlu dalam rangka
mencari benang merah gagasan dan pemikirannya yang dibahas dalam tulisan ini.
Dalam pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkannya yang lebih dari seratus
buah, tidak akan diungkap dan dijelaskan semua. Pembahasan hanya ditekankan kepada
beberapa karyanya yang dianggap mewakili gagasan sentralnya.
Karya
orisinal pertama Fazlur Rahman yang berbentuk buku adalah Prophecy in Islam:
Philosophy and Orthodoxy, yang diterbitkan oleh George Allen and Unwire
Ltd., London pada tahun 1958. Dalam buku
ini, ia membandingkan antara pandangan kaum
filosof dan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep kenabian dan wahyu. Kemudian, karya Fazlur Rahman bersifat historis
adalah bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History, yang pada
mulanya ditulis dalam bentuk artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Islamic Studies, mulai
bulan Maret 1962 sampai juni 1963, ketika ia di Pakistan. Karya ini bertujuan untuk
memperlihatkan evolusi historis terhadap aplikasi prinsip-prinsip dasar
pemikiran Islam yang empat: Alquran, Sunnah, ijtihad, dan ijma', yang menjadi
kerangka bagi semua pemikiran Islam, selain untuk menunjukkan peran aktual keempat unsur tersebut dalam
perkembangan Islam.[28]
Buku Fazlur Rahman yang lain Islam, ia berusaha menjadikan Islam sebagai
agama yang 'hidup' melalui pembedaan antara yang normatif dan historis. Buku
ini diterbitkan pertama kali tahun 1966 oleh Holt, Rinehart dan Winson. Pada
tahun 1968, kembali diterbitkan pada edisi The Anchor Book tanpa ada perubahan.
Kemudian pada tahun 1979 terbit edisi kedua yang diberi tambahan epilog.[29]
Dalam
buku ini, Fazlur Rahman menyajikan perkembangan Islam selama empat belas abad
perjalanan sejarahnya. la mengawali bahasannya dari sejarah Nabi Muhammad,
kemudian dilanjutkan tentang Alquran, sunnah, hukum, teologi, filsafat,
sufisme, sekte-sekte, pendidikan, serta gerakan pembaharuan, dan kemudian
diakhiri dengan analisis kritis terhadap warisan Islam.
Setelah menulis tentang Ibn Sina pada awal kehidupan
intelektualnya, Fazlur Rahman kemudian melahirkan karya berjudul The
Philosophy of Mulla Shadra. Melalui buku yang diterbitkan pertama kali oleh
State University of New York Press pada tahun 1975 itu, dia memperkenalkan
secara kritis dan analitis
dari pemikiran religio filosofis Mulla Shadra[30] (w. 1460 M), salah satu tokoh filsafat Islam.
Sebagai seorang intelektual Muslim,
Fazlur Rahman berupaya tanpa henti untuk mencari metode yang tepat dalam
menangkap arti Alquran secara utuh dan sistematis, yang melahirkan karyanya berjudul Major Themes
of the
Qur'an, yang edisi pertama diterbitkan pada
tahun 1980 oleh Bibliotheca Islamica, Minneapolia, Chicago. Dalam setup wacana intelektual
Fazlur Rahman, Alquran selalu dijadikan sebagai sumber rujukan utama. Wacana
ini kembali digaungkannya dalam
karya Islam and Modernity. Transforma-tion of an Intellectual Tradition, yang diterbitkan pertama kali oleh
the University of Chicago Press, 1982.[31]
Fazlur Rahman kemudian
mengangkat masalah
kesehatan dan pengobatan dalam perspektif Islam melalui karyanya Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and
Identity, yang
diterbitkan pertama kali oleh Crossroad, New York, tahun 1987,[32] sebagai karya terakhir, dan
lanjutan dari nilai yang terdapat pada karya-karya sebelumnya. Dalam buku ini
ia menunjukkan sikap dan pandangan
positif Islam dalam menangani
masalah-masalah dasar ke-hidupan umat manusia. Fokus perhatiannya diletakkan
pada bidang kesehatan, pemeliharaan dan pengobatan.
Selain karya yang
berbentuk buku di atas, masih banyak lagi karya Fazlur Rahman yang lain berupa
artikel-artikel yang diterbitkan dalam berbagai jurnal ilmiah. Tidak diragukan lagi, bahwa
Fazlur Rahman telah memberikan kontri-busi yang
cukup berharga bagi pengembangan wacana keislaman modern. Bila ditelusuri lebih
lanjut, minimal ada lima aspek yang ditinggalkannya terhadap kajian Islam,
khususnya di Amerika Serikat.
Pertama, Fazlur Rahman mampu menggabungkan
antara tradisionalisme Islam Sunni, modernisme Islam
dan skolastisisme Barat. Kedua, dalam mencari kebenaran, Fazlur Rahman
melakukan inovasi secara berani dan apresiatif di antara sikap Islam dan sikap
Barat. Ketiga, ia mengenalkan metodologi pengkajian Islam yang bersifat
interdisipliner.
Keempat, dengan sikapnya yang gentle, spirit dan intelektulitasnya yang tajam, menjadikan
Fazlur Rahman dan pemikiran-nya diterima secara luas dalam pengkajian Islam di
Amerika Serikat. Kelima, dia telah
meninggal-kan warisan pemikiran kepada muridnya yang tersebar di berbagai universitas dan
perguruan tinggi Amerika
Serikat dan Kanada. Melalui murid-muridnya, gagasan-gagasan yang pernah
dikemukakan Fazlur Rahman terus
berkembang sampai saat ini.[33]
Dengan lima varian yang ditinggalkannya itu, Fazlur
Rahman menjadi salah satu tokoh yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan
Barat. [ ]
C. Pokok-Pokok Pemikiran Fazlur Rahman
1.
Wujud Tuhan
Fazlur Rahman dalam menerangkan gagasan tentang Tuhan dan
alam semesta senantiasa mengacu pada Alquran
sebagai sumber otoritas primer dan senantiasa aktual dan kontekstual dalam
setiap masa dan keadaan dimana manusia berada.[34] Menurut Rahman, semua
pernyataan Alquran tentang alam - ataupun Tuhan
sekalipun- pada dasarnya menyatakan tentang keberadaan manusia.
Hal ini ditunjukkan Alquran yang dengan tegas menolak untuk
menyinggung masalah kekuasaan Ilahi – dengan mengutip beberapa ayat Alquran –
yang menyatakan bahwa, Tuhan Maha Kuasa
sebagai Pencipta alam semesta, dan manusia diberi pilihan dan diserahi
tanggung jawab. Salah satu fungsi gagasan tentang Tuhan adalah menjelaskan
keteraturan alam semesta sekaligus bahwa konsep Tuhan merupakan bagian dari
logika yang inheren yang harus ada, dengan memberi pernyataan bahwa
Tuhan bukan saja transenden tetapi juga imanen. Hal ini dibuktikan
oleh ayat-ayat Alquran tentang hubungan
seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan.[35]
Dalam pandangan Rahman, Tuhan itu memang dekat, namun
bisa juga dipandang sangat jauh. Lebih lanjut katanya bahwa yang menjadi
masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan
bukti-bukti teologis yang panjang lebar tentang eksistensi Tuhan, tetapai
bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai
fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang mengingatkan
manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya
dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu.
Dia serba meliputi; secara harfiah dia adalah tak terhingga dan hanya Dia
sajalah yang tak terhingga.[36] Mengutip pendapat Ibn Sina, perbedaan
antara Allah sebagai Penvipta dengan makhluk sebagai ciptaanNya menurut Rahman
adalah jika Allah ‘tak terhingga dan mutlak’
maka segala ciptaanNya adalah ‘terhingga’. Setiap sesuatu memang
memiliki potensi-potensi tertentu, tetapi potensi-potensi tersebut tidak dapat melampau
keterhinggaannya dan menjadi ‘tak terhingga’.[37]
2.
