Pendahuluan
Ketika kita mengemudikan
kendaraan di jalan raya kita terikat dengan aturan rambu-rambu lalu lintas yang
ada. Traffic light, bila menunjukkan lampu merah, mengharuskan kita
untuk berhenti dan mempersilahkan jalur lain untuk berjalan, dan bila lampu
hijau hidup kita boleh melintas dan jalur lain berhenti. Ketika mengikuti
aturan itu, kita berharap pengemudi lain juga memahami traffic light
sebagaimana yang kita pahami sekaligus mau mengikuti pesan yang disampaikan traffic
light tersebut. Bila ternyata pengemudi lain mempunyai pemahaman yang
berbeda tentang makna warna lampu-lampu tersebut, maka akan terjadilah clash
atau konflik.
Paragraf diatas memberikan
ilustrasi tentang konflik yang terjadi antar umat beragama di dunia. Perbedaan
konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak
dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu-
terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan
kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara
umat berbeda agama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah
sejumlah kasus terpisah di berbagai
tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat
Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang
–sedikit banyak- dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini.
Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat
Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di
Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang
sejarah. Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat
(Amerika dan sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini. Perang
antara Israel yang Yahudi dengan Palestina yang Muslim adalah contoh lain dari
konflik antar umat beragama yang masih belum selesai hingga hari ini.
Pembantaian umat Yahudi oleh Nazi yang notabene adalah adalah konflik
terbesar antara pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.
Pandangan stereotip satu
kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul
bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya
saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru
masing-masing, dan sebagainya. Umat
Islam dipandang sebagai umat yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif
dalam memandang kebenaran yang –boleh
jadi- terdapat pada umat.sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang
agresif dan ambisius yang bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan
berupaya menyebarkan pesan Yesus yang terakhir, “Pergilah ke seluruh dunia dan
kabarkanlah Injil kepada seluruh makhluk!” (Martius 16: 15)
Sebagian kalangan berpendapat
bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang menjadi sumber konflik utama antara
umat manusia. Tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah teks keagamaan memang mengatur masalah kekerasan
dan peperangan. Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel-
digambarkan sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40-
41, “
(40) Engkau telah mengikat
pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke bawah
kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan
orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”
Dalam Islam juga dikenal
konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan). Maka,
sebagian pengamat melihat, agama adalah
sumber konflik, atau setidaknya memberikan legitimasi terhadap berbagai
konflik sosial. Ferguson (1977) mencatat, “Every major religious tradition
includes its justification for violence”. Sebagian lain menyimpulkan bahwa
agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh yang melegitimasi pembunuhan. Dalam
tradisi Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), kata mereka, Tuhan membunuh
masyarakat, dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan hal yang sama.
Cara pandang terhadap agama
dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai
upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada
level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat manusia akan teredam jika
faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Pada level eksoteris-seperti aspek
syari’ah- agama-agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris, semuanya sama
saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk
menuju kepada Tuhan, termasuk
Islam dan Kristen.
Namun, dalam banyak hal,
realitas menunjukkan bahwa ketegangan yang terjadi di antara umat beragama
justru berkaitan erat dengan factor-faktor yang berada di luar lingkup agama.
Ketegangan yang terjadi di beberapa kawasan, meskipun dibungkus dalam baju
agama, pada dasarnya disebabkan oleh factor-faktor social, budaya, ekonomi, dan
politik.
Sehubungan dengan itu, tulisan
ini bermaksud membahas tentang: Konflik agama di dunia; dan benarkah perbedaan
konsepsi agama-lah yang menyebabkan konflik di antara kedua umat ini?
