Minggu, 31 Maret 2013

AKAR FILSAFAT DALAM ISLAM

A.  Mukaddimah
Filsafat Islam sebagai salah satu cabang ilmu yang berkembang kemudian hari, dikenal secara luas berasal dari Yunani. Bukan hanya penulis barat[1], tapi sebagian penulis muslim pun berpendapat sama, sehingga muncullah pernyataan bahwa ilmu pengetahuan  yang berkembang di barat sekarang, termasuk filsafat  adalah berasal dari orang-orang Islam yang mereka ambil dari Yunani. Pendapat ini muncul berdasarkan pada kenyataan bahwa telah terjadi kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran pada pertengahan abad kedelapan yang sebelumnya telah dimulai oleh Khalid bin Yazid. Meskipun Khalid hanya focus pada karya-karya astrologi, kimia dan kedokteran, namun pada masa Abbasiyah, negara mengambil bagian yang aktif dalam penerjemahan tidak hanya terbatas pada buku-buku seperti yang disebut di atas tapi sudah menjangkau ruang lingkup yang lebih luas.[2] Al-Ma'mun bahkan sengaja mencari karya filsafat Yunani untuk menjustifikasi kecenderungan rasionalitasnya dalam memahami teks-teks Quran.[3]
            Meski fakta bahwa telah terjadi penerjemahan ilmu-ilmu karya Yunani ke dalam bahasa Arab adalah benar, namun untuk mengatakan bahwa filsafat Islam berasal dari Yunani tidaklah tepat, karena ternyata filsafat yang dihasilkan oleh filosof muslim berbeda dengan milik Yunani. Bagaimana mungkin sama pemikiran tentang tuhan dan alam semesta, orang yang meyakini Quran dengan yang tidak.[4] Oliver Leaman dalam An Introduction to Medieval Islamic Philosophy versi terjemahan Amin Abdullah, mengatakan dengan jelas, "Keliru besar kalau beranggapan bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani".[5] Majid Fakhry dalam Sejarah Filsafat Islam menuturkan bahwa penerjemahan naskah-naskah teologis yang kerapkali berkaitan dengan logika dilakukan bukan karena anggapan bahwa naskah tersebut baik isinya hingga layak dipelajari tapi karena dorongan kebutuhan untuk menyelidiki makna yang lebih dalam tentang konsep-konsep teologis dan proses dialektis yang sering muncul dalam perdebatan kristologis.[6] Bahkan masih menurut Fakhry, para penerjemah itu tidak meneruskan terjemahan mereka sampai pada Isagoge Porphyry, Categories, Hermeutica dan Analytica Priora, karena dianggap berbahaya mempelajari argument-argumen yang demonstrative dan sofistis.[7] Baru pada masa Ma'mun buku-buku filsafat Yunani itu bisa diterjemahkan.
            Filsafat yang penulis maksud dengan milik muslim adalah filsafat yang berakar dari Quran Hakim, buku sumber induk filsafat umat Islam, serta sunnah Nabi. Dinamakan Filsafat Islam bukan karena  dibuat oleh orang Islam atau dibuat di negara Islam, melainkan karena inspirasinya, prinsip-prinsipnya dan hal-hal yang berkaitan dengannya diambil dari sumber wahyu. Dalam bahasa Seyyed Hossein Nasr, "….Islamic philosophy, like everything else Islamic, is deeply rooted in the Quran and Hadits".[8] Kebanyakan dari filosof Islam, kalau bukan seluruhnya, hidup dalam atmosfer Islam dan didominasi oleh realitas Quran dan Sunnah. Mereka hidup menurut hukum Islam dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan sebagian mereka bukan hanya semata-mata filosof tapi juga ahli hukum, seperti Ibn Rusyd, Shah Waliullah, Mir Damad, sehingga mereka cenderung berfilsafat ke arah yang lebih spesifik yang mungkin bisa disebut dengan "filsafat Nabi" (prophetic philosophy).[9] Dalam khazanah Filsafat Islam, pengenalan model pengetahuan yang bersifat rasional tidak berhenti dalam alur metodologi berfikir, melainkan berlanjut dalam pemaknaan spiritualitas. Makna spiritualitas hadir bersamaan dengan telaah reflektif-kontemplatif.[10]
           
B.  Pengertian Filsafat Secara Etimologi
            Istilah filsafat, menurut Ahmad Tafsir dalam Amsal Bakhtiar, berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata: Philo dan Sophia. Philo berarti cinta dalam arti luas, yakni keinginan dan Sophia berarti hikmah (kebijakan) atau kebenaran. Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijakan atau kebenaran.[11]
            Harun Nasution berpendapat bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafa.[12] Muhaimin dkk juga berpendapat bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah. Menurutnya, orang Arab mengambilnya dari bahasa Yunani philosophia yang artinya ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kebijaksanaan.[13]
            Menurut versi lain, filsafat diambil dari bahasa Yunani philosophus. Kata ini dipakai pertama kali oleh Socrates, pemikir paling masyhur yang menyanggah dan menentang kaum sofis.[14] Socrates menamakan dirinya philosophus, pecinta kebijaksanaan. Ungkapan ini lantas di-Arab-kan menjadi failasuf dan dari situ pula kata falsafah diambil.
            Padanan kata falsafah adalah hikmah yang artinya pintar dalam masalah-masalah ilmiah.[15] Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode-metode berfikirnya.