Kenabian dan Wahyu
Fazlur
Rahman mengemukakan
tentang perbandingan antara pandangan kaum filosof
dan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep kenabian dan wahyu.
Pembahasannya dimulai tentang konsep akal manusia menurut Ibn Sina (w. 1037 M).[38]
Dalam pandangan Ibn Sina, akal aktual manusia lebih merupakan cermin yang di
dalamnya tiap-tiap bentuk sesuatu dan sebagai emanasi dari Akal Aktif (Active
Intelligence) ditanamkan atau direfleksikan, dan kemudian diambil ketika
manusia mengalihkan perhatian kepada sesuatu yang lain.[39] Pada manusia biasa,
cermin itu tertutup akibat berhubungan dengan badan, atau penglihatannya
berpenyakit. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan proses-proses yang bersifat
perenungan dan sensitif yang akan menjadikan cermin itu bersih, atau diperlukan
pengobatan terhadap penglihatan tersebut.[40]
Dalam
perspektif Ibn
Sina, manusia dapat berhubungan dengan Akal Aktif ketika manusia telah
mencapai akal aktual (actual intellect), dan selanjutnya melalui
latihan-latihan akan dapat mencapai akal mustafad (acquirred
intellect). Dalam taraf ini, manusia sudah tidak dapat diatur lagi oleh orang lain dalam hal
apapun. Bahkan, ia benar-benar telah memperoleh semua pengetahu an dan
makrifat, serta tidak memerlukan orang lain untuk mengatur dirinya dalam segala
hal.[41]
Wahyu datang pada orang yang telah mencapai tingkat ini.
Namun dalam masalah kenabian, proses-proses itu tidak diperlukan lagi karena
seorang Nabi dari sifatnya adalah murni; dan karena itu ia secara langsung
dapat berhubungan dengan Akal Aktif.[42] Pembahasan
doktrin intelek dalam kenabian menurut pandangan kaum filosof, dengan
mengangkat al-Farabi[43]
(w. 956 M) dan Ibn Sina, merupakan pembahasan bagian pertama dan kedua buku Propechy
in Islam Philosophy and Ortodoxy.
Pada bagian ketiga, Fazlur Rahman mengangkat masalah
kenabian dari perspektif ortodoksi yang dikemukakan oleh ahli ilmu kalam. Ada
tiga aliran utama dalam teologi skolastik mengenai kenabian. Pertama, adalah
‘mutakallimun dogmatik’ yang memperbolehkan penggunaan akal secara terbatas
untuk menjelaskan dan mendukung dogma. Aliran
ini diwakili
oleh al-Syahrastani[44]
(w. 1153 M) dan merupakan aliran ortodoksi terbesar. Kedua, aliran yang
berbentuk dogmatisme
akat yang mengabaikan akal dan hanya menggunakannya untuk menyerang
posisi-posisi kaum rasionalis,
yang diwakili oleh Ibn Hazm[45]
(w. 1064 M). Ketiga, adalah pandangan yang berdiri di antara
dua aliran
yang menerima penggunaan akal, namun menolak kaum filosof dan pemikirannya
secara total, Serta menolak sufisme tetapi menekankan nilai-nilai spiritual
dalam kerangka Islam. Aliran terakhir ini direpresentasikan oleh lbn Taimiyah [46](w.
1328 M). Tipologi
ketiga aliran
pemikiran itu sepakat menolak pendekatan intelektualitas murni para filosof
terhadap fenomena kenabian, dan tidak keberatan untuk menerima kesempurnaan
intelektual Nabi. Meskipun demikian, mereka lebih menekankan nilai-nilai syari'ah daripada
nilai-nilai intelektual.[47]
Fazlur
Rahman kemudian menjelaskan
beberapa tokoh Muslim terkenal dan dianggap kelompok ortodoks yang menerima
esensi doktrin filosofis tentang kenabian dan memasukkannnya ke dalam Islam
secara integral. Di antaranya adalah al-Ghazali[48]
(w. 1111 M) yang dikenal sebagai tokoh sufi, dan Ibn Khaldun[49] (w. 1406 M), yang
dikenal sebagai seorang ahli sosiologi Islam dalam sejarah. Manurut Fazlur Rahman, Wahyu
adalah kalam Allah, dengan demikian Alquran merupakan kalam Allah. Kalam Allah peng-ertiannya sangat abstrak, untuk itu perlu dijelaskan
terlebih dahulu pemikiran Fazlur Rahman tentang hubungan kalam Allah dengan
Alquran atau wahyu itu sendiri.
Rahman membedakan pengertian antara bacaan (qira’ah),
yang dibaca (maqru’), dan Alquran. Bacaan adalah perbuatan yang bersifat
inderawi yang dilakukan pembaca dalam waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu,
bacaan adalah baru. Sedang “yang dibaca” adalah kalam Allah yang qadim yang
terdapat pada zat-Nya. Apa yang dibaca adalah searti dengan Alquran. “Apa yang dibaca” dalam pandangan al-Ghazali
adalah sesuatu yang terdapat di balik bacaan, bukan mushaf itu sendiri.[50]
Untuk menghindari kontroversi adanya
kalam Allah yang qadim dengan Alquran yang terdapat dalam mushhaf,
al-Ghazali menyatakan bahwa sesuatu yang ditunjukkan (madlul) bukan
bukti (dalil) itu sendiri. Kalam Allah adalah madlul, sedangkan huruf-huruf yang ada dalam
mushhaf adalah dalilnya. Berdasarkan penjelasan itu, ia menyimpulkan bahwa “apa”
yang ditulis di mushhaf, dipelihara di hati dan dibaca melalui bacaan adalah
Kalam Allah. Artinya, Kalam Allah adalah “sesuatu” yang ditulis,
dibaca, dan dihafal; dan bukan tulisan, bacaan dan hafalan itu sendiri.
Meskipun sesuatu yang dibaca, yang ditulis, dan yang dihafal berbeda dengan
bacaan, tulisan dan hafalan itu sendiri, tiga unsur yang pertama tersebut
mempunyai hubungan yang erat dengan tiga yang terakhir.[51]
Fazlur Rahman meletakkan pandangan
al-Ghazali itu dalam rumusan bahwa
“Alquran keseluruhannya adalah Kalam Allah sejauh ia sempurna dan bebas dari
kesalahan, namun sepanjang ia turun ke dalam hati Nabi dan kemudian berada pada
ucapan, maka ia keseluruhannya adalah kata-katanya.”[52] Namun tesis al-Ghazali itu belum menjelaskan
secara tuntas bagaimana wahyu sebagai kalam al-nafs dan berbentuk
lafaz-lafaz sebagaimana terdapat dalam mushhaf . Pada sisi ini Fazlur Rahman memberikan jalan keluar
mengenai hubungan itu. Ia membeda-kan
meskipun tidak dapat dipisahkan antara apa yang dibacakan Nabi Saw dan wahyu
yang bersifat transendental. Lafaz-lafaz Alquran yang dibaca Nabi merupakan
representasi yang akurat dari fi’il kreatif yang berasal dari wahyu
ilahi. Kata itu harus direpresentasikan karena penurunannya semata-mata untuk
membimbing manusia, makhluk yang dalam kehidupannya tidak melepaskan diri dari
bahasa dan ungkapan.
Melalui pemahaman semacam itu Fazlur
Rahman menerima, bahkan menyakini Alquran sebagai Kalam Allah yang diwahyukan
secara verbal kepada Nabi dan bukan hanya pewahyuan dalam makna atau ide-idenya
saja.[53] Namun ia menolak pandangan mengenai
pewahyuan yang mekanis dan eksternal sebagaimana pandangan kalangan ortodoks,[54] sehingga penyampaiannya terkesan
seakan-akan Jibril datang dan menyerahkan risalah Tuhan kepada Nabi Muhammad,
seperti seorang tukang pos yang
menyerahkan surat. Penyampaian
semacam ini tidak dapat
diterima Fazlur Rahman karena dalam proses semacam itu sulit untuk
menghubungkan antara yang transendental dan Ilahi pada satu pihak, dan Nabi sebagai mausia pada pihak
lain.