Pengertian Konflik
Secara etimologi,
konflik berasal dari kata kerja Latin confligere yang berarti saling memukul.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah percekcokkan, perselisihan,
pertentangan. Secara terminologi, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Menurut
para ahli, konflik adalah sebagaimana tersebut di bawah ini:
i. Berstein
Konflik
merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik
mempunyai potensi positif dan ada pula yang negative di dalam interaksi social.
ii. Dr. Robert M.Z. Lawang
Konflik
adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, di mana tujuan
dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga
untuk menundukkan saingannya.
iii. Drs. Ariyono Suyono
Konflik
adalah proses atau keadaan di mana dua pihak berusaha menggagalkan tercapainya
tujuan masing-masing yang disebabkan adanya perbedaan pendapat,
nilai-nilai ataupun tuntutan dari masing-masing pihak.
iv. James W. Vander Zanden
Konflik
adalah suatu pertentangan mengenai nilai atau tuntutan hak atas kekayaan,
kekuasaan, status atau wilayah tempat pihak yang saling berhadapan betujuan
menetralkan, merugikan, ataupun menyisihkan lawan mereka.
v. Soerjono Soekanto
Konflik
adalah proses social dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha
untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai
dengan ancaman dan atau kekerasan.
Agama ; Peran pemersatu atau konflik
(?)
Semua
ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak kepada kebaikan. Namun
nyatanya tidak semua yang dianggap baik itu bisa bertemu dan seiring sejalan.
Bahkan, sekali waktu dapat terjadi pertentangan antara yang satu dengan
yang lain. Alasannya tentu bermacam-macam. Misalnya, tidak mesti yang
dianggap baik itu benar. Juga, apa yang benar menurut manusia belum tentu
dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain yang dapat dimunculkan.
Menurut
Joachim Wach, seorang sarjana ahli dalam sosiologi agama, setidaknya terdapat
dua pandangan terhadap kehadiran agama dalam suatu masyarakat, negatif dan
positif. Pendapat pertama mengatakan, ketika agama hadir dalam satu
komunitas, perpecahan tak dapat dielakkan. Dalam hal ini, agama dinilai
sebagai faktor disintegrasi. Mengapa? Salah satu sebabnya adalah ia
hadir dengan seperangkat ritual dan sistem kepercayaan yang lama-lama
melahirkan suatu komunitas tersendiri yang berbeda dari komunitas pemeluk
agama lain. Rasa perbedaan tadi kian intensif ketika para pemeluk suatu agama
telah sampai pada sikap dan keyakinan bahwa satu-satunya agama yang benar adalah
agama yang dipeluknya. Sedangkan yang lain salah dan kalau perlu dimusuhi.
Pandangan
yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama berperan sebagai faktor
integrasi. Katakanlah ketika masyarakat hidup dalam suku-suku dengan
sentimen sukuisme yang tinggi, bahkan di sana berlaku hukum rimba, biasanya
agama mampu berperan memberikan ikatan baru yang lebih menyeluruh sehingga
terkuburlah kepingan-kepingan sentimen lama sumber perpecahan tadi. Agama
dengan sistem kepercayaan yang baku, bentuk ritual yang sakral, serta
organisasi keagamaan dalam hubungan sosial mempunyai daya ikat yang amat
kuat bagi integrasi masyarakat.
Dalam
kaitan ini, thesis yang amat menarik diajukan oleh Prof. Dr. Naquib al-Attas
dari Universitas Malaysia, bahwa berkat Islamlah maka bahasa Melayu
berkembang cepat di nusantara ini, yang pada akhirnya diresmikan sebagai
bahasa Indonesia, bahasa nasional. Mengapa bahasa Melayu yang relatif
digunakan oleh kelompok kecil sanggup mengeser bahasa Jawa yang dominan?
Naquib menjawab, bahasa Jawa telah dirasuki falsafah Hindu yang feodalistik
dan membagi manusia pada kelas-kelas, sementara Islam yang bersifat
demokratis, tidak mengenal kelas. Satu-satunya alternatif yang tepat adalah
berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Jalinan antara sifat Islam yang demokratis,
bahasa Melayu yang digunakan, lalu disebarkan oleh para pedagang yang
merangkap sebagai juru dakwah, maka pada waktu yang relatif singkat
tersebarlah bahasa Melayu ke seantero nusantara ini. Islam memperkuat penyebaran
bahasa, bahasa mendorong serta memperkuat timbulnya persatuan nusantara, dan
pada gilirannya lahirlah kesatuan nasional dengan Islam sebagai dasarnya,
ditambah bahasa Melayu dan nasionalisme sebagai pilarnya.