C.  Terminologi Filsafat
Pengertian filsafat sangat beragam baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Sebagian pakar merasa tidak perlu definisi filsafat diberikan mengingat setiap orang mempunyai titik tekan sendiri dalam pemberian definisi tersebut. Oleh karenanya, Moh. Hatta mengatakan, lebih tepat bila orang meneliti filsafat terlebih dahulu baru kemudian menyimpulkannya sendiri. Kendati pun demikian penulis merasa perlu untuk mengetahui pengertian filsafat oleh para filosof sendiri walaupun penekanannya berbeda-beda, agar bisa dilihat secara keseluruhan dan dapat difahami garis besarnya.
Plato mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan, dan lebih mengutamakan jalan keyakinan daripada dugaan. Sementara Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah menyelidiki sebab dan azas segala benda. Itulah sebabnya kenapa Aristoteles menamakan filsafat dengan "teologi" atau "filsafat pertama" yang membawanya pada kesimpulan bahwa setiap gerak di alam ini digerakkan oleh yang lain. Maka perlu menetapkan penggerak yang menyebabkan gerak tersebut. Penggerak tidak ikut bergerak dengan yang lain karena dia terlepas dari materi, kalo dia bermateri maka ia juga berpotensi untuk bergerak. Demikianlah Aristoteles menemukan tuhan yang ia sebut Aktus Murni.[16]
Al-Kindi meninjau filsafat dari dalam dan dari luar. Menurutnya filsafat adalah ilmu tentang hikikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia yang mencakupi ilmu ketuhanan, keesaan, keutamaan dan ilmu tentang yang berguna sekaligus cara memperolehnya serta ilmu cara menjauhi hal-hal yang merugikan. Itu lah yang beliau maksud dengan filsafat yang bersifat teori. Sedangkan filsafat yang bersifat amalan adalah mewujudkan kebenaran yang kita ketahui/temukan tersebut dalam tindakan.[17]
Filsafat menurut Al-Farabi adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya, sementara Immanuel Kant, tokoh filosof modern berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan mengenai pokok pangkal dari segala pengetahuan dan perbuatan. N. Driyakara dengan ungkapan yang menarik mengatakan bahwa filsafat adalah permenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebab "ada" dan "berbuat". Permenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya, sampai "mengapa" yang penghabisan.[18]
Seorang filosof dari Timur, Fung Yu Lan, mengatakan bahwa filsafat adalah pikiran yang sistematis dan refleksi tentang hidup. Sementara itu, Harun Nasution mengatakan  bahwa filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai pada dasar-dasar persoalan.[19]
Menurut Endang Saifuddin Anshari, filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahami secara radikal, integral, dan universal hakikat sarwa yang ada (Tuhan, alam, dan manusia), serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi dari pahamnya tersebut.[20]
 Kendatipun defenisi-defenisi di atas berbeda-beda, terdapat persamaan yang cukup jelas yang merupakan unsur-unsur dasar filsafat. Kesimpulan dari persamaan tersebut adalah bahwa filsafat membahas tentang realitas secara radikal (mengakar), sistematis, bebas dan universal.
Adapun pembagian ilmu filsafat itu sendiri, menurut Prof. Dr. Muhaimin, MA, adalah sebagai berikut:
1.      Metafisika, yaitu filsafat tentang hakikat yang bersifat transenden, di luar batas nalar manusia.
2.      Logika, yaitu filsafat tentang pikiran yang benar dan salah.
3.      Etika, tentang tingkah laku yang baik dan buruk.
4.      Estetika, tentang seni dan keindahan
5.      Epistemologi, tentang ilmu pengetahuan
6.      Filsafat-filsafat khusus, seperti filsafat alam, filsafat agama dll.