Bagi Fazlur Rahman, Jibril sebagai penyampai wahyu adalah
Spirit (Ruh). Pandangannya itu didasarkan bahwa Ruh al-Qudus menurunkan Alquran
kepada Nabi; dan juga kepada ayat-ayat lain yang senada dengan itu.[55]
Menurutnya, Ruh Suci itu adalah bagian dari para malaikat, bukan
berarti Ruh Suci itu berbeda secara keseluruhan dari malaikat. Kemungkinan
besar Ruh itu adalah malaikat yang paling mulia dan paling dekat kepada Allah.
Untuk sampai kepada kesimpulan itu, Rahman merujuk firman Allah yang menyatakan: “Ia
menurunkan para malaikat dengan Ruh dari perintah-Nya kepada siapa saja Ia
kehendaki dari hamba-hambanya.”[56]
Secara prinsip, Ruh tersebut adalah
kekuatan, kemampuan, atau agen yang berkembang di hati Nabi Muhammad saw, yang
awalnya turun dari ‘atas’, dan ketika diperlukan berubah menjadi operasi wahyu
yang aktual. Dalam pandangannya, konsep tersebut adalah sangat sesuai dengan
anggapan atau tradisi Islam yang sudah umum yang menyatakan bahwa keseluruhan
Alquran pada mulanya diturunkan ke langit yang paling bawah, dan setelah itu
ayat-ayat verbal yang relevan muncul ketika dibutuhkan.[57] Berdasarkan paparan di atas, Fazlur Rahman berargumentasi
bahwa Alquran benar-benar bersifat ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, sebagaimana hal telah menjadi kenyakinan kalangan
ortodoks.
Sejalan dengan hal di atas, maka
pengutusan para rasul atau nabi dalam perpektif pemikiran Fazlur Rahman
merupakan puncak dari kekasih sayang Allah pada satu sisi, dan
ketidak-kedewasaan manusia dalam persepsi dan motoivasi etisnya pada sisi lain.
Ada kaitan yang erat
antara pengutus rasul atau nabi dan kasih sayang Allah disatu pihak, dan
kelemahahan manusia di lain pihak. Dengan bahasa lain, manusia memiliki
kemampuan terbatas. Karena itu, manusia membutuhkan bimbingan dan peringatan
agar tidak menyimpang dari jalan kebenaran. Sebagai implikasi logisnya, Allah
Yang Maha Pengasih akan mengutus para rasul atau nabi untuk mengingatkan,
membimbing dan menunjukkan mereka kepada jalan yang benar.[58]
Berdasarkan
kajiannya, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa antara filosof dan teolog
sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai konsep kenabian dan
wahyu. Bagi
filosof, Nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Akal Aktif. Sedangkan
menurut para teolog, para nabi mempunyai
dua
sisi; kemanusiaan dan kenabian. Dalam sisi kemanusiaan, para nabi adalah sama
dengan jenis manusia-manusia lain. Sedangkan dalam sisi kenabian, para nabi mempunyai
sifat-sifat sejenis
malaikat, selalu mengagungkan
Tuhan dan menyucikan transendensi-Nya.[59]
3.
Kedudukan Akal dan dan Fungsi Wahyu
Manusia
merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dan mulia. Ketinggian, keutamaan
dan kelebihan manusia dari makhluk lainnya terletak pada akal yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akal yang membuat manusia mempunyai kebudayaan
yang tinggi, mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengatur dan
mengubah alam sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik di masa
kini maupun di masa depan. Begitu pentingnya peranan akal dalam kehidupan
manusia sehingga perlu dipelajari kedudukannya dalam ajaran Islam.
Menurut Fazlur Rahman, Alquran menggambarkan
ketaatan dan penyerahan mutlak seluruh bagian objek natural kepada hukum-hukum
alam sebagai ibadah mereka kepada Tuhan. Alam semesta diciptakan menurut
hukum-hukum dan terus menjalankan pola-pola teratur. Sedangkan manusia
ditantang untuk menemukan hukum-hukum ini dan menempatkan pola-pola tersebut
sehingga ia bisa menaklukkan alam serta memanfaatkannya. Sesungguhnya, inilah
yang dinamakan amanah yang harus dilaksanakan sebagai pengabdian bagi manusia.
Amanah ini dimaksudkan agar manusia dapat menemukan hukum-hukum alam serta
menguasainya dan kemudian menggunakan penguasaan hukum alam tersebut di bawah
inisiatif moral manusia untuk menciptakan suatu tata dunia yang baik.[60] Dari ungkapannya ini dapat dikatakan bahwa
Rahman memberi kedudukan yang tinggi pada akal, yaitu untuk
memperkuat kebenaran wahyu dan hukum alam, karena bila akal lemah maka ia tidak
akan mampu menemukan hukum-hukum alam.
4.
Takdir atau Hukum Alam
Salah satu
fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan adalah untuk menjelaskan
keteraturan alam semesta. Menurut Fazlur Rahman, ajaran fundamental Alquran tentang alam semesta adalah:
a. bahwa ia merupakan sebuah kosmos,
sebuah tatanan,
b. bahwa ia merupakan suatu tatanan
yang berkembang, yang dinamis;
c. bahwa ia bukanlah suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus ditanggapi
secara serius; manusia harus mempelajari hukum-hukumnya yang merupakan bagian
dari perilaku Tuhan, dan men-jadikannya sebagai panggung dari aktivitas manusia
yang punya tujuan.[61]
Sebagai sebuah
kosmos, alam memiliki hukum-hukum dan logikanya sendiri. Menurut Alquran,
ketika Tuhan menciptakan sesuatu, yakni menghidupkan dan memberinya bentuk
lahiriah, pada saat yang sama Tuhan juga melengkapinya dengan hukum-hukum
kehidupannya dan menatanya dengan potensialitas-potensialitas serta dinamika
perkembangannya. Pertama, (yaitu menghidupkan sesuatu dan memberi
bentuk) diistilahkan dengan Khalq. Sedangkan yang kedua, (yaitu melengkapi sesuatu dengan
suatu sifat atau dinamika perilakunya) didefinisikan oleh Alquran dengan
istilah amr atau taqdir. Dari sinilah muncul konsep Rahman tentang takdir atau hukum
alam.[62]
Pengertian taqdir secara harfiah berarti ‘ukuran sesuatu’, dan qadar adalah jumlah
atau volume yang terukur. Fazlur Rahman menolak gagasan takdir yang sering dipahami sebagai peristiwa atau
kejadian. Penolakan ini secara tegas diungkapkannya dalam pernyataan berikut: “Ada dua hal yang berkaitan muncul di sini: Pertama, kejadian-kejadian di dunia ini
tidak pernah dipredeterminasi atau ditetapkan terlebih dahulu oleh Tuhan. Bahwa
kejadian “A” akan timbul pada waktu ‘A’ masih tetap merupakan kemungkinan terbuka di antara
alternatif-alternatif lainnya yang mungkin, hingga ia ditimbulkan secara
aktual. Kedua, hal ini disebabkan karena apa yang dideterminasi bukanlah
kejadian-kejadian sebagaimana disebut di atas, tetapi potensi-potensi,
kekuasaan-kekuasaan dan kekuatan-kekuatan. Jadi, ditetapkannya bahwa oksigen
memiliki suatu potensi yang dengannya, bila dicampurkan dengan hidrogen dalam
proporsi dan di bawah kondisi tertentu, akan menghasilkan air. Apa yang
dideterminasi di sini adalah potensi-potensi dari oksigen dan hidrogen untuk
berubah menjadi air jika dicampurkan di bawah kondisi tertentu. Sedangkan
kejadian aktual dari pencampuran keduanya pada suatu ruang dan waktu tertentu
tidaklah pernah dideterminasi sebelumnya.[63]
Berdasarkan pengertian takdir yang dikemukakan Rahman, dapat
dipahami bahwa takdir bukanlah sebuah kekuatan buta yang mengukur atau
menetapkan hal-hal yang tidak dapat dielakkan atau dikendalikan oleh manusia,
terutama sekali sehubungan dengan kelahiran, rezeki, dan maut. Konsep takdir yang
dikemukakan Rahman menekankan bahwa Allah memberikan ukuran dan sifat tertentu
kepada setiap sesuatu untuk menjamin keteraturan alam. Di samping itu, untuk
menunjukkan perbedaan terpenting yang tidak dapat dihilangkan di antara Allah
dan manusia.