Dengan
demikian, mengikuti teori Joachim Wach, bagaimana pun juga kehadiran dan
eksistensi Islam di Indonesia ini jelas merupakan faktor integrasi
sekaligus konflik yang amat besar, yang mampu mengikis friksi-friksi sukuisme
sebelumnya.
Agama Dan Konflik
Sejumlah kerusuhan dan
konflik sosial telah terjadi di berbagai kawasan di dunia. Beberapa di
antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti konflik Israel-Palestina,
sengketa Kashmir, Perang Salib, Perang Bosnia, dan Holocaust. Ada baiknya kita
melihat sekilas satu persatu konflik-konflik tersebut di atas agar bisa melihat
gambaran yang jelas tentang konflik-konflik antara pemeluk agama di dunia.
Perang Salib mungkin
adalah konflik terbesar antara umat Islam dan Kristen yang tertoreh dalam
sejarah dan tak kan pernah terlupakan. Kebencian antara kedua pemeluk agama ini
belakangan sering berakar pada peristiwa sejarah tersebut. Meskipun potensi
perbedaan dari sisi keagamaan sudah ada sebelumnya, namun pengaruh perang salib
memberikan kontribusi yang besar terhadap ketegangan umat Islam dan Kristen.
Sebagian besar pengaruh
kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan kaum Muslim di Spanyol
dan Sisilia. Berasal dari sekelompok tentara pengintai Islam menyeberang dari
Afrika Utara ke ujung paling selatan Spanyol pada Juli 710. Laporan kegiatan
mata-mata ini menimbulkan minat baru untuk menyerang. Spanyol Islam dianggap
mencapai puncak kekuasaan dan kemakmurannya pada masa kekhalifahan Abd
al-Rahman III (912 – 961). Keberadaan negara atau wilayah tidak lepas dari
gerakan-gerakan politik di dalamnya..
Gerakan politik ini
selalu melekat pada pemerintahan Islam di sepanjang sejarah, termasuk di
Spanyol Islam. Intrik-intrik ini membuat Spanyol Islam mengalami pasang surut.
Dunia Kristen Latin juga merasakan pengaruh Islam melalui Sisilia. Serangan
pertama ke Sisilia terjadi pada tahun 652 di kota Sisacusa. Akan tetapi
pendudukan orang-orang Arab di Sisilia tidak berlangsung lama. Kebangkitan
kembali Kerajaan Byzantium mengakibatkan berakhirnya semua pendudukan atas
wilayah-wilayah penting. Byzantium menggandeng gereja untuk menguasai
wilayah-wilayah Islam. Peperangan dengan menggunakan atribut gereja ini
kemudian menjadi perang Kristen melawan Islam yang banyak menyita waktu.
Bila kita cermati
factor utama terjadinya perang salib, maka kita akan mendapatkan bahwa alasan
politik dan perluasan wilayah untuk menguasai sumber-sumber alamlah yang menjadi
dasarnya. Hal yang sama juga terjadi di Palestina, ketika Inggris memberikan
tempat bagi bangsa Israel untuk mendirikan negaranya di tanah Palestina.
Pertambahan imigran Yahudi ke Palestina semakin pesat karena bangsa ini
mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi di berbagai belahan dunia, disamping
keyakinan mereka bahwa tanah tersebut adalah janji tuhan yang diperuntukkan
bagi mereka. Kedatangan ini kemudian dimaknai sebagai agresi orang luar
terhadap bangsa Palestina yang merdeka. Pada gilirannya konflik fisik pun
terjadi dengan membawa bendera agama.
Tak berbeda dengan
kasus Indonesia, kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa konflik di
Maluku pada awalnya disebabkan oleh karena kesenjangan ekonomi dan kepentingan
politik. Eskalasi politik meningkat cepat karena mereka yang bertikai
melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan luas.
Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik, karena isu agama itu muncul
belakangan.
Konflik di antara umat
beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan non keagamaan.