D.      Filsafat Dan Teologi
Intelektual muslim sepakat bahwa kekuatan akal atau rasionalisme sangat dibutuhkan dalam kajian agama, karena bagaimana pun untuk memahami teks agama saja dibutuhkan kekuatan rasio, apalagi memahami teks yang memungkinkan untuk ditafsirkan berbeda-beda. Hanya saja, sejauh mana rasio bisa digunakan dalam memahami kajian-kajian agama, masih menjadi hal yang kontroversial. Sebagian beranggapan rasio mesti dipakai setelah wahyu, apabila tidak ada wahyu tentang masalah tertentu barulah rasio digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Sebagian lagi beranggapan bahwa rasio saja sudah cukup untuk membimbing manusia pada kebenaran, wahyu hanya sebagai justifikasi atas apa yang telah ditemukan rasio. Dalam ranah kajian agama Islam para mutakallimin (teolog) dan filosof lah yang cenderung memakai rasio.
 Teologi dan filsafat sesungguhnya sama-sama menggunakan metode silogisme dalam cara berfikirnya. Silogisme adalah suatu metode pengambilan kesimpulan berdasarkan premis mayor dan premis minor. Hanya saja dalam filsafat premis mayor adalah premis yang telah teruji secara rasional sehingga sifatnya meyakinkan melalui rasio, sementara dalam teologi premis mayor diambil dari sesuatu yang sudah diyakini secara umum seperti wahyu dan doktrin agama.[21] Teolog berangkat dari kebenaran yang didapatnya dari wahyu kemudian mencari argumen yang rasional untuk membuktikan kebenaran tersebut. Sedangkan filsafat berangkat dari keraguan sehingga dilakukan pencarian secara rasional untuk mendapatkan kebenaran final.
Teologi muncul sebagai sebuah system berfikir rasional untuk meng-counter pemikiran rasional bebas yang menyerang otoritas wahyu. Teologi lahir jauh sebelum masa penerjemahan buku-buku filsafat Yunani oleh Ma'mun. Justru teologi, karena mempunyai persamaan dengan filsafat[22] tanpa sadar telah menyiapkan landasan bagi berkembangnya filsafat Yunani. Meski menjadi landasan tumbuhnya filsafat, hubungan keduanya tak selalu harmonis. Sering terjadi perdebatan antara teolog dengan filosof seperti Abu Sa'id al-Syirafi[23] dengan Abu Bisyr Matta[24]. Ketegangan semakin meruncing setelah al-Farabi menempatkan teologi dan fiqh pada ranking bawah setelah ilmu-ilmu filsafat.[25]
Tahafut al-Falasifah dan al-Munqidz min al-Dhalal adalah karya al-Ghazali yang berisikan penyerangan terhadap filsafat, sungguhpun dia sendiri adalah filosof, meskipun ada yang menggolongkannya ke dalam teolog, namun dia memulainya dengan filsafat (dan berakhir dalam sufisme). Dalam karyanya tersebut dia menyerang lapangan filsafat metafisika. Tak hanya Ghazali, namun sejumlah teolog dari ahlussunnah banyak yang menyerang filsafat, seperti Ibnu Hazm, Ibn Taimiyah, dan Ibn Al-Qayyim. Untuk melihat gambaran ketegangan teologi dan filsafat rasanya perlu penulis mengutip fatwa Ibn as-Shalah yang sering didengungkan oleh Kubra Zadah:
"Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan syariah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dan bukti-bukti yang jelas. Barangsiapa yang mempelajarinya, maka ia bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh setan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita."[26]

Meskipun ada ketegangan antara filsafat dan teologi, tidak berarti semua teolog  bersikap sama terhadap filsafat. Sebagian ada yang membela kebebasan berfikir dan lebih mengandalkan rasio sehingga bisa menerima usaha filsafat untuk menemukan kebenaran. Sebagian lagi menolak filsafat mentah-mentah.
Namun perlu dicatat bahwa keberatan teolog terhadap filsafat kebanyakan lebih kepada teori mereka tentang tuhan atau terbatas hanya pada filsafat metafisika. Karya Ibn Taimiyah "al-Raddu 'ala al-Mantiqiyyin", sungguh pun mantiq itu adalah logika, namun yang dikritik Ibn Taimiyah sebenarnya adalah pemahaman ilahiah para pemakai logika (filosof), bukan logika itu sendiri. Beliau mengakui bahwa sebagian filsafat benar dan sebagian kafir, seperti yang ditulisnya dalam bukunya "Majmu' al-Fatawa".[27]
انْحَصَرَتْ طُرُقُ الطَّالِبِينَ عِنْدِي فِي أَرْبَعِ فِرَقٍ : - الْمُتَكَلِّمُونَ : وَهُمْ يَدَّعُونَ أَنَّهُمْ أَهْلُ الرَّأْيِ وَالنَّظَرِ . وَالْبَاطِنِيَّةُ : وَهُمْ يَدَّعُونَ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ التَّعَلُّمِ وَالْمُخَصِّصُونَ بِالِاقْتِبَاسِ مِنْ الْإِمَامِ الْمَعْصُومِ . وَالْفَلَاسِفَةُ : وَهُمْ يَدَّعُونَ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْمَنْطِقِ . وَالْبُرْهَانِ . وَالصُّوفِيَّةُ : وَيَدَّعُونَ أَنَّهُمْ خَوَاصُّ الْحَضْرَةِ وَأَهْلُ الْمُكَاشَفَةِ وَالْمُشَاهَدَةِ ....... ....... وَأَنَّ مَا عَلَيْهِ الْبَاطِنِيَّةُ بَاطِلٌ وَأَنَّ الْفَلْسَفَةَ بَعْضُهَا حَقٌّ وَبَعْضُهَا كُفْرٌ.

