A.
Mukaddimah
Filsafat
Islam sebagai salah satu cabang ilmu yang berkembang kemudian hari, dikenal
secara luas berasal dari Yunani. Bukan hanya penulis barat[1],
tapi sebagian penulis muslim pun berpendapat sama, sehingga muncullah
pernyataan bahwa ilmu pengetahuan yang
berkembang di barat sekarang, termasuk filsafat
adalah berasal dari orang-orang Islam yang mereka ambil dari Yunani.
Pendapat ini muncul berdasarkan pada kenyataan bahwa telah terjadi kegiatan
penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran pada
pertengahan abad kedelapan yang sebelumnya telah dimulai oleh Khalid bin Yazid.
Meskipun Khalid hanya focus pada karya-karya astrologi, kimia dan kedokteran,
namun pada masa Abbasiyah, negara mengambil bagian yang aktif dalam penerjemahan
tidak hanya terbatas pada buku-buku seperti yang disebut di atas tapi sudah
menjangkau ruang lingkup yang lebih luas.[2]
Al-Ma'mun bahkan sengaja mencari karya filsafat Yunani untuk menjustifikasi
kecenderungan rasionalitasnya dalam memahami teks-teks Quran.[3]
Meski fakta bahwa telah terjadi penerjemahan
ilmu-ilmu karya Yunani ke dalam bahasa Arab adalah benar, namun untuk
mengatakan bahwa filsafat Islam berasal dari Yunani tidaklah tepat, karena
ternyata filsafat yang dihasilkan oleh filosof muslim berbeda dengan milik
Yunani. Bagaimana mungkin sama pemikiran tentang tuhan dan alam semesta, orang
yang meyakini Quran dengan yang tidak.[4]
Oliver Leaman dalam An Introduction to Medieval Islamic Philosophy versi
terjemahan Amin Abdullah, mengatakan dengan jelas, "Keliru besar kalau
beranggapan bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani".[5]
Majid Fakhry dalam Sejarah Filsafat Islam menuturkan bahwa penerjemahan
naskah-naskah teologis yang kerapkali berkaitan dengan logika dilakukan bukan
karena anggapan bahwa naskah tersebut baik isinya hingga layak dipelajari tapi karena
dorongan kebutuhan untuk menyelidiki makna yang lebih dalam tentang
konsep-konsep teologis dan proses dialektis yang sering muncul dalam perdebatan
kristologis.[6]
Bahkan masih menurut Fakhry, para penerjemah itu tidak meneruskan terjemahan
mereka sampai pada Isagoge Porphyry, Categories, Hermeutica
dan Analytica Priora, karena dianggap berbahaya mempelajari
argument-argumen yang demonstrative dan sofistis.[7]
Baru pada masa Ma'mun buku-buku filsafat Yunani itu bisa diterjemahkan.
Filsafat yang penulis maksud dengan
milik muslim adalah filsafat yang berakar dari Quran Hakim, buku sumber
induk filsafat umat Islam, serta sunnah Nabi. Dinamakan Filsafat Islam bukan
karena dibuat oleh orang Islam atau
dibuat di negara Islam, melainkan karena inspirasinya, prinsip-prinsipnya dan
hal-hal yang berkaitan dengannya diambil dari sumber wahyu. Dalam bahasa Seyyed
Hossein Nasr, "….Islamic philosophy, like everything else Islamic, is
deeply rooted in the Quran and Hadits".[8]
Kebanyakan dari filosof Islam, kalau bukan seluruhnya, hidup dalam atmosfer
Islam dan didominasi oleh realitas Quran dan Sunnah. Mereka hidup menurut hukum
Islam dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan sebagian mereka bukan
hanya semata-mata filosof tapi juga ahli hukum, seperti Ibn Rusyd, Shah
Waliullah, Mir Damad, sehingga mereka cenderung berfilsafat ke arah yang lebih
spesifik yang mungkin bisa disebut dengan "filsafat Nabi" (prophetic
philosophy).[9]
Dalam khazanah Filsafat Islam, pengenalan model pengetahuan yang bersifat
rasional tidak berhenti dalam alur metodologi berfikir, melainkan berlanjut
dalam pemaknaan spiritualitas. Makna spiritualitas hadir bersamaan dengan
telaah reflektif-kontemplatif.[10]
B.
Pengertian
Filsafat Secara Etimologi
Istilah filsafat, menurut Ahmad Tafsir dalam Amsal Bakhtiar,
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata: Philo dan Sophia.
Philo berarti cinta dalam arti luas, yakni keinginan dan Sophia
berarti hikmah (kebijakan) atau kebenaran. Jadi secara etimologi, filsafat
berarti cinta kebijakan atau kebenaran.[11]
Harun
Nasution berpendapat bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafa.[12]
Muhaimin dkk juga berpendapat bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah.