Menurut Fazlur Rahman, perbedaan terpenting di antara Allah dengan
ciptaan-Nya adalah: “Jika Allah ‘tak terhingga’ dan Mutlak, maka setiap sesuatu
yang diciptakan-Nya adalah ‘terhingga’. Setiap sesuatu memiliki potensi-potensi
tertentu, tetapi betapapun banyaknya potensi-potensi tersebut tidak dapat
membuat yang terhingga melampaui keterhinggaannya dan menjadi tak terhingga.
Inilah yang dimaksudkan Alquran ketika ia mengatakan bahwa setiap sesuatu
selain dari Allah mempunyai ukurannya (qadar, taqdir, dan sebagainya), dan karena itu tergantung kepada Allah. Apabila sesuatu makhluk menyatakan
dirinya dapat berdiri sendiri atau merdeka, berarti dia mengakui memiliki sifat
ketidakterhinggaan dan sifat ketuhanan. Bila Allah menciptakan sesuatu, maka
kepadanya Dia memberikan kekuatan atau hukum tingkah laku yang di dalam Alquran
dikatakan petunjuk, perintah atau ukuran. Dengan hokum tingkah laku inilh
ciptaan-Nya itu dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam
alam semesta.[64]
Bila
dihubungkan dengan konsep takdir seperti yang disinggung terdahulu, maka
dalam pandangan Rahman, takdir atas manusia berarti Allah telah
menetapkan ukuran-ukuran tertentu yang bersifat potensial bagi manusia yang
dengan potensi itu manusia dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Dengan
demikian, kejadian-kejadian yang menimpa manusia atau sering disebut nasib,
sebetulnya mempunyai sebab-sebab tertentu yang alamiah dan bukan sebagai
determinasi Allah atas manusia. Jadi, keberuntungan ataupun kemalangan yang
menimpa manusia di dunia ini tidak lain adalah merupakan akumulasi dari
berbagai sebab. Jika manusia melakukan serangkaian usaha yang mengarah kepada
tercapainya nasib baik, maka ia akan memeroleh hasilnya, demikian pula
sebaliknya.
Berkaitan dengan konsep takdir deterministik seperti yang banyak berkembang
di kalangan umat Islam, Rahman menyatakan sebagai berikut: ”Tidak dapat
diragukan lagi bahwa di akhir zaman pertengahan di dalam masyarakat muslim
berkembang sebuah predeterminisme yang kuat pengaruhnya. Predeterminisme ini tidak
bersumber dari ajaran-ajaran Alquran, tetapi bersumber dari faktor-faktor lain
yang banyak sekali jumlahnya. Yang paling menonjol di antara faktor-faktor ini
adalah keberhasilan yang sangat mengagumkan dari teologi Asy’ari (yang
merendahkan manusia ke tingkat impotensi untuk memertahankan konsep
ke-Mahakuasaan Allah, namun pengaruhnya terhadap kaum Muslimin lebih bersifat
formal daripada riil), dan penyebaran doktrin-doktrin sufisme yang pantheistik
serta fatalistik.”[65]
Oleh karena
pengaruh inilah konsep Alquran tentang qadar (takdir) ditafsirkan sebagai
predeterminisasi Allah terhadap segala sesuatu, termasuk manusia.
Dengan
mengembalikan gagasan takdir seperti yang tertuang dalam Alquran, maka
aspek ikhtiar manusia menjadi sangat penting dalam pemikiran Rahman. Manusia-lah yang aktif berusaha dan
keberhasilan-nyapun
ditentukan sejauhmana ia telah memberikan investasi. Meskipun pandangan Rahman tentang aspek ikhtiar
manusia demikian tegas, namun ia tetap mengakui fungsi do’a. Baginya, do’a
adalah sikap pikir yang aktif dan reseptif untuk meminta pertolongan dari
sumber kehidupan, dan lewat inilah mengalir energi-energi baru. Menurut Rahman,
yang perlu dicamkan bahwa harus ada kerja keras atau usaha yang sungguh-sungguh
secara konsisten dari pihak yang berdo’a. Hanya dalam konteks kerja keras
itulah do’a memiliki arti dan makna.[66]
Dengan
demikian, do’a merupakan manifestasi dari keterhinggaan manusia. Walaupun
manusia bebas menentukan pilihannya, bukan berarti tidak tergantung pada Sang
Pencipta. Manusia memiliki kecenderungan baik dan kecenderungan jahat. Oleh
karena itu, di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara
kecenderungan-kecenderungan itu
5.
Hari Akhir
Ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran Alquran tentang akhirat adalah bahwa
akan tiba saat ketika manusia menemukan kesadaran unik yang tidak pernah
dialaminya di masa sebelumnya mengenai amal perbuatannya.[67]
Alam semesta ada batasnya, pada saatnya nanti ia akan hancur bersama seluruh
kandungannya, itulah yang dinamakan kiamat. Alquran menerangkan tentang hari
kiamt dengan penggambaran kehancuran kosmos secara menyeluruh dengan maksud
menggambrkan
kekuasaan Tuhan. Dalam kaitan ini, Rahman menyatakan, banyak yang mengira bahwa
tatanan kosmos ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan
bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari kosmos ini. Mereka harus memahami
Allah-lah yang Mahakuasa: Dia yang menyusun kembali alam semesta (setelah
kehancurannya) guna menciptakan bentuk-bentuk kehidupan baru dan level-level
kehidupan yang baru pula. Rahman berpendapat bahwa hari kiamat bukan berarti
terjadinya kehancuran dunia secara total, tetapi hanya transformasi dari satu
bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan yang lain.[68]
Hari kiamat
merupakan hari pengadilan. Pada hari itu setiap manusia tidak mempunyai
kesempatan untuk melakukan perubahan apapun juga. Satu-satunya kesempatan
adalah di atas dunia ini yang hanya terjadi sekali. Oleh karena itu, manusia
harus menghadapi hidup ini dengan serius dan benar-benar menyadari bahwa apapun
yang dilakukannya tidak terlepas dari pengawasan Allah. Kehidupan manusia di
atas dunia yang hanya terjadi sekali ini merupakan kesempatan emas bagi manusia
untuk berjuang dan mendapatkan hasil yang baik. Rahman mengemukakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia di akhirat
nanti tidak hanya bersifat spiritual karena raga dengan pusat kehidupan dan
intelegensi itulah yang merupakan identitas atau kepribadian manusia yang
sesungguhnya.[69]
Dengan
demikian, yang menjadi subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagi
pribadi. Oleh karena itu, kebahagiaan atau penderitaan yang dirasakan manusia
di akhirat kelak bersifat jasmani dan rohani (fisik dan spiritual).