Al-Ghazali pun sebenarnya tidak menyerang filsafat Ibnu Sina secara keseluruhan, melainkan hanya pada metafisika saja. Justru dia menyayangkan adanya sikap penolakan terhadap filsafat secara keseluruhan, perasaan ini ia nyatakan dalam bukunya al-Munqidz Min al-dhalal. Menurutnya, bila umat Islam meninggalkan Logika, Etika, Matematika dan ilmu filsafat lainnya, ini akan melemahkan umat Islam dan membahayakannya. Al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah, sebenarnya hanya menyerang faham Ibnu Sina tentang 3 hal, yang menurutnya dipengaruhi Aristoteles; 1. Manusia tidak dibangkitkan secara jasmaniah namun hanya rohaninya saja. Pada hari kiamat manusia hanya dihukum secara spiritual bukan jasmani, 2. Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang universal dan tidak yang particular, 3. Dunia ini kekal.[28]

E.     Filsafat dalam Quran
Agama Islam memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal dengan banyaknya ayat-ayat Quran yang menganjurkan manusia supaya banyak berfikir, menggunakan akalnya untuk mengupas rahasia alam, mencari kebenaran dan mempelajari ciptaannya.
Di dalam al-Quran terdapat 49 kali perkataan yang berakar dari kata 'aql (akal) dan semuanya dalam bentuk kerja aktif seperti ta'qilun, na'qil, ya'qilun, ya'qiluha. Bukan hanya akal yang menunjukkan pekerjaan berfikir tapi juga istilah-istilsh lain seperti Nazhara (melihat dengan abstrak dalam arti merenung), tadabbara (merenung), tafakkara, faqiha, tadzakkara (mengingat atau mendapat pelajaran). Di samping itu di dalam Quran juga banyak sebutan-sebutan yang memberi sifat berfikir seperti, ulul al-bab, ulu al-ilmi, ulu abshar, ulu al-nuha. Kesemuanya mengandung anjuran dan dorongan agar manusia banyak berfikir dan menggunakan akalnya. Dengan kata lain, tuhan melalui firman-firmannya di dalam al-Quran mendorong bahkan memerintahkan manusia agar berfilsafat.[29]
Anjuran Tuhan seperti yang telah dijelaskan di atas bukan hanya tergambar dalam pemakaian kata-kata yang berakar pada 'aql dan yang mengandung arti berfikir saja, tapi bahkan banyak ayat yang terkandung di dalam al-Quran sendiri filosofis, membutuhkan rasio untuk memahaminya sehingga Tuhan sendiri meletakkan filsafat (hikmah) sejajar dengan "kitab".  
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ (المائدة : 110)