Menurutnya, orang Arab mengambilnya dari bahasa Yunani philosophia yang artinya
ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kebijaksanaan.[13]
Menurut versi lain, filsafat diambil
dari bahasa Yunani philosophus. Kata ini dipakai pertama kali oleh
Socrates, pemikir paling masyhur yang menyanggah dan menentang kaum sofis.[14]
Socrates menamakan dirinya philosophus, pecinta kebijaksanaan. Ungkapan
ini lantas di-Arab-kan menjadi failasuf dan dari situ pula kata falsafah
diambil.
Padanan kata falsafah adalah hikmah
yang artinya pintar dalam masalah-masalah ilmiah.[15] Hikmah
adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui
alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode-metode berfikirnya.
C.
Terminologi
Filsafat
Pengertian
filsafat sangat beragam baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Sebagian
pakar merasa tidak perlu definisi filsafat diberikan mengingat setiap orang
mempunyai titik tekan sendiri dalam pemberian definisi tersebut. Oleh
karenanya, Moh. Hatta mengatakan, lebih tepat bila orang meneliti filsafat
terlebih dahulu baru kemudian menyimpulkannya sendiri. Kendati pun demikian
penulis merasa perlu untuk mengetahui pengertian filsafat oleh para filosof
sendiri walaupun penekanannya berbeda-beda, agar bisa dilihat secara
keseluruhan dan dapat difahami garis besarnya.
Plato
mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, dengan
mencintai kebenaran serta penyelidikan, dan lebih mengutamakan jalan keyakinan
daripada dugaan. Sementara Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah
menyelidiki sebab dan azas segala benda. Itulah sebabnya kenapa Aristoteles
menamakan filsafat dengan "teologi" atau "filsafat pertama"
yang membawanya pada kesimpulan bahwa setiap gerak di alam ini digerakkan oleh
yang lain. Maka perlu menetapkan penggerak yang menyebabkan gerak tersebut.
Penggerak tidak ikut bergerak dengan yang lain karena dia terlepas dari materi,
kalo dia bermateri maka ia juga berpotensi untuk bergerak. Demikianlah
Aristoteles menemukan tuhan yang ia sebut Aktus Murni.[16]
Al-Kindi
meninjau filsafat dari dalam dan dari luar. Menurutnya filsafat adalah ilmu
tentang hikikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia yang mencakupi
ilmu ketuhanan, keesaan, keutamaan dan ilmu tentang yang berguna sekaligus cara
memperolehnya serta ilmu cara menjauhi hal-hal yang merugikan. Itu lah yang beliau
maksud dengan filsafat yang bersifat teori. Sedangkan filsafat yang bersifat
amalan adalah mewujudkan kebenaran yang kita ketahui/temukan tersebut dalam
tindakan.[17]
Filsafat
menurut Al-Farabi adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki
hakikat yang sebenarnya, sementara Immanuel Kant, tokoh filosof modern
berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan mengenai pokok pangkal dari
segala pengetahuan dan perbuatan. N. Driyakara dengan ungkapan yang menarik
mengatakan bahwa filsafat adalah permenungan yang sedalam-dalamnya tentang
sebab-sebab "ada" dan "berbuat". Permenungan tentang
kenyataan yang sedalam-dalamnya, sampai "mengapa" yang penghabisan.[18]
Seorang filosof
dari Timur, Fung Yu Lan, mengatakan bahwa filsafat adalah pikiran yang
sistematis dan refleksi tentang hidup. Sementara itu, Harun Nasution
mengatakan bahwa filsafat adalah
berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat tradisi,
dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai pada dasar-dasar
persoalan.[19]
Menurut Endang
Saifuddin Anshari, filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal
budinya untuk memahami secara radikal, integral, dan universal hakikat sarwa
yang ada (Tuhan, alam, dan manusia), serta sikap manusia termasuk sebagai
konsekuensi dari pahamnya tersebut.[20]
Kendatipun defenisi-defenisi di atas
berbeda-beda, terdapat persamaan yang cukup jelas yang merupakan unsur-unsur
dasar filsafat. Kesimpulan dari persamaan tersebut adalah bahwa filsafat
membahas tentang realitas secara radikal (mengakar), sistematis, bebas dan
universal.
Adapun
pembagian ilmu filsafat itu sendiri, menurut Prof. Dr. Muhaimin, MA, adalah
sebagai berikut:
1.
Metafisika,
yaitu filsafat tentang hakikat yang bersifat transenden, di luar batas nalar
manusia.
2.
Logika,
yaitu filsafat tentang pikiran yang benar dan salah.
3.
Etika,
tentang tingkah laku yang baik dan buruk.
4.
Estetika,
tentang seni dan keindahan
5.
Epistemologi,
tentang ilmu pengetahuan
6.