Konsep teologi
yang dikemukakan Rahman tersebut bukanlah kajian tersendiri yang ditulis dalam
satu karya khusus. Konsep teologi Rahman merupakan refleksi pemikiran sebagai
hasil dari proses dialektika berpikirnya. Dari beberapa buku dan artikel
tulisannya, ditemukan beberapa doktrin teologi yang pernah dikembangkan oleh
aliran-aliran terdahulu, yang kemudian dikritisinya. Dari berbagai tulisannya
inilah apabila dicermati akan tampak bahwa konsep teologinya berpegang pada
konsep-konsep dasar dalam Alquran dengan tema pokoknya tentang Tuhan, alam
semesta, dan manusia. Dilihat dari beberapa konsep teologi yang dikemukakan
Rahman, maka dapat disimpulkan bahwa Rahman menganut paham teologi rasional.
6.
Politik dan Kepemimpinan
Fazlur-Rahman
menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis,
preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya
Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak
terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan)
adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam
adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik
dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.
Secara umum, klasifikasikan pandangan
menegenai persoalan ke-pemimpinan tidak terlepas dari pandangan mereka tentang hubungan
negara dan agama, yang secara ringkas ada 3 (tiga)
arus besar pendapat para pemikir Islam tentang hubungan Islam dan negara ini,
yakni:
Pertama, ialah kelompok
yang berpendapat bahwa hubungan antara Islam dan negara sangat lekat bahkan Islam
mengatur persoalan negara secara eksplisit dan detail. Dengan demikian
mendirikan sebuah negara Islam adalah wajib, konstruk negara harus negara
Islam. Ajaran Islam harus menjadi dasar konstitusi.[70] Mereka menolak gagasan negara kebangsaan (nation
state) karena dinilai bertentangan dengan prinsip ummah. Mereka
mengakui prinsip musyawarah tetapi menolak musyawarah sistem demokrasi.[71] Jadi menurut
pendapat pertama ini adalah, wajib hukumnya memilih imam (khalifah) yang
berperan memimpin umat, serta wajib hukumnya menggunakan dasar negara dengan
Alquran..
Kedua, mereka
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara Islam dengan negara dengan demikian
mendirikan negara bukan sebuah kewajiban.[72] ‘Ali ‘Abd Ar-Ráziq misalnya,
tidak setuju dengan konsep negara Islam, bahkan ia menegaskan tidak ada
hubungan antara agama dan negara. Menurutnya Allah tidak memberikan jabatan
rasul sekaligus sebagai raja kepada nabi Muhammad saw. Buktinya hanya beberapa
rasul saja yang menjadi raja seperti nabi Dawud, justru kebanyakannya rasul itu
bukan raja, melainkan hanyalah rasul semata.[73]
Ketiga, di luar
kelompok yang pro dan kontra di atas yang pendapatnya dapat dianggap sebagai
sebuah sintesa. Kelompok ini mengakui bahwa di dalam Islam memang terdapat
ajaran tentang politik dan negara tetapi hanya menyangkut prinsip-prinsipnya
saja, tidak menjelaskan secara ekplisit tentang bentuk negara, dasar negara dan
ketatanegaran lainnya. Itu semua disesuaikan secara fleksibel dengan keadaan
negara masing-masing.[74]
Menurut Fazlur Rahman, adalah keliru apabila
dikatakan bahwa Islam telah memberikan sistem sosial politik yang menyeluruh
dan terperinci. Tuntutan Alquran tentang kehidupan bernegara tidak menunjuk
kepada model tertentu tentang sebuah negara, yang terpenting prinsip-prinsip
yang terdapat dalam Alquran itu harus di-transformasikan ke
dalam bentuk rumusan-rumusan kenegaraan yang dipandang perlu akan memenuhi
hajat kebutuhan kaum muslimin tentang sebuah negara pada zamannya.[75]
Menurut Fazlur Rahman, yang penting adalah
prinsip-prinsip terpokok Islam yang harus dijelmakan dalam sebuah negara,
pertama-tama adalah tujuan yang hendak dicapai oleh negara itu yaitu masyarakat
beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya terdapat persatuan,
persaudaran, persamaan, musyawarah dan keadilan. Para pembaharu
teologis yang berusaha melakukan pembaharuan konsep teologi keagamaan berupaya
menyuarakan gagasan mengenai sebuah Islam yang substantif, inklusif, integratif
dan toleran.[76]
Oleh sebab
itu, Fazlur Rahman menegaskan bahwa tujuan utama
Alquran adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat ethis dan egalitarian. Jadi
masyarakat Islam terbentuk karena ideologi Islam. Kondisi ideal dari tatanan masyarakat
Islam itu adalah "yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kejahatan." [77]
Untuk
tercapainya tujuan di atas, masya-rakat memerlukan pengaturan
tersendiri, seperti pemenuhan kebutuhan bersama. Untuk melaksana-kan urusan bersama
ini, Fazlur Rahman me-nyebutnya sebagai urusan pemerintahan, secara jelas Alquran
memerintahkan kaum Muslimin untuk menegakkan syura [dewan atau majelis
konsultatif] di mana keinginan rakyat dapat dikemukakan melalui wakil-wakil
mereka. Dalam hal ini Rahman mengemukakan:
Syura was a pre-Islamic democratic Arab institution which the Qur'an
(42:38) confirmed. The Qur'an commanded the Prophet himself (3: 159) to decide
matters only after consulting the leaders of the people. But in the absence of
the Prophet, the Qur'an (42: 38) seems to require some kind of collective
leadership and responsibility.
[Syura ini adalah sebuah institusi Arab
yang demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian didukung oleh
Alquran (QS. as-Syuara [42]: 38). Nabi Muhammad sendiri
diperintahkan Alquran (QS. Ali Imran [3]: 159) untuk
memutuskan persoalan-persoalan yang ada setelah berkonsultasi dengan para
pemuka masyarakat. Setelah Muhammad tidak ada, tampaknya Alquran (QS. as-Syura [42]: 38) menghendaki
semacam kepemimpinan dan tanggung jawab kolektif.[78]
Itulah sebabnya Alquran walaupun menghendaki
pluralisme institusi-institusi secara liberal dan kemerdekaan individu yang
asasi, tetapi di dalam kondisi tertentu Alquran juga mengakui bahwa negara
sebagai wakil masyarakat yang tertinggi. Pemberontakan terhadap negara dapat
diganjar dengan hukuman yang berat,[79]
berdasarkan firman Allah:
إِنَّمَا
جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ
فَسَاداً أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ
وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ
فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ.
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبْلِ أَن تَقْدِرُواْ عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُواْ
أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ.....
[“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang
yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka;
maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang]”.[80]
Ayat tersebut menjelaskan
ganjaran terhadap orang-orang yang memberontak terhadap Allah dan Rasul-Nya dan
berbuat aniaya di muka bumi adalah hukuman mati, digantung di atas salib, kaki
dan tangan dipotong secara bersilang, atau dibuang - demikian hukuman buat
mereka dalam kehidupan dunia ini sedang di akhirat dan bagi mereka hukuman yang
lebih berat, kecuali bagi mereka yang bertobat.
Akan tetapi Fazlur Rahman juga
menegaskan bahwa pemberontakan bukan berarti tak diizinkan dalam Islam. Menurut
Alquran, semua nabi sesudah Nabi Nuh as.
adalah pemberontak terhadap tatanan masyarakatnya. Yang menjadi kriteria bagi
Alquran atas upaya pemberontakan tersebut adalah apa yang selalu disebutnya
sebagai "penyelewengan di atas dunia" yang diartikan sebagai keadaan
yang menjurus kepada pengabaian hukum – secara politik, etis, atau sosial –
ketika urusan-urusan nasional dan internasional tidak dapat dikendalikan lagi,[81] sehingga menimbulkan
kekacauan bagi masyarakat.
Pada
umumnya kaum Muslimin disuruh untuk mentaati Allah, Rasul dan para
peinimpin-peinimpin mereka [yang dipilih maupun yang diangkat]. Hal ini sejalan
dengan ayat Alquran:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي
الأَمْرِ مِنكُمْ....