Berikut ini keterangan singkat mengenai kedua faktor itu.
A.
Faktor
Keagamaan
Agama pada dasarnya
memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi, antara lain,
agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan.
Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk.
Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap
aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Ajaran yang disebutkan
itu bersifat universal.
Selain itu, terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan disintegrasi,
bila dipahami secara sempit dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama
menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar,
sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah
pemeluk agama lain.
Secara internal,
teks-teks keagamaan dalam satu agama juga terbuka terhadap aneka penafsiran yang
dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam, bahkan
bertentangan satu sama lain sehingga memicu konflik.
Keragaman agama
ternyata menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, memberikan
kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama
dapat juga berpotensi menjadi sumber konflik di kemudian hari. Mana
diantara potensi tersebut yang dominan? Konflik bisa saja terjadi. Penyebab
konflik terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran). Namun yang dominan, konflik lebih dipicu oleh
unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik
sesungguhnya dipicu oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang
selanjutnya di blow up menjadi konflik (ajaran) agama.
Selain faktor yang
terkait dengan doktrin seperti disebutkan di atas, ada faktor-faktor keagamaan
lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat
beragama. Di antaranya: 1) Penyiaran agama, 2)Bantuan keagamaan dari luar
negeri, 3) Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, 4) Pengangkatan anak,
5)Pendidikan agama, 6)Perayaan hari besar keagamaan, 7)Perawatan dan pemakaman
jenazah, 8)Penodaan agama, 9)Kegiatan kelompok sempalan 10)Transparansi
informasi keagamaan dan 11)Pendirian rumat ibadat.
Berikut ini penjelasan
tentang sebagian dari faktor-faktor itu. Penyiaran agama merupakan perintah
(paling tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa disertai
dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk memilih
sendiri jalan hidupnya.
Akibat terjadi
kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan yang sifatnya
terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan
antar umat beragama. Untuk mengurangi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan
atau bahkan pemaksaan semacam itu, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan
Mendagri No 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Faktor lain terkait
dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia, perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu terganggunya hubungan antar
umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah satu alat untuk
mengajak pasangan agar berpindah agama. Konversi agama dilakukan untuk
mengesahkan perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung beberapa lama, orang
yang bersangkutan kembali ke agamanya semula dan mengajak pasangannya untuk
memeluk agama tersebut.
Kasus yang juga sering
muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadat. Kehadiran sebuah rumah
ibadat sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau bahkan memicu
konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut
agama lain. Rumah ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat
untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai
simbol keberadaan, suatu kelompok agama.
Permasalahannya menjadi
rumit jika jumlah rumah ibadat tersebut dipandang oleh pihak lain tidak
berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada
komunitas lain. Kasus-kasus yang terkait dengan pengrusakan rumah ibadat
menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya SKB Menag dan Mendagri
No 1 tahun 1969 yang kemudian disempurnakan dan diganti dengan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 2006/No 8 tahun 2006
tanggal 21 Maret 2006.
B.
Faktor-faktor
non Keagamaan
Adapun faktor-faktor
non keagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab ketidakrukunan umat beragama
meliputi beberapa hal, antara lain 1)kesenjangan ekonomi, 2) kepentingan
politik, 3) perbedaan nilai sosial budaya, 4) kemajuan teknologi informasi dan
transportasi.
Kehadiran penduduk
pendatang di satu daerah sering menimbulkan kesenjangan ekonomi, sebab mereka
lebih ulet dan trampil bekerja dibandingkan dengan penduduk asli . Kondisi itu
sering menimbulkan kecemburuan sosial dan dapat memicu konflik. Selanjutnya,
dalam berbagai kasus, munculnya suatu kelompok politik juga dipengaruhi oleh
misi keagamaan dari para elit kelompok politik tersebut.
Ketegangan atau konflik
di antara elit politik tersebut lalu pada gilirannya dilihat sebagai pertikaian
antar kelompok politik yang berbeda agama. Demikian pula perbedaan nilai budaya
juga dapat menjadi penyebab konflik bila suatu komunitas yang kebetulan
menganut agama tertentu mengalami ketersinggungan karena perilaku atau tindakan
pihak lain, yang kebetulan menganut agama berbeda kurang memahami atau kurang
menghargai adat istiadat, atau budaya yang mereka hormati.