Filsafat-filsafat
khusus, seperti filsafat alam, filsafat agama dll.
D.
Filsafat
Dan Teologi
Intelektual
muslim sepakat bahwa kekuatan akal atau rasionalisme sangat dibutuhkan dalam
kajian agama, karena bagaimana pun untuk memahami teks agama saja dibutuhkan
kekuatan rasio, apalagi memahami teks yang memungkinkan untuk ditafsirkan
berbeda-beda. Hanya saja, sejauh mana rasio bisa digunakan dalam memahami
kajian-kajian agama, masih menjadi hal yang kontroversial. Sebagian beranggapan
rasio mesti dipakai setelah wahyu, apabila tidak ada wahyu tentang masalah
tertentu barulah rasio digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Sebagian
lagi beranggapan bahwa rasio saja sudah cukup untuk membimbing manusia pada
kebenaran, wahyu hanya sebagai justifikasi atas apa yang telah ditemukan rasio.
Dalam ranah kajian agama Islam para mutakallimin (teolog) dan filosof lah yang
cenderung memakai rasio.
Teologi dan filsafat sesungguhnya sama-sama
menggunakan metode silogisme dalam cara berfikirnya. Silogisme adalah suatu
metode pengambilan kesimpulan berdasarkan premis mayor dan premis minor. Hanya
saja dalam filsafat premis mayor adalah premis yang telah teruji secara
rasional sehingga sifatnya meyakinkan melalui rasio, sementara dalam teologi
premis mayor diambil dari sesuatu yang sudah diyakini secara umum seperti wahyu
dan doktrin agama.[21]
Teolog berangkat dari kebenaran yang didapatnya dari wahyu kemudian mencari
argumen yang rasional untuk membuktikan kebenaran tersebut. Sedangkan filsafat
berangkat dari keraguan sehingga dilakukan pencarian secara rasional untuk
mendapatkan kebenaran final.
Teologi
muncul sebagai sebuah system berfikir rasional untuk meng-counter
pemikiran rasional bebas yang menyerang otoritas wahyu. Teologi lahir jauh
sebelum masa penerjemahan buku-buku filsafat Yunani oleh Ma'mun. Justru
teologi, karena mempunyai persamaan dengan filsafat[22]
tanpa sadar telah menyiapkan landasan bagi berkembangnya filsafat Yunani. Meski
menjadi landasan tumbuhnya filsafat, hubungan keduanya tak selalu harmonis.
Sering terjadi perdebatan antara teolog dengan filosof seperti Abu Sa'id
al-Syirafi[23]
dengan Abu Bisyr Matta[24].
Ketegangan semakin meruncing setelah al-Farabi menempatkan teologi dan fiqh
pada ranking bawah setelah ilmu-ilmu filsafat.[25]
Tahafut
al-Falasifah dan al-Munqidz
min al-Dhalal adalah karya al-Ghazali yang berisikan penyerangan terhadap
filsafat, sungguhpun dia sendiri adalah filosof, meskipun ada yang
menggolongkannya ke dalam teolog, namun dia memulainya dengan filsafat (dan
berakhir dalam sufisme). Dalam karyanya tersebut dia menyerang lapangan
filsafat metafisika. Tak hanya Ghazali, namun sejumlah teolog dari ahlussunnah
banyak yang menyerang filsafat, seperti Ibnu Hazm, Ibn Taimiyah, dan Ibn
Al-Qayyim. Untuk melihat gambaran ketegangan teologi dan filsafat rasanya perlu
penulis mengutip fatwa Ibn as-Shalah yang sering didengungkan oleh Kubra Zadah:
"Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan
kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya dari
kebaikan-kebaikan syariah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang
lahir dan bukti-bukti yang jelas. Barangsiapa yang mempelajarinya, maka ia
bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh setan. Apakah
ada ilmu lain yang lebih hina dari ilmu yang membutakan orang yang memilikinya
dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita."[26]
Meskipun
ada ketegangan antara filsafat dan teologi, tidak berarti semua teolog bersikap sama terhadap filsafat. Sebagian ada
yang membela kebebasan berfikir dan lebih mengandalkan rasio sehingga bisa
menerima usaha filsafat untuk menemukan kebenaran. Sebagian lagi menolak
filsafat mentah-mentah.
Namun
perlu dicatat bahwa keberatan teolog terhadap filsafat kebanyakan lebih kepada
teori mereka tentang tuhan atau terbatas hanya pada filsafat metafisika. Karya
Ibn Taimiyah "al-Raddu 'ala al-Mantiqiyyin", sungguh pun
mantiq itu adalah logika, namun yang dikritik Ibn Taimiyah sebenarnya adalah
pemahaman ilahiah para pemakai logika (filosof), bukan logika itu sendiri.