[“Hai orang-orang yang beriman,
ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.]”[82]
Selanjutnya Fazlur Rahman
menyebutkan, bahwa tidak dapat disangkal bahwa di dalam sejarah Islam, telah
terjadi faksi-faksi politik yang didasarkan pada doktrin agama, menyebabkan
munculnya sikap dan perilaku politik tertentu golongan-golongan Islam. Muslim
Sunni misalnya, yang menandaskan konsep laissez faire,[83] sangat menekankan doktrin mengenai kepatuhan kepada otoritas de facto, yang
menghasilkan lemahnya sikap kriteria masyarakat terhadap perkembangan
sekitarnya.
Perpaduan antara kepatuhan politik yang sengaja dibentuk
dengan kepasifan moral masyarakat, tidak hanya memungkinkan
oportunisme[84]
politik, tetapi tampaknya juga memberikan dukungan doktrinal kepada oportunisme
tersebut. Walaupun
demikian, jika tidak didukung oleh faktor-faktor dominan lainnya, doktrin pasifisme
moral dan kepatuhan politik yang murni, tentu tidak akan menyebabkan sikap
yang begitu saja menerima oportunisme politik. Jadi sangat disayangkan
bahwa dalam sejarah umat Islam, kepasifan politik dan moral tersebut ternyata
terus berkembang [85] di kalangan umat Islam.
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra
(musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang
lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd,
tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep
demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut,
berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat
material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia
mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al-
Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.
7.
Konsep Etika
Salah satu karakter pemikir
Islam adalah komitmennya terhadap proyek reconstruction (membangun
kembali) atau rethinking (memikirkan kembali) segala sesuatu yang
berkaitan dengan masya rakat dan peradaban, terutama apabila kondisinya sudah
kurang menguntungkan bagi kemanusiaan dan peradabannya Untuk itu para akademisi
Islam senantiasa akrab dengan perubahan (change) dan memang mereka
sendiri menjadi penggeraknya.[86]
Berkaitan dengan ini, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa
etika bukan saja sebagai the basic elan of the Quran (esensi dalam
ajaran Alquran), tetapi juga merupakan aspek universal yang ada dalam setiap diri
manusia. Hukum etika atau moral yang hakiki tak dapat diubah. Ia merupakan
“perintah” Tuhan (God’s Command) manusia tak dapat membuat hukum moral.
Ketundukan terhadap moral itulah “Islam” dan perwujudannya disebut dengan
“ibadah”.[87] Penyusunan
etika Alquran menurut Fazlur Rahman didasarkan pada dua alasan, yaitu Alquran
dalam keyakinan umat Islam adalah kalam Allah, dan Alquran diyakini umat
Islam mengandung secara aktual dan potensial jawaban-jawaban atas semua masalah
kehidupan sehari-hari.[88]
Oleh karena itu, suatu sistem etika yang tumbuh dari
Alquran menjadi kebutuhan yang perlu dikembangkan sehingga misi Alquran sebagai
petunjuk bagi manusia benar-benar aktual dan aplikatif. Sebagaimana disebutkan
Nurcholish Madjid, bahwa salah satu obsesi Fazlur Rahman adalah
merekonstruksi etika Alquran melalui sistematisasi nilai-nilai etika yang
terkandung di dalamnya.[89]
Etika Alquran dalam konstruksi pemikiran Fazlur Rahman
dapat ditelusuri dari gagasannya mengenai beberapa istilah yang menjadi
konsep-konsep kunci etika Alquran, yaitu istilah “iman, islam, dan taqwa”.[90] Ketiga istilah tersebut membentuk pondasi
etika Alquran sebagai hakikat dari Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek
ajarannya.
C. Penutup
Menarik
untuk dikemukakan bahwa Ismail Raji al-Faruqi memuji karya filosofis Fazlur
Rahman sebagai sebuah catatan deskriptif dan gagasan umum di dunia muslim. Salah satu karya Rahman berjudul Islam,
merupakan survei singkat tentang
Muhammad, Alquran, dan hukum Islam (fiqh) sampai kepada gerakan-gerakan reformis
di dunia Islam. Karya tersebut merupakan buku yang paling komprehensif di
bidangnya dan ditulis dengan cara yang sangat baik.
Karya-karya Rahman berbeda
dengan kebanyakan orientalis yang memperlakukan Islam sebagai dogma dan sejarah
yang mati, sementara Rahman dalam berbagai karyanya berorientasi ke masa depan. Oleh sebab itu posisi Rahman harus
dibaca dalam estafet gelombang pemikiran Islam sejak Ibn Taimiyah, Muhammad bin
Abdul Wahab, Syah Waliyullah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal. Sekalipun Rahman mengagumi
tokoh-tokoh itu, dalam butir-butir tertentu ia mengkritiknya dengan landasan
pemahamannya terhadap Alquran. Dalam hal ini Fazlur Rahman menekankan
pentingnya konteks sosio-historis
dalam menangkap gagasan sebuah pemikiran.
Dalam konteks pembaharuan
Islam, Fazlur
Rahman adalah penerus kaum
modernis. Namun, berbeda dengan kaum modernis yang lebih banyak bertumpu pada
sumber-sumber modern, ia
menyarankan pijakan yang lebih kokoh terhadap akar-akar khazanah Islam klasik
yang sangat kaya. Berbeda dengan kaum tradisionalis yang sering terjebak dalam
romantisme berlebihan, Rahman menawarkan metodologi yang memungkinkan kekayaan
yang terkandung dalam warisan Islam klasik tersebut memiliki relevansi untuk mengatasi masalah-masalah modern.
Dapat
disimpulkan bahwa ada dua
kunci dalam memahami kompleksitas pemikiran Fazlur Rahman, (1) relevansi dan
(2) integritas. Relevansi berkaitan dengan pemikiran Rahman dan integritas
berkaitan dengan sosok Rahman sebagai pribadi. Kontruksi metodologi yang
dirumuskan Rahman dalam memahami Islam pada dasarnya adalah suatu upaya untuk
menemukan relevansi berbagai kekayaan yang terkandung dalam khazanah Islam
dengan konteks komodernan yang dihadapi umat Islam saat ini.
Tentang
filsafat kenabian, Rahman mengkritik kecenderungan elitis di kalangan
intelektual muslim yang menggunakan “metode kebenaran ganda”, yaitu kebenaran
untuk kaum elit dan kaum awam. Kecen-derungan elitis
seperti ini mendasarkan argumennya pada anggapan bahwa masalah-masalah
intelektual yang sensitif semestinya tidak dibicarakan secara terbuka, sebab
orang awam tidak memiliki kemampuan intelektual yang memadai untuk memahami
persoalan-persoalan intelektual tersebut, yang pada gilirannya justru membuat
mereka bingung.
Anggapan semacam ini jika
dibiarkan, menurut Rahman, sangat berbahaya karena bisa mendorong tumbuhnya
kemunafikan di dalam masyarakat. Seperti, eksistensi kenabian ditinjau dari
sudut filsafat dan tasawuf maupun fiqih. Banyak sekali kasus yang terjadi dalam
Islam, misalnya al-Ghazali yang menulis buku yang tidak dimaksudkan untuk
masyarakat luas, tetapi ditujukan untuk kalangan terbatas. Wallahu a’lamu
bial-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hasan Ali Nadwi, 1978, Western Civilization: islam
and Muslim, India: Academy of Islam Reseach and Publications.
Abdurrahman,
Muslim., 1995, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Abd. A’la, 2003, Dari Neomodernisme ke Islam
Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam Indonesia, Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina.
Ahmad Syafi’i Ma’rif, 1994, Peta Bumi
Intelektual Islam, Bandung: Mizan.
Ali, A.
Mukti., 1998, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan,
Bandung:Mizan.