1.       Hikmah Sebagai Padanan Filsafat
            Sebagaimana telah disebutkan bahwa kata filsafat di dalam Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam mempunyai sinonim Hikmah. Sebelumnya kata ini dipakai pertama sekali sebagai padanan filsafat oleh al-Kindi yang biasa menuliskan padanan Arab untuk istilah-istilah dalam filsafat Yunani.[30] Beberapa penulis kontemporer pun telah memaknai hikmah sebagai filsafat. Namun penulis ingin mundur sedikit untuk meninjau kembali makna hikmah secara umum, khususnya kata hikmah di dalam al-Quran menurut ahli tafsir.
            Term hikmah terulang sebanyak 20 kali dalam dua belas surah. Dalam kitab-kitab tafsir klasik tak satu pun dari 20 kata hikmah tersebut yang diartikan dengan filsafat, bahkan Quraish Shihab, mufassir kontemporer pun tidak memaknainya dengan filsafat. Menurut beliau Hikmah akar katanya hakama, maknanya menghalangi. Jadi, sesuatu yang bila digunakan akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan dan mendatangkan kemaslahatan. Lebih jauh beliau mengatakan bahwa hikmah juga berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan ide, mau pun perbuatan. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Menurut imam Ghazali, hikmah berarti pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama.[31]Memilih yang terbaik dari dua hal pun disebut dengan hikmah, pelakunya disebut dengan hakim. Hakim setidaknya punya 3 arti; sesuatu/seorang yang bijak atau yang memperoleh/memiliki hikmah[32], medikal praktisi, dan hakim pengadilan. Tuhan juga disebut dengan “hakim”[33], begitu juga dengan Al-Quran. Orang yang menolak kepercayaan pada Tuhan sama artinya dengan menolak hikmah.[34]
            Menurut Thabari dalam tafsirnya, hikmah artinya benar dalam berkata dan berbuat. Menurut Ibnu Abbas Hikmah adalah pengetahuan tentang al-Quran, yaitu; nasikh mansukhnya, muhkamat dan mutasyabihatnya, tentang mana yang harus didahulukan dan mana yang diakhirkan, tentang halal dan haram dan semisalnya.[35]
            Sedangkan Ibnu 'Adil dalam kitab Tafsir al-Lubab, mengartikan hikmah dengan nubuwwah (kenabian). Sementara Muqatil dalam Mafatihul Ghaib karya Al-Razi mengatakan bahwa hikmah dalam al-Quran mempunyai 4 arti; mau'izhah Quran, faham dan ilmu, kenabian, al-Quran beserta rahasia-rahasia ghaib yang ada di dalamnya:
تفسير الحكمة في القرآن على أربعة أوجه أحدها : مواعظ القرآن ، قال في البقرة { وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُم مّنَ الكتاب والحكمة يَعِظُكُم بِهِ } [ البقرة : 231 ] يعني مواعظ القرآن وفي النساء { وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُم مّنَ الكتاب والحكمة } يعني المواعظ ، ومثلها في آل عمران وثانيها : الحكمة بمعنى الفهم والعلم ، ومنه قوله تعالى : { وَآتَيْنَاهُ الحكم صَبِيّاً } [ مريم : 12 ] وفي لقمان { وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا لُقْمَانَ الحكمة } [ لقمان : 12 ] يعني الفهم والعلم وفي الأنعام { أولئك الذين ءاتيناهم الكتاب والحكم } [ الأنعام : 89 ] وثالثها : الحكمة بمعنى النبوّة في النساء { فَقَدْ ءاتَيْنَا ءَالَ إبراهيم الكتاب والحكمة } [ النساء : 54 ] يعني النبوّة ، وفي ص { وءاتيناه الحكمة وفصل الخطاب } [ ص : 20 ] يعني النبوّة ، وفي البقرة { وآتاه الله الملك والحكمة } [ البقرة : 251 ] ورابعها : القرآن بما فيه من عجائب الأسرار في النحل { ادع إلى سَبِيلِ رَبّكَ بالحكمة } [ النحل : 125 ] وفي هذه الآية { وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرًا }

            Thabathabai memaknai hikmah dengan kearifan[36], sedangkan Qatadah mangartikannya sunnah dengan alasan bahwa kata hikmah didampingkan dengan kitab yang bermakna Quran, maka dampingan yang pantas bagi Quran tiada lain adalah sunnah. Bila dirunut dari atas maka bisa dilogikan bahwa yang maha bijaksana (hakim) adalah Tuhan, yang menurunkan nilai-nilai kebijaksanaannya dalam Quran (hakim), dan Ia menganugerahkan hikmahnya kepada sebagian hamba-hambanya yang terpilih[37], diantara orang-orang yang terpilih itu adalah para nabi[38], sehingga apa-apa yang berasal dari nabi (sunnah), juga mengandung hikmah. Dengan begitu pernyataan yanba’u’l- hikmah min mishkat al- nubuwwah”, menjadi masuk akal.
            Meski tidak ada pengertian yang jelas yang mengatakan bahwa hikmah adalah filsafat, namun dari arti-arti yang telah diberikan oleh para mufassir tersebut dapat diketahui bahwa hikmah sama dengan falsafah. Sama-sama mendatangkan maslahah dan menghindari mudharat, sama-sama untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, dan sama-sama berarti ilmu dan faham tentang segala sesuatu. Filosof dan hakim adalah sama-sama berarti orang arif dan bijaksana.
2.      Ajaran Filosofis al-Quran
Meskipun bukan al-Quran satu-satunya kitab suci yang diturunkan Tuhan, namun umat Islam hanya berpegang pada syariat yang ada dalam Quran, dengan tetap berkeyakinan bahwa kitab Zabur, Taurat dan Injil juga kitab suci dari Tuhan. Doktrin yang dibawa kitab sebelumnya sama dengan doktrin yang ada dalam al-Quran, begitu juga uraian fakta-fakta sejarah, tidak ada yang berubah. Tuhan tidak menghapus atau melupakan wahyu yang datang sebelumnya, hanya saja, perbedaan waktu membutuhkan penyesuaian dalam penentuan hukum-hukum (syariat) sehingga dalam al-Quran ada penegasan tentang hukum lama, atau menggantinya dengan sesuatu yang serupa atau yang lebih baik.[39]
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (البقرة : 106)
          Al-Quran disebut juga dengan nama lainnya al-Hakim – diambil dari kata yang sama dengan hikmah, hakama, - adalah kitab suci, bukan kitab filsafat, berisikan wahyu-wahyu Tuhan yang kebenarannya pasti, namun membahas hal-hal yang berkaitan dengan filsafat atau tepatnya hal-hal yang juga difikirkan oleh filosof seperti tuhan, alam, jiwa, inter-relasi antara baik dan buruk, kebebasan berkehendak, dan kehidupan setelah mati. Selain itu al-Quran juga berbicara tentang konsep-konsep; syuhud, realita, wujud, manusia, taqdir, ruang, waktu, kekal.[40]
            Telah diterangkan sebelumnya bahwa banyak ayat yang terkandung di dalam al-Quran ternyata filosofis, membutuhkan rasio untuk memahaminya sehingga wajar saja filsafat (hikmah) sejajar dengan "kitab", karena untuk dapat memahami al-Quran dibutuhkan "hikmah", yaitu ilmu atau pemahaman tentang ayat-ayat (red: tanda-tanda), agar mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, mendatangkan maslahah dan terhindar dari mudharat. Misalnya, untuk mengetahui makna 6 hari dalam firman Tuhan tentang penciptaan langit dan bumi dibutuhkan kemampuan menggunakan hikmah. 
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (54)
Ayat di atas mengundang banyak pertanyaan. Apa arti 6 hari? Apakah hari di situ bermakna tahap? Atau kah hari yang dimaksud adalah Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat?, Kenapa Tuhan menciptakan langit dan bumi harus bertahap?. Apakah Dia tidak mampu untuk menciptakannya sekali jadi?. Begitulah, banyak terdapat ayat-ayat di dalam al-Quran yang mengundang banyak pertanyaan yang jawabannya membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang dihasilkan dari proses berfikir.