Beliau mengakui bahwa sebagian filsafat benar dan sebagian kafir, seperti yang
ditulisnya dalam bukunya "Majmu' al-Fatawa".[27]
انْحَصَرَتْ طُرُقُ الطَّالِبِينَ عِنْدِي فِي أَرْبَعِ فِرَقٍ : - الْمُتَكَلِّمُونَ
: وَهُمْ يَدَّعُونَ أَنَّهُمْ أَهْلُ الرَّأْيِ وَالنَّظَرِ . وَالْبَاطِنِيَّةُ
: وَهُمْ يَدَّعُونَ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ التَّعَلُّمِ وَالْمُخَصِّصُونَ بِالِاقْتِبَاسِ
مِنْ الْإِمَامِ الْمَعْصُومِ . وَالْفَلَاسِفَةُ : وَهُمْ يَدَّعُونَ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ
الْمَنْطِقِ . وَالْبُرْهَانِ . وَالصُّوفِيَّةُ : وَيَدَّعُونَ أَنَّهُمْ خَوَاصُّ
الْحَضْرَةِ وَأَهْلُ الْمُكَاشَفَةِ وَالْمُشَاهَدَةِ .......
....... وَأَنَّ مَا عَلَيْهِ الْبَاطِنِيَّةُ بَاطِلٌ
وَأَنَّ الْفَلْسَفَةَ بَعْضُهَا حَقٌّ وَبَعْضُهَا كُفْرٌ.
Al-Ghazali pun sebenarnya tidak menyerang filsafat Ibnu Sina secara
keseluruhan, melainkan hanya pada metafisika saja. Justru dia menyayangkan
adanya sikap penolakan terhadap filsafat secara keseluruhan, perasaan ini ia
nyatakan dalam bukunya al-Munqidz Min al-dhalal. Menurutnya, bila umat
Islam meninggalkan Logika, Etika, Matematika dan ilmu filsafat lainnya, ini
akan melemahkan umat Islam dan membahayakannya. Al-Ghazali, dalam Tahafut
al-Falasifah, sebenarnya hanya menyerang faham Ibnu Sina tentang 3 hal,
yang menurutnya dipengaruhi Aristoteles; 1. Manusia tidak dibangkitkan secara
jasmaniah namun hanya rohaninya saja. Pada hari kiamat manusia hanya dihukum
secara spiritual bukan jasmani, 2. Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang
universal dan tidak yang particular, 3. Dunia ini kekal.[28]
E.
Filsafat
dalam Quran
Agama
Islam memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal dengan banyaknya
ayat-ayat Quran yang menganjurkan manusia supaya banyak berfikir, menggunakan
akalnya untuk mengupas rahasia alam, mencari kebenaran dan mempelajari
ciptaannya.
Di
dalam al-Quran terdapat 49 kali perkataan yang berakar dari kata 'aql (akal)
dan semuanya dalam bentuk kerja aktif seperti ta'qilun, na'qil, ya'qilun,
ya'qiluha. Bukan hanya akal yang menunjukkan pekerjaan berfikir tapi juga
istilah-istilsh lain seperti Nazhara (melihat dengan abstrak dalam arti
merenung), tadabbara (merenung), tafakkara, faqiha, tadzakkara (mengingat atau
mendapat pelajaran). Di samping itu di dalam Quran juga banyak sebutan-sebutan
yang memberi sifat berfikir seperti, ulul al-bab, ulu al-ilmi, ulu abshar, ulu
al-nuha. Kesemuanya mengandung anjuran dan dorongan agar manusia banyak
berfikir dan menggunakan akalnya. Dengan kata lain, tuhan melalui
firman-firmannya di dalam al-Quran mendorong bahkan memerintahkan manusia agar
berfilsafat.[29]
Anjuran
Tuhan seperti yang telah dijelaskan di atas bukan hanya tergambar dalam
pemakaian kata-kata yang berakar pada 'aql dan yang mengandung arti berfikir
saja, tapi bahkan banyak ayat yang terkandung di dalam al-Quran sendiri
filosofis, membutuhkan rasio untuk memahaminya sehingga Tuhan sendiri
meletakkan filsafat (hikmah) sejajar dengan "kitab".
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ
مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ
الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ
الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ
وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي
إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ
إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ (المائدة : 110)
1.
Hikmah Sebagai Padanan Filsafat
Sebagaimana telah disebutkan bahwa
kata filsafat di dalam Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam mempunyai
sinonim Hikmah. Sebelumnya kata ini dipakai pertama sekali sebagai padanan
filsafat oleh al-Kindi yang biasa menuliskan padanan Arab untuk istilah-istilah
dalam filsafat Yunani.[30] Beberapa
penulis kontemporer pun telah memaknai hikmah sebagai filsafat. Namun penulis
ingin mundur sedikit untuk meninjau kembali makna hikmah secara umum, khususnya
kata hikmah di dalam al-Quran menurut ahli tafsir.