Amal, Taufik
Adnan (peny.), 1987, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur
Rahman, Bandung:Mizan.
--------------.,
1992, Islam dan Tantangan Modernitas:Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, Bandung:Mizan.
Amin, M.
Masyhur., 1989, Teologi Pembangunan, Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta:LKPSM-NU.
Azra, Azyumardi.,
1999, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga
Post-Modernisme, Jakarta:Paramadina
Djohan Effendi, 1985, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, Bandung:
Mizan.
Donald L. Denry, 1998,
“Fazlur Rahman (1919-1988): A Live and Riview,” dalam Earle H. Waugh
& Fedrick M. Denry (ed) The Shaping of an Amarican Islamic Discourse:
Memorial to Fazlur Rahman, Georgia: Scholars Press.
Fahal, Muktafi
dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia
Press.
Gibb, H.A.R.,
1995, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husain, Jakarta:
Rajawali Press
Harun Nasution, 1992, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
J. M. S. Baljon, 1986, Religion and Thought of Shah
Wali Allah ad-Dahlawi Leiden: E. J. Brill.
Ma’arif, Ahmad
Syafi’i, 1995, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid,
Nurcholish., 1993, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.
Nurcholish
Madjid, 1993, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika,
No. 2, Oktober-Desember.
--------------,
2000, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1973., Sejarah Pengantar dan
Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman, Fazlur, 1958, Prophecy in Islam Phylosophy and Orthodoxy,
London: George Allen and Unwi Ltd.
----------------, 2003, Kontroversi Kenabian dalam
Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Mizan.
---------------, 1967, “The
Qur’anic Concept of God, the Universe and Man”, in Jurnal Islamic Studies,
No. 1.
---------------, 1994,
Islamic Methodology in History, Delhi: Adam Publisher &
Distributor.
--------------,
1992, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”,
terj. Ikhsan Ali Fauzi, dalam al-Hikmah,No. 6.
--------------,
1995, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin
Mohammad, Bandung: Pustaka
.
--------------, 1982, Islam dan Modernity,
Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago:
The University of Chicago Press.
--------------,
1996, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka.
--------------, Islam, 1979, Chicago & London: University
of Chicago Press; Second Edition.
--------------,
1976, The Philosophy of Mulla Shadra, Albany, New York: State
University of New York Press.
--------------, 1990,
“An Autobiograpchal Note,” dalam Journal of Islamic Reseach, Vol.
4, 1990.
-------------, 1983, “Some Key Ethical Concept of the
Quran”, yang dimuat dalam Journal of Religious Ethics, jilid XI,
No. 2.
Wilfred. C. Smith, 1979, Modern Islam in India: Social
Analiysis, New Delhi: USA Publications.
Yusuf, Yunan,
1990, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas.
[1]Taufik Adnan Amal (Peny.), Metode dan
Altematif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), h. 13.
[2]Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago
& London: university of Chicago Press; Scond Edition, 1979), h. 35.
[3]Pengertian tradisional disini adalah
kepenganutan seseorang terhadap salah satu mazhab fiqh yang empat: Maliki,
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dalam hal ini corak keberagamaan ayah Fazlur
Rahman mengikut faham Hanafi.
[4]Abd. A’la, Dari Neomodernisme ke Islam
Liberal: jejak Fazlur Rahman dalam wacana islam indonesia (Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 2003), h. 33.
[5]Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an”
dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember, 1993, h. 23-24.
[6]Fazlur Rahman. “An Autobiograpchal Note,”
dalam Journal of Islamic Reseach, Vol. 4, 1990, h. 27.
[7]Fazlur Rahman, Islam ..., h. 36.
[8]Syah Waliyullah lahir di Delhi dan
mendapat pendidikan dari orang tuanya Syah Abd al-Rahim, Seorang sufi yang
memiliki madrasah. Setelah dewasa, ia ikut menekuni pekerjaan orang tuanya
sebagai guru di madrasah tersebut. Selain mengajar di madrasah, Syah Waliyullah
gemar mengarang dan banyak meninggalkan karangannya, di antaranya adalah buku Hujjatullah
al-Balighah. Lihat, J. M. S. Baljon, Religion and Thought of Shah Wali
Allah ad-Dahlawi (Leiden: E. J. Brill, 1986), h. 1.
[9]Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada
tahun 1817 M. Ia mendapatkan pendidikan tradisional tentang pengetahuan agama
seperti Alquran, Hadis, dan Teologi Islam. Akan tetapi, meskipun ia mendapatkan
pendidikan tradisional, ia tidak berpandangan sempit, hal ini disebabkan oleh
minat dan semangat bacanya yang tinggi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Syed Abu Hasan Ali Nadwi, Western Civilization: islam and Muslim (India:
Academy of Islam Reseach and Publications, 1978), h. 67. Lihat juga, W. C.
Smith, Modern Islam in India: Social Analiysis (New Delhi: USA
Publications, 1979), h. 1.
[10]Sayyid Amir Ali berasal dari keturunan
keluarga syi’ah pada zaman Nadhir Syah (1736-1747) yang pindah dari Khurasan di
Persia ke India. Ia lahir pada tahun1849 M dan wafat tahun 1928 M. Setelah
tamat pendidikan madrasah, ia menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi
Muhsiniyah, yang berada di dekat Calkutta. Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
181.
[11]Muhammad Iqbal adalah salah seorang
penyair, filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis Muslim. Ia berasal
dari golongan manengah di Punjab dan lahir di Sialkot pada 1876 M. Lihat,
Djohan Effendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal (Bandung: Mizan, 1985), h.
13.
[12]Fazlur Rahman, Islam dan Modernity,
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago press, 1982),
h. 117.
[13]Ahmad Syafi’i Ma’rif, Peta Bumi
Intelektual Islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 135.
[14]Ketika Fazlur Rahman sudah berada di
Inggris, ia pernah ditanya oleh seorang pendeta Hindu S. Radhakrisna: “Mengapa
anda tidak ke Mesir saja, tapi malah ke Oxford” Rahman menjawab: “Studi-studi
islam di sana tidak sama kritisnya dengan India.” Lihat Rahman, Islam and
Modernity ..., h. 120.
[15]Walaupun Fazlur Rahman banyak menimba ilmu
pengetahuan dari sarjana-sarjana barat, tapi ia sangat kritis dengan
pandangan-pandangan mereka yang berhubungan dengan Islam dan umat Islam. Taufik
Adnan Amal dan Ihsan Ali Fauzi, Fazlur Rahman, Sang Sarzana Sang Pemikir (Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1998), h. 10.
[16]Kitab al-Najat adalah ringkasan Ibn Sina sendiri terhadap karya
agung, al-Syifa’. Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan
Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Falur Rahman (Bandung: Mizan, 1993),
h. 82.
[17]Harun Nasution, Ensiklopedi Islam
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 247.
[18]Taufik Adnan, Fazlur Rahman..., h.
12.
[19]John L. Esposito (eds), The Oxford
Encyclopedia of the Modem Islamic World III (New York: Oxford University
Press, 1995), h. 408.
[20]Abd A’la, Modernisme ..., h. 35.
[21]Fazlur Rahman, Islam and Modernity ...,
h. 217.
[23]Rahman, Some Islamic Issues, h.
296.
[24]Rahman, Islam and Modernity, h.
125, juga Fazlur Rahman, “Mengapa saya hengkang dari Pakistan” dalam Islamika,
No.2 (Oktober-Desember 1993), h. 17.
[25]Wan Mohd. Nor Wan Daud, “ Fazlur Rahman:
Kesan Seorang Murid dan Teman,” dalam Ulumul Quran, Vol. II, (No.
8,1991), h. 108.