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system sosial
yang dibuat oleh penganut- penganutnya yang berproses pada kekuatan- kekuatan
non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan
bagi mereka. Dalam kamus sosiologi pengertian agama ada 3 macam, yaitu (1)
kepercayaan pada hal- hal yang spiritual; (2) Perangkat kepercayaan dan praktik
– praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3) Ideologi
mengenai hal- hal yang bersifat supranatural.
Sementara itu, Thomas F. O’ Deo mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan
sarana- sarana supra empiris untuk maksud- maksud non empiris atau supra
empiris.
Dari beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama
merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya. Karena sifatnya yang
supranatural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah- masalah yang non
empiris. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa agama
adalah ajaran, system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
Selanjutnya dalam buku yang sama, dikatakan bahwa konflik
yaitu percekcokan; perselisihan- prselisihan; pertentangan. Jika kata ini digabung
dengan term sosial menjadi suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang
bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Menurut teori konflik , masyarakat adalah
suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas serta
berkecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Jadi
masyarakat (sosial) merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya konflik. Bibitnya
bisa bermacam-macam faktor : ekonomi, politik, sosial, bahkan agama.
Faktor- faktor Konflik Ditinjau dari
Aspek Agama
Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan
hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan. Di
dalam terminologi Al-Qur’an, misi suci ini disebut rahmah lil alamin (rahmat
dan kedamaian bagi alam semesta). Namun dalam tataran historisnya misi agama
tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agamapun
menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad dijelaskan bahwa, “agama acapkali
menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”
Hal ini sama dengan pendapat Johan Efendi yang menyatakan “Bahwa agama pada
suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan,
dan persaudaraan. Namun, pada waktu yang lain menampilkan dirinya sebagai
sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik. Bahkan tidak jarang dicatat
dalam sejarah menimbulkan peperangan.
Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya :
1.
Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar
itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas
manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan.
Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi
dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka mengklaim telah memahami,
memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai- nilai suci itu.
Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan
konsep- konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan
pemahaman dengan mereka. Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme,
eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit
yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah
kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme
adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam
bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan
fisik.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk
menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju
keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”.
Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran agama.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa
agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan,
masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan
memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena
yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya,
peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat
kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.
2.
Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan
agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan
atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme.
Seperti dalam kasus Dr. AM Saefuddin, yakni Menteri Negara Pangan dan
Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Menteri itu telah
melecehkan salah satu agama, dalam pernyataannya “Megawati Pindah Agama menjadi
Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan seseorang yang beragam
Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan ritual pada agama Hindu di Bali.
Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi sejumlah demonstrasi,
bahkan berubah menjadi kerusuhan.
3.
Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak
toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain mereka
sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka
anggap menyimpang. Bahkan, mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu
sebagai kewajiban (Jihad). Jika berada dalam agama ketiga, diluar kedua agama
yang sedang bertikai, kita akan tersenyum mengejeknya, karena mereka saling
menghancurkan, yang dalam persepsi kita bahwa agama yang bertikai tersebut
sama-sama palsu. Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang perang adalah agama kita
dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan menjadi sebuah
perjuangan untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita akan meyakini
adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya di anggap
kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada dipihak
lawan agama kita juga berpendapat sama seperti itu, dan mereka yang berada
dipihak ke tiga (tidak berperang), dan memandang perang kita sebagai usaha
saling menghancurkan antara dia kepalsuan. Semua orang di dunia ini sepakat
bahwa agama selalu mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin
dengan agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat membenarkan dirinya
untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan mereka berhak mengejar-ngejar
orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Jadi, merekalah yang sebenarnya
menjadi sumber kebenaran.
4.
Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Qur’an (QS.2:148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas
berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri.
Manusia harus menerima keragaman budaya dan agama dengan memberikan toleransi
kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu,
kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural dan suka kekerasan itu
sangatlah tidak beralasan.
Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah SAW, ketika
beliau berada di Madinah, masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa untuk
mengikuti agamanya. Bahkan dalam perjanjian dengan penduduk Madinah ditetapkan
dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satunya
” Orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh
pertolongan dan perlindungan; tidak akan diperlukan zalim. Jika di antara
mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya dan keluarganya.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam
kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia, Spanyol, pada
masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan Islam di daerah tersebut telah
mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah
Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat
Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya yang berkembang,
yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling berdampingan dan
rukun. Potret seperti inilah yang perlu dikembangakan oleh seluruh agama,
sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak
untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia harus mampu mempelakukan
agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara sesama penguasa
maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini dapat
ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan
perusakan tempat-tempat ibadah.
Kesimpulan
Jika memang konsepsi agama,
paling tidak agama Islam, bukanlah alasan dan sebab utama yang memicu konflik
antar umat Islam dan Kristen (serta umat beragama lain). Sejumlah kajian dan
penelitian menjelaskan bahwa titik persoalan sebenarnya terletak pada
faktor internal dan eksternal umat.
Tidak hanya di negara-negara yang penduduknya minoritas Muslim (misalnya:
Filipina), bahkan di negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Indonesia
gerakan puritanisasi dan revitalisasi Islam harus “berhadapan” dengan peradaban
global yang sekuler, kapitalistis, dan bersemangat hedonistis. Politik Islam
negara-negara Barat yang berabad-abad menekan aspirasi umat, yang kemudian
disusul oleh upaya pembangunan di masing-masing negara dengan patron mengikuti
Barat yang pernah menjajahnya membuat peran umat ini (Muslim) semakin lama
semakin berkurang. Marginalisasi peran politik, ekonomi dan kebudayaan,
menyebabkan kaum muslim mengalami disposisi dan disorientasi.
Secara internal, kaum muslim
masih berkutat dengan kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Kondisi
ini diperparah oleh adanya penyakit “Islamofobia” (takut kepada Islam) yang
ironisnya, tidak hanya pada umat Kristen, tapi juga menjangkiti sebagian
cendekiawan muslim. Kelompok ini, yang nota bene adalah penganut pluralisme
agama, mudah tersengat dan curiga pada gerakan-gerakan “Islam fundamentalis”,
yang dinilai “ekstrem” dan “militan”. Padahal, bangkitnya “Islam
fundamentalis”, menurut G. H. Jansen, “adalah reaksi terhadap masalah bagaimana
mengahadapi tantangan cara hidup Barat
yang telah menjadi cara hidup dunia.”
Kelompok terakhir ini, yang senantiasa termarginalkan, didorong oleh semangat
membebaskan umat dari materialisme yang sesat, yang mendorong pada suatu
kesadaran hakiki, bahwa agama merupakan suatu kebutuhan batiniah dan sekaligus
kebutuhan intelektuil manusia. Menggunakan istilah Arnold Toynbee, boleh jadi,
mereka adalah kelompok creative minorities yang bekerja keras untuk melahirkan
satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban kontemporer yang rapuh. Sehingga,
seandainya pun terjadi benturan dan konflik, kebanyakan pada tataran ideologis,
di antara “mereka” dengan rezim yang berkuasa dan kelompok-kelompok
penentangnya. Konflik antar umat Islam dan Kristen sendiri, kebanyakan
adalah kompleksitas persoalan-persoalan
sosial, ekonomi, politik, yang –oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab- dilegitimasi karena “perbedaan
konsepsi keagamaan”.
Dari uraian di atas, penulis
sampai pada kesimpulan bahwa konflik antara umat beragama, dalam hal ini Islam
dan Kristen, dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan karena perbedaan konsepsi
di antara dua agama besar ini. Itu lebih merupakan asumsi yang tendensius, yang
disengaja atau tidak, berupaya “mengaburkan” peran agama dalam membentuk
peradaban baru yang lebih progressif. Dia lebih menonjolkan “wajah muram”
agama-agama di tengah umatnya, sehingga
agama tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia dengan
manusia dari kepercayaan yang berbeda,
sekaligus menumbuhsuburkan sikap kebencian dan permusuhan di antara pemeluk agama.