Term hikmah terulang sebanyak 20 kali dalam dua
belas surah. Dalam
kitab-kitab tafsir klasik tak satu pun dari 20 kata hikmah tersebut yang
diartikan dengan filsafat, bahkan Quraish Shihab, mufassir kontemporer pun
tidak memaknainya dengan filsafat. Menurut beliau Hikmah akar katanya hakama,
maknanya menghalangi. Jadi, sesuatu yang bila digunakan akan menghalangi
terjadinya mudharat atau kesulitan dan mendatangkan kemaslahatan. Lebih jauh
beliau mengatakan bahwa hikmah juga berarti mengetahui yang paling utama dari
segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan ide, mau pun perbuatan. Memilih
perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Menurut imam
Ghazali, hikmah berarti pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama.[31]Memilih
yang terbaik dari dua hal pun disebut dengan hikmah, pelakunya disebut dengan hakim. Hakim setidaknya punya 3 arti; sesuatu/seorang yang bijak atau yang
memperoleh/memiliki hikmah[32],
medikal praktisi, dan hakim pengadilan. Tuhan juga disebut dengan “hakim”[33],
begitu juga dengan Al-Quran. Orang yang menolak kepercayaan pada Tuhan sama
artinya dengan menolak hikmah.[34]
Menurut Thabari dalam tafsirnya,
hikmah artinya benar dalam berkata dan berbuat. Menurut Ibnu Abbas Hikmah
adalah pengetahuan tentang al-Quran, yaitu; nasikh mansukhnya, muhkamat dan
mutasyabihatnya, tentang mana yang harus didahulukan dan mana yang diakhirkan,
tentang halal dan haram dan semisalnya.[35]
Sedangkan Ibnu 'Adil dalam kitab Tafsir
al-Lubab, mengartikan hikmah dengan nubuwwah (kenabian). Sementara
Muqatil dalam Mafatihul Ghaib karya Al-Razi mengatakan bahwa hikmah
dalam al-Quran mempunyai 4 arti; mau'izhah Quran, faham dan ilmu,
kenabian, al-Quran beserta rahasia-rahasia ghaib yang ada di dalamnya:
تفسير الحكمة في القرآن على أربعة أوجه أحدها :
مواعظ القرآن ، قال في البقرة { وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُم مّنَ الكتاب والحكمة يَعِظُكُم
بِهِ } [ البقرة : 231 ] يعني مواعظ القرآن وفي النساء { وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُم مّنَ
الكتاب والحكمة } يعني المواعظ ، ومثلها في آل عمران وثانيها : الحكمة بمعنى الفهم
والعلم ، ومنه قوله تعالى : { وَآتَيْنَاهُ الحكم صَبِيّاً } [ مريم : 12 ] وفي لقمان
{ وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا لُقْمَانَ الحكمة } [ لقمان : 12 ] يعني الفهم والعلم وفي الأنعام
{ أولئك الذين ءاتيناهم الكتاب والحكم } [ الأنعام : 89 ] وثالثها : الحكمة بمعنى النبوّة
في النساء { فَقَدْ ءاتَيْنَا ءَالَ إبراهيم الكتاب والحكمة } [ النساء : 54 ] يعني
النبوّة ، وفي ص { وءاتيناه الحكمة وفصل الخطاب } [ ص : 20 ] يعني النبوّة ، وفي البقرة
{ وآتاه الله الملك والحكمة } [ البقرة : 251 ] ورابعها : القرآن بما فيه من عجائب
الأسرار في النحل { ادع إلى سَبِيلِ رَبّكَ بالحكمة } [ النحل : 125 ] وفي هذه الآية
{ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرًا }
Thabathabai memaknai hikmah dengan
kearifan[36],
sedangkan Qatadah mangartikannya sunnah dengan alasan bahwa kata hikmah
didampingkan dengan kitab yang bermakna Quran, maka dampingan yang pantas bagi
Quran tiada lain adalah sunnah. Bila dirunut dari atas maka bisa dilogikan
bahwa yang maha bijaksana (hakim) adalah Tuhan, yang menurunkan nilai-nilai
kebijaksanaannya dalam Quran (hakim), dan Ia menganugerahkan hikmahnya kepada
sebagian hamba-hambanya yang terpilih[37],
diantara orang-orang yang terpilih itu adalah para nabi[38],
sehingga apa-apa yang berasal dari nabi (sunnah), juga mengandung hikmah.
Dengan begitu pernyataan “yanba’u’l- hikmah min
mishkat al- nubuwwah”, menjadi masuk akal.