[26]Denry, The Legacy, h. 97. Dalam catatan
kaki, No. 4, h. 106 disebutkan bahwa tokoh-tokoh sebelum Fazlur Rahman yang
menerima penghargaan serupa adalah Robert Brunsching, joseph Schacht, Francesco
Gabriel, S.D. Goiten, Gustave E. Von Grunebaum, Franz Rosenthal, Albert
Hourani, W. Montgomery Watt, dan Annamarrie Schimmel.
[27]Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 44.
Juga Wan Mohd. Nor Wan Daud, Fazlur Rahman, h. 108.
[28]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in
History (Delhi: Adam Publisher & Distributor, 1994), h. V. Lihat juga
Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 47.
[29]Lihat Ahmad Syafi’i Ma’rif, dalam Kata
Pengantar untuk buku Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh,
(Jakarta: Bumi Aksara. 1987), h. viii.
[30]Namanya adalah Shadr al-Din as-Syirazi, lebih dikenal
dengan Mulla Shadra. Mengenai pemikirannya lihat Fazlur Rahman, The
Philosophy of Mulla Shadra (Albany, New York: State University of New York
Press, 1976), h. 67.
[31]Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 53.
[32]Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 55.
[33]Donald L. Denry “Fazlur Rahman
(1919-1988): A Live and Riview,” dalam Earle H. Waugh & Fedrick M. Denry
(ed) The Shaping of an Amarican Islamic Discourse: Memorial to Fazlur Rahman
(Georgia: Scholars Press, 1998), h. 40-43.
[34]Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok
al-Qur’an, Pustaka, Bandung, 1984. hal. 86
[35]Fazlur Rahman, Islam, Pustaka,
Bandung, 1984, h. 87
[39]Fazlur Rahman, Prophecy in Islam
Phylosophy and Orthodoxy (London: George Allen and Unwi Ltd, 1958), h. 145.
[41]Ibid., h. 30. Ibn Sina, memasukkan kemampuan akal sebagai
salah satu daya dalam jiwa teoritis manusia yang memilki empat tingkat: 1) material
intellect, yaitu potensi akal untuk berpikir dan belum dilatih, 2)
intelctual in habitat, yaitu akal yang mulai dilatih untuk berpkir abstrak,
3) actual intelect, yaitu kemampuan berpikir abstrak, dan 4) acquired
intelect, yaitu kesanggupan akal berpikir manusia untuk berpikir abstrakdan
sarana yang mamapu menerima limpahan dari akal aktif. Lihat Fazlur Rahman, Kontroversi
Kenabian dalam Islam: antara filsafat dan ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad
(Bandung: Mizan, 2003), h. 40.
[42]Ibid., h. 30-32. Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 31-32.
[43]Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad
bin Muhammad bin Tharkhan al-Farabi. Ia dilahirkan di kota Farab tahun 257 H
(870 M). Lihat, Poerwantana Dkk, Seluk Beluk, h. 133.
[44]Nama lengkapnya adalah Iman Abi Fatih
Muhammad bin Abd al-Karim Asy-Syarastani, atau lebih dikenal dengan
Asy-Syahrastani, seorang teolog Muslim.
[45]Ibn Hazm ialah Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm
(384-456), seorang ulama fuqaha dan ahli hadis yang berasal dari Andalusia, M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), h. 61.
[46]Nama lengkapnya Taqi ad-Din Ibn Abu
al-Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Muhammad bin Taimiyah al-Haramy al-Hambaly.
Lahir di Haran pada tanggal 10 Rabi’ul Awal 661 H (22 Januari 1263 M). Lihat Muhammad
Al-Bahy, Al-Fikr al-Islamy fi Tathawwurihi, alih bahasa Al-Yasa’ Abu
Bakar, Alam Pikiran Islam dan Perkembangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
h. 27.
[47]Rahman, Prophecy in Islam, h. 92.
[48]Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad bin Ta’us al-Thusi al-Syafi’i al-Ghazali. Ia lahir di Ghazala,
suatu kota dekat Khurasan, Iran pada tahun 450 H. Lihat, M. Sholihin &
Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 53.
[49]Namanya adalah Abu Zaid Abd al-Rahman Ibn
Khaldun, dilshirkan di Tunisia pada tahun 1332. Lihat Charles Issawi, An
Arab Philosophy of History, Ali Bahsa Mukti Ali, Filsafat Islam tentang
Sejarah (Bandung: Tintamas; 1967), h. 2.
[50]Kelihatannya Fazlur Rahman terpengaruh terhadap pemikiran teologi
al-Ghazali, lih. Al-Ghazali, Kitab al-Iqtishadi fi al-I’tiqad, h.
163-164
[52]Fazlur Rahman, Islam ..., h. 3. Dalam perspektif itu, tesis Alquran dari Fazlur
Rahman juga mempunyai keterpengaruhan, minimal benang merah dengan tesis Ibn
Rusyd. Menurut tokoh Muslim pasca al-Ghazali itu, Alquran sebagai Kalam Allah
adalah qadim, dan lafaznya adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia.
Oleh karena itu, lafaz-lafaz selain Alquran yang merupakan perbuatan manusia.
Sedangkan huruf-huruf dalam mushhaf adalah buatan manusia dengan seizin Allah.
Meskipun begitu, manusia wajib menghormati huruf-huruf itu karena ia
menunjukkan kepada lafaz yang diciptakan Allah dan kepada makna yang bukan
ciptaan. [52]
Pengaruh Ibn Rusyd pada Fazlur Rahman terletak pada pembedaan antara yang
dibaca dan bacaan, yang kemudian oleh Rahman diuraikan dalam bentuk defenisi
sebagaimana tersebut diatas.
[54]Misalnya, al-Baqillani berpendapat bahwa Jibril membacakan Alquran
yang berbahasa Arab, Lihat. Al-Baqillani, Kitab al-Inshaf, h. 147.
[57]al-Zarqani, Manahil al-’Urfan fi ‘Ulum Alquran, Jilid
I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 43-37
[60] Amal, Taufik
Adnan (peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung:Mizan, 1987, h. 80.
[62]Fahal, Muktafi
dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia
Press, 1999, h. 145-146.
[63] Rahman,
Fazlur., 1967, “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man”, in Jurnal
Islamic Studies, No. 1, h. 6-7.
[64] Fazlur
Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996, h. 97-98.
[66] Rahman, Fazlur., 1967, “The Qur’anic Concept of God, the Universe
and Man,” in Jurnal Islamic Studies, No. 1, h. 14.
[70]Abul A’la al-Maududi, Political
Theory of Islam, dalam Khursid Ahmad (ed.), Islamic Law and Constitution
(Lahore: 1967), h. 243.
Lihat juga Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah (Beirut:
t.tt), h. 5.
[71]Hamid Enayat, Modern
Islamic Political Thought (Austin: 1982), hlm. 6, dan lihat juga, Imam
Khomeini, Islam and Revolution (Berkeley: 1981), h. 35.
[83]Konsep laissez
faire, konsep yang berprinsip membiarkan masyarakat mengajarkan apa yang
mereka sukai, dan tidak mencampuri urusan politik. Lihat Fazlur Rahman,
Membuka Pintu, h. 136.
[84]Istilah oportunisme
bersal dari kata oportune artinya kesempatan. Oportunisme politik
berarti memanfaatkan atau mengambil kesempatan mendukung penguasa untuk
tujuan-tujuan kepentingan kelompoknya. Lihat, Andreas Halim, Kamus Lengkap
Praktis (Surabaya: Fajar Mulya, 2000), h. 233.
[86]Lihat Edward
Shill, Representation of the Intelectual, edisi Indonesia Peran
Intelektual (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993).
[89]Nurcholish
Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Alquran”‘dalam Jurnal
Islamika, No. 2 (Oktober-Desember, 1993), h. 23.
[90]Fazlur Rahman “Some Key
Ethical Concept of the Quran”, yang dimuat dalam Journal of Religious
Ethics, jilid XI, No. 2, 1983, h. 170.
0 comments:
Posting Komentar