Implikasi yang muncul kemudian
adalah lahirnya dua kutub pemikiran. Yang pertama bersikap “anti agama”
sementara yang terakhir mencoba “menyamakan” agama-agama, dengan berlindung di
balik “topeng” pluralisme agama. Gagasan yang terakhir ini, jika ditinjau dari
keseluruhan aspek Islam terhadap Kristen jelas suatu gagasan yang tidak
mungkin, karena “memang” kedua agama ini berbeda.
Penulis melihat jalan keluar
bagi konflik agama yang disebabkan factor keagamaan adalah pluralisme, baik itu
bermakna penyamaan agama-agama atau hanya sekedar penerimaan dan pengakuan atas
perbedaan agama-agama. Sementara konflik yang disebabkan factor non-agama
mungkin multikulturalisme bisa menjadi obat penawarnya.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Amstrong,
Karen. Berperang Demi Tuhan. Bandung: Mizan. 2002
Effendy,
Bahtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press.
2001
Eliade
(ed.), Mircea, The Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing Company, New
York, 1987, Vol. 12
Hakiem
(Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar Pembaruan
Islam, LSIP, Jakarta, 1995 15
Huntington,
Samuel P. Benturan Antar Peradaban. Yogyakarta: Qalam. 2002
Husaini,
Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press,
Jakarta, 2004
Husaini,
Adian, Solusi Damai Islam- Kristen, Pustaka Progresif, Surabaya, 2003
Jansen
, G. H., Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980
Kurtz,
Lester R. Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, t. t.
Lembaga
Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001
Madjid,
Nurcholis, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001
Mische,
Patricia M. ,Toward Global Civilization? The Contribution of Religions,
(Newyork: Peter Lang Publishing Inc., 2001)
Mulkhan,
Abdul Munir, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta,
2002
Mulkhan,
Abdul Munir, Dr., Ajaran dan Jalan
Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002
Noersena,
Bambang, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2001
Parekh,
Bikhu. Rethinking Multiculturalism. Yogyakarta: Kansiius. 2008
Rasyid,
Daud, Dr. MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Akbar Media Eka
Sarana, Jakarta, 2002
Syalaby,
Ahmad, Dr., Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh Ahmad, S. Ag., Pustaka Da’i, Jakarta, 2004
Thayib
dkk. (ed.), Anshari, Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi dan
Kebijakan (PKSK), Jakarta, 1997
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab,
Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 588
Lester R. Kurtz, Gods in the Global
Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, hlm. 215-216
Di Indonesia, pernyataan-pernyataan
yang bernada “menyamakan” agama mulai
diungkapkan oleh para tokoh organisasi Islam. Lihat: pernyataan Ulil Abshar
Abdalla, di majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir
Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh
Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu
Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, No. 3
Juli-Oktober 1991.
Tidak dapat dipungkiri bahwa selain
munculnya truth claim bahwa ditemukan sejumlah
teks keagamaan memang mengatur masalah
kekerasan dan peperangan yang berdampak pada konflik. Dalam tradisi Judeo-Christian,
Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai “God of War”,
sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41, “(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk
berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41)
Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”Dalam
Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital
(peperangan)
Lihat, misalnya, beberapa tulisan Adi Sasono,
"Peta Permasalahan Sosial Umat Islam
dan Pokok-Pokok Pemikiran Usaha Pengembangannya: Beberapa Catatan, makalah
tidak diterbitkan, Mei, 1984; "Moral
Agama dan Masalah Kemiskinan," makalah tidak diterbitkan, 21 April
1985; "Usaha Pengembangan Enasipasi
Sosial: Beberapa Catatan," A Rifa'i Hasan dan Amrullah Achmad (ed.), Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa,
Yogyakarta: PLP2M, 1986, hlm. 323-335.
Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta, 1986, hlm.
32
Thomas F. O'deo,
Sosiologi Agama, Jakarta: PT
Rajawali, 1985, hal. 139