Meski tidak ada pengertian yang
jelas yang mengatakan bahwa hikmah adalah filsafat, namun dari arti-arti yang
telah diberikan oleh para mufassir tersebut dapat diketahui bahwa hikmah sama
dengan falsafah. Sama-sama mendatangkan maslahah dan menghindari mudharat,
sama-sama untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, dan sama-sama berarti ilmu
dan faham tentang segala sesuatu. Filosof dan hakim adalah sama-sama berarti
orang arif dan bijaksana.
2.
Ajaran
Filosofis al-Quran
Meskipun
bukan al-Quran satu-satunya kitab suci yang diturunkan Tuhan, namun umat Islam
hanya berpegang pada syariat yang ada dalam Quran, dengan tetap berkeyakinan
bahwa kitab Zabur, Taurat dan Injil juga kitab suci dari Tuhan. Doktrin yang
dibawa kitab sebelumnya sama dengan doktrin yang ada dalam al-Quran, begitu
juga uraian fakta-fakta sejarah, tidak ada yang berubah. Tuhan tidak menghapus
atau melupakan wahyu yang datang sebelumnya, hanya saja, perbedaan waktu
membutuhkan penyesuaian dalam penentuan hukum-hukum (syariat) sehingga dalam
al-Quran ada penegasan tentang hukum lama, atau menggantinya dengan sesuatu
yang serupa atau yang lebih baik.[39]
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا
نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ (البقرة : 106)
Al-Quran disebut juga dengan nama lainnya al-Hakim – diambil dari
kata yang sama dengan hikmah, hakama, - adalah kitab suci, bukan kitab
filsafat, berisikan wahyu-wahyu Tuhan yang kebenarannya pasti, namun membahas
hal-hal yang berkaitan dengan filsafat atau tepatnya hal-hal yang juga
difikirkan oleh filosof seperti tuhan, alam, jiwa, inter-relasi antara baik dan
buruk, kebebasan berkehendak, dan kehidupan setelah mati. Selain itu al-Quran
juga berbicara tentang konsep-konsep; syuhud, realita, wujud, manusia, taqdir,
ruang, waktu, kekal.[40]
Telah diterangkan sebelumnya bahwa
banyak ayat yang terkandung di dalam al-Quran ternyata filosofis, membutuhkan
rasio untuk memahaminya sehingga wajar saja filsafat (hikmah) sejajar dengan
"kitab", karena untuk dapat memahami al-Quran dibutuhkan
"hikmah", yaitu ilmu atau pemahaman tentang ayat-ayat (red:
tanda-tanda), agar mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, mendatangkan
maslahah dan terhindar dari mudharat. Misalnya, untuk mengetahui makna 6 hari
dalam firman Tuhan tentang penciptaan langit dan bumi dibutuhkan kemampuan
menggunakan hikmah.
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي
اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ
بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
(54)
Ayat di atas
mengundang banyak pertanyaan. Apa arti 6 hari? Apakah hari di situ bermakna
tahap? Atau kah hari yang dimaksud adalah Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan
Jumat?, Kenapa Tuhan menciptakan langit dan bumi harus bertahap?. Apakah Dia
tidak mampu untuk menciptakannya sekali jadi?. Begitulah, banyak terdapat
ayat-ayat di dalam al-Quran yang mengundang banyak pertanyaan yang jawabannya
membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang dihasilkan dari proses berfikir.
F.
Filsafat/Hikmah
sebagai sunnah Nabi
Nabi Muhammad saw., sejak kecil dikenal sangat cerdas. Ketika ikut
berdagang ke Syam bersama Abu Thalib ia bertanya pada pamannya itu tentang
hakikat penciptaan alam. Sebagai pemuda biasa yang cerdas, beliau mempunyai
sifat-sifat yang menunjukkan kualitas seorang filosof antara lain shiddiq,
amanah, tabligh, dan fathanah. Oleh karena kecerdasan dan
sifat-sifat yang dimilikinya itu beliau dapat menyelesaikan pertikaian pemuka
Quraish dalam memperebutkan siapa yang harus meletakkan Hajar Aswad ke
tempatnya semula.
Melihat realitas sosial yang bobrok, sebagai seorang warga yang
berkepribadian unggul, beliau merasa sangat gelisah. Kegelisahannya
mendorongnya pergi mencari pencerahan ke Gua Hira. Beliau pergi untuk
merenungkan dan memikirkan apa sebab semua itu terjadi dan bagaimana cara mengatasinya. Sampai
akhirnya turunlah wahyu pertama, yaitu perintah untuk "membaca". Membaca
di sini bisa diartikan dengan membaca realitas social yang ada dalam kehidupan
masyarakatnya, dengan didasari oleh adanya kesadaran yang transendental.