F.   Filsafat/Hikmah sebagai sunnah Nabi
Nabi Muhammad saw., sejak kecil dikenal sangat cerdas. Ketika ikut berdagang ke Syam bersama Abu Thalib ia bertanya pada pamannya itu tentang hakikat penciptaan alam. Sebagai pemuda biasa yang cerdas, beliau mempunyai sifat-sifat yang menunjukkan kualitas seorang filosof antara lain shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Oleh karena kecerdasan dan sifat-sifat yang dimilikinya itu beliau dapat menyelesaikan pertikaian pemuka Quraish dalam memperebutkan siapa yang harus meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula.
Melihat realitas sosial yang bobrok, sebagai seorang warga yang berkepribadian unggul, beliau merasa sangat gelisah. Kegelisahannya mendorongnya pergi mencari pencerahan ke Gua Hira. Beliau pergi untuk merenungkan dan memikirkan apa sebab semua itu terjadi  dan bagaimana cara mengatasinya. Sampai akhirnya turunlah wahyu pertama, yaitu perintah untuk "membaca". Membaca di sini bisa diartikan dengan membaca realitas social yang ada dalam kehidupan masyarakatnya, dengan didasari oleh adanya kesadaran yang transendental. Membaca realitas sosial membutuhkan kemampuan konseptual guna memahami dinamika masyarakat. Kemampuan tersebut berkaitan dengan  kecerdasan yang dimiliki beliau.[41] Dengan kata lain, sebenarnya Tuhan memerintahkan Nabi untuk menggunakan potensi akalnya membaca gejala sosial yang ada pada masyarakatnya dan kemudian memikirkan jalan keluar untuk mengatasinya. Dan semuanya itu harus disertai dengan kesadaran bahwa itu dilakukan karena Tuhan.
Setelah menjadi rasul, beliau ditanya tetang teori emanasi, maka beliau menjawab:
كان الله و لم يكن شيء غيره و كتب في الذكر كل شيء ثم خلق السموات و الأرض

Jika dilihat dari fakta sejarah, apa yang dilakukan oleh Nabi sebenarnya merupakan penjelmaan dari tugas seorang filosof sejati, setidaknya, sebelum beliau diangkat menjadi rasul, beliau sudah memiliki kulitas seorang filosof. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Al-Syahrastani tentang nabi. Menurutnya seorang nabi harus memiliki semua kualitas alamiah pada derajat tertinggi, termasuk kualitas intelektual. Nabi harus memiliki watak yang utama, sifat selalu benar dan jujur  sebelum ditunjuk sebagai nabi. Allah juga telah mengatakan dalam firmannya pada surat Al-Maidah ayat 89, bahwa Dia telah memberikan hikmah kepada para nabi.
أُولَئِكَ الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ (المائدة 89)