Membaca realitas sosial membutuhkan kemampuan konseptual guna memahami dinamika
masyarakat. Kemampuan tersebut berkaitan dengan
kecerdasan yang dimiliki beliau.[41]
Dengan kata lain, sebenarnya Tuhan memerintahkan Nabi untuk menggunakan potensi
akalnya membaca gejala sosial yang ada pada masyarakatnya dan kemudian
memikirkan jalan keluar untuk mengatasinya. Dan semuanya itu harus disertai
dengan kesadaran bahwa itu dilakukan karena Tuhan.
Setelah menjadi rasul, beliau ditanya tetang teori emanasi, maka
beliau menjawab:
كان الله و لم يكن شيء غيره و كتب
في الذكر كل شيء ثم خلق السموات و الأرض
Jika dilihat dari fakta sejarah, apa yang dilakukan
oleh Nabi sebenarnya merupakan penjelmaan dari tugas seorang filosof sejati,
setidaknya, sebelum beliau diangkat menjadi rasul, beliau sudah memiliki
kulitas seorang filosof. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Al-Syahrastani
tentang nabi. Menurutnya seorang nabi harus memiliki semua kualitas alamiah
pada derajat tertinggi, termasuk kualitas intelektual. Nabi harus memiliki
watak yang utama, sifat selalu benar dan jujur
sebelum ditunjuk sebagai nabi. Allah juga telah mengatakan dalam
firmannya pada surat Al-Maidah ayat 89, bahwa Dia telah memberikan hikmah
kepada para nabi.
أُولَئِكَ الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ
فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ
(المائدة 89)
Dalam buku tafsir Jalalain, al-hukm di dalam ayat ini
maksudnya adalah hikmah. Tafsir baidhowi kurang lebih menyatakan hal yang sama
yaitu
Sehingga para nabi dan orang-orang yang diberi hikmah (filosof)
adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapatkan kebaikan yang
banyak karena menggunakan akal fikiran mereka. Sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah surat al-Baqarah ayat 269:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ
يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو
الْأَلْبَابِ (269)
Dengan begitu, setiap nabi sebenarnya adalah juga seorang filosof,
namun tidak sebaliknya, tidak semua filosof adalah nabi. Sebagai seorang nabi
yang menerima wahyu, apa yang disampaikan rasul adalah mutlak benar karena itu
berasal dari Tuhan. Sedangkan sebagai seorang filosof, hasil pemikirannya belum
tentu benar karena kebenaran filsafat sifatnya spekulatif. Pada peristiwa Fathu
Makkah misalnya, nabi menganjurkan untuk beristirahat di suatu tempat,
namun seorang sahabat bertanya, apakah anjuran itu wahyu dari Tuhan atau hasil
pemikiran Nabi, beliau menjawab bahwa itu adalah pemikirannya saja bukan wahyu. Akhirnya atas anjuran sahabat tersebut
pasukan muslim beristirahat di daerah oase.
G.
Penutup
Setelah membaca uraian di atas dapatlah difahami bahwa filsafat
menurut filosof adalah berfikir logis, bebas, sistematis, radikal dan universal
tentang apa saja yang ada. Karena sifatnya yang bebas dari dogma dan agama,
para teolog menolak seluruh cara filsafat,
menganggapnya sesat dan tidak Islami. Tapi sebagian teolog tidak
menolak seluruhnya, melainkan hanya
menolak yang berkaitan dengan metafisika saja. Sementara mufassir meyakini
bahwa ayat-ayat al-Quran mengandung
anjuran dan perintah untuk berfikir, yang kemudian diartikan sebagai
berfilsafat.
Di antara filosof, teolog dan sufi, terminology hikmah telah sering
dipakai untuk menyebutkan filsafat Islam, namun tak seorang mufassir klasik pun
yang mengartikannya dengan filsafat. Sungguhpun begitu, arti hikmah yang
diberikan oleh mufassir, menurut hemat penulis tidak berbeda dengan filsafat.
Bila dimaknai dengan kendali yang menghindarkan dari mudharat dan mendekatkan
pada maslahah, maka itu sejalan dengan makna filsafat yaitu mencari kebenaran.
Kalau sudah berjalan di atas kebenaran tentu akan terhindar dari mudharat dan
mendapatkan maslahah. Begitu juga makna-makna lainnya; benar dalam perkataan
dan perbuatan, pengetahuan tentang yang benar, pemahaman, kearifan, pengetahuan
tentang rahasia-rahasia tentang yang ghaib dalam al-Quran. Bahkan bila dimaknai
al-Quran pun, masih sejalan dengan filsafat karena al-Quran yang disebut dengan
al-Hakim (diambil dari kata hakama, akar kata yang sama dengan hikmah) itu pun
menganjurkan berfilsafat dan kandungannya banyak memuat masalah-masalah yang
menjadi bahasan filsafat. Tidak berlebihan rasanya bila dikatakan bahwa
filsafat dalam Islam berakar dari Quran dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baidhowi, Tafsir Baidhowi
Al-Razi, Fakhruddin, Mafatihul Ghaib.
Al-Thabari, Abu Ja'far. 2000.
Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Quran. Juz V. Muassasah al-Risalah.
Asy'arie, Musa.
1999. Filsafat Islam. Yogyakarta:LESFI.
Bakhtiar, Amsal.
1999. Filsafat Agama. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Fakhry, Majid.
1986. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta:PT Temprint.
Hanafi,Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Hitti, P. K.
1970. History of the Arabs. London: The Macmillan Press Ltd.
Leaman, Oliver.
1989. Pengantar Filsafat islam.
Jakarta: Rajawali.
Ma'luf, Lois. 1986. Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A'lam.
Beirut: Dar El-Machreq.
Muhaimin. et al. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi
Islam. Jakarta: Kencana.
Nasr, Seyyed Hossein and Oliver Leaman. 2003. History of Islamic
Philosophy, New York: Routledge.
Nasution, Harun.
1991. Filsafat Agama. Jakarta:
Bulan Bintang.
Sharif, MM. 2001. A
History of Muslim Philosophy. Vol. I. Delhi: Adam Publisher.
Shihab, M. Quraish. 2007. Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosa
Kata. Jakarta: Lentera Hati.
Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taimiyah, Ibnu.
2005. Majmu' al-Fatawa Juz 2.
Cet. III. Dar al-Wafa'.
Thabathaba'I, Allamah
Sayid M. Husain. 2010. Tafsir al-Mizan. Jakarta: Lentera.
Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. 2003. Buku Daras Filsafat Islam.
versi terjemahan Indonesia. Bandung: Mizan.
[1] Hitti menuliskan, "In essence their philosophy was Greek,
modified by the thought of the conquered peoples and by other Eastern
influences, adapted to the mental proclivities of Islam and expressed through
the medium of Arabic." Lihat: P. K. Hitti, History of the Arabs,(London:
The Macmillan Press Ltd, 1970), h. 369
[4]Nasr menuliskan bahwa filsafat Islam bukanlah sekedar filsafat
"Graeco-Alexandrian dalam jubah Arab", melainkan filsafat yang asli
milik orang muslim yang berakar dari Quran dan Hadits. Lihat: Seyyed Hossein
Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, (New York:
Routledge, 2003), h. 27-37, Menurut Maurice de Wulf dalam bukunya Histoire
de la Philosophie, penyelidikan filosof-filosof Islam tentang wujud lebih
senang menyendiri dan tidak suka mengekor, karena berpegangan kepada Quran. Ahmad Hanafi, MA, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 16
[13]Prof. Dr. Muhaimin, MA. Et al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,
(Jakarta: Kencana, 2005), h. 303
[14]Sofis dalam bahasa Yunani artinya orang bijak atau berilmu. Kaum
sofis yang dimaksud adalah sekelompok sarjana pengajar professional
dalam seni retorika dan debat. Pekerjaan mereka adalah melatih para pengacara
untuk terampil debat di pengadilan. Bergumul dengan pengajaran yang seringkali
tercemar dengan kerancuan berfikir membuat mereka menolak mentah-mentah
kebenaran di luar pikiran manusia. Socrates memakai nama philosophus
untuk menunjukkan kerendahan hatinya, sekaligus menyindir para sofis, seolah
dia berkata pada mereka,"Kalian yang bergelut dalam keilmuan demi tujuan
materi dan politik tidaklah layak menyandang gelar sofis (orang bijak).
Bahkan saya yang menolak gagasan anda dengan alasan yang jauh lebih kuat,
merasa tidak layak menyendang gelar itu, dan lebih memilih nama pecinta
kebijaksanaan". Lihat: Prof. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras
Filsafat Islam, versi terjemahan Indonesia, (Bandung: Mizan, 2003), h. 4-5
[18]Amsal Bakhtiar, Filsafat…, h. 8
[21]A. Khudori Soleh, M. Ag., Wacana Baru Filsafat Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 20-27
[22]Teologi dan filsafat mempunyai objek bahasan yang sama dan sama-sama
memberikan argument yang rasional. Lihat: Amsal Bakhtiar, Filsafat…., h.
23
[31]M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosa Kata,
(Jakarta: Lentera Hati,2007), h. 272-274
[32] Luqman diberi gelar “Hakim” karena dia dikaruniai “hikmah” oleh
Tuhan. Begitu juga Al-Qur-an disebut dengan “Kitab Hakim” karena mengandung
hikmah. Lihat: Surat Luqman ayat 2 dan 12
[33] Quran Surat Al-Baqarah ayat 209 lihat juga surat 45 ayat 37
[34] Quran 2:171
[35]Abu Ja'far al-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Quran, Juz
V, (Muassasah al-Risalah, 2000), h.576
[37] Quran 2:269
[38] Quran 2:129
0 comments:
Posting Komentar