Dalam buku tafsir Jalalain, al-hukm di dalam ayat ini maksudnya adalah hikmah. Tafsir baidhowi kurang lebih menyatakan hal yang sama yaitu
الحكمة أو فصل الأمر على ما يقتضيه الحق[42]
Sehingga para nabi dan orang-orang yang diberi hikmah (filosof) adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapatkan kebaikan yang banyak karena menggunakan akal fikiran mereka. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 269:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (269)


Dengan begitu, setiap nabi sebenarnya adalah juga seorang filosof, namun tidak sebaliknya, tidak semua filosof adalah nabi. Sebagai seorang nabi yang menerima wahyu, apa yang disampaikan rasul adalah mutlak benar karena itu berasal dari Tuhan. Sedangkan sebagai seorang filosof, hasil pemikirannya belum tentu benar karena kebenaran filsafat sifatnya spekulatif. Pada peristiwa Fathu Makkah misalnya, nabi menganjurkan untuk beristirahat di suatu tempat, namun seorang sahabat bertanya, apakah anjuran itu wahyu dari Tuhan atau hasil pemikiran Nabi, beliau menjawab bahwa itu adalah pemikirannya saja bukan wahyu.  Akhirnya atas anjuran sahabat tersebut pasukan muslim beristirahat di daerah oase.


G.  Penutup
Setelah membaca uraian di atas dapatlah difahami bahwa filsafat menurut filosof adalah berfikir logis, bebas, sistematis, radikal dan universal tentang apa saja yang ada. Karena sifatnya yang bebas dari dogma dan agama, para teolog menolak seluruh cara filsafat,  menganggapnya sesat dan tidak Islami. Tapi sebagian teolog tidak menolak  seluruhnya, melainkan hanya menolak yang berkaitan dengan metafisika saja. Sementara mufassir meyakini bahwa ayat-ayat al-Quran mengandung  anjuran dan perintah untuk berfikir, yang kemudian diartikan sebagai berfilsafat.
Di antara filosof, teolog dan sufi, terminology hikmah telah sering dipakai untuk menyebutkan filsafat Islam, namun tak seorang mufassir klasik pun yang mengartikannya dengan filsafat. Sungguhpun begitu, arti hikmah yang diberikan oleh mufassir, menurut hemat penulis tidak berbeda dengan filsafat. Bila dimaknai dengan kendali yang menghindarkan dari mudharat dan mendekatkan pada maslahah, maka itu sejalan dengan makna filsafat yaitu mencari kebenaran. Kalau sudah berjalan di atas kebenaran tentu akan terhindar dari mudharat dan mendapatkan maslahah. Begitu juga makna-makna lainnya; benar dalam perkataan dan perbuatan, pengetahuan tentang yang benar, pemahaman, kearifan, pengetahuan tentang rahasia-rahasia tentang yang ghaib dalam al-Quran. Bahkan bila dimaknai al-Quran pun, masih sejalan dengan filsafat karena al-Quran yang disebut dengan al-Hakim (diambil dari kata hakama, akar kata yang sama dengan hikmah) itu pun menganjurkan berfilsafat dan kandungannya banyak memuat masalah-masalah yang menjadi bahasan filsafat. Tidak berlebihan rasanya bila dikatakan bahwa filsafat dalam Islam berakar dari Quran dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Baidhowi, Tafsir Baidhowi
Al-Razi, Fakhruddin, Mafatihul Ghaib.
Al-Thabari, Abu Ja'far.  2000. Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Quran. Juz V. Muassasah al-Risalah.  
Asy'arie, Musa.  1999. Filsafat Islam. Yogyakarta:LESFI.
Bakhtiar, Amsal.  1999. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.  
Fakhry, Majid. 1986. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta:PT Temprint.
Hanafi,Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hitti, P. K. 1970. History of the Arabs. London: The Macmillan Press Ltd.
Leaman, Oliver.  1989. Pengantar Filsafat islam. Jakarta: Rajawali.  
Ma'luf, Lois.  1986. Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A'lam. Beirut: Dar El-Machreq.
Muhaimin.  et al. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana.
Nasr, Seyyed Hossein and Oliver Leaman. 2003. History of Islamic Philosophy, New York: Routledge.
Nasution, Harun.  1991. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.  
Sharif, MM.  2001. A History of Muslim Philosophy. Vol. I. Delhi: Adam Publisher.
Shihab, M. Quraish. 2007. Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati.
Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taimiyah, Ibnu.  2005. Majmu' al-Fatawa Juz 2. Cet. III. Dar al-Wafa'.
Thabathaba'I, Allamah Sayid M. Husain. 2010. Tafsir al-Mizan. Jakarta: Lentera.
Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. 2003. Buku Daras Filsafat Islam. versi terjemahan Indonesia. Bandung: Mizan.


[1] Hitti menuliskan, "In essence their philosophy was Greek, modified by the thought of the conquered peoples and by other Eastern influences, adapted to the mental proclivities of Islam and expressed through the medium of Arabic." Lihat: P. K. Hitti, History of the Arabs,(London: The Macmillan Press Ltd, 1970), h. 369
[2]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam,(Jakarta:PT Temprint, 1986), h. 20
[3]P. K. Hitti, History…., h. 310
[4]Nasr menuliskan bahwa filsafat Islam bukanlah sekedar filsafat "Graeco-Alexandrian dalam jubah Arab", melainkan filsafat yang asli milik orang muslim yang berakar dari Quran dan Hadits. Lihat: Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, (New York: Routledge, 2003), h. 27-37, Menurut Maurice de Wulf dalam bukunya Histoire de la Philosophie, penyelidikan filosof-filosof Islam tentang wujud lebih senang menyendiri dan tidak suka mengekor, karena berpegangan kepada Quran. Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 16
[5]Oliver Leaman, Pengantar Filsafat islam, (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 8
[6]Majid Fakhry, Sejarah…, h. 28
[7]Ibid.,
[8]Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History…, h. 27
[9]Ibid., h. 28
[10]Musa Asy'arie, Filsafat Islam, (Yogyakarta:LESFI, 1999
[11]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 6
[12]Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 3
[13]Prof. Dr. Muhaimin, MA. Et al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 303
[14]Sofis dalam bahasa Yunani artinya orang bijak atau berilmu. Kaum sofis yang dimaksud adalah sekelompok sarjana pengajar professional dalam seni retorika dan debat. Pekerjaan mereka adalah melatih para pengacara untuk terampil debat di pengadilan. Bergumul dengan pengajaran yang seringkali tercemar dengan kerancuan berfikir membuat mereka menolak mentah-mentah kebenaran di luar pikiran manusia. Socrates memakai nama philosophus untuk menunjukkan kerendahan hatinya, sekaligus menyindir para sofis, seolah dia berkata pada mereka,"Kalian yang bergelut dalam keilmuan demi tujuan materi dan politik tidaklah layak menyandang gelar sofis (orang bijak). Bahkan saya yang menolak gagasan anda dengan alasan yang jauh lebih kuat, merasa tidak layak menyendang gelar itu, dan lebih memilih nama pecinta kebijaksanaan". Lihat: Prof. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, versi terjemahan Indonesia, (Bandung: Mizan, 2003), h. 4-5
[15]Lois Ma'luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A'lam, (Beirut: Dar El-Machreq, 1986), h. 593
[16]Amsal Bakhtiar, Filsafat…, h. 8
[17]Ahmad Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), h. 74
[18]Amsal Bakhtiar, Filsafat…, h. 8
[19]Ibid., h.9
[20]Prof. Dr. Muhaimin, MA. Et. al., Kawasan…, h. 305
[21]A. Khudori Soleh, M. Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 20-27
[22]Teologi dan filsafat mempunyai objek bahasan yang sama dan sama-sama memberikan argument yang rasional. Lihat: Amsal Bakhtiar, Filsafat…., h. 23
[23]Seorang teolog Mu'tazilah lahir tahun 893 M dan wafat tahun 979 M.  
[24]Guru filsafat Farabi yang beraliran Nestorian, lahir 870 M dan wafat 940 M.
[25]A. Khudori Soleh, M. Ag., Wacana…., h. 25  
[26]Ahmad Hanafi, MA., Pengantar…, h. 20
[27]Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa Juz 2, Cet. III, (Dar al-Wafa', 2005), h. 55
[28]Oliver Leaman, Pengantar…, h. 29
[29]Prof. Dr. Muhaimin, MA., Kawasan…, h. 306
[30]Ahmad Hanafi, MA., Pengantar…, h. 79
[31]M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati,2007), h. 272-274
[32] Luqman diberi gelar “Hakim” karena dia dikaruniai “hikmah” oleh Tuhan. Begitu juga Al-Qur-an disebut dengan “Kitab Hakim” karena mengandung hikmah. Lihat: Surat Luqman ayat 2 dan 12
[33] Quran Surat Al-Baqarah ayat 209 lihat juga surat 45 ayat 37
[34] Quran  2:171
[35]Abu Ja'far al-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Quran, Juz V, (Muassasah al-Risalah, 2000), h.576
[36]Allamah Sayid M. Husain Thabathaba'I, Tafsir al-Mizan, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 128
[37] Quran 2:269
[38] Quran 2:129
[39]MM Sharif, A History of Muslim Philosophy, Vol. I, (Delhi: Adam Publisher, 2001), h. 136
[40]Ibid.,
[41] Musa Asy'ari, Filsafat…, h. 10-13
[42] Al-Baidhowi, Tafsir al-Baidhowi, Juz I, h. 428

0 comments: